BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pragmatik merupakan salah satu ilmu yang dimasukkan dalam kurikulum tahun Ilmu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KERANGKA TEORI. ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi

BAB II KAJIAN TEORI. Fraser dalam Irawan (2010:7) mendefinisikan kesopanan adalah property

II. LANDASAN TEORI. Implikatur percakapan, lazim disebut implikatur, adalah implikasi pragmatis yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. sesuatu yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat

II. LANDASAN TEORI. bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Adapun hal-hal yang akan dibahas

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antarpesona dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan bukan

II. LANDASAN TEORI. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang memiliki kaitan dengan penelitian ini,

BAB 2 IHWAL PRAGMATIK: PRINSIP KERJA SAMA, KESOPANAN DAN TINDAK TUTUR. Berbicara mengenai maksud tuturan dalam melakukan tugas dari petugas

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L.

II. LANDASAN TEORI. semantik atau ilmu makna. Dalam banyak hal penggambaran relasi-relasi dalam

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik yang digagasi oleh Austin

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah pemikiran rancangan suatu karya dasar yang ada diluar bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. (Alwi, dkk. 203:588). Sesuai dengan topik dalam tulisan ini digunakan beberapa

BAB II KAJIAN TEORI. keakuratan data. Teori-teori tersebut adalah teori pragmatik, aspek-aspek situasi

II. LANDASAN TEORI. Istilah implikatur diturunkan dari verba to imply yang berarti menyatakan sesuatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf yang bernama

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Penggunaan bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sejak diberlakukannya kurikulum 1984 dalam pembelajaran bahasa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. manusia satu dengan lainnya. Manusia pasti menggunakan bahasa untuk

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI,2007:588).

TINDAK TUTUR EKSPRESIF PADA FILM MIMPI SEJUTA DOLAR KARYA ALBERTHIENE ENDAH. Suci Muliana Universitas Sebelas Maret (UNS)

BAB 2 PRAGMATIK DAN PROGRAM TV BERSAMA ROSSY. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik memiliki berbagai cabang disiplin ilmu. Cabang-cabang

LANDASAN TEORI. Penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan baik dan lancar karena

ANALISIS PRAGMATIK PELANGGARAN TINDAK TUTUR GURU DI SMA LENTERA

BAB I PENDAHULUAN. situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang. menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang

UNGKAPAN PENERIMAAN DAN PENOLAKAN DALAM BAHASA INDONESIA. Nur Anisa Ikawati Universitas Negeri Malang

I. PENDAHULUAN. satu potensi mereka yang berkembang ialah kemampuan berbahasanya. Anak dapat

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, harapan, pesan-pesan, dan sebagainya. Bahasa adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup, terutama bagi kehidupan manusia. Setiap manusia akan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan,

PRAGMATIK. Penjelasan. Sistem Bahasa. Dunia bunyi. Dunia makna. Untuk mengkaji pragmatik... Contoh-contoh sapaan tersebut...

BAB II LANDASAN TEORI. Show Campur-Campur di Stasiun Televisi ANTV memiliki dua penelitian yang

LANDASAN TEORI. bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech dalam Wijana, 2010:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pelaksanaan Tindak Ujaran. Dwiyanti Nandang ( ) Meita Winda Lestari ( ) Pamela Yunita Sari ( ) Riza Indah Rosnita ( )

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyampaikan pikiran, perasaan kepada orang lain. demikian, bahasa juga mempunyai fungsi sebagai alat kekuasaan.

BAB II KAJIAN TEORI. pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Menurut

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Austin dalam buku yang berjudul How to Do Things with Words) Pertama kali

TINJAUAN PRAGMATIK TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM SCRIP ADA APA DENGAN CINTA? KARYA RUDI SOEDJARWO

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang

TUTURAN IKLAN KECANTIKAN PADA MAJALAH KARTINI DALAM KAJIAN PRAGMATIK

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah: 1) rancangan atau buram surat, dsb; 2) ide atau pengertian

TINDAK TUTUR DAN KESANTUNAN BERBAHASA DI KANTIN INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

Oleh: Wenny Setiyawan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhamadiyah Purworejo

I. PENDAHULUAN. Manusia umumnya mempunyai bidang keahlian untuk menunjang kelangsungan

BAB 2 IHWAL TINDAK TUTUR, STRATEGI MENGKRITIK, PRINSIP KERJA SAMA, DAN PRINSIP KESANTUNAN

BAB I PENDAHULUAN. pertimbangan akal budi, tidak berdasarkan insting. dan sopan-santun non verbal. Sopan-santun verbal adalah sopan santun

BAB I PENDAHULUAN. sekolah, sidang di pengadilan, seminar proposal dan sebagainya.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

Jurnal Sasindo Unpam, Volume 3, Nomor 3, Desember 2015 PELANGGARAN PRINSIP-PRINSIP KESOPANAN PADA MEMO DINAS DI SALAH SATU PERGURUAN TINGGI DI BANTEN

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling

TINDAK TUTUR GURU DAN SISWA SMP PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DAN IMPLIKASINYA

PERBANDINGAN KESANTUNAN DI PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN (Sebuah Strategi Kesantunan antara Penjual kepada Pembeli)

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Tesis ini membahas tentang pelanggaran maksim-maksim prinsip

MAKSIM PELANGGARAN KUANTITAS DALAM BAHASA INDONESIA. Oleh: Tatang Suparman

BAB 2 IKHWAL PRAGMATIK, TINDAK TUTUR, PRINSIP KERJA SAMA, DAN IMPLIKATUR PERCAKAPAN

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar

BAB I PENDAHULUAN. bahasa tulis salah satu fungsinya adalah untuk berkomunikasi. Bahasa tulis dapat

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Chaer (2010:14)

BAB I PENDAHULUAN. Cara pengungkapan maksud dan tujuan berbeda-beda dalam peristiwa

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Tindak Tutur Direktif Guru dalam Komunikasi Proses Belajar

TINDAK TUTUR ILOKUSI TOKOH KAKEK DALAM FILM TANAH SURGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar BelakangPenelitian. Manusia dalam kesehariannya selalu menggunakan bahasa. Dengan bahasa,

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA PADA PERCAKAPAN SISWA KELAS IX SMP NEGERI 3 GEYER

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Prinsip Kerjasama Dan Kesantunan Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Dengan Pendekatan Saintifik

BAB II LANDASAN TEORI

TINDAK TUTUR EKSPRESIF PADA INTERAKSI PEMBELAJARAN GURU DAN SISWA KELAS 1 SD TAHUN AJARAN 2011/2012

BAB II LANDASAN TEORI. tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak pernah dapat dilepaskan dari

Jurnal Cakrawala ISSN , Volume 7, November 2013 TINDAK TUTUR PENERIMAAN DAN PENOLAKAN DALAM BAHASA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi. Menurut Chaer (2007) tuturan dapat diekspresikan melalui dua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri di dunia ini, manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, mulai dari sarana untuk menyampaikan informasi, memberi perintah, meminta

BAB I PENDAHULUAN. mendalam adalah pragmatik. Pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. seseorang menggunakan kata-kata kerja promise berjanji, apologize minta

BAB I PENDAHULUAN. selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai. sebuah tuturan dengan maksud yang berbeda-beda pula.

Realisasi Tuturan dalam Wacana Pembuka Proses Belajar- Mengajar di Kalangan Guru Bahasa Indonesia yang Berlatar Belakang Budaya Jawa

BAB I PENDAHULUAN. gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh

REALISASI TINDAK TUTUR DIREKTIF MEMINTA DALAM INTERAKSI ANAK GURU DI TK PERTIWI 4 SIDOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. berupasistemlambangbunyiujaranyang kompleks dan aktif. Kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat untuk menyampaikan pesan, ungkapan perasaan, dan emosi

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Peristiwa Tutur Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam tuturannya (Chaer dan Leoni. 1995:65).

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana,

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa

I. PENDAHULUAN. sangat berperan penting di samping bahasa tulis. Percakapan itu terjadi apabila

BAB I PENDAHULUAN. kebencian. Benci (a) ialah sangat tidak suka dan kebencian (n) ialah sifat-sifat benci

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN OLAHRAGA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG

KESANTUNAN BERTUTUR DIALOG TOKOH DALAM FILM SANG PENCERAH KARYA HANUNG BRAMANTYO. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. karena bahasa merupakan sistem suara, kata-kata serta pola yang digunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan tindak tutur (speech act) dalam wacana pertuturan telah banyak

BAB I PENDAHULUAN. identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Pragmatik Pragmatik merupakan salah satu ilmu yang dimasukkan dalam kurikulum tahun 1994. Ilmu pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan yang harus diberikan dalam pengajaran bahasa. Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu laporan pemahaman bahasa (Levinson dalam Tarigan, 1986: 33). Dalam penelaahannya, pragmatik meliputi aspek penutur, mitra tutur, tujuan tutur dan tuturan sebagai kegiatan tindak tutur. Sementara itu, Jacob L. Mei (1983) dalam Rahardi (2005) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu sendiri. Di pihak lain, Wijana (2003) juga mengemukakan bahwa pragmatik adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Yang lebih dipentingkan dalam studi pragmatik adalah maksud pembicara (speaker sense) bukan makna satuan lingual yang bersangkutan (linguistic sense). 1.2 Tindak Tutur

Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya.austin dalam buku yang berjudul How to Do Things with Words tahun 1962, pertama kali mengemukakan istilah tindak tutur (speech act). Austin mengemukakan bahwa aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu. Pendapat Austin ini didukung oleh Searle (2001) dengan mengatakan bahwa unit terkecil komunikasi bukanlah kalimat, melainkan tindakan tertentu, seperti membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, dan permintaan. Dalam uraian selanjutnya, Austin mengklasifikasikan tindak tutur atas tiga klasifikasi, yaitu (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi (Rusminto, 2010: 22). 2.2.1 Tindak Lokusi (locutionary act) Tindak lokusi adalah tindak proposisi yang berada pada kategori mengatakan sesuatu (an act of saying something). Oleh karena itu, yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Leech (1983: 176) menyatakan bahwa tindak lokusi ini lebih kurang dapat disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna dan acuan. Tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif mudah untuk diidentifikasi karena tindak lokusi hanya berupa ujaran saja tanpa disertai efek terhadap mitra tuturnya. Kekuatan lokusi adalah makna dasar dan makna referensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu. Contoh tindak lokusi: (1) Bajumu bagus sekali.

Tuturan (1) jika ditinjau dari segi lokusi memiliki makna sebenarnya, seperti yang tertulis di atas, dari segi lokusi kalimat di atas mengatakan atau menginformasikan sebuah pernyataan bahwa baju itu bagus sekali (makna dasar). 2.2.2 Tindak Ilokusi (illocutionary act) Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung daya untuk melakukan tindakan tertentu dalam hubungannya dengan mengatakan sesuatu (an act of doing something saying something). Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi dibandingkan dengan tindak lokusi. Hal itu terjadi karena tindak ilokusi harus mempertimbangkan siapa penutur dan mitra tuturnya, kapan dan di mana tuturan terjadi, serta konteks tuturan dalam situasi tutur. Oleh karena itu, tindak ilokusi merupakan bagian penting dalam memahami tindak tutur. Tindak ilokusi dapat diidentifikasi sebagai tindak tutur yang berfungsi untuk menginformasikan sesuatu dan melakukan sesuatu. Contoh tindak ilokusi: (2) Saya Haus Tuturan (2) penutur ingin menginformasikan bahwa saya haus dan ingin minum. Dengan demikian, tindak ilokusi tersebut menekankan pentingnya pelaksanaan isi ujaran bagi penuturnya. Leech (1983: 104) mengklasifikasikan berdasarkan hubungan fungsi tindak ilokusi dengan tujuan sosialnya dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: a. Kompetitif (competitive), seperti memerintah, meminta, menuntut, mengemis; b. Menyenangkan (convival) seperti menawarkan, mengajak, mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat;

c. Bekerja sama (collaborative), seperti menyatakan, melapor, mengumumkan, mengajarkan; d. Bertentangan (conflictive), seperti mengancam, menuduh, menyumpahi, memarahi. Di pihak lain J. R. Searle dalam (Leech, 1983: 106) mengklasifikasikan tindak ilokusi ke dalam lima kriteria, yaitu: a. Asertif (assertive), yakni ilokusi yang melibatkan penutur pada kebenaran proposisi yang diujarkan, misalnya menyatakan, memberitahukan, mengusulkan, mengeluh, melaporkan. Contoh kalimat asertif: (3) Aku cinta padamu. Tuturan (3) berupa pernyataan untuk memberitahukan kepada mitra tutur bahwa penutur menyatakan cinta kepada mitra tutur. b. Direktif (derictive), yakni ilokusi yang bertujuan menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur, misalnya memesan, memerintah, meminta, memohon, menanyakan, memohon, menyarankan, dan memberi nasihat. Contoh kalimat direktif: (4) Silahkan duduk! Tuturan (4) merupakan kalimat direktif memerintah, pada tuturan di atas penutur menghendaki mitra tutur menghasilkan sesuatu tindakan untuk segera duduk. c. Komisif (commissive), yakni ilokusi yang melibatkan penutur pada suatu tindakan yang akan datang, misalnya bersumpah, menjanjikan, menawarkan, berkaul/bernazar. Contoh kalimat komisif: (5)Saya akan melamarmu bulan depan.

Tuturan (5) berupa komisif menjanjikan, tuturan yang berupa janji untuk segera melamar. Pada kalimat di atas penuturnya terikat pada suatu tindakan di masa yang akan datang berupa janji untuk segera melamar. d. Ekspresif (expressive), yakni ilokusi yang berfungsi untuk mengungkapkan sikap psikologis/mental penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memaafkan, menyalahkan, memuji, berbela sungkawa. Contoh kalimat ekspresif: (6)Mahasiswi itu cantik sekali. Tuturan (6) berupa ekspresif memuji yang mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi. e. Deklaratif (declaration), yakni ilokusi yang digunakan untuk memastikan kesesuaian antara isi proposisi dengan kenyataan, misalnya memberi nama, memecat, membaptis, menjatuhkan hukuman, mengangkat, menentukan, mengucilkan, menunjuk. Contoh kalimat deklaratif: (7)Dengan ini Anda saya nyatakan lulus. Tuturan (7) berupa ilokusi deklaratif, kalimat di atas mengubah status seseorang dari keadaan belum lulus menjadi lulus. 2.2.3 Tindak Perlokusi (Perlokutionary act) Tindak perlokusi adalah efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap mitra tutur, sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi tuturan. Levinson (dalam Rusminto 2009:70) menyatakan bahwa tindak perlokusi lebih mementingkan hasil, sebab tindak ini

dikatakan berhasil jika mitra tutur melakukan sesuatu yang diinginkan oleh penutur. Tindak perlokusi disebut sebagai The Act Of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang memunyai daya pengaruh (perlokutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek yang timbul bisa saja sengaja maupun tidak sengaja. Contoh tindak perlokusi: (8) Ardi, matikan radio itu! Cepat!. Tuturan (8) adalah tuturan seorang kakak yang merasa terganggu dengan ulah adiknya yang mengeraskan radionya, karena dia lagi belajar. Dampak bagi mitra tutur, adalah Ardi akan segera mematikan radionya. 1.3 Peranan Mitra Tutur dalam Peristiwa Tutur Holmes (dalam Rusminto 2010: 50-55) menyatakan bahwa variasi penggunaan bahasa dalam sebuah interaksi, di antaranya juga ditentukan oleh dimensi-dimensi sosial. Dimensi-dimensi sosial tersebut meliputi empat skala sebagai berikut. 1. Skala Jarak Sosial Jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, antara lain tampak dari tingkat keakraban hubungan antara penutur dan mitra tutur tersebut. Tingkat keakraban ini pada umumnya sangat ditentukan oleh intensitas hubungan antara penutur dan mitra tutur. Intensitas hubungan yang tinggi antara penutur dan mitra tutur akan membuat tingkat keakraban hubungan menjadi sangat dekat. Sebaliknya, intesitas hubungan yang rendah cenderung menghasikan tingkat keakraban hubungan menjadi sangat jauh.

Dalam hal ini, Leech (1983) menyatakan bahwa jarak sosial antara penutur dan mitra tutur sangat menentukan pilihan tuturan yang digunakan dalam berkomunikasi. Untuk berkomunikasi dengan mitra tutur yang tingkat kedekatan hubungannya termasuk dalam kategori jauh (tidak akrab) diperlukan tuturan yang cenderung mematuhi prinsip-prinsip sopan santun. Sebaliknya dalam berkomunikasi dengan mitra tutur yang termasuk dalam kategori hubungan sangat dekat (akrab) cenderung tidak diperlukan tuturan yang memenuhi prinsip-prinsip sopan santun. Dalam kaitan dengan ini, jarak sosial antara penutur dan mitra tutur terutama dapat dilihat dari tingkat keakraban dan kedekatan hubungan antara penutur dan mitra tutur tersebut. Untuk mengarahkan pembahasan, kedekatan hubungan tersebut diklasifikasikan dalam empat klasifikasi, yaitu klasifikasi hubungan sangat dekat, klasifikasi hubungan cukup dekat,klasifikasi hubungan cukup jauh, dan klasifikasi hubungan sangat jauh. Mitra tutur dengan klasifikasi hubungan sangat dekat meliputi anggota keluarga dalam satu rumah (ibu, bapak, kakak, adik ), kakek, nenek yang sering bertemu dengan anak, dan temanteman sepermainan yang sering bersama-sama dengan anak sehari-hari. Mitra tutur dengan klasifikasi hubungan cukup dekat meliputi anggota keluarga yang tidak satu garis keturunan dengan anak (om, tante) dan orang lain yang kebetulan tinggal satu rumah dengan anak. Mitra tutur dengan klasifikasi hubungan cukup jauh meliputi anggota keluarga jauh dikenal oleh anak tetapi anak dan tetangga sekitar rumah yang tidak terlalu dikenal oleh anak tetapi anak mengetahui keberadaannya. Mitra tutur dengan klasifikasi hubungan sangat jauh meliputi keluarga jauh yang tidak dikenal oleh anak sebelumnya dan orang-orang yang tidak dikenal oleh anak sama sekali (misalnya: mitra tutur di terminal, di dalam bus).

2. Skala Status Sosial Kompleksitas penggunaan tuturan dalam kegiatan komunikasi juga ditentukan oleh peran status sosial, yang meliputi kedudukan, tataran, tingkat, derajat atau martabat sosial seseorang terhadap orang lain. Scherer dan Giles (1978) menetapkan status sosial dalam kaitan dengan aspek-aspek umur, jenis kelamin atau seks, kepribadian individu, kelas sosial, struktur sosial, dan keetnikan. Peran individu dalam lingkungan keluarga atau masyarakat bersangkut paut dengan kekuasaan dan kedudukan sosial penutur dibandingkan dengan mitra tuturnya. Kekuasaan dan kedudukan sosial yang di maksudkan di sini dimaknai berbeda dengan kekuasaan dan kedudukan secara formal. 3. Skala Formalitas Tingkat keformalan interaksi antara penutur dan mitra tutur merupakan faktor yang juga menentukan pilihan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Dalam sebuah interaksi formal yang dilakukan oleh seorang direktur di kantornya atau seorang dosen yang sedang mengajar di kelas menggunakan bahasa yang sangat formal. Sebaliknya, dalam sebuah interaksi obrolan pertemanan, seseorang akan menggunakan bahasa percakapan sehari-hari yang tidak formal. Dengan demikian, formal dan tidak formalnya interaksi antara penutur dan mitra tuturnya juga akan berpengaruh terhadap strategi yang digunakan oleh anak dalam kegiatan komunikasinya. 4. Skala afektif dan Referensial Holmes (2001: 10) menyatakan bahwa bahasa tidak hanya dapat menyampaikan informasi objektif yang mengandung makna referensial, tetapi juga dapat mengekspresikan perasaan

seseorang. Sebuah gosip yang disampaikan seseorang dapat memberikan informasi referensial baru sekaligus dapat menyampaikan gambaran perasaan penutur berkaitan dengan gosip yang disampaikannya. 2.4 Konteks Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Bahasa membutuhkan konteks tertentu dalam pemakaiannya, demikian juga sebaliknya konteks baru memiliki makna jika terdapat tindak berbahasa di dalamnya ( Duranti, 1997 dalam Rusminto 2009: 50). Wijana, 1996 (dalam Rahardi, 2005: 50) menyatakan bahwa konteks adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur (speech situational contexts). Dalam uraian selanjutnya, Leech (1993:19) membagi aspek situasi tuturatas lima bagian yaitu (1) penutur dan mitra tutur; (2) konteks tuturan; (3) tujuan tuturan; (4) tindak tutur sebagai bentuk tindakan; dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. (1) Penutur dan Mitra tutur Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan fungsi pragmatis tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam pentuturan. Di dalam peristiwa tutur peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti, yang semula berperan penutur pada tahap tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, demikian sebaliknya. Aspek-aspek yang

terkait dengan komponen penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban. (2) Konteks Tuturan Istilah konteks didefinisikan oleh Mey (dalam Nadar, 2009:3) sebagai situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami. Di dalam tata bahasa, konteks tuturan mencakup semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresikan. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain, biasa disebut ko-teks. Sementara itu, konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks itu berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur. (3) Tujuan Tuturan Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadikan hal yang melatarbelakangi tuturan karena semua tuturan memiliki suatu tujuan. Dalam hal ini bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Bentuk-bentuk tuturan Pagi, selamatpagi, dan metpagi dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama, yakni menyapa lawan tutur yang ditemui pada pagi hari. Selain itu, Selamatpagi dengan berbagai variasinya bila diucapkan dengan nada tertentu, dan situasi yang berbeda-beda dapat juga digunakan untuk mengejek teman

atau kolega yang terlambat datang ke pertemuan, atau siswa yang terlambat masuk kelas, dan sebagainya. (4) Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan Tindak tutur sebagai bentuk tindakan adalah bahwa tindak tutur itu merupakan tindakan juga. Tindak tutur sebagai suatu tindakan tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Hanya saja, bagian tubuh yang berperan berbeda. Pada tindakan mencubit tanganlah yang berperan, pada tindakan menendang kakilah yang berperan, sedangkan pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. (5) Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia itu dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Berbicara atau bertutur itu adalah tindakan verbal. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Tindak verbal adalah tindak mengekpresikan kata-kata atau bahasa. Sementara itu, Hymes (dalam Rusminto 2009: 55), menyatakan bahwa unsur-unsur konteks mencakup berbagai komponen yang disebut dengan akronim SPEAKING. Akronim ini dapat diuraikan sebagai berikut. (1) Setting, yang meliputi waktu, tempat, atau kondisi fisik lain yang berbeda di sekitar tempat terjadinya peristiwa tutur. Hal tersebut dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di tempat keramaian seperti di pasar akan berbeda dengan keadaan pembicaraan di masjid. (2) Participants, yang meliputi penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur.

(3) Ends, yaitu tujuan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai dalam peristiwa tutur yang sedang terjadi. (4) Actsequences, yaitu bentuk dan isi pesan yang ingin disampaikan. (5) Keys,yaitu cara berkenaan dengan sesuatu yang harus dikatakan oleh penutur (serius, kasar, atau main-main). Cara-cara yang digunakan oleh seseorang ketika bertutur dapat mempermudah dalam memahami maksud ujaran tersebut. (6) Instrumentalities, yaitu saluran yang digunakan dan dibentuk tuturan yang dipakai oleh penutur dan mitra tutur. Saluran yang digunakan dapat berupa jalur lisan, tertulis atau telepon. (7) Norms, yaitu norma-norma yang digunakan dalam interaksi yang sedang berlangsung. Norma ini mengacu untuk memperhalus ujaran yang akan dituturkan seseorang, misalnya norma kesopanan, norma agama dan sebagainya. (8) Genres, yaitu register khusus yang dipakai dalam peristiwa tutur. Genres ini mengacu pada jenis bentuk penyampaian tuturan, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketika penutur bertutur, selalu terdapat konteks yang melatari tuturannya tersebut. Konteks tersebut sangat menentukan dan berpengaruh terhadap peristiwa tutur yang terjadi antara penutur dan mitra tuturnya. Lebih dari itu, ada kalanya konteks tersebut dimanfaatkan oleh penutur untuk mendukung atau menunjang agar tujuan tuturannya tercapai, seperti pemanfaatan waktu, tempat, suasana, peristiwa dan keberadaan orang tertentu. Pemanfaatan konteks untuk mendukung keberhasilan tujuan tuturan inilah yang di maksud dengan pendayagunaan konteks.

2.5 Prinsip-Prinsip Percakapan Prinsip-prinsip percakapan digunakan untuk mengatur supaya percakapan dapat berjalan dengan lancar. Dalam suatu percakapan, seseorang dituntut untuk mengusai kaidah-kaidah percakapan sehingga percakapan dapat berjalan dengan lancar. Supaya percakapan dapat berjalan dengan baik, maka pembicara harus menaati dan memperhatikan prinsip-prinsip yang ada di dalam percakapan. Prinsip yang berlaku dalam percakapan ialah prinsip kerja sama (cooperative principle) dan prinsip sopan santun (politness principle). 2.5.1 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle) Di dalam komunikasi seseorang akan menghadapi kendala-kendala yang mengakibatkan komunikasi tidak berlangsung sesuai dengan yang diharapkan. Agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar penutur dan mitra tutur harus dapat saling bekerja sama. Prinsip kerja sama mengatur hak dan kewajiban penutur dan mitra tutur. Prinsip kerja sama berbunyi buatlah sumbangan percakapan Anda sedemikian rupa sebagaimana yang diharapakan, berdasarkan tujuan dan arah percakapan yang sedang diikuti. Secara lebih rinci, Prinsip kerja sama dituangakan Grice, 1975(dalam Rahardi, 2005: 53-57) ke dalam empat maksim, yaitu (i) maksim kuantitas (the maxim of quantity), (ii) maxim kualitas (the maxim of quality), (iii) maxim relevansi (the maxim of relevance), dan (iv) maxim pelaksanaan (the maxim of manner). Di bawah ini adalah uraian maksim-maksim tersebut. a. Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)

Maksim kuantitas menyatakan berikan informasi dalam jumlah yang tepat. Maksim ini terdiri dari dua prinsip, yaitu: 1) berikan informasi Anda secukupnya yang diperlukan mitra tutur; 2) bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu. Maksim kuantitas ini memberikan tekanan pada tidak dianjurkannya pembicara untuk memberikan informasi lebih daripada yang diperlukan. Hal ini didasari asumsi bahwa informasi lebih tersebut hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Kelebihan informasi tersebut dapat saja dianggap sebagai sesuatu yang disengaja untuk memberikan efek tertentu. Contoh maksim kuantitas: (9) A: Lihat itu Pak Eko memasuki ruang kuliah. B: Lihat itu Pak Eko, dosen mata kuliah Analisis Wacana yang menjabat Kaprodi Pasca Sarjana, memasuki ruang kuliah. Tuturan (9A) lebih ringkas, jelas dan tidak menyimpang dari nilai kebenaran. Semua mahasiswa yang mengambil mata kuliah analisis wacana sudah tau dosennya Pak Eko. Penambahan informasi pada tuturan (9B), justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang, jadi tuturan (9B) tidak sesuai dan menyimpang dari maksim kuantitas. b. Maksim Kualitas (The Maxim of Quality) Maksim kualitas menyatakan usahakan agar informasi Anda sesuai dengan fakta. Maksim ini terdiri dari dua prinsip, yaitu: 1) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini bahwa hal itu tidak benar; 2) jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.

Maksim ini mengisyaratkan penyampaian informasi yang mengandung kebenaran. Artinya, agar tercipta kerja sama yang baik dalam sebuah percakapan, seseorang dituntut menyampaikan informasi yang benar, bahkan hanya informasi yang mengandung kebenaran yang meyakinkan. Contoh maksim kualitas: (10) A: Silahkan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya. B: Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti! Tuturan (10A) dan (10B) di atas dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekan. Tuturan (10B) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Sementara tuturan (10A) dikatakan melanggar kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan oleh seorang dosen. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilahkan mahasiswanya melakukan pencontekan pada saat ujian berlangsung. c. Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance) Maksim relasi menyatakan jagalah kerelevansian. Agar terjalin kerja sama antar penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Contoh maksim relevansi: (11) Evia: Aduh, aku haus banget, Dhe?. Dhea: Aku baru saja minum jus melon, Vi.

Dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan Dhea, yakni Aku baru saja minum jus melon, Vi tidak memiliki relevansi dengan apa yang ditanyakan oleh Evia. Dengan demikian tuturan Dhea pada contoh (11) tidak sesuai dengan maksim relevansi dalam prinsip kerja sama. d. Maksim Cara/Pelaksanaan(The Maxim of Manner) Maksim cara menyatakan usahakan agar Anda berbicara dengan teratur, ringkas, dan jelas. Secara lebih rinci maksim ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1) hindari ketidakjelasan atau kekaburan ungkapan; 2) hindari ambiguitas; 3) hindari kata-kata berlebihan yang tidak perlu; 4) harus berbicara dengan teratur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama ini, karena tidak mematuhi maksim cara. Contoh maksim cara: (12) Dita: Ma, besok dita harus kembali lagi ke lokasi KKN. Mama: Sudah mama siapkan di laci meja. Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan Dita kabur maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan Dita itu, bukannya ingin memberi tahu kepada mama bahwa Dita akan segera kembali ke lokasi KKN, melainkan lebih dari itu, yakni bahwa Dita sebenarnya ingin menanyakan apakah mama sudah menyiapkan uang yang sudah diminta sebelumnya. 2.5.2 Prinsip Sopan Santun (Politness Principle)

Agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan dengan baik dan lancar, mereka haruslah dapat saling bekerja sama. Bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur salah satunya, berprilaku sopan pada pihak lain, tujuannya supaya terhindar dari kemacetan komunikasi. Leech (1993:120) mengatakan bahwa prinsip kerja sama berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta percakapan sehingga tuturan dapat memberikan sumbangan kepada tercapainya tujuan percakapan, sedangkan prinsip kesantunan menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan dalam sebuah percakapan. Dalam kaitannya dengan ini, Leech mencontohkan pentingnya penerapan prinsip sopan santun tersebut sebagai berikut: Kita harus sopan kepada tetangga kita. Jika tidak, hubungan kita dengan tetangga kita akan rusak dan kita tidak boleh lagi meminjam mesin pemotong rumputnya. Leech dalam Tarigan (1986: 39) membagi prinsip sopan santun ke dalam enam kategori maksim berikut (i) maksim kebijaksanaan (tact maxim), (ii) maksim kedermawanan (generosity maxim), (iii) maksim Penghargaan (approbation maxim), (iv) maksim kesederhanaan (modesty maxim), (v) maksim kesepakatan (agreement maxim) dan (vi) maksim simpati (sympathy maxim). a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Maksim kebijaksanaan mengandung prinsip sebagai berikut: 1) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin; 2) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Contoh maxim kebijaksanaan:

(13) Tuan rumah : Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami semua sudah mendahului. Tamu : Wah, saya jadi tidak enak, Bu. Tuturan (13) dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, anak muda itu harus berada di rumah ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda. Contoh di atas tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan oleh tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi tamu. b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) Maksim kedermawanan mengandung prinsip sebagai berikut: 1) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin; 2) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Contoh maxim kedermawaan: (14) Adik : Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok yang kotor. Kakak : Tidak usah, Kak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok. Dari tuturan (14) yang disampaikan adik di atas, tampak dengan jelas bahwa adik berusaha memaksimalkan keuntungan bagi kakak dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan adik dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya sang kakak. c. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim) Maksim penghargaan mengandung prinsip sebagai berikut: 1) kurangi cacian pada orang lain sesedikit mungkin; 2) tambahi pujian pada orang lain sebanyak mungkin.

Contoh maxim penghargaan: (15) Dosen A : Pak, tadi Saya sudah memulai kuliah perdana Analisis Wacana untuk kelas Batrasia. Dosen B : Oya, tadi saya mendengar penjelasan Anda tentang Analisis Wacana sangat jelas. Tuturan (15) dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga dosen dalam ruangan dosen pada sebuah perguruan tinggi negeri. Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh dosen B. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berprilaku santun terhadap dosen A. d. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) Maksim kesederhanaan mengandung prinsip sebagai berikut: 1) kurangi pujian pada diri sendiri sesedikit mungkin; 2) tambahi cacian pada diri sendiri sebanyak mungkin. Contoh maxim kesederhanaan: (16) Dita : Ka, nanti kamu yang jadi moderator saat aku seminar proposal ya? Tika : Waduh, nanti aku grogi. Tuturan (16) yang disampaikan dita untuk meminta tika sebagai moderator dengan bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. e. Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)

Maksim kesepakatan mengandung prinsip sebagai berikut: 1) kurangi kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain sesedikit mungkin; 2) tingkatkan kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain sebanyak mungkin. Contoh maxim kesepakatan: (17) Lia : Nanti malam kita nonton di Bioskop ya, Ta! Dita : Boleh. Saya tunggu di 21. Pada tuturan di atas terlihat jelas bahwa terdapat kesepakatan atau kecocokan antara penutur dan mitra tutur untuk pergi bersama nanti malam. Hal tersebut juga diperkuat dengan tuturan dari mitra tutur boleh yang berarti sepakat dengan ajakan penutur, yakni nonton di Bioskop. f. Maksim Simpati (Sympathy Maxim) Maksim simpati mengandung prinsip sebagai berikut: 1) kurangi rasa antipati antara diri sendiri dan orang lain sekecil mungkin; 2) tingkatkan rasa simpati antara diri sendiri dan orang lain sebanyak mungkin. Contoh maxim simpati: (18) Andre : Lia, Ibuku meninggal tadi malam. Lia : Innalillahiwainailahi rojiun. Saya turut berduka cita. Pada tuturan di atas, dikatakan memenuhi prinsip sopan santun maksim simpati karena terlihat jelas bahwa Lia memaksimalkan simpati kepada Andre dengan cara ikut berduka cita. 2.6 Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar

mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Isi kurikulum merupakan susunan, bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan (Oemar Hamalik, 2005: 18). Kurikulum yang berlaku di sekolah dasar (SD) saat ini adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan badan standar nasional pendidikan (BSNP). KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pendidikan bahasa Indonesia di lembaga formal dimulai dari SD. Jumlah jam pelajaran bahasa Indonesia di SD kelas I, II dan III sebanyak 6 jam pelajaran. Sedangkan kelas IV, V dan VI sebanyak 5 jam pelajaran. Banyaknya jumlah jam pelajaran Bahasa Indonesia dimaksudkan agar siswa mempunyai kemampuan berbahasa Indonesia yang baik serta mempunyai kemampuan berpikir dan bernalar yang baik yang dapat disampaikan melalui bahasa yang baik pula. Bahasa Indonesia merupakan salah satu materi penting yang diajarkan di sekolah dasar, karena bahasa Indonesia mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan seharihari. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sebagaimana dinyatakan oleh Akhadiah dkk. (1991: 1) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa serta tingkat pengalaman siswa sekolah dasar.