METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24

dokumen-dokumen yang mirip
KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA KALA HIDUP SATELIT

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

METODE BARU PRAKIRAAN SIKLUS AKTIVITAS MATAHARI DARI ANAL1SIS PERIODISITAS

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG

FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

PREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

IDENTIFIKASI MODEL INDEKS K GEOMAGNET BERDASARKAN SIFAT STOKASTIK

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)

Model Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang. Habirun. Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Junjunan No.

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET

ANALISIS KONDISI ANTARIKSA DI ORBIT LAPAN A2 MENJELANG PUNCAK AKTIVITAS MATAHARI SIKLUS 24

PREDIKSI JANGKA PENDEK B ULAN AN JUMLAH FLARE DENGAN MODEL ARIMA (p,d,[q]), (P,D,Q)' 32

STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMODELAN MULTIVARIATE ADAPTIVE REGRESSION SPLINES (MARS) PADA FAKTOR-FAKTOR RESIKO ANGKA KESAKITAN DIARE

ABSTRAK. Kata Kunci: Sunspot, Aktivitas Matahari, Klasifikasi Mcintosh, Flare

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

ANALISIS KOMPATIBILITAS INDEKS IONOSFER REGIONAL [COMPATIBILITY ANALYSIS OF REGIONAL IONOSPHERIC INDEX]

LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI

MODEL PREDIKSI GREY UNTUK GM(1,1) DAN GREY VERHULST

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

SELEKSI PARAMETER MASUKAN MODEL TEC IONOSFER DI DAERAH LINTANG RENDAH [INPUT PARAMATERS SELECTION OF IONOSPHERIC TEC MODEL AT LOW LATITUDE REGION]

1. I Wayan Sumarjaya, S.Si, M.Stats. 2. I Gusti Ayu Made Srinadi, S.Si, M.Si. ABSTRAK

Sri Suhartini *)1, Irvan Fajar Syidik *), Annis Mardiani **), Dadang Nurmali **) ABSTRACT

JURNAL SAINS DIRGANTARA Journal of Aerospace Sciences

ANALYSIS OF TIME SERIES DATA (EL NINO and Sunspot) BASED ON TIME- FREQUENCY

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

Sri Suhartini 1, Irvan Fajar Syidik, Slamet Syamsudin Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 15 Februari 2014; Disetujui 17 April 2014

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

MODEL POLA HARI TENANG MEDAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG MENGGUNAKAN PERSAMAAN POLINOM ORDE-4

TELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG

PENGEMBANGAN PIRANTI LUNAK WEIGHTED WAVELET Z-TRANSFORM (WWZ) DALAM ANALISIS SPEKTRAL AKTIVITAS MATAHARI

Buldan Muslim Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

Analisis Variasi Komponen H Geomagnet Pada Saat Badai Magnet

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika Jurusan Fisika. diajukan oleh SUMI DANIATI

PERAN DIMENSI FRAKTAL DALAM RISET GEOMAGSA

PREDIKSI TOTAL HUJAN BULANAN DI TANJUNGPANDAN MENGGUNAKAN PERSAMAAN REGRESI DENGAN PREDIKTOR SST NINO 3.4 DAN INDIA OCEAN DIPOLE (IOD)

BAB III METODE PENELITIAN

Peramalan (Forecasting)

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

PREDIKSI HARGA SAHAM PT. BRI, Tbk. MENGGUNAKAN METODE ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average)

ANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

ANALISA VARIABILITAS CURAH HUJAN DI PALU BERDASARKAN DATA PENGAMATAN TAHUN

DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )

PERBANDINGAN PERHITUNGAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG (175 4'BT; 17 6'LS)

YANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

MODEL EMPIRIS HARI TENANG VARIASI MEDAN GEOMAGNET DI STASIUN GEOMAGNET TONDANO MANADO

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

ANALISIS FUNGSI AKTIVASI RBF PADA JST UNTUK MENDUKUNG PREDIKSI GANGGUAN GEOMAGNET

ESTIMASI PARAMETER MODEL HYBRIDIZING EXPONENTIAL SMOOTHING DAN NEURAL NETWORK PADA HASIL PENGUKURAN MEAN SEA LEVEL SATELIT ALTIMETRI JASON 2

ANALI5IS BADAI MAGNET BUMI PERIODIK

PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE

PEMODELAN DATA INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN. Disusun Oleh : NOVIA AGUSTINA. Skripsi. Jurusan Statistika Fakultas Sains dan Matematika Undip

KARAKTERISTIK VARIASI HARIAN KOMPONEN H GEOMAGNET REGIONAL INDONESIA

IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET

EVALUASI DAN PREDIKSI CUACA ANTARIKSA BERDASARKAN PERUBAHAN HARIAN INDEKS AKTIVITAS MATAHARI:

JURNAL SAINS DIRGANTARA Journal of Aerospace Sciences

ANCAMAN BADAI MATAHARI

JURNAL SAINS DIRGANTARA Journal of Aerospace Sciences

PENERAPAN LOGIKA FUZZY UNTUK MEMPREDIKSI CUACA HARIAN DI BANJARBARU

EXECUTIVE SUMMARY PROGRAM INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA (IPKPP) TAHUN ANGGARAN 2012

PENERAPAN MODEL ARIMA UNTUK MEMPREDIKSI HARGA SAHAM PT. TELKOM Tbk. APPLICATION OF ARIMA TO FORECASTING STOCK PRICE OF PT. TELOKM Tbk.

BAB 1 PENDAHULUAN. pengamatan parameter-parameter cuaca secara realtime maupun dengan alat-alat

METODE REGRESI DATA PANEL UNTUK PERAMALAN KONSUMSI ENERGI DI INDONESIA

PEMODELAN PERAMALAN PENJUALAN PAKAN UDANG PADA PT CENTRAL PROTEINA PRIMA, TBK DENGAN METODE PEMULUSAN EKSPONENSIAL (EXPONENTIAL SMOOTHING) SKRIPSI

MODEL KOEFISIEN BALISTIK SATELIT LEO SEBAGAI FUNGSI CUACA ANTARIKSA

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP KENAIKAN TEMPERATUR GLOBAL

PENENTUAN INDEKS AKTIV1TAS MATAHARI EKSTRIM HARIAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

ANALISIS MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERDASARKAN POSISI MATAHARI

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL

Prediksi Jumlah Penumpang Kapal Laut di Pelabuhan Laut Manado Menggunakan Model ARMA

ANALISIS MULTIVARIAT PADA DATA INDEKS GEOMAGNET GLOBAL

ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

PERAMALAN DATA INFLASI DENGAN KOMBINASI FITTING SINUSOIDS DAN PERAMALAN INDEKS MUSIM

ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC

KLASIFIKASI DAN PERUBAHAN JUMLAH SUNSPOT DIAMATI DARI LABORATORIUM ASTRONOMI JURUSAN FISIKA FMIPA UM PADA BULAN AGUSTUS OKTOBER 2012

PENENTUAN MODEL POLA HARI TENANG STASIUN GEOMAGNET TANGERANG MENGGUNAKAN DERET FOURIER

Transkripsi:

METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24 Johan Muhamad Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN E-mail: johan_m@bdg.lapan.go.id ABSTRACT A Non-linear Fitting method was developed from a model previously developed by LAPAN to predict the solar cycle 24. By determining parameters of the model equation, and testing the model to reconstruct solar cycles 21-23, this model was then used to predict the solar cycle 24. Prediction for the solar cycle 24 was made by using the nonlinear fitting equation with the recent data of smoothed sunspot number and the latest finding by other researches. The solar cycle 24 is predicted to be lower in amplitude than the solar cycle 23, and reaches its maximum in September 2012. ABSTRAK Untuk membuat prakiraan siklus matahari ke-24, dikembangkanlah metode nonlinier fitting yang telah dikembangkan sebelumnya oleh LAPAN. Dengan menentukan parameter-parameter persamaan model yang telah dibuat dan melakukan uji coba model tersebut untuk merekonstruksi siklus 21-23, dapat diketahui bahwa model ini dapat digunakan untuk memperkirakan siklus 24 matahari. Prakiraan siklus ke-24 matahari dibuat menggunakan persamaan hasil non-linier fitting melalui penggunaan data terbaru bilangan sunspot bulanan dan memadukannya dengan hasil temuan terbaru tentang prakiraan siklus ke-24. Siklus 24 diperkirakan akan lebih rendah dari siklus 23 dan mencapai puncaknya pada bulan September 2012. Kata kunci: Non-linier fitting, Siklus matahari, Sunspot 1 PENDAHULUAN Aktivitas matahari yang berdampak pada cuaca antariksa memiliki siklus dengan panjang siklus rata-rata sekitar sebelas tahun. Siklus matahari ini kini menjadi penting untuk dipahami seiring dengan semakin berkembangnya teknologi yang dipengaruhi oleh cuaca antariksa seperti teknologi satelit dan komunikasi. Dengan mengetahui karakteristik siklus matahari pada suatu waktu, maka aktivitas matahari pada waktu tersebut dapat diperkirakan. Kebutuhan akan pengetahuan mengenai aktivitas matahari di masa mendatang ini telah mendorong para ilmuwan di seluruh dunia untuk melakukan prediksi siklus matahari. Adanya prediksi mengenai waktu kemunculan puncak siklus dan amplitudo siklus matahari berikutnya dapat membantu mengantisipasi dampak buruk aktivitas matahari khususnya pada saat aktivitas puncak terjadi. Prediksi siklus matahari merupakan suatu tantangan yang cukup sulit. Hal ini disebabkan tingginya variabilitas siklus matahari baik dari segi fase maupun amplitudonya. Belum adanya model fisis matahari yang akurat juga menjadi hambatan bagi ditemukannya metode prediksi siklus matahari yang akurat (Sello, 1999). Meskipun demikian, telah banyak metode yang berkembang dalam memprediksi siklus matahari. Secara umum, metode prediksi siklus matahari dapat dikelompokkan dalam 70

Metode Non-Linier Fitting untuk Prakiraan Siklus Matahari... (Johan Muhamad) metode pendekatan fisis, statistik, dan gabungan antara keduanya. Untuk membuat prediksi siklus matahari, pemahaman terhadap karakteristik siklus-siklus matahari sebelumnya perlu dilakukan. Hal ini penting agar dapat mengetahui kecenderungan perilaku matahari pada siklus berikutnya. Secara statistika, data karakteristik siklussiklus sebelumnya dapat menunjukkan pola perulangan untuk prediksi siklus berikutnya. Sedangkan dalam analisa fisis, data siklus-siklus sebelumnya dapat menentukan pembuatan model fisis yang sesuai untuk prediksi siklus berikutnya. Sebelum siklus ke-24 dimulai, setidaknya telah ada 45 model prediksi siklus ke-24 (Pesnell, 2007). Di antaranya ada yang memperkirakan bahwa siklus ke-24 akan mencapai nilai yang tinggi pada puncaknya (Hathaway and Wilson, 2006), sedangkan yang lain memperkirakan nilai yang rendah (Clilverd et al., 2006) dan sedang (Hiremath, 2007). Perkembangan prediksi siklus matahari terus dievaluasi dengan menggunakan data terbaru oleh para ilmuwan di dunia dalam suatu pertemuan para ahli fisika matahari di panel siklus matahari 24 yang disponsori oleh NASA. Pada makalah ini digunakan metode non-linier fitting untuk memprediksi siklus ke-24 yang digunakan oleh Pusfatsainsa LAPAN Bandung dan ditampilkan dalam website LAPAN Bandung. Fitting kurva dilakukan dengan menggunakan persamaan pendekatan kurva dari siklus matahari terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya oleh Herdiwijaya dkk. (dalam Yatini et al., 2003). Dengan melakukan perubahan beberapa parameter dan koefisien persamaan, serta menggunakan data terbaru dari data bilangan sunspot, diharapkan panjang siklus dan amplitudo siklus ke- 24 dapat diprediksi dengan lebih akurat. 2 DATA DAN METODOLOGI 2.1 Data Persamaan pendekatan kurva siklus matahari sebelumnya (Yatini et al., 2003) diuji dengan memasukkan nilai bilangan sunspot bulanan (smoothing sunspot number) sebagai parameter utama. Data-data bilangan sunspot yang digunakan didapat dari bilangan sunspot internasional Solar Influences Data Analysis Center (SIDC). Penggunaan bilangan sunspot bulanan sebagai input dapat memberikan sebaran data yang lebih banyak sehingga kedekatan kurva prediksi (curve fitting) dengan nilai sebenarnya dapat lebih akurat (Herdiwijaya, 2008). Data bilangan sunspot bulanan yang digunakan dalam penelitian ini didapat hingga bulan April 2008. Data bulan April 2008 ini akan dianggap sebagai awal dari siklus 24. 2.2 Metode Pengujian persamaan dilakukan untuk mengetahui validitas persamaan tersebut terhadap input bilangan sunspot bulanan, karena input sebelumnya ialah bilangan sunspot tahunan (Yatini et al., 2003). Dari uji coba ini diketahui bahwa persamaan tersebut dapat digunakan untuk input bilangan sunspot bulanan dengan mengubah beberapa cara penentuan koefisien. Berdasarkan uji coba fitting kurva yang dilakukan, didapatkan persamaan pendekatan untuk melakukan prediksi siklus matahari seperti ditunjukkan pada persamaan 2-1. Keterangan: (2-1) R = jumlah bilangan sunspot yang diprediksi, = jumlah bilangan sunspot pada awal siklus, 71

x = waktu (dalam tahun), = waktu pada saat terjadi puncak siklus, dan nilai-nilai a, b, dan c merupakan koefisien yang besarnya ditentukan untuk setiap siklus. Dari percobaan terhadap beberapa siklus matahari sebelumnya, nilai koefisien persamaan untuk setiap siklus dapat diketahui memberikan hasil optimal sebagai berikut: nilai a mengindikasikan setengah dari nilai bilangan sunspot maksimum setiap siklus (Rmax), b mengindikasikan nilai 2 kali panjang siklus (dalam tahun), dan c mengindikasikan fase setiap kurva yang memberikan hasil optimal pada nilai 1. Nilai c pada persamaan tidak langsung diberikan harga 1 untuk menandakan bahwa c merupakan koefisien yang bisa berubah. Sampai di sini, metode fitting kurva telah selesai digunakan. Tahap berikutnya ialah uji coba persamaan 2-1 dengan cara membuat rekonstruksi siklus berdasarkan parameter yang diketahui. Untuk keperluan ini, dilakukanlah rekonstruksi siklus ke 21, 22, dan 23 menggunakan persamaan 2-1. Pada proses ini, tahapan yang terbalik dengan metode fitting kurva dilakukan. Kurva bilangan sunspot bulanan yang telah ada (didapat dari SIDC) tidak digunakan sebagai alat fitting untuk mendapatkan kurva prediksi, tetapi hanya digunakan sebagai pembanding dari kurva hasil prediksi yang dibuat dengan menggunakan persamaan 2-1. Karena persamaan 2-1 hanya dapat digunakan untuk memprediksi satu siklus, pembuatan rekonstruksi untuk siklus 21, 22, dan 23 tidak dapat dilakukan secara kontinyu dari satu siklus ke siklus berikutnya, melainkan dibuat per siklus. Hasil rekonstruksi siklus 21, 22, dan 23 serta perbandingannya dengan nilai monthly smoothed sunspot number dapat dilihat pada Gambar 2-1. Dari Gambar 2-1 dapat dilihat bahwa kurva hasil prediksi menunjukkan kedekatan dengan nilai smoothed sunspot number pada awal siklus hingga mendekati ujung akhir siklus. Kurva hasil rekonstruksi menunjukkan nilai koefisien determinasi R 2 bernilai 0.977 untuk siklus 21, 0.965 untuk siklus 22, dan 0.962 untuk siklus 23. Pada akhir siklus, kurva agak menjauh dari nilai sebenarnya karena turun terlalu jauh. Akibatnya, kurva hasil rekonstruksi ini tidak saling bertemu untuk setiap siklus. Nilai pada persamaan 2-1 juga tidak tepat menghasilkan puncak kurva rekonstruksi, melainkan agak bergeser ke kanan sehingga untuk kondisi siklus dengan dua puncak, kurva hasil rekonstruksi lebih menunjukkan nilai pertengahan. Dengan mengacu pada persamaan 2-1, prediksi siklus ke-24 dapat dilakukan dengan syarat parameter dan koefisien persamaan 2-1 untuk siklus 24 dapat diketahui terlebih dahulu. Tentu saja hal ini tidak semudah membuat rekonstruksi siklus-siklus sebelumnya karena beberapa parameter belum benar-benar diketahui. Setidaknya ada beberapa parameter yang harus diketahui untuk membuat prediksi siklus ke-24 yang akurat yaitu waktu mulainya siklus 24, nilai bilangan sunspot bulanan pada saat siklus 24 dimulai, panjang siklus 24, waktu terjadinya puncak siklus 24, dan nilai sunspot bulanan pada saat puncak siklus 24. Untuk mendapatkan nilai-nilai tersebut, dilakukanlah analisis dari beberapa metode yang telah ada dan dilihat kecenderungan siklus ke-24 berdasarkan data terbaru. 72

Metode Non-Linier Fitting untuk Prakiraan Siklus Matahari... (Johan Muhamad) Gambar 2-1: Kurva hasil rekonstruksi untuk siklus 21, 22, dan 23 dinyatakan dengan garis utuh (-), sedangkan kurva monthly smoothed sunspot number dinyatakan dengan lambang silang (x) 3 HASIL PREDIKSI SIKLUS KE-24 DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Prediksi Siklus Ke-24 Salah satu parameter terpenting yang harus diketahui dalam membuat prediksi siklus ialah nilai maksimum (Rmax) suatu siklus. Nilai ini sangat penting karena akan sangat berpengaruh terhadap bentuk prediksi siklus secara keseluruhan. Untuk itu, perkiraan terhadap nilai maksimum siklus perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum menentukan nilai lainnya. Selain itu, prakiraan puncak siklus juga dapat memberikan gambaran mengenai aktivitas matahari pada suatu siklus. Beberapa penulis telah membuat prediksi nilai maksimum siklus ke-24 dengan berbagai macam metode yang berbeda. Horstman dengan metode klimatologi, berdasarkan proyeksinya terhadap 5 siklus terakhir, memperkirakan puncak siklus 24 mencapai 185 (Pesnell, 2007). Hathaway dan Wilson memprediksi siklus 24 akan memiliki Rmax sekitar 160±14 dengan menggunakan indikasi prekursor aktivitas geomagnet (Hathaway and Wilson, 2006). Sementara itu, Hiremath melakukan analisis statistika dengan metode autokorelasi dari parameter fisis osilasi harmonik matahari dalam 22 siklus sebelumnya, dan menemukan nilai maksimum siklus 24 sebesar 110±11 (Hiremath, 2007). Schatten, yang berhasil memprediksi dua siklus sebelumnya secara tepat dengan metode prekursor medan polar melalui analisis index SODA (solar dynamo amplitude), kembali mencoba memprediksi puncak siklus 24 yang menurutnya akan terjadi pada nilai maksimum 80±30 (Schatten and Pesnell, 2007). Badalyan mengemukakan hasil perkiraannya dengan menggunakan analisis coronal green line bahwa siklus 24 akan mencapai nilai maksimum 50 (Badalyan et al., 2001). Sementara itu Clilverd memprediksi siklus 24 akan sangat rendah dan hanya akan mencapai nilai maksimum 42 berdasarkan hasil pengamatannya terhadap periodisitas jangka menengah dan jangka panjang C 14 (Clilverd et al., 2006). Secara umum persebaran prediksi puncak siklus 24 matahari yang dilakukan oleh para penulis dapat dilihat dari Gambar 3-1. 73

Gambar 3-1: Rangkuman prediksi siklus 24 matahari yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan menggunakan metode fisis, statistik, dan gabungan keduanya (Jansenss, 2007) 74 Belum munculnya awal siklus yang baru hingga akhir tahun 2007 mengindikasikan rendahnya puncak siklus ke-24 (Schatten and Pesnell, 2007). Bahkan, berdasarkan hasil panel NOAA mengenai siklus matahari 24 yang menyatakan: apabila hingga bulan Maret 2008 belum muncul tanda-tanda kemunculan siklus baru, para ahli NASA yang memprediksi tingginya puncak siklus ke-24 akan mengubah prediksinya menjadi lebih kecil (Biesecker, 2007). Karena hingga bulan April 2008 angka kemunculan bilangan sunspot masih rendah, maka sangat besar kemungkinan siklus 24 akan lebih rendah dari siklus 23. Hal ini didukung oleh beberapa peneliti sebelumnya yang memprediksi rendahnya siklus 24 berdasarkan metode fisis dan empiris seperti Schatten, Clilverd, dan Badalyan (Schatten and Pesnell, 2007; Clilverd et al., 2006; Badalyan et al., 2000). Dari prediksi yang telah ada dan kemunculan data terbaru bilangan sunspot, di sini akan digunakan prakiraan bahwa siklus ke-24 akan lebih rendah dari siklus 23. Dengan menggunakan prediksi Schatten (Rmax=80±30 ) yang telah terbukti cukup akurat untuk dua siklus sebelumnya (Schatten and Pesnell, 2007), serta hasil pertemuan Panel NOAA untuk prediksi bilangan sunspot, yang berarti kini telah mengindikasikan rendahnya puncak siklus 24 (Rmax=90± 10), puncak siklus 24 yang akan dibuat menggunakan persamaan 2-1 digunakan sekitar 90-100. Dengan menggunakan data bulan April 2008 sebagai awal siklus 24 dan melakukan penyesuaian panjang siklus sebesar 11 tahun (rata-rata kasar panjang siklus matahari) pada persamaan 2-1, dihasilkanlah kurva prediksi siklus ke- 24 matahari seperti terlihat pada Gambar 3-2. Pada Gambar 3-2 ini diperlihatkan pula siklus 23 sebagai pembanding. Untuk memenuhi kemunculan awal siklus 24 pada bulan April 2008, persamaan 2-1 memberikan kemungkinan puncak siklus 24 akan terjadi pada bulan September 2012. Prediksi ini memiliki kedekatan dengan prediksi dari hasil Panel NOAA dimana puncak siklus terjadi pada bulan Agustus 2012.

Metode Non-Linier Fitting untuk Prakiraan Siklus Matahari... (Johan Muhamad) Gambar 3-2: Prediksi siklus 24 dengan menggunakan persamaan (2-1) digambarkan dengan garis putus-putus, sementara itu gambar dengan asterisk (*) menunjukkan nilai bilangan sunspot (smoothed) siklus 23 sebagai pembanding 3.2 Pembahasan Persamaan 2-1 dapat digunakan untuk merekonstruksi siklus matahari dengan cukup baik apabila parameter awal siklus, panjang siklus, dan nilai maksimum siklus telah diketahui. Karena parameter-parameter tersebut masih menjadi koefisien dari persamaan (input variable), proses prediksi dengan menggunakan persamaan 2-1 masih sangat bergantung pada prediksi lainnya. Penggunaan persamaan dapat dimaksimalkan untuk memprediksi salah satu dari ketiga parameter (awal, panjang, dan nilai maksimum) siklus jika dua parameter lainnya telah diketahui. Untuk mendukung hasil yang maksimal pada prediksi siklus matahari diperlukan model fisis yang mampu menjelaskan hubungan proses fisis matahari dengan panjang dan bentuk siklus. Beberapa model yang telah ada masih membutuhkan waktu pembuktian sebelum bisa diterima secara ilmiah. Model fisis flux-transport dynamo dari Dikpati dan prekursor geomagnet dari Hathaway yang memperkirakan puncak siklus 24 akan tinggi (Hathaway and Wilson, 2006), sepertinya sulit untuk diterima jika memang ternyata siklus matahari 24 menunjukkan nilai yang rendah. Sebaliknya, model fisis medan polar dari Schatten akan lebih diterima jika ternyata prediksinya kembali benar. Kemungkinan rendahnya siklus 24 diperkirakan akan menjadi awal bagi terjadinya masa Maunder Minimum masa kini. Hiremath dan Clilverd misalnya, memperkirakan dalam tiga siklus berikutnya siklus matahari akan relatif rendah (Hiremath, 2007; Clilverd et al., 2006). Rendahnya siklus matahari berarti aktivitas matahari akan cukup tenang sehingga resiko gangguan terhadap peralatan teknologi akibat cuaca antariksa akan semakin rendah pula (Clilverd et al., 2006). Rendahnya siklus matahari di tahun-tahun berikutnya juga diperkirakan akan dapat menurunkan suhu rata-rata permukaan bumi sebesar 1.5 C (Archibald, 2006). 75

4 KESIMPULAN Persamaan 2-1 dapat digunakan untuk membuat prediksi siklus matahari ke-24 dengan mempertimbangkan data sunspot terbaru dan analisis peneliti lainnya mengenai siklus 24. Untuk itu, adanya model fisis yang akurat dapat membantu menghasilkan prediksi siklus matahari yang lebih akurat juga. Siklus 24 diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan siklus 23. Hal ini disebabkan masih rendahnya nilai bilangan sunspot bulanan hingga triwulan pertama tahun 2008. Rendahnya siklus 24 memberikan kemungkinan akan kecenderungan rendahnya siklus matahari hingga tiga siklus berikutnya. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Clara Y. Yatini atas bantuan dan sarannya selama pembuatan makalah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Dhani Herdiwijaya atas saran dan masukannya dalam diskusi dengan penulis, khususnya mengenai penggunaan dan pengembangan persamaan 2-1. Hasil prediksi bilangan sunspot pada makalah ini akan ditampilkan pada website LAPAN Bandung di www.bdg.lapan.go.id. DAFTAR RUJUKAN Archibald, D. C., 2006. Solar Cycle 24 and 25 and Predicted Climate Response, Energy and Environment, Vol. 17. No.1. p. 29-35. Badalyan, O. G., Obridko, V. N., Sykora, J., 2001. Brightness of The Coronal Green Line and Prediction For Activity Cycles 23 and 24, Solar Physics 199: 421-435. Biesecker, D., and The Solar Cycle 24 Panel, 2007. Solar Cycle 24 Consensus Prediction, www.swpc. noaa.gov/solarcycle/sc24/bieseck er.ppt, download Mei 2008. Clilverd, M. A., Clarke, E., Ulich, T., Rishbeth, H., 2006. Predicting Solar Cycle 24 and Beyond, Space Weather, Vol. 4. Hathaway, D. H., Wilson, R. M., 2006. Geomagnetic Activity Indicates Large Amplitude For Sunspot Cycle 24, Geophysical Research Letters, Vol. 33. Herdiwijaya, D., 2008. Diskusi pribadi dengan penulis pada Februari 2008. Hiremath, K. M., 2007. Prediction of future fifteen solar cycles, arxiv: 0704.1346v1 [astro-ph] 11 Apr 2007. Jansenss, J., Predictions For Solar Cycle 24, 2007. http://users.telenet.be/ j.janssens/sc24.html, download Mei 2008. Pesnell, W. D., 2007. Prediction of Solar Cycle 24, prepared May 24, 2007. Schatten, K., Pesnell, W. D., 2007. Solar Cycle #24 and The Solar Dynamo. Sello, S., Time Series Forecasting: A Non- Linier Dynamics Approach, Topic Note Nr. USG/180699. SIDC Sunspot Data, http://sidc.be/ sunspot-data/, download Maret-Mei 2008. Yatini, C. Y., Djamaluddin, T., Herdiwijaya, D., Jasman, S., Admiranto, A. G., Suryana, N., 2003. Pengembangan Model Prakiraan Aktivitas Matahari Sebagai Penggerak Cuaca Antariksa, Laporan Riset Unggulan Kedirgantaraan, LAPAN. 76