BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

BAB II LANDASAN TEORITIS. 1. Pengertian, Tujuan dan Manfaat Pajak Pertambahan Nilai. yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-44/PJ/2010 Tanggal 6 Oktober 2010

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR - 14/PJ/2010 TENTANG

BAB 4. Pembahasan Hasil Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Mardiasmo (2001:118), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam analisa penghitungan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, penulis

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

14/PJ/2010 PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-146/PJ./2006 TENTANG BE

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. HAJ adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perusahaan dagang

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. hewan) yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2010 TENTANG

KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PAJAK

SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN) BAGI PEMUNGUT PPN

SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN) BAGI PEMUNGUT PPN Bacalah terlebih dahulu Buku Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum kita mengetahui pengertian with holding system kita harus

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 29/PJ/2008 TENTANG

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. MRC adalah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa konstruksi.

Definisi. SPT (Surat Pemberitahuan)

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai. IV.1.1 Analisis Perolehan Barang Kena Pajak (Pajak Masukan)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DAFTAR BENTUK SPT MASA PPN 1111

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI. yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri. Soemitro dalam bukunya Dasardasar

Objek PPN Yang Harus Dibuatkan Faktur Pajak. a. penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha

BAB 2 LANDASAN TEORI. undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang

SPT (Surat Pemberitahuan) Saiful Rahman Yuniarto

PERTEMUAN 12 By Ely Suhayati SE MSi Ak. PPN DAN PPnBM

BAB II LANDASAN TEORI

Perpajakan 2 PPN & PPnBM

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam evaluasi penerapan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai pada PT

BAB II TELAAH PUSTAKA. pengertian yang sama. Beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak ialah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER-160/PJ/2006 TENTANG

SPT MASA PPN UNIVERSITAS MERCU BUANA JURUSAN AKUNTANSI

PPN DAN PPn BM PENGUSAHA KENA PAJAK, DPP & TARIF, TEMPAT PAJAK TERUTANG, DAN FAKTUR PAJAK, NOTA RETUR

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

BAB II KAJIAN PUSTAKA

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DAN BATAS PEMBAYARAN PAJAK

C. PKP Rekanan PKP Rekanan adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN

BAB II LANDASAN TEORI. memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut digunakan untuk

iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang undang yang dapat dipaksakan

SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DAN BATAS PEMBAYARAN PAJAK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 45/PJ/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN Evaluasi Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. Mejoi merupakan perusahaan distributor yang bergerak dalam

MANFAAT MEMBAYAR PAJAK DAN PENGISIAN SPT BAGI WAJIB PAJAK. Oleh: Amanita Novi Yushita, M.Si.

FAKTUR PAJAK STANDAR

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri ( PKLM ).

BAB II LANDASAN TEORI

Lampiran I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 180/PJ./2007 TANGGAL : 28 Desember 2007

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Analisis terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 65/PMK.03/2010 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERPAJAKAN II. PENGISIAN e-spt PPN Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi Akuntansi

15/PJ/2010 PERUBAHAN PERTAMA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 29/PJ/2008 TENTANG BENTUK,

BAB IV PEMBAHASAN. dan sesudah perubahan Undang-undang No.42 Tahun 2009, penulis melakukan

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER /PJ.

BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Ketentuan Formal Pajak Pertambahan Nilai PT TRT 4.2 Analisis Faktur Pajak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB IV PEMBAHASAN. IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu

Modul ke: Pertemuan 2. 02Fakultas EKONOMI. Perpajakan I. Program Studi AKUNTANSI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Faktur Pajak. Objek PPN Yang Harus Dibuatkan Faktur Pajak. Saat Faktur Pajak Harus Dibuat. Faktur Pajak Gabungan

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas

BAB III PEMBAHASAN TENTANG EFEKTIVITAS PENERAPAN E-FAKTUR ATAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4.

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 65/PMK.03/2010 TENTANG

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA

BAB II LANDASAN TEORI. dikemukakan para ahli sebagai berikut: a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro SH (2002:1)

BAB IV GAMBARAN SENGKETA FAKTUR PAJAK CACAT DAMPAKNYA BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KERUAGIAN NEGARA

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BAB I KETENTUAN UMUM.

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Definisi Pajak Ada bermacam-macam definisi Pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Soemarso, 2009:2). Pajak menurut Rochmat Soemitro adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplus nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment (Marsyahrul, 2005:2). Sedangkan menurut S.I Djajadinigrat, pajak adalah kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara yang disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu tapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejateraan umum (Judisseno, 2005:42). Pajak menurut pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya 7

kemakmuran rakyat. Definisi menurut undang-undang ini adalah sebuah definisi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang pajak. 2.1.2 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang disingkat dengan Undang-undang PPN. Dalam penjelasan umum Undang-undang PPN dijelaskan bahwa Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak atas konsumsi di dalam negeri atau di dalam daerah pabean. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur perusahaan yang timbul karena dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa tanah, upah kerja, dan laba pengusaha adalah merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. 2.1.2.1 Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha, impor Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha, pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari 8

luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berdasarkan Pasal 1A ayat (1) Undang-undang PPN adalah: a) penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian b) pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing c) penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang d) pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas BKP e) persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan f) penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang. g) penyerahan BKP secara konsinyasi. Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu BKP yang besangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada masa pajak terjadinya penyerahan BKP yang dititipkan tersebut. Sebaliknya, jika BKP titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik BKP, Pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian BKP (retur). 9

2.1.2.2 Tarif dan cara menghitung PPN Tarif yang berlaku atas Penyerahan BKP/JKP dibuat lebih sederhana dengan menerapkan tarif seragam, artinya, satu macam tarif untuk semua jenis BKP/JKP. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dihitung dengan mengalikan tarif PPN 10% atau 0% (untuk ekspor) dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Dengan demikian besarnya Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan rumus sebagai berikut: PPN = Tarif x DPP... (1) Besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dihitung dengan rumus di atas, merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual atau Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli. 2.1.2.3 Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai Pemungutan PPN menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan BKP atau pada saat penyerahan JKP, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima sepenuhnya. 10

Saat terutangnya PPN sebagaimana diatur dalam Undang-undang PPN, Pasal 11 ayat (1) adalah terjadi pada saat: 1) Penyerahan BKP Terutangnya pajak atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat BKP tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat BKP tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. Terutangnya pajak atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifatnya berupa barang tak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli. 2) Impor BKP Terutangnya pajak atas impor BKP, terjadi pada saat BKP tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. 3) Penyerahan JKP Terutangnya pajak atas penyerahan JKP, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. 4) Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean Terutangnya pajak atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean terjadi pada saat orang pribadi atau badan mulai memanfaatkan BKP tidak berwujud tersebut di dalam Daerah Pabean. 11

5) Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean Terutangnya pajak atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan JKP tersebut di dalam Daerah Pabean. 6) Ekspor BKP Terutangnya pajak atas ekspor BKP, terjadi pada saat BKP dikeluarkan dari Daerah Pabean. 2.1.2.4 Faktur Pajak Faktur pajak merupakan bukti yang harus dilampirkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam melaporkan penghitungan PPN dalam SPT Masa. Pengertian Faktur Pajak menurut Undang-undang PPN adalah bukti pungutan pajak (PPN/PPnBM) yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan pajak (PPN/PPnBM) karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai (Sukardji, 2007:95). Dalam hal terjadi penyerahan BKP dan atau JKP, maka Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan BKP atau JKP itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan Faktur Penjualan. Faktur Pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. 12

Kewajiban membuat faktur pajak merupakan refleksi dari kewajiban memungut pajak yang terutang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3A ayat (1) Undang undang PPN (Sukardji, 2007:94). Faktur pajak ini harus diisi secara lengkap, jelas dan benar serta ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk. Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, bagi orang pribadi dan badan yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak. Dalam mekanisme PPN dikenal ada tiga macam Faktur Pajak, yaitu: 1) Faktur Pajak Standar Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan dan Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor: Per-159/PJ./2006 (Sukardji, 2007:276) Faktur Pajak Standar paling sedikit memuat: a) Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP b) Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP c) Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga d) PPN yang dipungut e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut f) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak dan g) Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. 13

Saat pembuatan Faktur Pajak Standar adalah paling lambat: a) pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan keseluruhan JKP dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan keseluruhan JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran b) pada saat penerimaan pembayaran dalam hal ini penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan atau sebelum penyerahan JKP. c) pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap penyerahan atau d) pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut PPN. 2) Faktur Pajak Sederhana Faktur Pajak Sederhana merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, atau penyerahan BKP dan atau JKP kepada pembeli dan atau penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap. Syarat-syarat Faktur Pajak Sederhana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Kep-97/PJ./2005 tentang perubahan ketiga atas Kep- 524/PJ./2000. Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat: a) Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP dan atau JKP b) Jenis dan kuantum BKP dan atau JKP yang diserahkan 14

c) Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN dicantumkan secara terpisah d) Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana Faktur Pajak Sederhana harus dibuat pada saat penyerahan BKP dan atau JKP atau pada saat pembayaran, apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP dan atau JKP. Faktur Pajak Sederhana dibuat paling sedikit dalam rangkap dua yaitu: - Lembar ke-1, untuk Pembeli BKP atau Penerima JKP. - Lembar ke-2, untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Sederhana. Tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP sepanjang memenuhi persyaratan diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana, yaitu bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli BKP dan atau penerima JKP sebagai dasar untuk pengkreditan Pajak Masukan. 3) Faktur Pajak Gabungan Faktur Pajak Gabungan menurut Undang-undang PPN adalah Faktur Pajak Standar yang meliputi seluruh penyerahan BKP/JKP yang terjadi selama satu bulan takwim untuk pembeli BKP/penerima JKP yang sama. Artinya, PKP diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan BKP/JKP yang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli BKP/penerima JKP yang sama. Faktur Pajak Gabungan dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP/JKP dalam hal 15

pembayaran terjadi setelah akhir bulan penyerahan atau pada akhir bulan penyerahan BKP/JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan. 2.1.2.5 Nota Retur Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh Pembeli, PPN dan PPnBM dari BKP yang dikembalikan tersebut dapat mengurangi Pajak Keluaran dan PPnBM yang terutang oleh PKP Penjual dan mengurangi Pajak Masukan dari PKP Pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas BKP yang dikembalikan telah dikreditkan. PKP Pembeli harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada PKP Penjual. Pengembalian BKP dianggap tidak terjadi dalam hal BKP yang dikembalikan diganti dengan Barang Kena Pajak yang sama, baik dalam jumlah fisik, jenis maupun harganya. Nota Retur harus dibuat dalam Masa pajak yang sama dengan Masa pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak. Pengurangan Pajak Masukan oleh PKP pembeli dilakukan dalam Masa pajak dibuatnya Nota Retur. Nota Retur sekurang-kurangnya mencantumkan: a) Nomor urut b) Nomor dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan c) Nama, alamat dan NPWP pembeli d) Nama, alamat, NPWP, serta nomor dan tanggal pengukuhan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak e) Macam, jenis, kuantum dan harga jual BKP yang dikembalikan 16

f) Pajak Pertambahan Nilai atas BKP yang dikembalikan g) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas BKP Yang Tergolong Mewah yang dikembalikan h) Tanggal pembuatan Nota retur i) Tanda tangan pembeli. Dalam hal Nota Retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka tidak dapat diperlakukan sebagai Nota Retur. Ketentuan mengenai nota retur diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 596/ KMK.04/1994 tentang Tata Cara Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk Barang Kena Pajak yang Dikembalikan. 2.1.2.6 Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean dan atau melakukan ekspor BKP diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP wajib memungut PPN yang terutang, menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta melaporkan hasil penghitungan PPN pada Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN). Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan 17

penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Kriteria Pengusaha Kecil yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 552/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 571/KMK.03/2003 adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sebelum BKP atau JKP dikonsumsi pada tingkat konsumen, PPN telah dipungut pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Pemungutan PPN dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Salah satu karakteristik PPN adalah tidak menimbulkan pajak berganda walaupun dikenakan pada setiap jalur perusahaan, karena PPN dikenakan atas pertambahan nilai dengan menggunakan metode pengkreditan. Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dibayarkan ke kas Negara merupakan hasil pengkreditan atau selisih antara Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran. Pajak Masukan (PM) adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan BKP. Sedangkan Pajak Keluaran (PK) adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP. Apabila dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran hasilnya adalah Pajak Keluaran lebih kecil dibandingkan dengan Pajak Masukan, maka terjadi kondisi Lebih Bayar. Kelebihan ini oleh Pengusaha Kena 18

Pajak yang bersangkutan dapat dikompensasikan pada masa pajak berikutnya atau direstitusi apabila kelebihan pajak terjadi dalam Masa pajak akhir tahun buku. Sebaliknya, jika hasilnya adalah Pajak Keluaran lebih besar dibandingkan Pajak Masukan, maka terjadi kondisi Kurang Bayar. Kekurangan ini oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut harus disetorkan ke Kas Negara melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos. Prinsip dasar mekanisme pengkreditan Pajak Masukan diatur dalam pasal 9 Undang-undang No.18 tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, adalah sebagai berikut: 1) Pajak Masukan dalam suatu Masa pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut dalam Masa pajak yang sama. 2) Apabila tidak dapat dikreditkan pada Masa pajak yang sama, misalnya Faktur Pajak terlambat diterima, Pajak Masukan tersebut masih bisa dikreditkan pada Masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya Masa pajak yang bersangkutan sepanjang: a) belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) pada harga perolehan Barang atau jasa Kena Pajak b) belum dilakukan pemeriksaan. 3) Apabila jangka waktu pengkreditan Pajak Masukan tersebut tiga bulan telah terlewati maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa pajak Pertambahan Nilai. 4) Dalam hal pada suatu Masa pajak belum terdapat Pajak Keluaran (misalnya belum ada produksi), Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. 19

5) Jika Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. 6) Jika Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka kelebihan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, adalah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan atau dijual. Syarat utama yang diperlukan untuk mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai adalah Faktur Pajak, hal tersebut diatur dalam Undang-undang No.18 Tahun 2000 pasal 1 angka 23. 2.1.2.7 Surat Pemberitahuan Masa PPN Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: (Sukardji, 2007:247) a) pengkreditan PM terhadap PK. b) pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan SPT Masa PPN bagi PKP pada umumnya adalah : 1) Formulir 1107, merupakan SPT Masa PPN induk berisi tentang identitas PKP, Penyerahan yang Terutang PPN, Penyerahan yang Tidak Terutang PPN dan Jumlah Penyerahan, Pajak Keluaran, Pajak yang Dapat Diperhitungkan, 20

Pajak yang Kurang atau Lebih Bayar, Jumlah Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan, Pembetulan (hanya diisi jika ada pembetulan). 2) Formulir 1107A, merupakan Lampiran 1 Daftar Lampiran Pajak Keluaran dan PPnBM antara lain berisi: Ekspor, Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak. 3) Formulir 1107B, merupakan Lampiran 2 Daftar Pajak Masukan dan PPnBM antara lain berisi: Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per-146/PJ./2006 dan perubahannya yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per-142/PJ./2007. SPT adalah Surat Pemberitahuan, yaitu : a) bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan tidak lebih dari 30 (tiga puluh) Faktur Pajak Standar dalam 1 (satu) Masa pajak adalah SPT Masa pajak Pertambahan Nilai (PPN) baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy) maupun dalam bentuk data elektronik b) bagi PKP yang menerbitkan lebih dari 30 (tiga puluh) Faktur Pajak Standar dalam 1 (satu) Masa pajak adalah SPT Masa PPN dalam bentuk data elektronik. SPT dapat berbentuk formulir kertas (hard copy) atau data elektronik, yang disampaikan dalam bentuk media elektronik atau melalui e-filling. Data elektronik adalah data SPT yang dihasilkan dari e-spt yaitu Aplikasi Pengisian 21

SPT. Media elektronik adalah sarana penyimpanan data elektronik yang dapat digunakan untuk memindahkan data dari suatu komputer ke komputer lainnya, antara lain : disket, flash disk, dan Compact Disk (CD). Dalam hal SPT disampaikan dalam bentuk data elektronik, PKP harus menggunakan e-spt yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Induk SPT tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy). SPT dapat disampaikan oleh PKP dengan cara : a) Manual, yaitu disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan atau Kantor Penyuluhan, Pengawasan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) setempat atau disampaikan melalui Kantor Pos secara tercatat atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau melalui perusahaan jasa kurir. Induk SPT-nya disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy), sedangkan Lampiran SPT dapat disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk media elektronik. b) Elektronik yaitu melalui e-filling Penyampaian SPT melalui e-filing adalah cara penyampaian dengan sistem on-line yang real time melalui satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) diatur bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat 22

Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Yang dimaksud dengan mengisi SPT adalah mengisi formulir SPT, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah: a) benar yaitu benar dalam penghitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. b) lengkap yaitu memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT c) jelas yaitu melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT. Kewajiban penyampaian SPT oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa pajak. SPT Masa PPN wajib disampaikan ke KPP di tempat pengusaha tersebut dikukuhkan sebagai PKP selambat-lambatnya tanggal 20 setelah akhir Masa pajak. Dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur, SPT Masa PPN harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya. Apabila SPT dikirim melalui kantor Pos dan Giro, tanda bukti serta tanggal pengiriman surat tercatat dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan SPT oleh PKP. Sesuai dengan Pasal 7 UU KUP, apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu 23

tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Apabila terdapat kekeliruan dalam pengisian SPT yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 2.1.3 Transaksi Konsinyasi Transaksi konsinyasi merupakan transaksi penitipan barang untuk dijual dimana pihak yang menyerahkan barang (pemilik) disebut consignor dan pihak yang menerima titipan barang tersebut disebut consignee. Menurut Hadori Yunus Harnanto (1981:152), konsinyasi merupakan suatu perjanjian dimana pihak yang memiliki barang menyerahkan sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan memberikan komisi. Unsur-unsur yang terdapat dalam transaksi konsinyasi adalah unsur perjanjian, pemilik barang, pihak yang dititipi barang, barang yang dititipkan, unsur penjualan dan komisi. Apabila salah satu unsur tidak dipenuhi maka suatu transaksi tidak bisa disebut sebagai transaksi konsinyasi. 24

2.1.4 PPN atas Transaksi Konsinyasi Transaksi konsinyasi adalah transaksi penitipan barang, atas transaksi tersebut mendapat konsekuensi pajak yaitu terutang Pajak Pertambahan Nilai pada saat barang tersebut dititipkan. Dalam pasal 1A ayat (1) huruf g Undang-undang PPN diatur bahwa penyerahan BKP secara konsinyasi termasuk dalam pengertian penyerahan BKP yang menjadi objek PPN. 2.1.5 Perlakuan PPN atas Transaksi Konsinyasi Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi konsinyasi bagi consignee meliputi empat perlakuan yaitu penghitungan PPN, penentuan saat terutang dan saat diperhitungkannya faktur pajak masukan, penyetoran PPN terutang dan pelaporannya dalam SPT Masa PPN. Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap transaksi konsinyasi diterapkan pada saat penyerahan barang konsinyasi dari consignor kepada consignee, penjualan barang konsinyasi, retur barang konsinyasi, penghitungan dan penyetoran PPN Kurang Bayar serta pelaporannya pada SPT Masa PPN. 2.1.5.1. Transaksi penyerahan barang dari consignor kepada consignee Saat terjadi penyerahan barang konsinyasi, terutang PPN sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yaitu nilai barang atau harga jual yang diserahkan consignor yang tertera pada bukti penerimaan barang. Harga jual sudah termasuk komisi biasanya sudah ditentukan oleh consignor. Consignor wajib menerbitkan faktur pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP atau pada saat penerimaan pembayaran 25

dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP. Apabila sudah diterbitkan faktur pajak maka diperhitungkan sebagai pajak Masukan. 2.1.5.2. Transaksi penjualan barang konsinyasi Saat terjadi penjualan barang konsinyasi kepada konsumen, consignee memungut PPN atas barang dijual senilai 10% dari DPP yaitu harga jual barang konsinyasi yang biasanya sudah ditentukan oleh consignor. Apabila penyerahan barang konsinyasi dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, atau kepada pembeli yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap, maka consignee harus menerbitkan faktur pajak sederhana pada saat dilakukan penyerahan barang konsinyasi. PPN yang dipungut dari konsumen tersebut merupakan Pajak Keluaran. 2.1.5.3. Transaksi retur barang konsinyasi Apabila barang konsinyasi tidak laku dijual atau karena suatu hal seperti kerusakan barang, jumlah atau kualifikasi barang tidak sesuai dan diputuskan untuk dikembalikan kepada consignor, consignee wajib menerbitkan nota retur. Berdasarkan pasal 5A UU PPN diatur bahwa, dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, PPN dari barang konsinyasi yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran bagi PKP penjual dan mengurangi Pajak Masukan bagi PKP pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan. Dengan demikian, Nota Retur akan mengurangi Pajak Masukan yang telah diperhitungkan oleh consignee. 26

2.1.5.4. Penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPN Konsinyasi Sebelum dilakukan penyetoran PPN terlebih dahulu dilakukan penghitungan Pajak Keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM). Pajak Keluaran diperoleh dari rekapitulasi faktur pajak keluaran yang diterbitkan oleh consignee pada saat penjualan sedangkan Pajak Masukan diperoleh dari rekapitulasi faktur pajak masukan yang diterbitkan oleh consignor pada saat penerimaan barang atau saat pembayaran. Apabila PM lebih besar dari PK maka terjadi PPN Lebih bayar yang bisa dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Apabila PK lebih besar dari PM maka terjadi PPN Kurang Bayar dan selisih tersebut harus disetor ke kas negara selambat-lambatnya tanggal 15 setelah akhir Masa pajak. Hasil Penghitungan PPN Kurang Bayar atau Lebih Bayar dilaporkan dalam SPT Masa PPN 1107. Apabila consignee menerbitkan faktur pajak keluaran melebihi 30 faktur pajak standar maka SPT wajib disampaikan dalam bentuk data elektronik berupa e-spt beserta hardcopy induk SPT yang telah ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk. SPT disampaikan ke KPP di tempat pengusaha tersebut dikukuhkan sebagai PKP selambat-lambatnya tanggal 20 setelah akhir Masa pajak. 27