BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilandasi oleh tujuan untuk penciptaan keadilan dan kemampuan bagi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di bawah pengawasan guru. Ada dua jenis sekolah, yaitu sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Penyandang cacat tubuh pada dasarnya sama dengan manusia normal lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas. disebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan

SEKOLAH LUAR BIASA YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT (SLB YPAC) DI SEMARANG. (Penekanan Desain Arsitektur Post Modern) IDA ASTRID PUSPITASARI L2B

BAB I PENDAHULUAN. asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

1.7 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. norma yang mengatur kehidupannya menuju tujuan yang dicita-citakan bersama

- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sejak awal kemerdekaannya Bangsa Indonesia telah bercita-cita untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyandang disabilitas merupakan bagian dari anggota masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dan dirawat dengan sepenuh hati. Tumbuh dan berkembangnya kehidupan seorang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 1991 TENTANG PENDIDIKAN LUAR BIASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyandang cacat tubuh atau disabilitas tubuh merupakan bagian yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 / HUK / 2012 TENTANG

BENGKEL WIRAUSAHA SEBAGAI WADAH PENINGKATAN JIWA KEWIRAUSAHAAN BAGI WIRAUSAHA PENYANDANG TUNA DAKSA

BAB I PENDAHULUAN. kemanusiannya. Pendidikan dalam arti yang terbatas adalah usaha mendewasakan

DocuCom PDF Trial. Nitro PDF Trial BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN. kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan di dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode

BAB I PENDAHULUAN. ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki tubuh dan alat indera yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya selalu dilandasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dilaksanakan secara terarah, berkesinambungan dan realistis sesuai tahapannya

BAB I PENDAHULUAN. Masalah mengenai kependudukan merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

BAB I PENDAHULUAN. dibahas karena tidak hanya menyangkut kehidupan seseorang, tetapi akan

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN YANG BERPIHAK KEPADA PENYANDANG DISABILITAS DI KOTA BANDUNG. Disusun oleh: Tim STKS Bandung

BAB I PENDAHULUAN. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni melindungi

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2016 Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas. Nahar, SH, M.Si NIP

mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas umum Pemerintahan dan pembangunan dibidang kesejahteraan sosial dan keagamaan.

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 63 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS SOSIAL PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam. perkembangan individu yang berlangsung sepanjang hayat.

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di dunia ini khususnya di negara berkembang. Sekitar 1,29 milyar penduduk dunia

BAB I PENDAHULUAN.

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS

PMKS YANG MENERIMA BANTUAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. sosial lainnya. Krisis global membawa dampak di berbagai sektor baik di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. empat masa yaitu: masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja dan masa lanjut usia.

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan. Rumah Singgah Anak Mandiri

Pembangunan bidang Kesejahteraan Sosial merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan Nasional yang bertujuan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup penduduknya (life expectancy). Indonesia sebagai salah satu negara

BAB I PENDAHULUAN. adalah lingkungan pertama yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

halnya lansia yang bekerja di sektor formal. Hal ini menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh lanjut usia terlantar.

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

REDESAIN YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT (YPAC) SEMARANG. disusun oleh : KHOERUL UMAM L2B

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Pasal 26 ayat (3), yang menjelaskan bahwa pendidikan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

PEMERINTAH KABUPATEN PESISIR SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI PENYANDANG CACAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipenuhi. Hak dan kewajiban manusia sering

BAB I PENDAHULUAN. sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menghormati,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya. sebaliknya dalam individu berbakat pasti ditemukan kecacatan tertentu.

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

PEND. ANAK LUAR BIASA

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

BUPATI BANYUWANGI SALINAN

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang eksis hampir di semua masyarakat. Terdapat berbagai masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. Difabel atau kecacatan banyak dialami oleh sebagian masyarakat, baik

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 41 TAHUN 2013 TENTANG PENERAPAN DAN RENCANA PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. jalan maupun di berbagai tempat umum. Padahal dalam Pasal 34 Undang-Undang

2014 PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh jumlah penduduk. Hal ini sama dengan yang disampaikan oleh Badan

DINAS SOSIAL KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

3/8/2017. Dita Rachmayani, S.Psi., M.A dita.lecture.ub.ac.id / PENGGUNAAN ISTILAH

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya selalu dilandasi oleh tujuan untuk penciptaan keadilan dan kemampuan bagi seluruh rakyat. Penciptaan tujuan dimaksud diwujudkan melalui berbagai proses pembangunan di segala bidang yang saling terkait dan saling menunjang satu sama lain sebagai bagian dari pembangunan nasional. Salah satu diantaranya adalah Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan usaha yang terencana dan terarah yang meliputi berbagai bentuk intervensi dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial (Edi Suharto, 1997, 97). Pengertian tersebut berarti bahwa tujuan pembangunan kesejahteraan sosial mencakup seluruh masyarakat dan Bangsa Indonesia termasuk warga masyarakat yang menyandang masalah kesejahteraan sosial. Salah satu penyandang masalah kesejahteraan sosial sebagai sasaran dari pembangunan kesejahteraan sosial yaitu orang-orang yang berstatus penyandang cacat (Depsos RI, 1996, 17). Pembahasan dan upaya-upaya pemberdayaan penyandang cacat yang dilakukan di Indonesia dewasa ini, tidak terlepas dari adanya strategi 1

pembangunan sosial bagi kawasan ESCAP (Komisi Sosial Ekonomi bagi Kawasan Asia Pasifik) menjelang tahun 2000 dan masa sesudah itu oleh Konfrensi Tingkat Menteri Asia Pasifik ke-iv mengenai kesejahteraan sosial dan pembangunan sosial di Manila pada tahun 1991. Strategi tersebut ditujukan untuk meningkatkan mutu kehidupan seluruh warga masyarakat dalam kawasan ESCAP, dengan sasaran dasar yang hendak diwujudkan meliputi pengentasan kemiskinan, realisasi keadilan yang merata dan peningkatan partisipasi warga masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, strategi diarahkan khusus secara langsung menyentuh kelompok-kelompok dari segi sosial kurang beruntung atau rawan di kawasan Asia Pasifik termasuk warga penyandang cacat (Agenda Aksi Dasawarsa Penyandang cacat 1993-2003). Dengan ditetapkannya agenda aksi untuk penyandang cacat tersebut, maka segenap pemerintah di kawasan Asia Pasifik telah berkomitmen untuk terwujudnya peran serta penuh warga penyandang cacat. Indonesia sebagai salah satu anggota telah berupaya menetapkan berbagai kebijakan, program dan kegiatan dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat. Penanganan penyandang cacat di Indonesia hingga saat ini khusus dari pemerintah masih terbatas, sebagaimana dikemukakan Presiden Soeharto bahwa : 2

Kemampuan pemerintah untuk menyantuni para penyandang cacat masih terbatas, karena banyak masalah yang harus ditangani... Jumlah penyandang cacat di Indonesia cukup besar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Karena itu diperlukan biaya besar untuk meningkatkan kemampuan para penyandang cacat sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, produktif dan berkepribadian (Kompas, 1996) Keterbatasan sebagaimana tersebut di atas berkaitan pada penanganan penyandang cacat yang tidak merata diberbagai tempat, sehingga sampai sekarang masih terdapat penyandang cacat yang belum tersentuh oleh pembangunan itu sendiri. Populasi penyandang cacat menurut jenis kecacatan adalah sebagai berikut : Tabel 1. Populasi penyandang cacat menurut jenis kecacatan Sulawesi Selatan N0. Jenis Kecatatan Jumlah Persentase 1. Cacat tubuh/tuna Daksa 5.560 37,86 2. Cacat Mata/Tuna Netra 2.694 18,35 3. Cacat Rungu dan Wicara 318 2,17 4. Cacat Rungu 2.262 15,40 5. Cacat Mental/Tuna Grahita 1.926 13,11 6. Cacat Fisik dan Mental/Ganda 1.093 7,44 7. Cacat Jiwa 832 5,67 Jumlah 14.685 100 Sumber : Sulsel dalam Angka 2005 3

Dari jumlah di atas sebanyak 14.685 atau 72 persen orang berada di wilayah pedesaan sementara sisanya 28 persen berada di wilayah perkotaan. Dari persebaran ini, dengan keterbatasannya, pemerintah belum dapat menjangkau kedua wilayah tersebut secara keseluruhan, terutama wilayah pedesaan dimana populasi penyandang cacat jauh lebih besar. Kebijakan pemerintah dalam penanganan penyandang cacat, tertuang dalam Undang-undang No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, dan peraturan pemerintah nomor 43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial (UPKS) bagi penyandang cacat. Berdasarkan kedua landasan tersebut, dikemukakan bahwa pemerintah dan masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melakukan pembinaan demi kesejahteraan penyandang cacat. Untuk itu pemerintah dalam menjalankan tugas tersebut, masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk bersama-sama pemerintah atau oleh masyarakat itu sendiri melakukan kegiatan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat (pasal 23-25 UU No.4 tahun 1997). Sebagai wujud dari upaya masyarakat terhadap peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, berbagai kegiatan pemberdayaan yang bersumberdaya masyarakat terhadap penyandang cacat telah dilakukan diberbagai wilayah di Indonesia. Salah satu diantaranya yaitu kegiatan pemberdayaan penyandang cacat di Kabupaten Tana Toraja Sulawesi Selatan. Penanganan tersebut, mencakup berbagai upaya 4

pelayanan kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial, dimana penyandang cacat merupakan salah satu dari sasaran pelayanan tersebut. Peran Pemerintah Daerah memang sangat sentral dilihat dari sisi aksesibilitas fisik maupun nonfisik penyandang cacat. Kondisi riil para penyandang cacat selama ini dinilai belum mendapat kesempatan yang setara dengan masyarakat umum lainnya. Bahkan masyarakat pada umumnya masih meragukan dan belum mempercayai kemampuan para penyandang cacat untuk dilibatkan dalam berbagai aktivitas kehidupan, hal tersebut ditunjukkan ketika para penyandang cacat hendak melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum sering kali mendapat tanggapan kurang proporsional. Aksesibilitas bagi para penyandang cacat, aspek tersebut merupakan salah satu kebutuhan yang sangat mendasar, aspek tersebut merupakan salah satu yang perlu dicermati semua pihak dalam rangka mengangkat harkat dan martabat masyarakat penyandang cacat dalam kehidupan dan penghidupan berbangsa dan bernegara. Permasalahan penyandang cacat timbul karena adanya gangguan pada fisik mereka yang menghambat aktivitas-aktivitas sosial, ekonomi maupun politik sehingga mengurangi haknya untuk beraktivitas penuh dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Untuk memecahkan pokok permasalahan tersebut diperlukan dua pendekatan dasar yaitu memberdayakan mereka melalui usaha-usaha rehabilitasi pendidikan, 5

bantuan usaha, dan sebagainya. Melalui upaya itu akan dicapai kondisi ilmiah, mental sosial, serta meningkatnya pengetahuan dan keterampilan sebagai modal dasarnya sehingga nantinya penyandang cacat tidak lagi sebagai objek, tetapi dijadikan subjek dalam pembangunan. Di samping itu yang tak kalah penting, mereka harus mendapat dukungan lingkungan serta tersedianya aksesibilitas fisik maupun nonfisik. Aksesibilitas nonfisik yang sangat utama adalah penerimaan masyarakat yang sampai saat ini masih kurang kondusif. Secara ideal pemberdayaan penyandang cacat melalui Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah melalui instansi terkait dan masyarakat, kondisi riil dilapangan peran pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah masih jauh dari apa yang diharapkan. Program dilaksanakan dalam bentuk pembinaan wilayah dalam hal pencegahan, deteksi, dan rehabilitasi penyandang cacat yang meliputi rehabilitasi medis yang seharusnya menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan, pendidikan dan keterampilan menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan Nasional serta dampak sosial yang ditimbulkan akibat Kondisi kecacatan menjadi tanggung jawab Dinas Sosial yang lebih banyak berperan selama ini. Pembinaan berarti pemindahan pengetahuan dan kemampuan kepada penyandang cacat, keluarga dan masyarakat sehingga secara bersama-sama dan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada mampu melaksanakan pemberdayaan terhadap penyandang cacat. 6

Walaupun peran pemerintah belum maksimal upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka penanganan terhadap penyandang cacat di atas, telah dilakukan oleh lembaga bentukan masyarakat yakni lembaga Gereja Toraja melalui Pengurus Pusat Persekutuan Wanita Gereja Toraja (PP PWGT) dengan dukungan Dinas Sosial. Program ini ditujukan untuk usia di bawah 20 tahun, meliputi pembinaan kepada penyandang cacat bisu tuli, tuna netra, bibir sumbing, cacat fisik, keterlambatan mental, epilepsy dan sebagainya tanpa memandang perbedaan Suku, Agama, dan asal usul penyandang. Dalam kiprahnya sejak tahun 1994 sampai dengan sekarang, program ini telah membina sebanyak 242 anak dari 22 desa di Kabupaten Tana Toraja. Berdasarkan telaah dari latar belakang di atas, diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam lagi tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat, melalui kegiatan rehabilitasi bersumberdaya masyarakat (RBM). Dengan merujuk pada dasar berpikir tersebut, peneliti merumuskan penelitian dengan judul Pemberdayaan Penyandang Cacat Melalui Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat. (Studi Kasus Pelaksanaan Pemberdayaan Terhadap Tujuh Orang Penyandang Cacat Melalui Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat di Kabupaten Tana Toraja). 7

B. Masalah Penelitian Keterbatasan pemerintah dalam menangani penyandang cacat, berakibat pada tidak meratanya penanganan penyandang cacat yang ada. Kondisi tersebut menumbuhkan peranan dan tanggung jawab dari masyarakat untuk turut serta melakukan pelayanan terhadap penyandang cacat, yang diwujudkan dalam suatu kegiatan rehabilitasi bersumberdaya masyarakat (RBM) sebagai wadah pemberdayaan penyandang cacat dengan memanfaatkan potensi dan sumber yang tersedia di masyarakat. Pelaksanaan pemberdayaan penyandang cacat melalui RBM mengalami banyak hambatan secara operasional diantaranya partisipasi pemerintah yang belum memadai serta keterbatasan kemampuan pengelola dan kader RBM dalam melaksanakan proses pemberdayaan penyandang cacat agar bisa hidup secara wajar dan mencapai taraf kesejahteraan sosial yang memadai. Penelitian ini mencoba mengkaji pelaksanaan RBM di kecamatan Rantepao Tana Toraja dengan ruang lingkup sebagai berikut : 1. Bagaimana latar belakang dan karakteristik kecacatan penyandang cacat di kecamatan Rantepao Tana Toraja? 2. Bagaimana kondisi ketidakberdayaan yang dihadapi penyandang cacat di kecamatan Rantepao Tana Toraja? 3. Bagaimana pelaksanaan pemberdayaan penyandang cacat yang dilakukan di dalam keluarga dan masyarakat di kecamatan Rantepao Tana Toraja? 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini mencoba mengetahui pengaruh progran terhadap pemberdayaan penyandang cacat dengan meneliti implementasi, mekanisme, bentuk dan hasil pendekatan dalam program RBM dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang tersedia di masyarakat yang dirinci dalam tujuan penelitian sebagai berikut : a. Memberikan gambaran mengenai latar belakang dan karakteristik kecacatan penyandang cacat. b. Mendeskripsikan kondisi ketidakberdayaan yang dihadapi penyandang cacat. c. Mendeskripsikan pelaksanaan pemberdayaan penyandang cacat yang dilakukan di dalam keluarga dan masyarakat. 2. Kegunaan Penelitian Secara teoritis, penelitian tentang pemberdayaan penyandang cacat melalui program RBM memberikan manfaat dan kontribusi teoritis, metodologis, dan empiris bagi kepentingan akademis di sosiologi khususnya bidang kesejahteraan sosial. Secara praktis, penelitian tentang pemberdayaan penyandang cacat melalui program RBM, dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi : a. Bahan referensi bagi terutama pengambil kebijakan dalam peningkatan kesejahteraan sosial para penyandang cacat. 9

b. Bahan referensi dan sekaligus merangsang minat peneliti lain untuk mengkaji masalah ini secara lebih mendalam lagi. c. Bahan referensi dalam rangka pengembangan khazanah ilmu pengetahuan terutama yang terkait dengan kajian kesejahteraan sosial. 10