BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan nasional yang secara tegas dikemukakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tujuan tersebut berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali oleh karena itu tidak hanya bagi warga negara Indonesia yang memiliki kondisi normal tetapi juga berlaku bagi warga negara yang memiliki kebutuhan khusus seperti anak yang berkelainan fisik,mental, sosial atau sering disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). (Widyastono, 2004). Untuk mencapai tujuan nasional yang tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bukanlah hal yang mudah. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan telah melakukan banyak usaha meskipun tidak sedikit kendala maupun rintangan yang ditemui di lapangan. Salah satu usaha yang dilakukan yaitu pembentukan Sekolah Luar Biasa. (Yusuf dan Indianto, 2010) Dahulu pelaksanaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dilakukan dalam satu sistem pendidikan yang terpisah dengan pendidikan bagi anak didik pada umumnya yaitu di Sekolah Luar Biasa (SLB). Sistem pendidikan yang demikian, ternyata menghambat anak tuna netra bahkan ABK lainnya 1
untuk mengembangkan kemandirian serta penyesuaian diri di masyarakat umum. Sementara itu, lokasi SLB dan SDLB pada umumnya berada di ibu kota kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus banyak tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), akibatnya sebagian anak berkebutuhan khusus tersebut tidak bersekolah karena lokasi SLB dan SDLB yang ada jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan sekolah umum belum memiliki kesiapan untuk menerima anak berkebutuhan khusus karena merasa tidak mampu untuk memberikan pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus di sekolahnya. Pemerintah menetapkan program pendidikan inklusif bahwa setiap anak dapat bersekolah dengan baik serta memperoleh pengetahuan yang setara dengan anak-anak pada umumnya (Direktorat PLB, 2002). Pendidikan Inklusif mempunyai landasan yang kuat yaitu berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 1, 2 dan 4 yang menegaskan bahwa: (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh hak istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus., (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk 2
memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler/ umum) dalam memperoleh pendidikan. Landasan huku dioperasionalkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Pendidikan inklusif merupakan perwujudan dari pendekatan inklusif yang untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak luar biasa secara integral dan manusiawi. Dalam pendidikan inklusif, pemenuhan kebutuhan anak luar biasa tidak dimulai dari penyesuaian-penyesuaian anak terhadap sistem pendidikan, metode, maupun lingkungannya, melainkan yang terjadi sebaliknya, sistem menyesuaikan dengan kebutuhan anak. (Widyastono, 2004) Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga merupakan salah satu sekolah di Salatiga yang ditunjuk mengimplementasikan pendidikan inklusif. Diharapkan sekolah dapat menerapkan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa inklusif di sekolahnya. Sebagai program yang baru, pendidikan inklusif telah dijalankan sekolah tahun pelajaran 2011/2012-2012/2013. Walaupun telah 2 tahun dalam menerapkan pendidikan inklusif, masih terdapat kekurangan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut dibuktikan dari tabel indikator Penyelenggaraan 3
pendidikan inklusif. Tabel indikator yang disusun mengacu pada Permendiknas No 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memilki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat istimewa. Tabel. 1.1. Scoring Indikator Penyelenggaran Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 7 Salatiga No Pasal Skor tertinggi Skor 1. 2 ayat 1 1 5 2 2. 2 ayat 2 1 5 2 3. 3 ayat 1 1 5 2 4. 4 ayat 2 1 5 2 5. 5 ayat 2 1 5 1 6. 7 ayat 1 1 5 5 7. 8 1 5 4 8. 9 ayat 1 1 5 4 9. 9 ayat 2 1 5 5 10. 9 ayat 3 1 5 1 11. 9 ayat 4 1 5 5 12. 9 ayat 6 1 5 1 13. 10 ayat 1 1 5 1 14. 11 ayat 1 1 5 4 15. 11 ayat 3 1 5 3 16. 11 ayat 5 1 5 2 Jumlah : 44 Keterangan Penilaian. Jika skor : 5 = Komponen pada indikator Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi dilaksanakan 100 % 4 = Komponen pada indikator Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi dlaksanakan 75 % 3 = Komponen pada indikator Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi dilaksanakan 50 % 4
2 = Komponen pada indikator Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi dilaksanakan 25% 1 =Komponen pada indikator Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi tidak dilaksanakan sama sekali. Prosentase Tingkat Pengembangan: = 55 % Berdasarkan perhitungan, prosentase tingkat pelakasanaan Pendidikan Inklusif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga mencapai 55 %, sehingga menunjukkan pelaksanaannya belum optimal sesuai dengan Permendiknas No 70 Tahun 2009. Mengacu pada Penilaian penerapan Permendiknas No 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan PKLK, ada beberapa hal yang perlu dikaji lebih jauh untuk ditindaklanjuti. Antara lain : 1. Pemahaman pendidik/sekolah bahwa Guru Pendamping Khusus (GPK) tidak terlalu dibutuhkan melihat bahwa Anak Berkebutuhan khusus yang dimiliki sekolah hanya peserta didik slow learner. 2. Dalam pendidikan inklusif sekolah hanya membangun jaringan dengan Sekolah Luar Biasa dalam pelaksanaannya juga belum optimal. Sementara, dengan perguruan tinggi, organisasi 5
profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat, belum terbangun jaringan. 3. Penerimaan siswa inklusif yang hanya dibatasi pada siswa slow learner saja. Setelah dilakukan observasi awal pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga, peneliti mendapatkan model gambaran tentang model pengembangan proses pembelajaran inklusif. Adapun model dibawah ini mengacu pada Permendiknas No 70 Tahun 2009. Input Proses Output Lingkungan Ada Seleksi Siswa Inklusif Mengacu pada KTSP Pembelajaran Umumnya Kebutuhan Siswa Kelas Tambahan Bagi Siswa Inklusif (Slow Learner) serta Remedial Evalusi (tes) Berdasarkan KKM Ujian Nasional Gambar 1.1 (Gambaran Awal Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 7 Salatiga berdasarkan PP No.70) Penjelasan Gambar : Feed Back 6
1. Lingkungan Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Salatiga sebagai faktor pendukung Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga, ditunjuk sebagai salah satu sekolah menengah pertama inklusif di Kota Salatiga. 2. Dalam penerimaan siswa, terjadi penyeleksian siswa inklusif. Walaupun Pendidikan inklusif yang dijalankan oleh sekolah sampai saat ini, hanya berlaku bagi kelas IX atau kelas 3 SMP saja. Dalam penerimaan siswa baru dilakukan assesmen awal, pengidentifikasian dengan tujuan mengukur sejauh mana tingkat perkembangan anak. Dari proses ini sekolah menemukan siswa inklusif, yang akan dibantu dalam proses pembelajaran, 3. Proses pembelajaran yang dijalankan oleh sekolah terhadap anak berkebutuhan khusus (slow learner) tidak jauh berbeda dengan anak lainnya, yakni mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bagi siswa inklusif sendiri diberikan kelas tambahan yang diadakan setelah jam sekolah usai. Waktu yang diberikan selama 1 jam. Proses pembelajaran yang terjadi selama 1 jam yaitu membahas mata pelajaran yang akan di UN kan, seperi Matematika, Bahasa Indonesia, serta mata pelajaran Agama. Dalam proses pembelajaran guru melihat kebutuhan siswa sehingga dalam prosesnya tidak terjadi kesenjangan antara guru dan siswa, melainkan sikap terbuka satu dengan yang lainnya. 4. Dari proses yang dijalankan akan menghasilkan output. Output yang dihasilkan yaitu diukur dalam bentuk ulangan, tes, ujian (berlaku bagi semua siswa, tanpa terkecuali), penilaian yang dilakukan berdasarkan KKM, dan output yang terakhir siswa melakukan Ujian Nasional, dan jika lulus, akan naik kelas atau melanjutkan ke SMA reguler, atau jika hanya tamat, dapat melanjutkan ke SMA Inklusif sebagai ukuran keberhasilan dalam proses pendidikan. 7
5. Feed Back berimplikasi langsung terhadap input, proses, juga output. Feedback terhadap input ; selalu ada siswa inklusif sepanjang penerimaan siswa, dalam prosesnya terjadi interaksi antar siswa dan guru, output yang dihasilkan berupa keberhasilan siswa inklusif dalam proses pembelajaran, serta diukur dalam hasil akhir tes semester maupun ujian nasional. Setelah mengukur sejauh mana Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga menerapkan model pendidikan inklusif yang mengacu pada Permendiknas No 70 Tahun 2009, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji lebih jauh untuk ditindaklanjuti. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di sekolah ini, dengan fokus penelitian pada Pengembangan Model Pembelajaran Inklusif slow learner di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga, melihat proses pembelajaran yang dilaksanakan sekolah belum sesuai dengan acuan Permendiknas No 70 Tahun 2009. 1.2. Rumusan Masalah Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah model pembelajaran inklusif slow learner di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu mengembangkan model pembelajaran inklusif slow learner di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga. 8
1.4. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab, yang dapat diuraikan sebagai berikut : Bab 1 : Pendahuluan, memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika Penulisan. Bab 2 : Kajian Teori, memuat latar belakang pendidikan inklusif, pengertian pendidikan inklusif, hakikat dan tujuan pendidikan inklusif, peran dan tanggung jawan dalam pelaksanaan LIRP (Lingkungan Inklusi Ramah Pendidikan), pembelajaran, model pengembangan pembelajaran, dan, penelitian yang relevan. Bab 3 : Metode Penelitian, memuat jenis penelitian, sumber data, prosedur model pengembangan pembelajaran inklusif, instrumen penelitan, teknik pengumpulan data, dan analisis data. Bab 4 : Analisis Hasil Penelitian, memuat profil sekolah, prosedur model pengembangan pembelajaran, analisis, hasil analisis, dan pengembangan model pembelajaran inklusif. Bab 5 : Penutup, memuat kesimpulan, saran, dan keterbatasan penelitian. 9