BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi setiap individu telah diatur di dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan jumlah sekolah luar biasa di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

warga negara yang memiliki kekhususan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikannya. Salah satu usaha yang tepat dalam upaya pemenuhan kebutuhan khusus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdul Majid (2011:78) menjelaskan sabda Rasulullah SAW.

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN. A. Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusi di SD Negeri 02 Srinahan Kesesi

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan pendidikan adalah milik semua orang, tidak. terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keterbatasan yang dialami

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang telah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan inklusi, yaitu Peraturan Gubernur No. 116 tahun 2007 saja, masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

PENGUATAN EKOSISTEM PENDIDIKAN MELALUI BATOBO SEBAGAI OPTIMALISASI PENDIDIKAN INKLUSI DI PAUD

MANAJEMEN PENYELENGGARAAN KELAS AKSELERASI DALAM LAYANAN ANAK BERBAKAT DI SMP NEGERI I WONOGIRI TESIS

BAB 4 PROSES DAN HASIL PENGEMBANGAN

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis

EVALUASI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD NEGERI BANGUNREJO 2 YOGYAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dunia baik itu pendidikan formal maupun non formal. Begitu

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. Pancasila, dan dituntut untuk menjunjung tinggi norma Bhinneka Tuggal Ika,

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Bagian ini merupakan bab penutup, terdiri dari 1) Simpulan 2) Implikasi 3) Saran.

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam. perkembangan individu yang berlangsung sepanjang hayat.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang

BAB I PENDAHULUAN. anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata rata. Tuna

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan

2015 UPAYA GURU D ALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Namun terkait

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

PEDOMAN PELAKSANAAN PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU SMA NEGERI 2 KOTA KEDIRI TAHUN PELAJARAN 2017 / 2018

PENGETAHUAN MAHASISWA PG-PAUD UNIPA SURABAYA TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF

PEND. ANAK LUAR BIASA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizki Panji Ramadana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Nurhayati, 2013

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

BAB V PEMBAHASAN. berkebutuhan khusus di SMK Negeri 8 Surabaya. Surabaya semakin di percaya oleh mayarakat.

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan nasional yang secara tegas dikemukakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tujuan tersebut berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali oleh karena itu tidak hanya bagi warga negara Indonesia yang memiliki kondisi normal tetapi juga berlaku bagi warga negara yang memiliki kebutuhan khusus seperti anak yang berkelainan fisik,mental, sosial atau sering disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). (Widyastono, 2004). Untuk mencapai tujuan nasional yang tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bukanlah hal yang mudah. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan telah melakukan banyak usaha meskipun tidak sedikit kendala maupun rintangan yang ditemui di lapangan. Salah satu usaha yang dilakukan yaitu pembentukan Sekolah Luar Biasa. (Yusuf dan Indianto, 2010) Dahulu pelaksanaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dilakukan dalam satu sistem pendidikan yang terpisah dengan pendidikan bagi anak didik pada umumnya yaitu di Sekolah Luar Biasa (SLB). Sistem pendidikan yang demikian, ternyata menghambat anak tuna netra bahkan ABK lainnya 1

untuk mengembangkan kemandirian serta penyesuaian diri di masyarakat umum. Sementara itu, lokasi SLB dan SDLB pada umumnya berada di ibu kota kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus banyak tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), akibatnya sebagian anak berkebutuhan khusus tersebut tidak bersekolah karena lokasi SLB dan SDLB yang ada jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan sekolah umum belum memiliki kesiapan untuk menerima anak berkebutuhan khusus karena merasa tidak mampu untuk memberikan pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus di sekolahnya. Pemerintah menetapkan program pendidikan inklusif bahwa setiap anak dapat bersekolah dengan baik serta memperoleh pengetahuan yang setara dengan anak-anak pada umumnya (Direktorat PLB, 2002). Pendidikan Inklusif mempunyai landasan yang kuat yaitu berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 1, 2 dan 4 yang menegaskan bahwa: (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh hak istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus., (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk 2

memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler/ umum) dalam memperoleh pendidikan. Landasan huku dioperasionalkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Pendidikan inklusif merupakan perwujudan dari pendekatan inklusif yang untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak luar biasa secara integral dan manusiawi. Dalam pendidikan inklusif, pemenuhan kebutuhan anak luar biasa tidak dimulai dari penyesuaian-penyesuaian anak terhadap sistem pendidikan, metode, maupun lingkungannya, melainkan yang terjadi sebaliknya, sistem menyesuaikan dengan kebutuhan anak. (Widyastono, 2004) Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga merupakan salah satu sekolah di Salatiga yang ditunjuk mengimplementasikan pendidikan inklusif. Diharapkan sekolah dapat menerapkan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa inklusif di sekolahnya. Sebagai program yang baru, pendidikan inklusif telah dijalankan sekolah tahun pelajaran 2011/2012-2012/2013. Walaupun telah 2 tahun dalam menerapkan pendidikan inklusif, masih terdapat kekurangan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut dibuktikan dari tabel indikator Penyelenggaraan 3

pendidikan inklusif. Tabel indikator yang disusun mengacu pada Permendiknas No 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memilki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat istimewa. Tabel. 1.1. Scoring Indikator Penyelenggaran Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 7 Salatiga No Pasal Skor tertinggi Skor 1. 2 ayat 1 1 5 2 2. 2 ayat 2 1 5 2 3. 3 ayat 1 1 5 2 4. 4 ayat 2 1 5 2 5. 5 ayat 2 1 5 1 6. 7 ayat 1 1 5 5 7. 8 1 5 4 8. 9 ayat 1 1 5 4 9. 9 ayat 2 1 5 5 10. 9 ayat 3 1 5 1 11. 9 ayat 4 1 5 5 12. 9 ayat 6 1 5 1 13. 10 ayat 1 1 5 1 14. 11 ayat 1 1 5 4 15. 11 ayat 3 1 5 3 16. 11 ayat 5 1 5 2 Jumlah : 44 Keterangan Penilaian. Jika skor : 5 = Komponen pada indikator Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi dilaksanakan 100 % 4 = Komponen pada indikator Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi dlaksanakan 75 % 3 = Komponen pada indikator Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi dilaksanakan 50 % 4

2 = Komponen pada indikator Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi dilaksanakan 25% 1 =Komponen pada indikator Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi tidak dilaksanakan sama sekali. Prosentase Tingkat Pengembangan: = 55 % Berdasarkan perhitungan, prosentase tingkat pelakasanaan Pendidikan Inklusif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga mencapai 55 %, sehingga menunjukkan pelaksanaannya belum optimal sesuai dengan Permendiknas No 70 Tahun 2009. Mengacu pada Penilaian penerapan Permendiknas No 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan PKLK, ada beberapa hal yang perlu dikaji lebih jauh untuk ditindaklanjuti. Antara lain : 1. Pemahaman pendidik/sekolah bahwa Guru Pendamping Khusus (GPK) tidak terlalu dibutuhkan melihat bahwa Anak Berkebutuhan khusus yang dimiliki sekolah hanya peserta didik slow learner. 2. Dalam pendidikan inklusif sekolah hanya membangun jaringan dengan Sekolah Luar Biasa dalam pelaksanaannya juga belum optimal. Sementara, dengan perguruan tinggi, organisasi 5

profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat, belum terbangun jaringan. 3. Penerimaan siswa inklusif yang hanya dibatasi pada siswa slow learner saja. Setelah dilakukan observasi awal pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga, peneliti mendapatkan model gambaran tentang model pengembangan proses pembelajaran inklusif. Adapun model dibawah ini mengacu pada Permendiknas No 70 Tahun 2009. Input Proses Output Lingkungan Ada Seleksi Siswa Inklusif Mengacu pada KTSP Pembelajaran Umumnya Kebutuhan Siswa Kelas Tambahan Bagi Siswa Inklusif (Slow Learner) serta Remedial Evalusi (tes) Berdasarkan KKM Ujian Nasional Gambar 1.1 (Gambaran Awal Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 7 Salatiga berdasarkan PP No.70) Penjelasan Gambar : Feed Back 6

1. Lingkungan Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Salatiga sebagai faktor pendukung Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga, ditunjuk sebagai salah satu sekolah menengah pertama inklusif di Kota Salatiga. 2. Dalam penerimaan siswa, terjadi penyeleksian siswa inklusif. Walaupun Pendidikan inklusif yang dijalankan oleh sekolah sampai saat ini, hanya berlaku bagi kelas IX atau kelas 3 SMP saja. Dalam penerimaan siswa baru dilakukan assesmen awal, pengidentifikasian dengan tujuan mengukur sejauh mana tingkat perkembangan anak. Dari proses ini sekolah menemukan siswa inklusif, yang akan dibantu dalam proses pembelajaran, 3. Proses pembelajaran yang dijalankan oleh sekolah terhadap anak berkebutuhan khusus (slow learner) tidak jauh berbeda dengan anak lainnya, yakni mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bagi siswa inklusif sendiri diberikan kelas tambahan yang diadakan setelah jam sekolah usai. Waktu yang diberikan selama 1 jam. Proses pembelajaran yang terjadi selama 1 jam yaitu membahas mata pelajaran yang akan di UN kan, seperi Matematika, Bahasa Indonesia, serta mata pelajaran Agama. Dalam proses pembelajaran guru melihat kebutuhan siswa sehingga dalam prosesnya tidak terjadi kesenjangan antara guru dan siswa, melainkan sikap terbuka satu dengan yang lainnya. 4. Dari proses yang dijalankan akan menghasilkan output. Output yang dihasilkan yaitu diukur dalam bentuk ulangan, tes, ujian (berlaku bagi semua siswa, tanpa terkecuali), penilaian yang dilakukan berdasarkan KKM, dan output yang terakhir siswa melakukan Ujian Nasional, dan jika lulus, akan naik kelas atau melanjutkan ke SMA reguler, atau jika hanya tamat, dapat melanjutkan ke SMA Inklusif sebagai ukuran keberhasilan dalam proses pendidikan. 7

5. Feed Back berimplikasi langsung terhadap input, proses, juga output. Feedback terhadap input ; selalu ada siswa inklusif sepanjang penerimaan siswa, dalam prosesnya terjadi interaksi antar siswa dan guru, output yang dihasilkan berupa keberhasilan siswa inklusif dalam proses pembelajaran, serta diukur dalam hasil akhir tes semester maupun ujian nasional. Setelah mengukur sejauh mana Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga menerapkan model pendidikan inklusif yang mengacu pada Permendiknas No 70 Tahun 2009, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji lebih jauh untuk ditindaklanjuti. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di sekolah ini, dengan fokus penelitian pada Pengembangan Model Pembelajaran Inklusif slow learner di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga, melihat proses pembelajaran yang dilaksanakan sekolah belum sesuai dengan acuan Permendiknas No 70 Tahun 2009. 1.2. Rumusan Masalah Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah model pembelajaran inklusif slow learner di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu mengembangkan model pembelajaran inklusif slow learner di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga. 8

1.4. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab, yang dapat diuraikan sebagai berikut : Bab 1 : Pendahuluan, memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika Penulisan. Bab 2 : Kajian Teori, memuat latar belakang pendidikan inklusif, pengertian pendidikan inklusif, hakikat dan tujuan pendidikan inklusif, peran dan tanggung jawan dalam pelaksanaan LIRP (Lingkungan Inklusi Ramah Pendidikan), pembelajaran, model pengembangan pembelajaran, dan, penelitian yang relevan. Bab 3 : Metode Penelitian, memuat jenis penelitian, sumber data, prosedur model pengembangan pembelajaran inklusif, instrumen penelitan, teknik pengumpulan data, dan analisis data. Bab 4 : Analisis Hasil Penelitian, memuat profil sekolah, prosedur model pengembangan pembelajaran, analisis, hasil analisis, dan pengembangan model pembelajaran inklusif. Bab 5 : Penutup, memuat kesimpulan, saran, dan keterbatasan penelitian. 9