BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder yang mengambil lokasi di Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN dengan menggunakan data yang telah disusun oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Daerah (DPPKAD), meliputi data perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN tahun 2014. B. Jenis dan Sumber Data Seperti yang telah dikemukakan di atas, data yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan sebagai data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber dengan mengambil data statistik yang sudah ada serta dokumen-dokumen lain yang terkait dan diperlukan. Adapun data yang diperlukan tersebut antara lain: 1. Data Target dan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN yang diperoleh dari Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN Tahun 2014. (DPPKAD Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN) 2. Data Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN yang diperoleh dari Perhitungan Anggaran 44
45 Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN Tahun 2013 (DPPKAD Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN) 3. Data Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Tengah yang diperoleh dari Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Tengah tahun 2014. 4. Data gambaran umum Kawasan SUBOSUKAWONOSRATEN yang diperoleh dari Badan Pusat statistik. C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ini menggunakan beberapa indikator beserta variabelvariabel guna melihat kondisi keuangan daerah suatu Kabupaten/Kota. Definisi operasional masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah, dinyatakan dalam rupiah (Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 17). 2. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan, dinyatakan dalam rupiah (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 13).
46 3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dinyatakan dalam rupiah (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 18). 4. Pendapatan transfer adalah pendapatan yang berasal dari entitas pelaporan dari, seperti pemerintah pusat atau daerah otonom lain dalam rangka perimbangan keuangan, dinyatakan dalam rupiah (Widya, 2013). 5. Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan, dinyatakan dalam rupiah (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 16). 6. Kemandirian keuangan daerah (Otonomi Fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam mmbiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah, dinyatakan dalam persen (Abdul Halim, 2004). 7. Ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap alokasi dana bantuan dari pemeritah pusat memperlihatkan kesiapan daerah dalam menggali sumber dana potensi lokal yang terkandung di dalamnya, dinyatakan dalam persen.
47 D. Teknik Analisis Data Sesuai dengan penelitian yang dilakukan maka teknik analisa data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif yaitu melakukan perhitunganperhitungan terhadap data keuangan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang ada sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun tolok ukur yang akan digunanakan dalam teknik analisis ini adalah: 1. Pemetaan Kinerja PAD Untuk mengetahui posisi daerah SUBOSUKAWONOSRATEN pada pemetaan Kinerja PAD melalui metode kuadran diperlukan pengukuran pertumbuhan PAD dan kontribusinya terhadap APBD. Masing-masing kuadran ditentukan oleh besaran nilai growth dan share. Dengan nilai growth dan share maka masing-masing daerah dapat diketahui posisinya (pada kuadran berapa). Perumusan selengkapnya dapat dijelaskan sebagai berikut: a.... (3.1) b..... (3.2) Keterangan: = Pendapatan Asli Daerah t tahun = Pendapatan Asli Daerah t tahun = Pendapatan Asli Daerah t tahun-1 Kondisi di masing- masing kuadran dijelaskan pada tabel 3.1
48 Berikut adalah peta kinerja PAD berdasarkan metode kuadran: Rerata Share Share: Tinggi Kuadran III Growth: Rendah Share: Tinggi Kuadran I Growth: Tinggi Rerata Share: Rendah Kuadran IV Growth: Rendah Share: Rendah Kuadran II Growth: Tinggi 0 Gambar 3.1 Peta Kemampuan Keuangan Berdasarkan Metode Kuadran Sumber: Basri (2013:82) Growth (%)
49 Kuandran Tabel 3.1 Klasifikasi Status Kinerja PAD Melalui Metode Kudran Kondisi (1) (2) I Kondisi paling ideal. PAD mengambil peran besar dalam APBD dan daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini ditunjukan dengan besarnya nilai share disertai nilai growth yang tinggi. II Kondisi ini belum ideal, tapi daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal sehingga PAD berpeluang memiliki peran besar dalam APBD. Sumbangan PAD terhadap APBD masih rendah namun pertumbuhan (growth) PAD tinggi. III Kondisi ini belum ideal. Peran PAD yang besar dalam APBD punya peluang mengecil karena pertumbuhan PADnya kecil. Di sini sumbangan PAD terhadap APBD tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah. IV Kondisi ini paling tidak ideal. PAD belum mengambil peran yang besar dalam APBD dan daerah belum punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Sumbangan PAD terhadap APBD rendah dan pertumbuhan PAD rendah. Sumber: Basri (2013:82) 2. Kemampuan Keuangan Daerah Untuk mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah SUBOSUKAWONOSRATEN maka digunakan beberapa indikator kemampuan keuangan daerah yang terdiri dari: a. Rasio Efektivitas PAD Rasio Efektivitas PAD menunjukkan kemampuan pemerintahan daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan daerah (Halim, 2004: 128). Semakin tinggi Rasio Efektivitas PAD, maka semakin baik kinerja pemerintah daerah.
50.. (3.3) Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100%. Namun, semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah semakin baik. Kriteria Rasio Efektivitas PAD menurut Mahsun (2009), adalah: 1) Jika diperoleh nilai kurang dari 100% ( x < 100%) berarti tidak efektif 2) Jika diperoleh nilai sama dengan 100% (x = 100%) berarti efektivitas berimbang. 3) Jika diperoleh nilai lebih dari 100% (x > 100%) berarti efektif. b. Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) Indeks Kemampuan Keuangan merupakan rata-rata hitung dari indeks pertumbuhan (growth), Indeks Elastisitas, dan Indeks Share. Untuk menyusun indeks ketiga komponen tersebut, ditetapkan nilai maksimum dan minimum dari masing-masing komponen. Dalam menyusun indeks untuk setiap komponen IKK, dilakukan langkahlangkah sebagai berikut (Bappenas: 2003) : 1) Perhitungan dan Analisis Kinerja PAD melalui ukuran Share, Growth, dan Elastisitas....... (3.4)........ (3.5)
51 Elastisitas....... (3.6) Keterangan: = Pendapatan Asli Daerah t tahun = Pendapatan Asli Daerah t tahun = Pendapatan Asli Daerah t tahun-1 2) Menyusun Indeks untuk setiap komponen (3.7) Berdasarkan persamaan di atas, maka persamaan IKK dapat dirumuskan sebagai berikut:...... (3.8) Keterangan: IKK = Indeks Kemampuan Keuangan =Indeks Pertumbuhan PAD =Indeks Elastisitas Belanja Langsung terhadap PAD =Indeks Share PAD terhadap APBD 3) Menyusun Peta Kemampuan Keuangan berdasarkan IKK Nilai IKK kabupaten/kota diurutkan mulai dari yang mempunyai kemampuan keuangan terbesar, mempunyai kemampuan keuangan sedang, dan mempunyai kemampuan keuangan rendah.
52 Tabel 3.2 Kriteria Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Indeks Kemampuan Keuangan Klasifikasi (1) (2) 0,00 0,33 Rendah 0,34 0,43 Sedang 0,44 1,00 Tinggi Sumber: Susanto (2014: 25) c. Tingkat Kemandirian Daerah (TKD) Tingkat kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD (Halim, 2004:128).yang dapat diformulasikan sebagai berikut. rumus : Tingkat kemandirian daerah diukur dengan menggunakan x 100. (3.9)
53 Menurut PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah total penerimaan transfer terdiri dari (Sujarweni 2015: 96); PENDAPATAN TRANSFER Transfer Pemerintah Pusat-Dana Perimbangan xxx xxx Dana Alokasi Umum xxx xxx Dana Alokasi Khusus xxx xxx Dana Bagi Hasil Pajak xxx xxx Dana Bagi Hasil Bukan Pajak xxx xxx Jumlah Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat xxxx xxxx Transfer Pemerintah Pusat Lainya Dana Otonomi Khusus xxx xxx Dana Penyesuaian xxx xxx Jumlah Pendapatn Transfer Lainya xxxx xxxx Jumlah Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat Transfer Pemerintah Provinsi Pendapatan Bagi Hasil Pajak xxx xxx Pendapatan Bagi Hasil Lainnya xxx xxx Jumlah Transfer Pemerintah Provinsi xxxx xxxx Total Pendapatan Transfer xxxx xxxx d. Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Basri (2013: 83) mengemukakan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu: 1). Instruktif; 2). Konsultatif; 3). Partisipatif; 4). Deligatif.
54 Bertolak dari teori tersebut, sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan) diberikan sebagai berikut : Tabel 3.3 Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Rasio Kemandirian Kemampuan Keuangan Tingkat Kemandirian Pola Hubungan (1) (2) (3) (4) 25 Rendah sekali Tidak Mampu Instruktif 26 50 Rendah Kurang Mandiri Konsultatif 51 75 Sedang Cukup Mandiri Partisipatif 76-100 Tinggi Sudah Mandiri Deligatif Sumber: Basri (2013,83) e. Tingkat Ketergantungan Daerah (TKtD) Tingkat ketergantungan daerah diukur dengan menggunakan rumus (Basri 2013:83) : x 100... (3.10) Keterangan: TKtD PT TPD = Tingkat ketergantungan daerah = Pendapatan transfer = Total penerimaan daerah Selanjutnya tingkat ketergantungan daerah ini diklasifikasi sebagai berikut:
55 Rasio (%) Tabel 3.4 Tingkat Ketergantungan Daerah Kesimpulan (1) (2) 25 Ketergantungan fiskal dinyatakan sangat kecil berarti kinerja anggaran sangat baik. 26 50 Ketergantungan fiskal dinyatakan cukup baik, yang berarti kinerja anggaran cukup baik. 51 75 Ketergantungan fiskal dinyatakan cukup besar yang berarti kinerja anggaran kurang baik. 76-100 Ketergantungan fiskal dinyatakan sangat besar yang berarti kinerja anggaran sangat buruk sekali. Sumber: Basri (2013,83) f. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Pemetaan kemampuan keuangan daerah, menggunakan dua indikator yaitu tingkat kemandirian daerah dan tingkat ketergantungan daerah, yang diklasifika-sikan sebagai berikut (Basri 2013: 83); Tabel 3.4 Peta Kemampuan Keuangan Daerah Uraian TKtDi > TKtD TKtDi < TKtD TKDi > TKD TKDi < TKD Wilayah mandiri dengan tingkat Ketergantungan tinggi Wilayah belum mandiri dan tingkat Sumber: (Basri 2013:83) Keterangan; ketergantungan tinggi. TKDi = Tingkat kemandirian daerah i TKtDi = Tingkat ketergantungan daerah i TKD = rata-rata tingkat kemandirian daerah Wilayah Mandiri dengan tingkat ketergantungan rendah Wilayah belum Mandiri dan tingkat Ketergantungan rendah. TKtD = rata-rata tingkat ketergantungan daerah