BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. lainnya baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. (1)

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

PENDAHULUAN Latar Belakang

FUNGSI HUTAN KOTA DALAM MENGURANGI PENCEMARAN UDARA DI KOTA SAMARINDA

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA TANGGAL JUNI 2017

I. PENDAHULUAN. dilepaskan bebas ke atmosfir akan bercampur dengan udara segar. Dalam gas

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PENCEMARAN UDARA DI PROVINSI RIAU. Analisis Kebijakan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

BAB I PENDAHULUAN. rongga telingga tengah, dan pleura (Kepmenkes, 2002). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang

2. Berikut ini beberapa contoh yang dapat menyebabkan hutan terbakar.

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Dampak Perubahan Iklim

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS KUALITAS UDARA STASIUN GLOBAL ATMOSPHERE WATCH (GAW) BUKIT KOTOTABANG KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pollution Monitoring Network (BAPMoN) tahun 1960, Global Atmosphere Watch

INOVASI PENCEGAH KEBAKARAN BAWAH TANAH LAHAN GAMBUT DENGAN SPIDER PIPELINE AS GROUND FIRE WETLAND (SPAS GROFI-W)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak Geografis dan Astronomis Indonesia Serta Pengaruhnya

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

Bab I Pendahuluan. Gambar I.1 Bagan alir sederhana sistem pencemaran udara (Seinfield, 1986)

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

BAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri telah

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

commit to user BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

PENDAHULUAN. diperbahurui makin menipis dan akan habis pada suatu saat nanti, karena itu

RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG

PEMANASAN GLOBAL. 1. Pengertian Pemanasan Global

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

B A P E D A L Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan manusia dan

Konsep Penelitian Kualitas Lingkungan (Udara) dalam Membangun IKLH

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian,

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PADA MUSIM KEMARAU Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. Kebakaran. 2. Kekeringan

HUBUNGAN KUALITAS FISIS AIR SUNGAI KRUENG ACEH DENGAN INTENSITAS HUJAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

LAPORAN HARIAN UPTB PUSDALOPS PB BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran hutan bukan hal baru di Indonesia, di Sumatera dan Kalimantan kebakaran hutan sudah terjadi sejak abad 17 (Barber dan Schwiehelm, 2009; Bowen et al, 2001). Namun baru pada tahun 1980 terjadi peningkatan luas dan intensitas terjadinya kebakaran hutan, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Lahan yang mudah terbakar di Indonesia baik di Sumatera dan Kalimantan adalah lahan gambut. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta hektar (Ha), yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Kebakaran hutan telah menimbulkan fenomena kabut asap. Fenomena kabut asap merupakan peristiwa yang belakangan ini marak menjadi perhatian masyarakat luas. Munculnya kabut asap akibat kebakaran hutan dan/atau lahan secara besar-besaran menimbulkan dampak multi-dimensional yang sangat besar dan bersifat merugikan. Salah satu dari dampak tersebut dapat dirasakan dari degradasi kualitas udara yang sangat signifikan, yang berimbas pada penurunan tingkat kenyamanan dan kesehatan bagi masyarakat yang mengalami kabut asap. Tidak hanya itu saja, merujuk pada sifatnya yang bergerak mengikuti peredaran massa udara atau pergerakan angin, sebaran kabut asap merupakan kejadian lintas batas (transboundary event). Dengan kata lain, kabut asap yang diemisikan dari satu tempat, ditunjang dengan kondisi yang memungkinkan, dapat menyebar ke tempat lain. Hal ini menyebabkan luasnya cakupan wilayah yang terkena imbas dari kabut asap (Greenpeace, 2015). Secara umum, ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan/lahan yang merupakan inisiator dari peristiwa kabut asap, yaitu kondisi wilayah yang kering, ketersediaan bahan bakar, dan sumber panas atau api. Kering atau tidaknya suatu lokasi dapat ditinjau dari segi meteorologi dan keadaan

cuaca yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Sepanjang tahun 2015, secara umum sebagian besar wilayah Sumatera bagian utara, yang meliputi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau, dilanda kekeringan yang ditandai dengan minimnya jumlah curah hujan dan hari hujan. Analisis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa tingkat curah hujan di beberapa daerah di wilayah ini berada dalam kondisi di bawah normal. Kondisi kekeringan ini berkaitan erat dengan banyak sedikitnya bahan bakar yang tersedia. Bahan bakar ini dominannya berasal dari biomassa, seperti pepohonan, semak belukar, dan lahan gambut. Kondisi tanpa hujan (dry spell) menyebabkan keringnya batang pohon, ranting, dedaunan, dan gambut yang berujung pada terakum ulasinya bahan-bahan ini. Namun demikian, meskipun kondisinya telah kondusif untuk terjadinya kebakaran, kejadian ini tidak dapat terjadi jika tidak ada pemicu adanya panas atau api. Pemicu ini dapat terjadinya baik secara alami maupun disengaja (Greenpeace, 2015). Sejak akhir Agustus 2015, Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan diselimuti kabut asap akibat terjadi kebakaran hutan/lahan, terutama di daerah dengan cakupan lahan gambut dan perkebunan yang luas. Kondisi ini terus bertahan selama beberapa minggu, dan dampak dari kabut asap ini menyebabkan terjadinya penurunan jarak pandang yang mengganggu kegiatan penerbangan dan aktivitas perekonomian di wilayah ini. Kabut asap juga menyebabkan penurunan kualitas udara di kota-kota di provinsi ini hingga mencapai level berbahaya. Indikasi dari kondisi ini dilihat dari tingkat konsentrasi dari beberapa parameter kualitas udara, yang salah satu diantaranya adalah konsentrasi aerosol Particulate Matter 10 (PM 10 ). PM 10 merupakan partikel atau debu yang berada di udara dan memiliki ukuran tidak lebih dari 10 μm (mikrometer) atau seperseratus milimeter serta merupakan bagian penting pada kabut asap untuk paparan jangka pendek (jam atau mingguan). Materi partikulat adalah partikel tersuspensi, yang merupakan campuran partikel solid dan droplet cair. Karakteristik dan pengaruh potensial materi partikulat terhadap kesehatan tergantung pada sumber, musim, dan keadaan cuaca (Faisal dkk 2012). I-2

Kabut asap akibat kebakaran hutan/lahan tidak hanya terjadi di daerah yang terjadi kebakaran hutan/lahan saja seperti di Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, tapi dampak kabut asap juga dirasakan hampir di seluruh kota di Sumatera Barat. Salah satunya yaitu di Kota Sawahlunto. Penurunan jarak pandang, bau yang menyengat, dan kondisi udara yang berbahaya bagi penderita gangguan pernapasan juga melanda Kota Sawahlunto. Kota Sawahlunto secara astronomis terletak pada 0 o 34-0 o 46 Lintang Selatan dan 100 o 41-100 o 49 Bujur Timur. Secara topografi wilayah Kota Sawahlunto terletak pada daerah perbukitan dengan ketinggian antara ± 250 650 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini terbentang dari Utara ke Selatan, bagian Timur dan Selatan mempunyai topografi yang relatif curam (kemiringan lebih dari 40%) yang luasnya 28,52% dari luas keseluruhan (BPS, 2011). Kondisi ini menyebabkan Kota Sawahlunto termasuk salah satu daerah bayangan hujan yang menyebabkan materi pencemar udara terperangkap karena tidak bisa terdispersi secara horizontal dan mengakibatkan waktu tinggal materi pencemar di daerah ini lebih lama jika dibandingkan dengan daerah-daerah yang memiliki topografi yang relatif datar. Penelitian terkait partikulat di udara ambien dan analisis kandungan logam pada filter akibat kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia telah dilakukan oleh Lestari dan kawan-kawan (2011) di Kalimantan. Penelitian yang dilakukan pada bulan September-November menunjukkan hasil bahwa terdapat beberapa kandungan logam berbahaya seperti Cr, Cd, Co, Ni pada partikulat. Hasil ini menunjukkan bahwa kabut asap yang dihirup oleh masyarakat yang terkena dampak kebakaran hutan memiliki potensi bahaya bagi kesehatan. Dari beberapa hal di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengukuran konsentrasi pencemar udara PM 10 di udara ambien Kota Sawahlunto dan analisis kandungan logam-logam yang bersifat karsinogen dan nonkarsinogen pada filter PM 10 tersebut. Hasil penelitian ini kemudian dikaitkan dengan potensi dampak kesehatan yang akan diterima oleh masyarakat Kota Sawahlunto akibat kabut asap yang terjadi. I-3

1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas udara ambien di Kota Sawahlunto terutama pada saat terjadi kabut asap akibat kebakaran hutan. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Membandingkan konsentrasi PM 10 pada saat kabut asap dan tanpa kabut asap; 2. Menganalisis konsentrasi kimia PM 10 Kota Sawahlunto untuk parameter logam; 3. Mengevaluasi potensi dampak logam pada PM 10 terhadap kesehatan manusia. I.3 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menambah wawasan di bidang Teknik Lingkungan khususnya dalam pemantauan kualitas udara ambien; 2. Sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam program pengendalian pencemaran udara di Kota Sawahlunto. I.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang Lingkup pada ini adalah sebagai berikut: 1. Lokasi pemantauan adalah di depan kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) yang dianggap mewakili daerah Kota Sawahlunto yang tidak terpengaruh aktivitas penambangan batu bara dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dimana sebagian data sudah dikumpulkan untuk selanjutnya diperiksa di Laboratorium; 2. Mengevaluasi konsentrasi PM 10 di Kota Sawahlunto; 3. Logam yang diteliti adalah Al, Cr, Mn, Co, Ni, dan Cd yang seringkali terdeteksi pada kabut asap akibat kebakaran lahan; 4. Potensi dampak diukur dengan metode analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL) pada saat kabut asap; 5. Analisis logam dilakukan pada PM 10 di saat kondisi kabut asap dan tanpa kabut asap. I-4

I.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut: BAB I BAB II Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang, maksud, dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, Ruang Lingkup, dan sistematika penulisan. Tinjauan Pustaka Bab ini menyajikan teori-teori dan studi literatur mengenai kebakaran hutan, pencemaran udara, dampak pencemaran udara, cara pengukuran risiko pencemaran udara terhadap kesehatan masyarakat, partikulat (PM 10 ), karakteristik partikulat, efek partikulat, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), cara sampling udara ambien, dan lain-lain. BAB III Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan tahapan-tahapan pengerjaan, metode sampling, analisis laboratorium yang digunakan dalam mengerjakan tugas akhir ini. BAB IV Hasil dan Pembahasan Bab ini menguraikan hasil pengukuran konsentrasi PM 10 di udara ambien Kota Sawahlunto, kandungan logam dalam PM 10 dan analisis risiko logam terhadap kesehatan masyarakat disertai dengan pembahasannya. BAB V Penutup Bab ini menampilkan kesimpulan dan saran yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan. I-5