I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
H. DOUGLAS J. MANURUNG

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman *

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya

TPST Piyungan Bantul Pendahuluan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. kasus tersebut akan dialami oleh TPA dengan metode pengelolaan open dumping

BAB I PENDAHULUAN. dari semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah, disisi lain. masyarakat tidak ingin berdekatan dengan sampah.

BAB 4 HASIL & PEMBAHASAN

Sampah Kota atau Municipal Solid Waste (MSW) dan Penyelesaian Masalahnya

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

BANTAENG, 30 JANUARI (Prof. DR. H.M. NURDIN ABDULLAH, M.Agr)

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang banyak dan terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan. Pada satu sisi pertambahan jumlah kota-kota modern menengah dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia akhir-akhir ini mengalami tingkat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Timbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkungan hidup, sampah merupakan masalah penting yang harus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Praktik Cerdas TPA WISATA EDUKASI. Talangagung

PEMANFAATAN SAMPAH MENJADI TENAGA LISTRIK

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

l. PENDAHULUAN Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Volume sampah setiap harinya terus bertambah banyak sampah begitu saja di

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir di seluruh negara dan

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Timbulan Sampah di Provinsi DKI Jakarta Tahun

BAB I PENDAHULUAN. membuang sampah di jalan, saluran selokan, sungai dan lahan-lahan terbuka.

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 5.1 Gambaran Umum Tempat Pembuangan Akhir Pasir Sembung

PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam semua aspek kehidupan manusia selalu menghasilkan manusia

VI. PERUMUSAN STRATEGI

BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN

Tabel 14. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. sampah. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya, memberi

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan Kota

III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

BAB I PENDAHULUAN. tinggi mengakibatkan bertambahnya volume sampah. Selama ini sebagian besar

PROPOSAL. PEMUSNAHAN SAMPAH - PEMBANGKIT LISTRIK KAPASITAS 20 mw. Waste to Energy Commercial Aplications

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

Dinamika Upaya Pengarusutamaan Kegiatan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Perencanaan Pembangunan Kabupaten Kutai Timur

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia merupakan negara yang sedang berupaya

BAB I PENDAHULUAN. tidak diperlukan lagi. Pengelolaan sampah merupakan kegiatan dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

JURNAL ASPEK HUKUM TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG BEKASI

ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. dengan topik Sektor Informal Yogyakarta, pada hari Selasa 7 Maret 2005, diakses pada tanggal 9 Oktober 2009

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Bali dengan luas kurang lebih 5.636,66 km 2. penduduk yang mencapai jiwa sangat rentan terhadap berbagai dampak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahlah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah.

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

PERAN GENDER DALAM MENANGANI PERMASALAHAN SAMPAH. Oleh : Tri Harningsih, M.Si

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

EVALUASI SISTEM PEMROSESAN AKHIR SAMPAH DI TPA LADANG LAWEH KABUPATEN PADANG PARIAMAN MENUJU CONTROLLED LANDFILL

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur PLTSa RAWA KUCING

BAB I PENDAHULUAN. dan mutlak. Peran penting pemerintah ada pada tiga fungsi utama, yaitu fungsi

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah,

I. PENDAHULUAN. Timur. Letak tersebut berada di Teluk Lampung dan diujung selatan pulai

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TPA KABUPATEN

Hartiningsih, Wati Hermawati, Ikbal Maulana, Ishelina Rosaira, Nur Laily PAPPIPTEK-LIPI Serpong, 3 Oktober 2012

Jurnal Gea Volume 14 Nomor 2, Oktober 2014

Kata Kunci: Evaluasi, Masa Pakai, Reduksi, Pengomposan, Daur Ulang

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Salah satu efek negatif tersebut adalah masalah lingkungan hidup yang disebabkan sampah. Kuantitas sampah yang terus meningkat diiringi meningkatnya kepadatan penduduk dan meningkatnya kawasan pemukiman kumuh di kota-kota besar semakin menyulitkan upaya pengelolaan sampah dari waktu ke waktu. Tanpa diimbangi dengan pengelolaan yang memadai, sampah bisa menjadi beban terhadap lingkungan dan berdampak negatif, seperti menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara (KLH, 2005). Kota Jakarta adalah salah satu kota metropolitan di Indonesia yang mengalami efek negatif tersebut. Jakarta dengan luas 661.52 km 2, jumlah penduduk 9,041 juta jiwa (Bappeda Jakarta, 2009), menghasilkan sampah 29,364 m 3 perhari atau setara dengan 6,250 ton perhari (Kompas, 2009). Berdasarkan hasil kajian WJEMP DKI 3-11 tahun 2005 komposisi sampah rata-rata Jakarta terdiri dari 55.37% sampah organik dan 44.63% sampah nonorganik ( Dinas Kebersihan DKI, 2005 ). Sampah yang terangkut, kurang lebih 70% dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, 16.5% ke lokasi-lokasi informal, dan 13% tidak terkelola, tercecer di dalam kota, di jalan, atau dibuang ke sembarang tempat. (Dinas Kebersihan DKI, 2001). Sampah yang dikirim ke TPST ini akan menimbulkan masalah apabila tidak dikelola dengan baik, karena sampah ini merupakan penyumbang gas rumah kaca dalam bentuk CH 4 dan CO 2. Fakta menunjukkan bahwa CH 4 mempunyai kekuatan merusak 20-30 kali lipat dari CO 2 dan pada konsentrasi 15% di udara gas metan berpotensi menimbulkan ledakan dengan sendirinya (KLH, 2007). Selain mencemari udara, berdasarkan penelitian yang dilakukan di lingkungan TPST pada tahun 1999 oleh Dinas Kesehatan dan Dinas L. H. Kota Bekasi disimpulkan bahwa sebanyak 40% ph air sudah diambang batas, 95% ditemukan bakteri E. Coli di air tanah, dan 35% tercemar salmonella. Dan, ditemukan bahwa 34% hasil foto rontgen ditemukan penduduk posistif menderita

2 TBC, 99% mengalami ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas), dan 8% penduduk mengalami tukak lambung (Tri Bangun dan Suyoto, 2008). Dampak TPST terhadap lingkungan ini semakin meningkat ketika krisis ekonomi tahun 1997 terjadi. Krisis tersebut menyebabkan terjadinya PHK, pengangguran, dan tingginya harga bahan pokok. Hasilnya, sampah dijadikan sumber penghasilan bagi pengangguran dan warga sekitar TPST. Dampak sosial yang timbul diantaranya adalah terjadinya pencurian ratusan pipa ventilasi pada sanitary landfill yang berfungsi untuk membuang gas metan, sehingga menyebabkan saluran gas metan mengalami kebuntuan. Akibatnya timbul kebakaran di beberapa zona TPST sehingga menimbulkan asap dan pencemaran. Di samping itu timbul pula bau hingga mencapai kawasan Kemang Pratama, Kranji, Pekayon, dan wilayah yang berjarak 10 km dari TPST (Armandho, 2009). Selain menyebabkan masalah lingkungan udara dan air serta masalah sosial, TPST juga menyebabkan dampak pada hubungan dua pemerintah daerah. Masalah ini diawali sejak perubahan status Kota Administratif Bekasi menjadi Kota Bekasi pada tahun 1996, dengan UU RI No. 9 Tahun 1996 tanggal 18 Desember 1996, yang menyebabkan tidak jelasnya kewenangan instansi pengelola sampah. Selama periode tersebut Pemerintah DKI kurang memperhatikan pengelolaan TPST. Kondisi ini di mana TPST adalah milik Pemprov DKI sedangkan wilayah teritorial di bawah Pemkot Bekasi menyebabkan permasalahan pengelolaan TPST menjadi semakin kompleks. Solusi mengatasinya adalah diberikannya dana kompensasi (Community Development) sebesar 20% dari tipping fee yang dibayar dari tonase sampah masuk oleh Pemprov DKI kepada Pemkot Bekasi melalui pengelola TPST. Sejak tanggal 05 Desember 2008, melalui lelang terbuka yang dilakukan oleh Pemprov DKI, telah ditetapkan PT. Godang Tua Jaya joint operation dengan PT. Navigat Organic Energy Indonesia, sebagai investor baru untuk mengelola TPST Bantargebang. Pengelola baru ini menawarkan konsep baru untuk mengelola TPST, kombinasi antara sistem sanitary landfill dan teknologi modern yang ramah lingkungan, dan menjadikan TPST sebagai pusat industri daur ulang sampah yang akan menghasilkan produk-produk bermanfaat seperti: pupuk kompos, biji plastik dan produk-produk turunannya, serta listrik. Dengan

3 berubahnya sistem pembuangan sampah yang dilakukan di TPST Bantargebang, dari open dumping menjadi sanitary landfill yang dikombinasikan dengan pengolahan dengan teknologi modern ini diharapkan dapat meminimalisasi dampak pencemaran yang terjadi, karena sistem ini sudah didisain dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan. Di samping itu, cara ini juga akan menghasilkan produk-produk ekonomi, yang bermanfaat, sehingga dapat mengubah paradigma dari sampah sumber masalah menjadi sampah solusi masalah. Namun demikian, dampak-dampak negatif yang muncul akibat keberadaan TPST belum sepenuhnya tuntas. Pemulung masih beraktivitas di TPST. Menurut Simanjuntak (2002) kegiatan pemulung adalah sebagai ujung tombak proses pemanfaatan kembali sampah yang telah dibuang oleh masyarakat sekaligus pekerja sektor informal, menjadi salah satu alternatif untuk menyerap tenaga kerja di sektor tersebut sekaligus memberikan pendapatan yang cukup memadai dan memperbaiki kondisi kehidupan di masa mendatang. Sedang menurut Thurgood (1998) aktivitas pemulung menggangu kelancaran operasi landfill karena membahayakan baik pemulung itu sendiri maupun pegawai landfill. Namun, karena tidak dapat dihindarkan, aktivitas pemulung sebaiknya dikendalikan. Jadi untuk mengatasi semua masalah ini diperlukan usaha untuk menjaring masukan dari semua stakeholder untuk mendapatkan solusi bagi pengelolaan lingkungan di TPST yang optimal, terpadu dan berkelanjutan. Optimasi pengelolaan lingkungan yang terpadu dan berkelanjutan ini meliputi optimasi pemanfaatan sampah dan optimasi pemanfaatan lahan. Dengan skenario ini diharapkan akan dihasilkan satu pengelolaan yang optimal secara ekonomi, sosial, ekologi dengan teknologi yang ramah lingkungan dengan dampak lingkungan yang minimal. Sedangkan pengelolaan sampah secara terpadu dimaksudkan memadukan 3 cara pengolahan sampah, yaitu: composting, recycling, dan combusting atau pyrolysis untuk menghasilkan energi listrik, dengan melibatkan masyarakat, sehingga mampu mereduksi sampah. Pengelolaan sampah yang berkelanjutan ini juga akan menerapkan prinsip-prinsip mekanisme pembangunan bersih atau CDM ( clean development mecahnisme).

4 1.2. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran untuk menghasilkan suatu skenario pengelolaan TPST Bantargebang, dimulai dengan melihat dan mengevaluasi kondisi eksisting TPST. Masalah lingkungan, sosial ekonomi, ataupun masalah hukum dan kelembagaan yang muncul akibat keberadaan TPST memerlukan penanganan yang terpadu agar pengelolaan TPST dapat berlangsung optimal dan bermanfaat dari sudut pandang masing-masing stakeholder, yaitu Pemprov DKI sebagai pemilik TPST, Pemkot Bekasi sebagai otoritas yang memerintah di Bantargebang, investor selaku pengelola, pemerhati lingkungan, masyarakat sekitar TPST. Kondisi eksisting TPST ini dilihat dengan menganalisis kualitas air sumur, air sungai, air lindi, udara, kualitas tanah, dan komponen biologis. Juga dianalisis persepsi masyarakat sekitar dan analisis optimasi terhadap pengelolaan lingkungan TPST yang meliputi optimasi dalam pemanfaatan sampah dan optimasi pemanfaatan lahan pembangunan. Dengan skenario yang dihasilkan ini diharapkan akan dihasilkan satu strategi implementasi pengelolaan yang optimal di mana pengelolaan akan maksimal secara ekonomi, sosial, ekologi dengan teknologi yang ramah lingkungan dengan dampak lingkungan yang minimal. Kondisi Eksisting TPST Kualitas Lingkungan (Air, Udara, dan Tanah) Sosial Ekonomi Masyarakat Pemanfaatan Lahan dan Sampah Teknologi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Skenario Pengelolaan TPST Bantargebang Keinginan Masyarakat dan Stakeholder Strategi Implementasi Gambar 1a. Kerangka Pemikiran Optimasi Pengelolaan Lingkungan Terpadu Berkelanjutan TPST Bantargebang 1.3. Perumusan Masalah Jakarta sebagai kota metropolitan merupakan pusat kegiatan pendudukan dan ekonomi. Aktivitas penduduk dan perekonomian ini akan menghasilkan

5 sampah. Produksi sampah Jakarta mencapai 6,250 ton perhari yang dikirim ke TPST Bantargebang, kota Bekasi dengan jumlah kurang lebih 5.000 ton perhari. Pengelolaan sampah Jakarta dilakukan melalui kerjasama antara dua pemerintah yaitu Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi melalu perjanjian bipartit di mana Pemprov DKI Jakarta membayar CD (Community Depelovment) kepada Pemkot Bekasi sebesar 20% dari tipping fee sampah yang masuk ke TPST. Sampah Jakarta ini diangkut menggunakan armada angkutan sampah, dan ini memberikan keuntungan berupa penyerapan tenaga kerja, tetapi juga menyebabkan dampak lingkungan berupa bau bagi wilayah yang dilalui armada tersebut. Wilayah-wilayah yang dilalui armada tersebut seperti kelima wilayah Jakarta dan melalui Jalan Alternatif Cibubur, Jalan Raya Cileungsi, Jalan Raya Narogong dengan jarak tempuh antara 15-50 km. Masyarakat yang dilalui oleh armada angkutan sampah menyampaikan keluhan terhadap dampak bau tersebut. Pengelolaan sampah di TPST dilakukan dengan system sanitary landfill pada lahan seluas 108 ha yang terbagi dalam lima zona. Pengelolaan sampah ini menyerap tenaga kerja sekitar 6,000 orang yang terdiri dari para pemulung, lapak, dan juragan. Namun besarnya tenaga kerja ini menimbulkan persaingan karena tidak adanya peraturan yang diberlakukan dalam area titik buang tersebut. Proses pembuangan sampah atau unloading dari armada ke area zona atau titik buang menggunakan bantuan alat berat (excavator) yang beroperasi selama 24 jam perhari, dan menyebabkan masalah lain seperti terancamnya keselamatan para pemulung dan terganggunya operasional alat berat tersebut. Pengelolaan dengan sitem sanitary landfill ini ternyata masih menimbulkan percemaran di lokasi TPST dan sekitarnya berupa pencemaran air sumur, sungai, dan air lindi oleh bakteri E-Coli, peningkatan kadar BOD dan COD, dan beberapa logam berat seperti Cd; pencemaran udara berupa bau. Bau ini menimbulkan keluhan dari masyarakat sekitar. Hal ini berarti bahwa sampah harus dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan mendatangkan keuntungan ekonomi. Keberadaan TPST telah memberikan dampak ekonomi terhadap masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Masyarakat sekitar mendapatkan manfaat ekonomi dalam bentuk CD, kesempatan kerja dan berusaha. Pengusaha

6 dalam bentuk pengelolaan TPST berupa tipping fee yang dibayar oleh Pemprov DKI dari tonase sampah yang masuk. Sedangkan Pemkot Bekasi dalam bentuk PAD dari pajak dan CD yang dibayar pengelola. Permasalahan yang muncul kemudian adalah terjadinya perbedaan persepsi dalam hal pembagian dana CD. Pemerintah menyalurkan dana ini dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana sosial sementara masyarakat menginginkan dalam bentuk tunai. Dari sisi masyarakat, sebagian menganggap keberadaan TPST memberikan keuntungan dan sebagian yang lain menganggap sebagai sumber masalah. Masyarakat yang menganggap TPST menguntungkan adalah yang dapat memanfaatkan keberadaan TPST sebagai sumber ekonomi, sedangkan yang menganggap sebagai sumber masalah adalah yang tidak merasakan manfaat tetapi hanya mendapatkan dampak pencemaran. Pemerintah menganggap TPST sebagai sesuatau yang harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulakan permasalaha, tetapi mendatangkan keuntungan berupa CD. Keterbatasan lahan TPST merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian karena sampah yang sudah menggunung selama 20 tahun mencapai deposit lebih kurang 10 juta m 3 dan apabila sampah yang masuk tidak dikelola dengan teknologi modern yang ramah lingkunagn maka usia pakainya akan segera berakhir. Sementara itu lahan yang tersedia di sekitar TPST sangat terbatas. Dari uraian tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan partisipatif, yang digambarkan dalam bentuk diagram alir perumusan masalah sebagai berikut: Kualitas Lingkungan TPST Persepsi Masyarakat dan Stakeholder Skenario Pengelolaan Lingkungan TPST yang Optimal Gambar 1b. Diagram Alir Perumusan Masalah

7 Berdasarkan uraian permasalahn tersebut dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kualitas lingkungan sekitar TPST Bantargebang dan sekitarnya? 2. Bagaimana persepsi masyarakat dan stakeholder terkait keberadaan TPST Bantargebang? 3. Bagaimana pengelolaan lingkungan TPST Bantargebang yang optimal? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian adalah untuk menghasilkan suatu skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu, dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan dimensi sosial, ekologi, ekonomi, dan teknologi. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, penelitian ini dibagi menjadi 3 subtujuan, sebagai berikut: 4. Menganalisis kualitas lingkungan TPST Bantargebang dan sekitarnya. 5. Menganalisis persepsi masyarakat dan stakeholder terkait keberadaan TPST. 6. Menganalisis pengelolaan lingkungan TPST Bantargebang yang optimal. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Memberikan kontribusi bagi para stakeholder yang terkait dengan pengelolaan TPST Bantargebang. 2. Sebagai bahan informasi bagi pengelola TPST dan Instansi Pemerintah yang berwenang dalam melakukan pengelolaan lingkungan TPST. 3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang meneliti pengelolaan lingkungan TPST.