BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
GAMBARAN PERSEPSI PERNIKAHAN PADA REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tiba diriku di penghujung mencari cinta Hati ini tak lagi sepi Kini aku tak sendiri

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BABI PENDAHULUAN. Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB I PENDAHULUAN. penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

PENDAHULUAN Latar Belakang

memberi-menerima, mencintai-dicintai, menikmati suka-duka, merasakan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN. didambakan tersebut menjadi hukum alam dalam diri tiap manusia. Akan tetapi,

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, sebagai kehendak Sang pencipta yang telah

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan impian setiap manusia, sebab perkawinan dapat membuat hidup

PELATIHAN KONSELING PERKAWINAN BERBASIS KOMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi keluarga adalah komunikasi interpersonal yang sangat penting.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di Indonesia meningkat secara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Menjalin sebuah hubungan yang serius untuk membentuk suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Semakin maju peradaban manusia, maka masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. diri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Menurut Reber (dalam Fatimah, 2008,h.143) kemandirian adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tingkat perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina

BAB I PENDAHULUAN. Santrock (dalam Dariyo, 2003) masa dewasa awal ditandai dengan adanya transisi

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan-

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan setiap individu. Hal tersebut menjadi suatu kabar sukacita bagi keluarga, sanak saudara, ataupun relasi jika ada seseorang yang ingin melangsungkan pernikahan. Segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut pernikahan tersebut dipersiapkan sebaik mungkin sehingga dapat menciptakan suatu kenangan yang tidak terlupakan bagi pasangan dan bagi orang lain. Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial dalam mensahkan hubungan seksual dan pengasuhan anak, serta adanya pembagian hubungan kerja antara suami dan isteri (Duvall & Miller, 1977). Terjadinya pernikahan juga mempunyai fungsi yang menyangkut tentang hak dan kewajiban suami-isteri untuk dapat saling memenuhi kebutuhan, saling mengembangkan diri, dan yang paling penting adalah dapat memahami arti pernikahan itu sendiri (Olson & DeFrain, 2006). Mendukung pernyataan di atas Garrison (2010) mengemukakan bahwa setiap pasangan dalam pernikahan harus mampu memahami bahwa masing-masing pasangan telah menandatangani ikatan komitmen terhadap pasangannya yang mengandung harapan, kesetiaan, kebersamaan, dan saling berbagi dengan pasangan.

2 Pada hakekatnya, setiap pasangan dalam pernikahan senantiasa ingin agar pernikahannya dapat berjalan dengan baik, bahagia dan kekal. Namun, untuk menciptakan pernikahan yang bahagia tidaklah mudah, ada saatnya muncul berbagai permasalahan, perselisihan dan konflik yang dapat membahayakan keberlangsungan pernikahan seperti terjadinya perceraian antara suami dan isteri. Akan hal tersebut, Rosmadi (2012) menyebutkan ada beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian di antara suami dan isteri seperti tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga, terus menerus berselisih di antara suami dan isteri, terjadinya poligami, terjadinya krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, masalah ekonomi, tidak adanya tanggung jawab, kawin dibawah umur, menyakiti jasmani dan rohani, dihukum, cacat biologis, politis, gangguan pihak ketiga, dan lain-lain. Kendati demikian, terjadinya berbagai permasalahan dalam pernikahan tersebut diharapkan dapat memperkuat ikatan antara suami dan isteri dalam mewujudkan visi dan misi pernikahan mereka. Namun pada kenyataannya, harapan tersebut seakan-akan hanya menjadi sebuah fiksi, karena berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung sepanjang tahun 2011 ada sebanyak 276.690 putusan perkara perceraian yang terjadi di Indonesia, dan pada tahun 2010 ada sebanyak 285.184 putusan perkara perceraian yang menduduki jumlah tertinggi sejak 5 tahun terakhir dalam perkara perceraian di Indonesia. Atas berbagai dasar tersebut, tidak sedikit pasangan suami dan isteri dalam pernikahan cenderung untuk memutuskan ikatan pernikahan mereka dengan mengambil keputusan dengan bercerai (Rosmadi, 2012).

3 Keputusan untuk bercerai bukan merupakan suatu keputusan yang mudah untuk dilakukan. Lazimnya, tidak satu pun pasangan berharap bahwa pernikahan mereka akan berakhir dengan perceraian. Akan tetapi, tidak sedikit pasangan beranganggapan bahwa perceraian dapat dijadikan sebagai solusi terbaik guna mengatasi segala permasalahan, ketidakcocokan dan konflik yang terjadi dengan pasangan. Seperti pada pasangan Y-D dan T-M yang mengaku bahwa terjadinya perceraian dalam pernikahan mereka disebabkan karena tidak adanya kecocokan dan terus menerus berselisih, sehingga memutuskan untuk mengakhiri pernikahan (Wardhani, 2012). Menanggapi hal tersebut, E.Jones & Gallois (dalam Rice & Dolgin, 2008) menyatakan bahwa terjadinya permasalahan dan konflik dalam rumah tangga dapat menghancurkan cinta dan pernikahan yang dinyatakan baik di antara kedua individu dalam pernikahan. Berpatokan juga pada pandangan E.Jones & Gallois (dalam Rice & Dolgin, 2008) bahwa perceraian dapat dipandang sebagai solusi positif untuk menghindari konflik yang destruktif seperti permasalahan, perselisihan, dan pertikaian yang terjadi di antara suami dan isteri dalam pernikahan. Menyikapi pernyataan E.Jones & Gallois di atas, Gottman & Notarius (dalam Eldar, 2012) mengemukakan bahwa terjadinya peningkatan pada perceraian menyebabkan meningkat pula jumlah anakanak yang orangtuanya bercerai. Terjadinya hal tersebut mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas sehingga menciptakan pergeseran dalam persepsi dan penerimaan sosial perceraian. Berkaitan dengan pernyataan tersebut Coontz (dalam Eldar, 2012) mengemukakan bahwa terjadinya perceraian mengakibatkan peran pernikahan dalam

4 mengkoordinasikan kehidupan sosial semakin terkikis dan banyak anak dibesarkan dalam pengaturan alternatif. Berkaitan dengan pernyataan di atas, Garrison (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terjadinya perceraian dalam pernikahan menimbulkan dampak terhadap suami, isteri dan anak. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Turner & Helms (1995) yang menyatakan bahwa apabila suatu pernikahan berakhir dengan perceraian, maka dampak yang ditimbulkan tidak hanya kepada suami dan isteri saja, melainkan juga kepada anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut. Mendukung pernyataan tersebut, Shienvold (2011) dalam penelitiannya berpendapat bahwa remaja dengan orangtua yang bercerai mengalami masalah pada perilaku internal dan eksternal, mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya, mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan situasi baru, dan mempunyai masalah sebagai orang dewasa dengan keintiman, mengalami kesulitan dalam membangun dan mempertahankan hubungan menuju pernikahan. Dalam hubungannya dengan pernikahan, terjadinya perceraian orangtua menimbulkan dampak terhadap sikap dan pandangan setiap individu akan pernikahan dan kehidupan berkeluarga (Amato, 2012). Dalam penelitiannya, Amato (2012) mengemukakan bahwa individu yang mengalami perceraian orangtua cenderung memiliki pandangan yang kompleks terhadap pernikahan. Individu menghargai pernikahan namun menyadari akan adanya keterbatasan dan bersikap lebih toleran terhadap alternatif-alternatif pernikahan. Selain itu, Wallerstein & Kelly (dalam Amato, 2012) juga menyatakan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua cenderung menunjukkan sikap dengan

5 memperlihatkan kecemasan akan pernikahannya kelak, seperti individu memutuskan untuk tidak menikah atau menjadi lebih selektif dan bijaksana dalam menentukan pasangan hidup. Amato (2012) juga menambahkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang bercerai akan menjadi lebih pesimis terhadap kelanggengan pernikahannya kelak. Selanjutnya, Amato (2012) juga menyatakan bahwa perceraian orangtua cenderung meningkatkan resiko perceraian pada keturunannya. Melalui proses sosialisasi, perceraian orangtua cenderung meningkatkan kemungkinan keturunannya membentuk suatu persepsi atau pandangan yang diwujudkan melalui sikap dan orientasi antar individu yang dapat mengganggu hubungan intim di masa dewasa. Berbagai dampak terjadinya perceraian orangtua menimbulkan sejumlah reaksi terhadap pikiran dan perilaku remaja (Amato, 2012). Untuk mendukung pernyataan tersebut Turner & Helms (1995) mengemukakan bahwa dalam proses berpikir, remaja cenderung menekankan pada unsur seperti mengamati, berpikir, dan memahami terhadap suatu objek atau peristiwa yang dialami individu tersebut untuk kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap individu terhadap peristiwa atau objek tersebut. Proses berpikir tersebut yang membentuk suatu persepsi individu akan suatu hal yang diamatinya Dengan demikian, remaja yang mengalami perceraian orangtua, mampu mengamati, berpikir, dan memahami akan terjadinya peristiwa perceraian orangtuanya tersebut yang kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap remaja terhadap makna dari suatu pernikahan yang mencerminkan persepsi atau pandangan remaja yang orangtuanya bercerai terhadap pernikahan.

6 Berkaitan dengan pernyataan di atas, Cunningham & Thornton (2012) dalam penelitiannya, menyelidiki hubungan pernikahan orangtua dan sikap individu yang orangtuanya bercerai pada saat remaja terhadap perilaku seks pranikah, kumpul kebo, hidup sendiri atau tanpa mempunyai pasangan seumur hidup dan perceraian. Cunningham & Thornton (2012) mempunyai hipotesis bahwa kualitas pernikahan orangtua yang negatif mempunyai hubungan terhadap anak-anak dalam perilaku di masa dewasanya, bahwa anak yang orangtuanya bercerai cenderung membawa sikap bawaan dari orangtuanya terhadap pernikahan. Dalam penelitiannya Cunningham & Thornton (2012) menemukan bukti bahwa kualitas pernikahan orangtua mempengaruhi sikap anak yang cenderung kuat terhadap perceraian, seks pranikah, anak menjadi selektif dalam menentukan pasangan hidup atau memilih untuk tidak menikah. Selain itu, Amato (dalam Rice & Dolgin, 2008) juga menyatakan bahwa terjadinya perceraian orangtua menimbulkan reaksi terhadap perilaku remaja seperti reaksi emosional pada remaja yang memandang perceraian orangtua sebagai kejadian traumatis yang bersifat tiba-tiba dan berada di luar kontrol, sehingga muncul sejumlah reaksi negatif seperti perasaan depresi, dan tertekan, marah, trauma, sulit untuk memaafkan, dan menimbulkan pandangan yang negatif terhadap pernikahan yang ditunjukkan remaja ketika menjalin hubungan dengan lawan jenis. Dengan demikian, Johnston & Thomas (dalam Martin, 2011) menyatakan bahwa perceraian orantua telah menjadi suatu peristiwa penting dalam kehidupan setiap individu yang orangtuanya mengalami

7 perceraian, dengan mengingat bahwa angka perceraian yang cenderung tinggi. Akan adanya kecenderungan yang lebih tinggi terhadap perceraian sehingga menyebabkan peran pernikahan menjadi semakin terkikis, ditunjukkan melalui sikap dan perilaku individu yang orangtuanya bercerai terhadap pernikahan, seperti dengan menunjukkan rasa kurang percaya terhadap lembaga pernikahan, seperti menunjukkan perasaan takut dalam mengambil keputusan untuk menikah dan untuk membangun sebuah keluarga. Rogers & Amato (1997) dan Umberson et.al. (2005) (dalam Cunningham 2012) menyimpulkan bahwa terjadinya perceraian menyebabkan penurunan akan makna pernikahan yang mempunyai implikasi bagi pandangan dan sikap individu terhadap pernikahan yang akan dikaitkan dengan sikap dan perilaku individu terhadap pernikahannya kelak. Hal tersebut disebabkan karena individu mengamati pernikahan orangtua mereka, dan karena pernikahan orangtua merupakan indikator anak untuk meniru orangtua mereka yang akan dikaitkan dengan pernikahannya kelak. Mendukung pernyataan di atas, Amato dan DeBoer (dalam Rice & Dolgin, 2008) menyatakan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua cenderung menunjukkan pandangan terhadap pernikahannya kelak. Pandangan tersebut dapat terwujud dari timbulnya rasa cemas yaitu remaja memilih untuk tidak menikah atau menjadi lebih selektif dan bijaksana dalam memilih pasangan hidupnya. Selain itu, Amato dan Deboer (dalam Rice & Dolgin, 2008) juga menambahkan bahwa individu yang berasal dari keluarga bercerai menjadi lebih pesimis terhadap kelanggengan pernikahannya.

8 Perceraian orangtua cenderung meningkatkan keturunannya membentuk sifat dan orientasi antar individu yang dapat mengganggu hubungan intim di masa dewasa. Individu cenderung memiliki sikap yang lebih positif terhadap perceraian, yang mencerminkan persepsi atau pandangan individu tersebut akan sebuah pernikahan. Atas dasar itu, melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam bidang psikologi, terutama dalam psikologi perkembangan yang berkaitan gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai, serta dapat menjadi gerbang pembuka bagi

9 siapa saja untuk dapat lebih dikembangkan dalam penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pembaca, khususnya: Bagi Pasangan Suami dan Isteri Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan informasi bagi pasangan suami-isteri untuk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membangun dan mempertahankan pernikahan. Meskipun akan terjadi berbagai permasalahan dan konflik dalam pernikahan, namun diharapkan pasangan dapat dengan bijaksana untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan terhadap keberlangsungan pernikahan, terutama dengan kaitannya terhadap anak dalam tahap perkembangannya. Bagi Remaja Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan informasi bagi remaja khususnya bagi remaja yang orangtuanya bercerai. Setidaknya, melalui informasi yang ada dalam penelitian ini dapat membantu menumbuhkan pandangan atau persepsi yang lebih baik terhadap pernikahan pada remaja yang mengalami perceraian orangtua.