BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

SKRIPSI. Oleh : PURNOMO NIM: B

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Otonomi daerah adalah perwujudan dari pelaksanaan urusan. pemerintah berdasarkan asas desentralisasi yakni penyerahan urusan

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN PADA ERA OTONOMI DAERAH (PERIODE ) SKRIPSI

Analisis derajat desentralisasi dan kemandirian PAD serta hubungannya dengan produktivitas belanja daerah di Kota Jambi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Disusun Oleh B PROGRAM

ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp ,

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

Kemampuan Keuangan Daerah Dalarn Menghadapi Otonomi Daerah ( Soetanto )

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian mengalami dua kali revisi yaitu

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan analisis yang telah dilakukan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang rendah dan cenderung mengalami tekanan fiskal yang lebih kuat,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ibnu (1994 : 29), bahwa pembangunan daerah adalah proses

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diambil adalah Kabupaten/ Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

Kata kunci: Kemampuan Keuangan Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan terhadap pola kehidupan sosial,

BAB I PENDAHULUAN. nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Otonomi. daerah merupakan suatu langkah awal menuju pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB V PENUTUP. dengan rencana yang telah dibuat dan melakukan pengoptimalan potensi yang ada di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak Pemerintah menerapkan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. pengalihan pembiayaan. Ditinjau dari aspek kemandirian daerah, pelaksanaan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. penunjang dari terwujudnya pembangunan nasional. Sejak tanggal 1 Januari 2001

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Pengertian pertumbuhan ekonomi seringkali dibedakan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32/2004 dan terakhir diganti dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Definisi Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih, Op cit: 83) 2. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 157 Sumber pendapatan daerah terdiri atas: a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1. hasil pajak daerah 2. hasil retribusi daerah 3. hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan 4. lain-lain PAD yang sah b. Dana perimbangan c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah (UU Otonomi Daerah 2004:103-104)

3. Kinerja Keuangan Daerah Kinerja atau kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah (Halim, 2004: 24). Untuk melihat kinerja keuangan daerah menurut Halim, dapat dilakukan dengan menganalisis a. Derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) b. Kebutuhan Fiskal (fiscal need) c. Kapasitas Fiskal (fiscal capacity) d. Upaya fiskal (tax effort) Derajat desentralisasi fiskal adalah tingkat kemandirian daerah untuk membiayai kebutuhan daerahnya sendiri tanpa menggantungkan diri dengan pemerintah pusat. Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1, Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 3, Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil. Upaya fiskal adalah koefisien elastisitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Kebutuhan fiskal standar adalah rata-rata kebutuhan fiskal stándar suatu daerah (Halim, 2004: 29) Kapasitas Fiskal Standar (KFs) adalah rata-rata kapasitas fiskal standar suatu daerah. Semakin tinggi Pendapatan Asli Daerah (PAD), semakin kuat pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Pendapatan Asli Daerah (PAD), semakin lemah pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandiriannya). Semakin tinggi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), semakin kuat pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (PHPBP), maka semakin lemah derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin tinggi Sumbangan Daerah (SB) maka semakin lemah derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Sumbangan Daerah (SB) maka semakin kuat derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandiriannya). Semakin tinggi Indeks Pelayanan Publik Perkapita (IPPP), maka semakin besar pula kebutuhan fiskal (fiscal need). Semakin rendah Indeks Pelayanan Publik (IPPP), semakin sedikit pula kebutuhan fiskal (fiscal need) Semakin elastis Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah, maka struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut semakin baik.

Semakin inelastis Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah, maka struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut semakin buruk. B. Tinjauan Penelitian Terdahulu 1. Penelitian Sudono Susanto Penelitian ini berjudul Analisis Perkembangan Pembiayaan Fiskal Pemerintah Pusat dan Daerah (studi kasus Daerah Tingkat II Banjarnegara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat otonomi fiskal (DOF) di Daerah Tingkat II Banjarnegara yang diukur dengan variabel tingkat perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan pemerintah pusat (G). Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan pemerintah pusat (G) berpengaruh negatif terhadap derajat otonomi fiskal daerah (DOF). 2. Penelitian Yuliati Penelitian yang dilakukan oleh Yuliati (Halim, 2004: 21) yang berjudul Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Malang). Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis derajat otonomi Kabupaten Malang yang ditekankan kepada derajat desentralisasi, bantuan serta kapasitas fiskal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ketergantungan pemerintah Kabupaten Malang terhadap pemerintah pusat pada tahun anggaran

1995/1996-1999/2000 masih sangat tinggi, yang dibuktikan dengan masih rendahnya rata-rata proporsi PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) selama kurun waktu 5 tahun, yaitu hanya sebesar 15%, walaupun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Rata-rata proporsi PAD dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap TPD selama kurun waktu 5 tahun hanya sebesar 29% saja. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran pemerintah pusat terhadap keuangan daerah Kabupaten Malang selama kurun waktu 5 tahun tersebut masih sangat besar yang juga ditunjukkan dengan tingginya rata-rata proporsi pemerintah pusat terhadap TPD, yaitu sebesar 71%. Kabupaten Malang memiliki kapasitas fiskal yang relatif baik dibandingkan dengan standar fiskal rata-rata kabupaten/kota se-jawa Timur. Namun apabila dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya maka terdapat kekurangan (gap) sebesar 12%. Jadi, untuk menutupi kekurangan tersebut memang masih diperlukan dana dari pemerintah pusat. 3. Penelitian Jasagung Hariyadi Penelitian yang dilakukan oleh Jasagung Hariyadi (Halim, 2004: 339) yang berjudul Estimasi Penerimaan dan Belanja Daerah serta Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Belitung: Studi Kasus Tahun Anggaran 2001. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui estimasi penerimaan daerah dan tingkat kemandirian keuangan daerah melalui pengukuran derajat desentralisasi fiskal untuk tahun 2001, sehingga terlihat

kemampuan Kabupaten Belitung dalam rangka melaksanakan otonomi daerah yang mulai berlaku efektif pada tahun 2001. Kesimpulan dari penelitian ini, berdasarkan estimasi APBD Kabupaten Belitung tahun anggaran 2001 perbandingan antara PAD terhadap TPD adalah sebesar 11,61%. Sedangkan perbandingan antara Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dengan TPD adalah sebesar 7,18% dan Sumbangan Daerah dan Total Penerimaan Daerah adalah sebesar 81,21%. 4. Penelitian Kifliansyah Penelitian yang dilakukan oleh Kifliansyah (Halim, 2004: 329) yang berjudul Analisa Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (Kasus Kabupaten Hulu Sungai Tengah). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat kemandirian daerah pada tahun anggaran 1999/2000. Kesimpulan dari penelitian ini adalah proporsi PAD terhadap TPD sebesar 3,21%, proporsi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Total Penerimaan Daerah sebesar 18,80%, proporsi Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah sebesar 76,61%. Dengan kondisi ini ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat masih sangat besar. C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 1. Kerangka Konseptual

Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy) (Variabel Independen) Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Kemandirian Pembiayaan Daerah (Dependent Variabel) Tingkat Ketergantungan Daerah (Dependent Variabel) Pada pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Utara, data yang dipakai adalah realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kemudian dari APBD diambil data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, yang kemudian akan dianalisis dengan meggunakan rasio kinerja keuangan daerah yaitu : rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio Kebutuhan Fiskal, rasio Kapasitas Fiskal, rasio Upaya Fiskal. a. Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy) Kebijakan Fiskal yang dalam penelitian ini dilihat dari tingkat desentralisasi fiskalnya menunjukkan tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yaitu kabupaten dan kota untuk melaksanakan pembangunan. Hal ini berarti bahwa pemerintah pusat memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyelenggarakan pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Derajat desentralisasi fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Derajat Desentralisasi Fiskal : PAD Total Pendapatan Daerah b. Tingkat kemandirian pembiayaan Ukuran ini untuk menguji tingkat kekuatan kemandirian pemerintah kabupaten dan kota dalam membiayai APBD setiap periode anggaran. Tingkat kemandirian pembiayaan : PAD Belanja Rutin Non Pegawai Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal bersama pemerintah pusat dan provinsi semakin rendah, demikian sebaliknya. Rasio kemandirian menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal pada daerah tersebut. c. Tingkat Ketergantungan

Rasio ini untuk mengukur tingkat kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Derajat otonomi fiskal ini menunjukkan kemampuan daerah dalam meningkatkan PAD. Tingkat kemandirian pembiayaan : PAD Belanja Rutin Non Pegawai 2. Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Jawaban yang diberikan didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Adapun Hipotesis dari penelitian ini adalah : H1: Kebijakan desentralisasi fiscal berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan dalam bentuk kemandirian pembiayaan daerah H2: Kebijakan desentralisasi fiscal berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan daerah dalam bentuk tingkat ketergantungan daerah.