EFFECT OF ENERGY PROTEIN BALANCES IN RATION AND CAGE DENSITY ON GROWING PERFORMANCE OF QUAIL (Coturnix coturnix japonica)

dokumen-dokumen yang mirip
Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU.

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BEBAS PILIH (Free choice feeding) TERHADAP PERFORMANS AWAL PENELURAN BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler

PEMBERIAN PAKAN TERBATAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR TIPE MEDIUM PADA FASE PRODUKSI KEDUA

Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower.

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

PENGARUH PEMBERIAN TINGKAT PROTEIN RANSUM PADA FASE GROWER TERHADAP PERTUMBUHAN PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

PERFORMA PRODUKSI TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) YANG DI PELIHARA PADA FLOCK SIZE YANG BERBEDA

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

PENGARUH TINGKAT PEMBERIAN AMPAS TAHU DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS ENTOK (Muscovy duck) PADA PERIODE PERTUMBUHAN

PengaruhImbanganEnergidan Protein RansumterhadapKecernaanBahanKeringdan Protein KasarpadaAyam Broiler. Oleh

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N.

PENGARUH TINGKAT PEMBERIAN AMPAS TAHU DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMAN ENTOK (MUSCOVY DUCK) PADA PERIODE PERTUMBUHAN

Performa Produksi Puyuh Petelur (Coturnix-coturnix Japonica) Hasil Persilangan..Wulan Azhar

Dulatip Natawihardja Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

Suplementasi Tepung Jangkrik Sebagai Sumber Protein Pengaruhnya Terhadap Kinerja Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BEBAS PILIH (Free choice feeding) TERHADAP PERFORMANS PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

T. Widjastuti dan R. Kartasudjana Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung ABSTRAK. ); 85% ad libitum (R 4

PENGARUH TINGKAT PROTEIN RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL PUYUH JANTAN

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN FINISHER PERIOD

Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 1, 2013, p Online at :

PENGARUH PENAMBAHAN VITAMIN C PADA PAKAN NON KOMERSIAL TERHADAP EFISIENSI PAKAN PUYUH PETELUR

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase

PENGARUH TINGKAT PROTEIN DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMAN ENTOK LOKAL (Muscovy Duck) PADA PERIODE PERTUMBUHAN. W. Tanwiriah, D.Garnida dan I.Y.

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (MA): Masa Pertumbuhan sampai Bertelur Pertama

M. Datta H. Wiradisastra Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung ABSTRAK

PENGARUH KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PRODUKSI AYAM PETELUR FASE AWAL GROWER

Pengaruh Jumlah Ayam Per Induk Buatan Terhadap Performan Ayam Petelur Strain Isa Brown Periode Starter

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di

PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER

Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707

R. T. Hertamawati Jurusan Peternakan Politeknik Negeri Jember, Jember ABSTRAK. Kata kunci : pembatasan pakan, produksi telur, fase grower, puyuh

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. minggu dengan bobot badan rata-rata gram dan koefisien variasi 9.05%

PEMAKAIAN ONGGOK FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM BURAS PERIODE PERTUMBUHAN

Performa Produksi Telur Turunan Pertama (F1) Persilangan Ayam Arab dan Ayam Kampung yang Diberi Ransum dengan Level Protein Berbeda

PENGGUNAAN TEPUNG LIMBAH PENGALENGAN IKAN DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA BROILER. Arnold Baye*, F. N. Sompie**, Betty Bagau**, Mursye Regar**

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Jantan...Rina Ratna Dewi.

EFEK LAMA WAKTU PEMBATASAN PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERFORMANS AYAM PEDAGING FINISHER

PENGARUH SUBTITUSI MINYAK SAWIT OLEH MINYAK IKAN LEMURU DAN SUPLEMENTASI VITAMIN E DALAM RANSUM AYAM BROILER TERHADAP PERFORMANS.

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. kelompok perlakuan dan setiap kelompok diulang sebanyak 5 kali sehingga setiap

Denny Rusmana Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung

Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang 2. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu ABSTRAK

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang 2. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung ABSTRAK

BAB III MATERI DAN METODE. Laut (Gracilaria verrucosa) terhadapproduksi Karkas Puyuh (Cotunix cotunix

PERFORMANS PRODUKSI TELUR AYAM ARAB AKIBAT PEMBERIAN RANSUM BERBEDA TARAF PROTEIN SAAT PERTUMBUHAN

Pemberian Tepung Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala) Dalam Ransum Terhadap Performans Burung Puyuh (Coturnix-coturnix Javonica) Nova Sarah Pardede

Sumber : 1) Hartadi et al. (2005)

SeminarNasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda terhadap tingkah laku burung puyuh petelur, dilaksanakan pada bulan

Efisiensi penggunaan protein pada puyuh periode produksi yang diberi ransum mengandung tepung daun Kayambang (Salvinia molesta)

Efektivitas Penambahan Zeolit dalam Ransum terhadap Performa Puyuh Petelur Umur 7-14 Minggu

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH

E. Suprijatna, L. D. Mahfudz, dan H. Saputra Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari-Maret 2015 di Kandang

Tepung Ampas Tahu Dalam Ransum, Performa Ayam Sentul... Dede Yusuf Kadasyah

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kabupaten Bogor. Pada umur 0-14 hari ayam diberi ransum yang sama yaitu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

III BAHAN DAN METODE. dan masing-masing unit percobaan adalah lima ekor puyuh betina fase produksi.

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik

RESPON PENGGANTIAN PAKAN STARTER KE FINISHER TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAN PERSENTASE KARKAS PADA TIKTOK. Muharlien

Kususiyah, Urip Santoso, dan Debi Irawan. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TAHU DI DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN INCOME OVER FEED COST AYAM SENTUL

Pengaruh Penambahan Tepung Kunyit...Rafinzyah Umay Adha

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ayam petelur yang digunakan adalah ayam petelur yang berumur 27

NILAI ENERGI METABOLIS RANSUM AYAM BROILER PERIODE FINISHER YANG DISUPLEMENTASI DENGAN DL-METIONIN SKRIPSI JULIAN ADITYA PRATAMA

PENGARUH JENIS BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) DENGAN PEMBERIAN PAKAN KOMERSIAL YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI PERIODE BERTELUR

PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG KETELA RAMBAT (Ipomea Batatas L) SEBAGAI SUMBER ENERGI TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI AYAM PEDAGING FASE FINISHER

Sudjatinah, H.T. Astuti dan S. S. Maryuni Fakultas Peternakan Universitas Semarang, Semarang ABSTRAK

Pengaruh Penambahan Lisin dalam Ransum terhadap Berat Hidup, Karkas dan Potongan Karkas Ayam Kampung

PENDAHULUAN. komoditas utamanya adalah telur. Jenis puyuh peteur ini mayoritas diternakan di

Pengaruh Pemberian Zeolit dalam Ransum Terhadap Performans Mencit (Mus musculus) Lepas Sapih

Ade Trisna*), Nuraini**)

Pengaruh Penggunaan...Trisno Marojahan Aruan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

Respon Broiler terhadap Pemberian Ransum yang Mengandung Lumpur Sawit Fermentasi pada Berbagai Lama Penyimpanan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Telur Tetas Puyuh Petelur Silangan... M Billi Sugiyanto.

Performans Produksi Telur Itik Talang Benih pada Fase Produksi Kedua Melalui Force Moulting

BAB III MATERI DAN METODE. hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan

Pengaruh Jenis Alat Pemanas Kandang Indukan terhadap Performan Layer Periode Starter

BAB III METODE PENELITIAN. selatan kota Gorontalo. Penelitian berlangsung selama dua bulan mulai dari bulan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Penggunaan Tepung Daun Mengkudu (Morinda

Jurnal Zootek ( Zootek Journal ) Vol. 37 No. 1 : (Januari 2017) ISSN

PENGARUH PEMBERIAN BUI PHASEOLUS LUNATUS DALAM RANSUM TERHADAP KONSUMSI PAKAN DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN AY AM KAMPUNG

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam

PEMANFAATAN TEPUNG CANGKANG TELUR AYAM RAS DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) SKRIPSI OLEH:

PENGARUH PENGGUNAAN POLLARD DAN ASAM AMINO SINTETIS DALAM PAKAN AYAM PETELUR TERHADAP KONSUMSI PAKAN, KONVERSI PAKAN, DAN PRODUKSI TELUR

Substitusi Ransum Jadi dengan Roti Afkir Terhadap Performa Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Umur Starter Sampai Awal Bertelur

SURYA AGRITAMA Volume 5 Nomor 1 Maret 2016

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

HASIL DAN PEMBAHASAN. tetas dan ruang penyimpanan telur. Terdapat 4 buah mesin tetas konvensional dengan

Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p Online at :

Transkripsi:

Pengaruh Imbangan Energi Protein Ransum dan Tingkat Kepadatan dalam Kandang terhadap Performan Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Periode Pertumbuhan (Dani Garnida) PENGARUH IMBANGAN ENERGI PROTEIN RANSUM DAN TINGKAT KEPADATAN DALAM KANDANG TERHADAP PERFORMAN PUYUH (Coturnix coturnix japonica) PERIODE PERTUMBUHAN Dani Garnida Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang 40600 ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh imbangan energi protein ransum dan tingkat kepadatan dalam kandang terhadap performan puyuh (Coturnix coturnix japonica) periode pertumbuhan (grower). Puyuh yang digunakan sebanyak 216 ekor puyuh betina berumur 21 hari, dipelihara selama 5 minggu. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 3 x 3 dan diulang sebanyak 3 kali. Faktor pertama terdiri atas tiga taraf imbangan energi protein yaitu 108 (2600 kkal/kg-24 %), 119 (2850 kkal/kg-24 %) dan 129 (3100 kkal/kg-24 %), serta faktor kedua adalah tingkat kepadatan dalam kandang yaitu 6, 8, 10 ekor per 1200 cm 2. Peubah yang diamati meliputi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara imbangan energi protein ransum dengan tingkat kepadatan puyuh dalam kandang terhadap peubah yang diamati, namun ransum dengan imbangan energi protein ransum 2850 kkal/kg : 24 % serta kepadatan puyuh dalam kandang 10 ekor per 1200 cm 2 menghasilkan performan yang optimal pada puyuh periode pertumbuhan. Kata kunci : Imbangan energi protein, kepadatan kandang, performan pertumbuhan, puyuh EFFECT OF ENERGY PROTEIN BALANCES IN RATION AND CAGE DENSITY ON GROWING PERFORMANCE OF QUAIL (Coturnix coturnix japonica) ABSTRACT The objective of the research is to study the influence of energy protein balances and cage density on growing performance of quail. 216 birds of quail at the age of 21 days was raised for 5 weeks. The method used is completely randomize design on 3 x 3 factorial pattern with 2 factors. The first factor was three levels of energy protein balance of 108 (2600 kcal/kg 24 %), 119 (2850 kcal/kg 24 %) and 129 (3100 kcal/kg 24 %), respectively. The second factor was cage density of 6, 8 and 10 birds per 1200 cm 2. Variables observed were feed intake, gain, and feed convertion. There was no interaction between protein energy balance and cage density on all observed variable. The ration of 2850 kcal/kg : 24 % and the density of 10 birds/1200 cm 2 produced the optimum performance. Key words : energy protein balance, cage density, growing performance, quail 40

Jurnal Bionatura, Vol. 4, No. 1, Maret 2002 : 40-49 PENDAHULUAN Keberhasilan dalam pemeliharaan puyuh petelur (Coturnix coturnix japonica) perlu diperhatikan pada saat pertumbuhan, terutama periode grower sampai dewasa kelamin. Pertumbuhan puyuh merupakan hal yang sangat penting karena baik buruknya dapat berpengaruh terhadap performan puyuh tercermin dari pertambahan berat badan, dan pada akhirnya berkaitan terhadap produksi telur yang dihasilkan. Telah banyak terbukti bahwa gagalnya produksi sebagai akibat kurang baiknya pertumbuhan, hal tersebut diantaranya dipengaruhi oleh imbangan energi protein ransum dan tingkat kepadatan kandang. Imbangan energi protein ransum, tingkat kepadatan puyuh dalam kandang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap konsumsi ransum (Wilson, dkk., 1978 ; Babu, dkk., 1986 ; Rajini, dkk., 1988 ), berat badan (Begin dan Insko, 1972 ; Das, dkk., 1990 ) dan pada gilirannya mempengaruhi performan puyuh periode petumbuhan dan produksi telur (Allen dan Young, 1980 ; dan Chen dan Shim 1989 ). Penelitian mengenai imbangan energi protein untuk puyuh periode pertumbuhan telah banyak dipublikasikan, dengan energi metabolis dan protein ransum yang direkomendasikan yaitu 2860 kkal/kg dan 24 % (119) (Weber dan Reid, 1968 ), 3080 kkal/kg dan 24 % (128) (Lepore dan Mark, 1968), 2800 kkal/kg dan 24 % (117) (Lee dkk., 1979; Shim dan Lee, 1982; Shim dan Vohra, 1984), 2700 kkal dan 23 % (117) (Babu dkk., 1986 ), 2600 kkal/kg dan 22 % (118) (Narahari dkk., 1988 ), 2900 kkal/kg dan 24 % (121) (N.R.C., 1994 ). Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa agar performan puyuh terbaik terealisir maka ransum harus mengandung energi metabolis ransum antara 2600 3100 kkal/kg dengan protein 24 % atau imbangan energi protein antara 108 129. Perkandangan untuk puyuh di daerah tropis perlu diperhatikan, terutama tingkat kepadatan puyuh dalam kandang karena merupakan salah satu faktor penghambat berkembangnya puyuh. Tingkat kepadatan puyuh dalam kandang turut menentukan performan yang optimal. Jull (1975) menyatakan bahwa tingkat kepadatan kandang didefinisikan sebagai luas kandang yang tersedia bagi setiap ekor unggas atau jumlah ternak unggas yang dipelihara pada satu satuan luas lantai. Kepadatan kandang harus sesuai dengan kebutuhan, karena puyuh lebih aktif bergerak dibandingkan unggas lainnya. Kandang yang terlalu sempit menyebabkan puyuh kurang bergerak, sehingga energi untuk aktivitas berkurang dan pada gilirannya ransum yang dikonsumsi rendah. Sebaliknya jika kandang terlalu luas, konsumsi ransum meningkat untuk memenuhi kebutuhan energi aktivitas. Dikemukakan oleh Hafez (1969 ), kebutuhan energi tiap hewan berbeda-beda diantaranya dipengaruhi oleh species, produksi, aktivitas hewan dan temperatur lingkungan. Kepadatan dalam batas tertentu berbanding terbalik dengan pertumbuhan dan konversi ransum. Hasil penelitian Okamoto dkk. (1989 ) dan Das dkk. (1990 41

Pengaruh Imbangan Energi Protein Ransum dan Tingkat Kepadatan dalam Kandang terhadap Performan Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Periode Pertumbuhan (Dani Garnida) ) bahwa berat puyuh pada periode grower nyata dipengaruhi oleh kepadatan. Puyuh yang dipelihara dengan kepadatan rendah nyata lebih berat daripada yang dipelihara dengan tingkat kepadatan tinggi. Konsumsi ransum menurun dengan semakin sempitnya luas lantai kandang yang tersedia bagi setiap ekor puyuh (Wilson dkk., 1978 ). Luas lantai kandang berbanding lurus dengan berat badan dan berbanding terbalik dengan konversi ransum (North dan Bell, 1990 ). Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai tingkat kepadatan dalam kandang untuk puyuh periode grower belum menunjukkan keseragaman, variasinya masih berkisar antara 5 9 ekor/1200 cm 2 (Wilson, dkk., 1978; Nurmaya,1985; Nugroho dan Mayun, 1986; Rasyaf, 1991; dan Listiyowati dan Roospitasari,1992 ). Oleh karena itu perlu penelitian yang lebih terarah. BAHAN DAN METODE Materi yang digunakan yaitu 216 ekor puyuh betina (Coturnix coturnix japonica) umur 18 hari yang ditempatkan dalam 27 unit kandang sistem dua tingkat (double cage) terbuat dari ram kawat, bilah bambu dan kayu. Ukuran masing-masing unit kandang adalah 40 x 30 x 30 cm dan setiap unit terdiri dari 6, 8, dan 10 ekor disesuaikan dengan tingkat kepadatan puyuh dalam kandang. Masing-masing kandang dilengkapi tempat makan, minum dan thermometer untuk mengukur perubahan suhu lingkungan di dalam kandang. Pemberian ransum dilakukan 2 kali sehari yaitu pukul 07.00 dan 14.00 WIB ad-libitum. Bahan ransum terdiri atas : tepung jagung, tepung ikan, bungkil kedele, bungkil kelapa, CaHPO 4 2H 2 O, dedak halus, top mix, minyak kelapa. Setiap bahan makanan dianalisa proksimat, kecuali minyak kelapa, CaHPO 4 2H 2 O, dan topmix. Kandungan zat-zat makanan dan energi metabolis setiap bahan tertera pada Tabel 1, dan susunan ransum dan komposisi zat-zat makanan percobaan untuk puyuh periode pertumbuhan disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Kandungan Zat-zat Makanan dan Energi Metabolis Bahan Penyusun Ransum Bahan EM a) Protein Lemak SK Ca P Makanan kkal/kg... %... Jagung Kuning 3350 8,05 3,99 3,83 0,37 0,08 Bungkil Kelapa 1525 19,10 10,39 8,33 0,09 0,57 Bungkil Kedele 2230 42,87 1,75 5,94 0,09 0,17 Dedak Halus 3090 12,00 10,33 8,34 0,16 1,39 Tepung Ikan 2820 68,68 7,77 1,95 2,95 2,22 Minyak Kelapa a) 8600 0,00 100,00 0,00 0,00 0,00 CaHPO 4 2H 2 O a) 0 0,00 0,00 0,00 23,30 18,00 Keterangan: Hasil analisa proksimat Laboratorium Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor a) Berdasarkan Tabel NRC, 1994 - EM = energi metabolis - SK = serat kasar 42

Jurnal Bionatura, Vol. 4, No. 1, Maret 2002 : 40-49 Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dengan kombinasi perlakuan 3 x 3, dan diulang sebanyak 3 kali. Faktor pertama adalah tiga perlakuan imbangan energi protein 108 (2600 kkal/kg: 24%); 119 (2850 kkal/kg : 24 %); 129 (3100 kkal: 24 %) dan faktor kedua adalah tiga perlakuan kepadatan kandang (6 ekor/1200 cm 2 ; 8 ekor/1200 cm 2, 10 ekor/1200 cm 2, yang setiap perlakuan diulang tiga kali. Pengaruh perlakuan dianalisis secara statistika pada taraf 5 % dan perbedaan antara perlakuan dihitung melalui uji jarak berganda Duncan. Peubah yang diamati meliputi konsumsi ransum, pertambahan berat badan, dan konversi ransum. Tabel 2. Susunan dan Kandungan Nutrien Puyuh Periode Grower Perlakuan Bahan Makanan R1 R2 R3...... %... Jagung Kuning (%) 37,8 45,9 52,2 Bungkil Kelapa (%) 27,3 15,6 3,7 Bungkil Kedele (%) 8,7 10,0 14,1 Dedak Halus (%) 9,0 9,0 9,0 Tepung Ikan (%) 16,0 17,5 17,5 Minyak Kelapa (%) 0,0 1,0 2,5 CaHPO 4 2H 2 O (%) 0,7 0,5 0,5 Top Mix (%) 0,5 0,5 0,5 Kandungan Nutrien Protein (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Calsium (Ca) (%) Phosphor (P) (%) Energi Metabolis (%) (Kkal/kg) a) a) a) a) a) b) 24,06 24,06 24,05 6,67 6,92 7,50 5,30 4,74 4,24 0,82 0,84 0,86 0,81 0,75 0,69 2.605,94 2.856,15 3.106,16 Keterangan: a) Dihitung berdasarkan hasil analisis bahan makanan Laboratorium Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor b) Dihitung berdasarkan Tabel NRC, 1994 - R1 = ransum yang mengandung imbangan energi protein 108 (2600 kkal/kg: 24%) - R2 = ransum yang mengandung imbangan energi protein 119 (2850 kkal/kg: 24%) - R3 = ransum yang mengandung imbangan energi protein 129 (3100 kkal/kg: 24%) HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Berdasarkan analisis ragam pada Tabel 3, tidak terdapat interaksi antara imbangan energi protein ransum dengan tingkat kepadatan puyuh terhadap 43

Pengaruh Imbangan Energi Protein Ransum dan Tingkat Kepadatan dalam Kandang terhadap Performan Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Periode Pertumbuhan (Dani Garnida) konsumsi ransum, namun imbangan energi protein ransum dan tingkat kepadatan puyuh secara mandiri berpengaruh nyata (P < 0.05). Keberadaan ransum dengan energi metabolis yang semakin menurun mengakibatkan konsumsi ransum semakin meningkat dan sebaliknya ransum dengan energi metabolis yang semakin meningkat dapat menurunkan konsumsi ransum. Pertama-tama puyuh mengkonsumsi ransum digunakan untuk memenuhi kebutuhan energinya, dan bila sudah terpenuhi maka secara naluriah puyuh berhenti makan. Ransum dengan kandungan energi tinggi, melibatkan puyuh mengkonsumsi ransum rendah karena kebutuhan enegi cepat terpenuhi. Sebaliknya kandungan energi ransum rendah, maka untuk memenuhi kebutuhan energi yang sama diperlukan konsumsi ransum yang lebih banyak. Tabel 3. Rataan Nilai Peubah yang diamati Terhadap Imbangan Energi Protein dan Kepadatah Puyuh Betina dalam kandang Periode Pertumbuhan (Grower) Ransum Kepadatan Perlakuan R1 R2 R3 K1 K2 K3 KR (g/ekor) 434,70 a 409,68 ab 381,21 b 437,31 a 398,01 b 390,26 b PBB (g/ekor) 72,04 a 74,40 a 71,59 a 73,65 a 72,67 a 71,72 a KVR 6,04 a 5,51 b 5,33 b 5,94 a 5,49 b 5,44 b Keterangan : - Superskrip huruf yang berbeda ke arah baris menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) - R1 = ransum yang mengandung imbangan energi protein 108 (2600 kkal/kg : 24%) - R2 = ransum yang mengandung imbangan energi protein 119 (2850 kkal/kg : 24%) - R3 = ransum yang mengandung imbangan energi protein 129 (3100 kkal/kg : 24%) - K1 = Kepadatan puyuh dalam kandang 6 ekor/1200 cm 2 - K2 = Kepadatan puyuh dalam kandang 8 ekor/1200 cm 2 - K3 = Kepadatan puyuh dalam kandang 10 ekor/1200 cm 2 - KR = Konsumsi Ransum - PBB = Pertambahan Bobot Badan - KVR = Konversi Ransum Wilson dkk. (1976 ), Babu dkk. (1986 ) dan Rajini dkk. (1988), menekankan bahwa jumlah konsumsi ransum pada puyuh tergantung dari energi metabolis yang terkandung dalam ransum. Lebih jauh perbedaan konsumsi ransum disebabkan oleh perbedaan kandungan energi metabolis, pada perlakuan R 1 dengan R 2 serta R 2 dengan R 3 tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) karena perbedaan kandungan energi metabolis ransum sebesar 250 kkal/kg, namun pada perlakuan R 1 dengan R 3 berbeda nyata (P<0.05) terhadap konsumsi ransum karena kedua perlakuan terjadi perbedaan kandungan energi metabolis ransum sebesar 500 kkal/kg. Sejalan dengan hasil penelitian Pandelaki, dkk. (1982) bahwa perbedaan konsumsi ransum puyuh periode pertumbuhan terjadi perbedaan pada tingkat energi ransum 300 kkal/kg. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi kepadatan kandang atau semakin sempit lantai kandang setiap ekor puyuh, maka konsumsi ransum semakin menurun. Hal ini erat kaitannya dengan aktivitas gerak dan perbedaan tingkat sosialisasi puyuh dalam kandang. Puyuh yang dipelihara pada kepadatan 44

Jurnal Bionatura, Vol. 4, No. 1, Maret 2002 : 40-49 rendah (K 1 ) menyebabkan lebih leluasa dalam bergerak dibandingkan kepadatan K 2 dan K 3, sehingga memerlukan banyak tambahan energi yang diperoleh dari konsumsi ransum. Jumlah kebutuhan energi mempengaruhi konsumsi ransum, semakin tinggi kebutuhan energi semakin banyak konsumsi ransum. Oleh karena itu dapat dimengerti pada kepadatan puyuh yang rendah mengakibatkan tingginya aktivitas, sehingga tambahan aktivitas ini pada gilirannya memerlukan tambahan energi yang diperoleh dari konsumsi ransum yang lebih banyak. Sejalan dengan pendapat Wahyu (1992 ) bahwa jumlah ransum yang dikonsumsi antara lain tergantung pada aktivitas unggas. Semakin tinggi aktivitas unggas, konsumsi ransum semakin banyak. Tingkat sosialisasi dipengaruhi oleh kepadatan puyuh dalam kandang, makin padat puyuh dalam kandang terdapat kecenderungan makin sering terjadinya peck order, sehingga mengganggu terhadap aktivitas puyuh lainnya terutama dalam kesempatan mengkonsumsi ransum. Sejalan yang dikemukakan oleh Appleby dkk. (1992) bahwa unggas yang dipelihara lebih dari dua ekor dapat terjadi perbedaan tingkat sosial. Unggas yang kuat dalam kelompoknya lebih dominan dibandingkan unggas lainnya yang dapat menimbulkan peck order, sehingga dapat terjadi persaingan dalam mengkonsumsi ransum terutama pada tingkat kepadatan tinggi. Dengan demikian dapat dipahami pada kepadatan puyuh yang semakin tinggi, maka konsumsi ransum makin rendah. Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Berat Badan Hasil analisis ragam tidak terdapat interaksi antara perlakuan imbangan energi protein ransum dan tingkat kepadatan kandang terhadap pertambahan berat badan, demikian pula untuk masing-masing perlakuan secara mandiri tidak berbeda nyata (P>0.05). Tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap pertambahan berat badan akibat perlakuan imbangan energi protein ransum, karena secara fisiologis pertumbuhan dan pencapaian dewasa kelamin puyuh lebih cepat dibandingkan ayam ras petelur. Kecepatan laju pertumbuhan meningkat pada puyuh periode pertumbuhan sejak umur satu hari sampai dengan umur lima minggu, setelah umur lima minggu laju pertumbuhan mulai menurun karena pada periode tersebut dibentuknya organ-organ reproduksi untuk persiapan produksi telur menjelang dewasa kelamin. Kebutuhan protein diperlukan untuk hidup pokok, jaringan, bulu dan produksi telur. Bila kebutuhan protein untuk hidup pokok, jaringan dan bulu sudah terpenuhi, maka kelebihan konsumsi protein tersebut digunakan untuk mempersiapkan jaringan baru berupa organ reproduksi pada saat menjelang dewasa kelamin, sehingga kebutuhan protein untuk pertumbuhan sama tercermin dari pertambahan berat badan yang tidak berbeda. Berdasarkan Tabel 3. rataan pertambahan berat badan akibat perlakuan imbangan energi protein ransum tidak berbeda nyata. Hal ini memberikan pengertian bahwa puyuh tidak memerlukan energi metabolis ransum yang tinggi. Sejalan dengan pernyataan Edwards (1981 ) dan Farrell dkk. (1982 ), bahwa 45

Pengaruh Imbangan Energi Protein Ransum dan Tingkat Kepadatan dalam Kandang terhadap Performan Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Periode Pertumbuhan (Dani Garnida) puyuh pada periode grower tidak memerlukan energi metabolis tinggi. Dari hasil tersebut ternyata perlakuan R 2 memberikan pertambahan berat badan yang tinggi, bahwa puyuh periode pertumbuhan memerlukan energi metabolis 2850 kkal/kg ransum. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian para peneliti terdahulu, bahwa kebutuhan energi metabolis antara 2800-2900 kkal (Lee dkk., 1977 ; Pandelaki dkk., 1982 ; Shim dan Vohra, 1984 dan NRC, 1994 ). Pertambahan berat badan tidak dipengaruhi oleh kepadatan puyuh dalam kandang. Berarti kepadatan puyuh dari 6-10 ekor setiap 1200 cm 2 atau pada keadaan luas lantai kandang antara 200 cm 2-120 cm 2 setiap ekor masih dalam batas-batas yang memadai untuk pemeliharaan puyuh betina periode pertumbuhan. Menurut Wilson dkk. (1978 ), dari hasil penelitiannya terhadap kepadatan puyuh dalam kandang periode grower bahwa luas lantai kandang 116, 232 dan 426 cm 2 menghasilkan pertambahan berat badan tidak berbeda nyata. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum Puyuh Hasil sidik ragam tidak terdapat interaksi antara imbangan energi protein ransum dengan tingkat kepadatan puyuh terhadap konversi ransum, namun imbangan energi protein ransum dan tingkat kepadatan puyuh secara mandiri berpengaruh nyata (P<0.05). Konversi ransum pada perlakuan R 1 berbeda nyata (P<0.05) terhadap R 2 dan R 3, namun antara perlakuan R 2 dan R 3 tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan konsumsi ransum pada R 1 tertinggi, sedangkan pertambahan bobot badannya lebih rendah dibandingkan dengan R 2, dan lebih tinggi dengan R 3. Pada perlakuan R 2 konsumsi ransum rendah dan menghasilkan pertambahan bobot badan tertinggi, sedangkan perlakuan R 3 konsumsi ransumnya terendah dan menghasilkan pertambahan bobot badan terendah. Hal ini memberikan pengertian bahwa efiisiensi penggunaan ransum pada puyuh periode pertumbuhan dicapai pada kandungan energi metabolis ransum di atas 2850 kkal/kg. Sejalan dengan temuan Pandelaki dkk. (1982 ), bahwa efisiensi penggunaan ransum atau konversi ransum puyuh periode grower yang terbaik yaitu pada tingkat energi 2900 kkal/kg ransum, tetapi pada tingkat energi yang lebih tinggi (3000 kkal/kg) tidak berbeda nyata. Lebih lanjut dikatakannya, puyuh lebih cenderung untuk mengurangi kebutuhan energinya dan bahkan dalam menggunakan energi yang dikonsumsi lebih efisien pada kondisi ransum berenergi tinggi. Rataan konversi ransum perlakuan K 1 lebih tinggi dibandingkan K 2 dan K 3, berarti kepadatan puyuh 6 ekor setiap 1200 cm 2 tidak efisien dalam menggunakan ransum dibandingkan kepadatan puyuh 8 dan 10 ekor setiap 1200 cm 2. Hal ini terbukti dari perlakuan K 1 yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap K 2 dan K 3, sedangkan konversi ransum antara perlakuan K 2 dengan K 3 tidak berbeda nyata. Semakin tinggi kepadatan puyuh dalam kandang, semakin efisien penggunaan ransum. Hal ini diakibatkan dengan semakin meningkatnya kepadatan puyuh dalam kandang konsumsi ransum semakin rendah, namun pertambahan bobot badan relatif sama. Puyuh dalam kepadatan kandang yang 46

Jurnal Bionatura, Vol. 4, No. 1, Maret 2002 : 40-49 lebih rendah, cenderung aktivitasnya lebih banyak karena ruang geraknya lebih luas, yang pada gilirannya memerlukan tambahan energi. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Okamoto dkk. (1989) dan Das dkk. (1990) bahwa semakin tinggi kepadatan kandang puyuh periode grower semakin rendah konversi ransumnya atau semakin efisien penggunaan ransum. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan kesimpulan bahwa penggunaan imbangan energi protein ransum 2850 kkal/kg: 24% pada kepadatan 10 ekor/1200 cm 2 paling ideal dalam pencapaian performan puyuh periode pertumbuhan. DAFTAR PUSTAKA Allen, N. K. dan R. J. Young, 1980. Studies on the Amino Acid and Protein Requirement of Laying Japanese Quail (Coturnix coturnix japonica). Poultry Sci. 59: 2029-2037. Appleby, M. C., B. O. Hughes dan H. A. Elson, 1992. Poultry Production Systems Behavour, Management and Walfare. C. A. B International. Babu, M., R. Prabakaran, dan V. Sundarasu, 1986. Protein Requirement of Japanese Quails. Indian Journal Poultry Science. Vol 21 (4): 272-274. Begin, J.J., dan W. M. Insko, Jr., 1972. The Effect of Dietary Protein Level on the Reproductive Performance of Coturnix Breeder Hens. Poultry Sci. 51: 1662-1669. Chen, E. V. dan K. F. Shim, 1989. The effect of Dietary Methionine Level on the Laying Performance and Egg Quality in Laying japanese Quail. Singapore J. Pri. Ind. 17 (1): 45-58. Das, K., Roy, S.K., Maitra, D. N. dan Majumder, S. C., 1990. Effect of Stocking Density and Length of Rearing on the Growth Performance of Japanese Quail Broilers. Indian Journal of Animal Production and Management. 6 (1): 38-42. Edwards, 1981. Carcases Composition Studies Influence of Age, Sex and Calorie Protein Content of Diet of Japanese Quail. Poultry Sci. 60: 2506-2512. Farrell, D.J., S. I. Atmamihardja dan R. A. E. Pym, 1982. Calorimetric Measurements of the Energy and Nitrogen Metabolism of Japanese Quail. British Poultry Science. 23: 375-382. Hafez, E.S.E., 1969. Introduction to Animal Growth. In E.S.E. Hafez dan I.A. Dyer. Animal Growth and Nutrition. Lea and Febiger. Philadelphia. 1-17. 47

Pengaruh Imbangan Energi Protein Ransum dan Tingkat Kepadatan dalam Kandang terhadap Performan Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Periode Pertumbuhan (Dani Garnida) Jull, M.A., 1975. Poultry Husbandry. Third Edition. Tata McGraw-Hill Publishing Co. Ltd. New Delhi. Lee, T.K., K.F. Shim., 1977. Protein Requiremnet Growing Japanese Quail in The Tropics. Singapore J. Primary. Ind. 5 (2): 70-81. Lee, T.K., K.F. Shim., 1979. Interaction of Protein Level During The Growing and Laying Periode for Japanese Quail. Singapore J. Primary. Ind. 7: 69-76. Lepore, P. D. dan H. L. Mark, 1968. Protein and Energy Requirement of Growth Selected Lines of Japanese Quail. Poultry Sci. 47: 1688. Listiyowati E dan Roospitasari K. Roospitasari, 1992. Tata Laksana Budidaya Puyuh Secara Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta. National Research Council, 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 7 th revised edition. National Academy Sci., Washington. Narahari, D., R. Asha Rajini, D. Thyagarajan, I. Alfred Jaya Prasad dan R. Kumararaj, 1988. Crude Protein Requirement of Growing Japanese Quail (Coturnix coturnicx Japonica) in Humid Tropics. Indian J. Poultry. Sci. Vol. 23 (2): 142-146. North, M. O. dan Donald D. Bell, 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4 th ed. Avi Book Published by Von Nostrand Reinhold. New York. Nugroho dan I.G.K. Mayun, 1986. Beternak Burung Puyuh. Eka Offset, Semarang. Nurmaya, N., 1985. Pengaruh Berbagai Tingkat Penggunaan Omafac-12 Terhadap Performance Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Umur 0-5 Minggu. Thesis. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Okamoto, S., Nagata, S., Kobayashi, S., dan Matsuo, T., 1989. Effects of photoperiod and cage density on growth and feed conversion in large and small quail lines selected for body weight. Japanese Poultry Sci. 26 (3): 150-156 Pandelaki, S., Tristiati, Sunarso dan W. Sarengat, 1982. Pengaruh Beberapa Tingkat Energi dan Protein yang Sama dalam Ransum Terhadap Pertambahan Berat Badan pada Periode Starter, Awal Peneluran dan Produksi Telur pada Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica). Proceedings Seminar Penelitian Peternakan. Edisi Februari. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. 281. Rajini, R. A., D. Narahari, dan S. Rukmangadhan, 1988. Metabolizable Energy Requirement of Growing Japanese Quail in Humid Tropics. Indian Journal Poultry Science. Vol 23 (1): 35-39. Rasyaf, M., 1991. Memelihara Burung Puyuh. Yayasan Kanisius, Yogyakarta. 48

Jurnal Bionatura, Vol. 4, No. 1, Maret 2002 : 40-49 Shim, K. F. dan T. K. Lee, 1982. Least Cost Ration Formulation for Japanese Quail. Coturnix coturnix japonica. 1. Starter Diet For Growing Quails. Singapore Journal of Primary Industries 10: 89. Shim, K. F. dan P. Vohra, 1984. A Riview of the Nutrition of Japanese Quail. Journal World Poultry Sci. 40: 261-274. Wahju, J., 1992. Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Weber, C. W. dan B. L. Reid, 1968. Protein Requirement of Coturnix Quail to Five Weeks of Age. Poultry Science. 46: 1190. Wilson, W.O., C. R. Douglas, dan W. G. Nesbeth, 1976. Feed Consumption and Protein Efficiency by Bobwhite Quail and Respond Dietary Energy Levels. Poultry Sci. 25: 1127-1129..dan E. R. Miller, 1978. Floor Space for Brooding Bobwhite Quail. Poultry Sci. 57: 1499-1502. 49