BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN A. Pembahasan Pada bab ini penulis akan membahas tentang kesenjangan teori dan proses asuhan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 7-9 Agustus 2014 di Ruang Prabu Kresna RSUD Kota Semarang, yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan yang muncul, intervensi, implementasi dan evaluasi. 1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahapan awal dan landasan dalam proses asuhan keperawatan, oleh karena itu diperlukan ketepatan dan ketelitian dalam mengenali masalah-masalah yang muncul pada klien sehingga dapat menentukan tindakan keperawatan yang tepat (Muttaqin, 2008). Pengkajian pada Tn. Ydengan diagnosa fraktur femur tertutup 1/3 dextrapasca operasi dilakukan pada tanggal 7 Agustus 2014 pukul 16.00 WIB.Pengkajian dilakukan dengan menggunakan metode wawancara observasi, pemeriksaan fisik dan catatan rekam medis. Menurut Smeltzer & Bare (2002), masalah yang sering muncul segera setelah tindakan pembedahan dan pasien telah sadar adalah bengkak, nyeri, keterbatasan gerak sendi, penurunan kekuatan otot dan penurunan kemampuan untuk melakukan ambulasi. Nyeri yang timbul tersebut akan berpengaruh terhadap proses pemulihan yang memanjang, terhambatnya ambulasi dini, penurunan fungsi sistem, dan terlambatnya discharge planning. Selain itu nyeri berkepanjangan akan berpengaruh 44
45 terhadap peningkatan level hormon stres yang dapat meningkatkan efek negative yang signifikan. Respon stres dapat miningkatkan laju metabolism dan curah jantung, kerusakan respons insulin, peningkatan produksi kortisol,peningkatan viskositas darah dan agregrasi trombosit sehingga berpengaruh langsung terhadap proses penyembuhan luka (Smeltzer & Bare, 2002). Berdasarkan hasil pengkajian pola persepsi sensori pasien tidak mengalami gangguan sensori seperti: penglihatan, pengecapan, penciuman, perabaan, dan pendengaran, akan tetapi secara subjektif klien mengeluh nyeri pada pada kaki kanan, nyeri senut-senut seperti tertusuk jarum dengan skala nyeri 7 (rentang 0-10), nyeri hilang timbul dan bertambah kuat ketika digerakkan. Secara objektif didapatkan data bahwa tekanan darah 130/80 mmhg, nadi 84 kali permenit dan pernafasan sebanyak 22 kali permenit ekspresi wajah tegang seperti menahan rasa sakit. Gejala yang dirasakan pada klien pasca operasi berupa kesakitan adalah hal yang wajar, karena menurut Smeltzer&Bare (2002) masalah yang sering muncul pasien pasca pembedahan adalah nyeri, bengkak, keterbatasan gerak sendi, penurunan kekuatan otot dan penurunan kemampuan untuk melakukan ambulasi secara mandiri. Selain itu, dasar pembedahan itu sendiri adalah proses fisik seperti insisi, pemotongan jaringan, pengambilan jaringan pemasangan implant yang akan menstimulasi ujung saraf bebas termasuk reseptor nyeri
46 (Rowlingson, 2009). Tindakan pembedahan pemasangan pen (skrup) pada fraktur disebut dengan ORIF atau open reduction internal fixation dimana dilakukan tindakan untuk melihat fraktur secara langsung dengan pembedahan untuk memobilisasi selama penyembuhan dan akan menimbulkan masalah berupa nyeri (Barbara,2006). Pada pola aktivitas dan latihan, klien menyampaikan bahwa selama sakit klien mengalami kesulitan melakukan pergerakan (ambulasi) dan aktivitas lainnya dikarenakan nyeri dan gerak yang terbatas, semua bentuk aktivitas klien dibantu oleh keluarga. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Ropyanto (2011) yang menyatkan bahwa pasien fraktur post ORIF akan mengalami gangguan mobilitas fisik dan ambulasi karena adanya perubahan kekuatan dan ketahanan skunder terhadap kerusakan muskoskeletal akibat fraktur dan prosedur pembedahan. Hasil pemeriksaan fisik khususnya pada daerah fraktur didapatkan bahwa pada bagian femur dextra terdapat balutan luka post operasi yang dibalut dengan perban elastis. Penulis tidak dapat melihat luka jahitan post operasi secara rinci dikarenakan pada saat pengkajian awal pengkajian belum dilakukan perawatan luka. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan yangmenggambarkan respon aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan. Respon tersebut didapatkan berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan serta
47 berdasarkan catatan medis klien. Diagnosa keperawatan yang muncul akan menjadi dasar utama perawat dalam menyusun intervensi untuk menyelesaikan masalah kesehatan klien (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan data hasil pengkajian pada Tn.Y didapatkan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan akibat cidera jaringan. Diagnosa nyeri akut tersebut ditegakkan berdasarkan data subjektif dimana klien mengeluh nyeri pada pada kaki kanan, nyeri senut-senut seperti tertusuk jarum dengan skala nyeri 7 (rentang 0-10), nyeri hilang timbul dan bertambah kuat ketika digerakkan. Secara objektif didapatkan data bahwa terdapat balutan dengan elastis perban pada femur dextra, tekanan darah 130/80 mmhg, nadi 84 kali permenit dan pernafasan sebanyak 22 kali permenit ekspresi wajah tegang seperti menahan rasa sakit. Penulis memilih nyeri akut menjadi diagnosa keperawatan dengan high priority (prioritas pertama) yang harus diselesaikan dikarenakan nyeri merupakan kejadian yang menekan (stress) dan dapat merubah gaya hidup dan psikologis seseorang. Hal ini berakibat meningkatkan tanda-tanda vital, denyut jantung akan lebih cepat, tekanan darah naik, pernafasan meningkat serta menimbulkan kecemasan. Menurut penulis jika nyeri ini tidak segera diatasi akan mengganggu proses pelaksanaan keperawatan lainnya dan memperlambat proses penyembuhan. Diagnosa nyeri akut ditegakkan berdasarkan teori dalam NANDA 2012-2014
48 dengan kode 00132 yang diartikan sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal sedemikin rupa, kemudian awitan dinyatakan sebagai nyeri akut adalah awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan sedang sampai berat yang sekiranya dapat diatasi dalam waktu kurang dari 6 bulan. Etiologi dianggkat berdasarkan faktor yang berhubungan dalam nanda yaitu proses peradangan dimana dalam kasus fraktur yang dialami Tn. Y ini nyeri yang muncul adalah proses peradangan akibat cidera jaringan (Smeltzer& Bare, 2002). 3. Perancanaan atau Intervensi Intervensikeperawatan merupakan kategori perilaku perawat yang bertujuan menentukan rencana keperawatan yang berpusat kepada pasien sesuai dengan diagnosa yang ditegakkan sehingga tujuan tersebut terpenuhi (Potter & Perry, 2005). Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menyusun intervensi berdasarkan Nursing Intervension Clasification (NIC) dan Nursing Outcame Clasifikasin (NOC). Intervensi keperawatan yang disusun untuk mengatasi diagnosa nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan akibat cidera jaringandisusun berdasarkan NOC yaitu setelah dilakukan keperawatan selama 3 x 24 jam maka nyeri terkontrol dengan kriteria hasil pasien mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri berkurang dari 7 menjadi 5 dan tanda tanda vital dalam batas normal. Intervensi keperawatan yang
49 disusun adalah dengan managemen nyeri dimana dalam NIC berkode 1400 yang meliputi: kaji nyeri (lokasi, durasi, karakteristik, frekuensi, intensitas, factor pencetus), observasi tanda non verbal dari ketidaknyamanan, memonitor tanda tanda vital, kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien, ajarkan tehnik non farmakologis kepada pasien dan keluarga: relaksasi nafas dalam, distraksi, dan kolaborasi medis (pemberian analgetik). Tehnik relaksasi nafas dalam menjadi fokus utama penulis dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap masalah nyeri akut yang dialami Tn. Y. Berdasarkan teori tehnik relaksasi nafas dalam merupakan salah satu bentuk intervensi asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah nyeri, terutama nyeri yang bersifat akut dan sedang (McCloskey, 2000). Dalam intervensi ini perawat mengajarkan bagaimana cara melakukan nafas dalam lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan menghembuskan nafas secara perlahan melalui mulut. Selain itu tehnik relaksasi nafas dalam dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi dalam darah (Smeltzer &Bare, 2002). Relaksasi juga merupakan metode yang efektif dalam mengurangi nyeri pasca operasi. Relaksasi yang sempurna dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh kecemasan sehingga mencegah bertambahnya kualitas nyeri (Potter & Perry, 2010). Oleh karena itu diharapkan masalah nyeri akut pasca pembedahan segera dapat teratasi agar resiko komplikasi akibat
50 immobilisasi tidak terjadi dan program rehabilitasi dapat diterapkan sesuai program. Adapun prosedur tehik relaksasi nafas dalam yang diajarkan adalah menurut Priharjo tahun 2003 meliputi: a. Usahakan rileks dan tenang. b. Menarik nafas yang dalam melalui hidung dengan hitungan 1,2,3, kemudian tahan sekitar 5-10 detik. c. Hembuskan nafas melalui mulut secara perlahan-lahan. d. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskannya lagi melalui mulut secara perlahan-lahan. e. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang. f. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali. 4. Implementasi Implementasi keperawatan merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang telah dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2005). Diagnosa nyeri akut implementasi pertama dilakukan dengan mengukur kualitas nyeri pasien dengan PQRST dan didapatkan hasil P (provoking incident) klien mengeluh nyeri pada pada kaki kanan, Q (quality) nyeri senut-senut seperti tertusuk jarum, R (region) kaki (femur) sebelah kanan dengan S (scale) skala nyeri 7, T (time) nyeri hilang timbul dan bertambah kuat ketika digerakkan.
51 Respon non-verbal nampak klien meringis menahan rasa sakit dengan wajah tegang dan bertambah kesakitan sesaat dilakukan pergerakan pada kaki sebelah kanan. Memonitor tanda-tanda vital dengan respon tekanan darah 130/80 mmhg, nadi 84 kali per menit dan pernafasan 22 kali permenit. Tanda-tanda vital tersebut dilakukan untuk memberikan gambaran lengkap mengenai kardiovaskuler. Memonitor tanda-tanda vital merupakan suatu cara untuk mendeteksi adanya perubahan system tubuh dan digunakan untuk memantau perkembangan pasien (Hidayat, 2005). Tindakan selanjutnya adalah mengajarkan tehnik relaksasi pada pasien. Respon yang ditunjukan pasien adalah pasien mengikuti apa yang diajarkan. Tehnik relaksasi yang diajarkan adalah dengan berdasarkan penelitian yang dilakukan Nurdin (2013) dan Priharjo (2003),yaitu dengan menciptakan suasana lingkungan yang tenang, usahakan pasien tetap tenang dan rileks, menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui hitungan, perlahan-lahan udara tersebut dihembuskan melalui mulut sambil merasakan bahwa semua tubuh terasa rileks, usahan tetap konsentrasi dan lakukan kegiatan tersebut sampai 15 kali dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali (Priharjo, 2003; Nurdin, 2013). Tindakan lain adalah dengan kolaborasi medis dalam pemberian analgetik ketorolac 30 mg secara iv (intra vena) untuk mengurangi nyeri pasien. Pemberian ketorolac sesuai berdasarkan data dari website resmi
52 dexa medica dijelaskan bahwa ketorolac 30 mg merupakan salah satu analgetik yang diindikasikan untuk penatalaksanaan nyeri akut yang berat dalam jangka waktu yang pendek. 5. Evaluasi Evaluasi merupakan suatu proses keperawatan untuk mengukur respon pasien terhadap kefektifan pemberian tindakan keperawatan dan kemajuan pasien terhadap tercapainya tujuan yang telah disusun (Potter & Perry, 2005). Pada kasus Tn. Y evaluasi dilakukan pada tanggal 9 Agustus 2014 pukul 12.30 WIB dengan metode SOAP (subjektif, Objektif, Analisa, dan Planning). Hasil evaluasi pada Tn.Y didapatkan data bahwa klien mengatakan nyeri sudah berkurang pada kaki kanan post operasi (P) dengan kualitas nyeri senut senut seperti ditusuk benda tajam (Q), pada daerah kaki kanan atas (femur) (R), dengan skala berkurang menjadi 5 (S), dan nyeri hilang timbul (T). Data objektif yang didapatkan adalah pasien nampak lebih tenang dan rileks dengan tekanan darah 130/70 mmhg, Nadi 72 kali permenit, pernafasan 20 kali permenit dan suhu 36.7 0 C. Berdasarkan data tersebut maka masalah keperawatan nyeri akut pada Tn.Y dinyatakan teratasi sebagian yang ditandai dengan menurunnya intensitas nyeri dari skala 7 menjadi 5 dengan tanda-tanda vital dalam rentang normal. Dapat dinyatakan juga bahwa tehnik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas nyeri pada Tn. Y dengan fraktur post operasi. Rencana tindak lanjut yang disusun adalah tetap memonitor kualitas nyeri, motivasi untuk melakukan relaksasi jika
53 nyeri datang dan memberikan pendidikan kesehatan mengenai nyeri dalam proses rehabilitasi berikutnya. B. Simpulan Berdasarakan hasil pengelolaan kasus keperawatan pada Tn. Y dengan masalah nyeri akut post operasi fraktur tertutup 1/3 femur dekstra di Ruang Prabu Kresna RSUD Kota Semarang, didapatkan suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari pengkajian yang telah dilakukan bahwa Tn. Y merupakan pasien fraktur tertutup femur post tindakan operasi (ORIF) hari ke 1 pasien menyampaikan merasakan nyeri pada kaki kanan, terasa senut-senut seperti tertusuk jarum dengan skala 7 (rentang 0-10) yang dirasakan hilang timbul. 2. Diagnosa keperawatan utama yang muncul pada Tn. Y adalah Nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan akibat cidera jaringan. 3. Intervensi keperawatan disusun berdasarkan NIC dan NOC dimana intervensi yang disusun untuk mengatasi masalah nyeri akut adalah dengan pain management yang meliputi pengkajian kualitas nyeri pasien (PQRST), monitoring tanda-tanda vital, pengajaran tehnik relaksasi nafas dalam, memberikan posisi nyaman dan kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.
54 4. Implementasi keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi nyeri adalah lebih berfokus pada monitoring kualitas nyeri, tehnik relaksasi (nafas dalam) memonitor tanda-tanda vital dan pemberian analgesic. 5. Evaluasi menggunakan metode SOAP dimana pada masalah nyeri akut teratasi sebagian yang ditandai dengan sudah menurunnya skala nyeri dari 7 menjadi 5 dan tanda-tanda vital dalam rentang normal sehingga dapat disimpulkan bahwa aplikasi tehnik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas nyeri pada pasien fraktur pasca operasi.