BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Morbiditas dan mortalitas karena penggunaan obat merupakan masalah nyata yang sedang dihadapi farmasi klinik saat ini terutama karena adanya Adverse Drug Events (ADEs), efek seperti ini dapat meningkatkan biaya perawatan secara bermakna (Aslam, 2003). Menurut Nebeker et al (2004), kejadian tentang reaksi obat yang tidak diharapkan (Adverse Drug Events) adalah respon yang tidak diharapkan terhadap terapi obat dan mengganggu atau menimbulkan cedera pada penggunaan obat dosis normal. Adverse Drug Events ada yang berkaitan dengan efek farmakologi/mekanisme kerja (efek samping) dan ada yang tidak berkaitan dengan efek farmakologi contohnya syok anafilaksis pada penggunaan antibiotik golongan penisilin (reaksi hipersensitivitas), mengantuk pada penggunaan klorfenilramin maleat (Departemen Kesehatan, 2008). Berdasarkan analisis kejadian berisiko dalam proses pelayanan kefarmasian, reaksi obat yang tidak diharapkan (Adverse Drug Events), kesalahan pengobatan (Medication Errors) dan reaksi obat yang merugikan (Adverse Drug Reaction) menempati kelompok urutan utama dalam keselamatan pasien yang memerlukan pendekatan sistem untuk pengelolaan, mengingat kompleksitas keterkaitan kejadian antara kesalahan merupakan hal yang manusiawi (to err is human) dan proses farmakoterapi yang sangat kompleks. Faktor lain yang 1
mempengaruhi terjadinya risiko obat tersebut adalah multifaktor dan multiprofesi yang kompleks, jenis pelayanan medik, banyaknya jenis dan jumlah obat per pasien, faktor lingkungan, beban kerja, kompetensi karyawan, kepemimpinan dan sebagainya (Departemen Kesehatan, 2008). The Institute of Medicine (IOM) memperkirakan tidak kurang dari 1,5 juta kejadian yang tidak diharapkan karena kesalahan penggunaan obat (preventable ADE) terjadi tiap tahun di Amerika Serikat (Aspden et al., 2006). Winterstein et al (2002) mengidentifikasi tidak kurang dari 50% preventable ADE meliputi penggunaan antikoagulan yang tidak tepat, dosis opioid berlebihan dan ketidaktepatan dosis serta monitoring insulin. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengamati ADEs pada pasien yang menjalani pengobatan, ratarata ditemukan 5% pasien yang masuk rumah sakit, disamping itu pada pasien yang dirawat 10-20% di antaranya mengalami ADEs selama menjalani perawatan, sehingga sekitar 50% dari pasien ini akan tinggal lebih lama di rumah sakit (Aslam, 2003). Berdasarkan laporan IOM tentang kejadian merugikan yang dialami pasien, disebutkan bahwa insiden yang berhubungan dengan pengobatan menempati urutan utama. Disimak dari aspek biaya, kejadian 459 ADEs dari 14.732 kejadian bernilai sebesar $348 juta, senilai $159 juta yang dapat dicegah (265 dari 459 kejadian). Sebagian besar tidak menimbulkan cedera namun menimbulkan konsekuensi biaya. Penelitian terbaru menunjukkan 2% dari pasien masuk rumah sakit mengalami ADEs yang berdampak meningkatnya Length Of 2
Stay (LOS) 4,6 hari dan meningkatkan biaya kesehatan $4.7000 dari setiap pasien yang masuk rumah sakit (Departemen Kesehatan, 2008). Kane-Gill et al (2010) meneliti ADEs di Intensive Care Unit (ICU) menyatakan MEs terjadi pada 106 per 1000 hari pasien dan terjadi pada banyak tahap. Preventable ADE 0,6% - 29% yang paling sering adalah alergi penicillin (13-116/1000 hari pasien) dan non-preventable ADE dua kali lebih besar daripada preventable ADE meliputi perdarahan akibat antithrombotik dan gagal ginjal akibat toksik pengobatan. Faktor risikonya adalah lingkungan ICU, populasi pasien risiko tinggi, pengobatan dengan obat-obat risiko tinggi menyebabkan bahaya (high alert drug), dan infus IV, akibatnya berdampak pada kematian, kerusakan organ, menambah LOS dan biaya (2,3-4,8 hari @$3400/hari). Studi yang dilakukan Bagian Farmakologi Universitas Gadjah Mada (UGM) antara 2001-2003 menunjukkan bahwa MEs terjadi pada 97% pasien ICU antara lain dalam bentuk dosis berlebihan atau sebaliknya, frekuensi dan cara pemberian yang tidak tepat atau keliru (Departemen Kesehatan, 2008). The Institute for Healthcare Improvement (IHI) menemukan 19% pasien peri-operative dan 55% pasien ICU mengalami kejadian merugikan. Seynaeve et al (2011) dalam sebuah studi retrospektif meneliti ADEs pada pasien ICU di Antwerp University Hospital menggunakan global trigger tool yang disesuaikan dengan lingkungan perawatan kritis, menemukan 230 kejadian ADEs terjadi pada 79 pasien ICU dan terjadi pada 175 dari 1009 hari pasien dianalisis. Kejadian yang paling umum adalah hipoglikemia, prolonged activated partial thromboplastin time dan hipokalemia. Penelitian ini menyatakan obat-obat high 3
alert merupakan obat dengan frekuensi tinggi digunakan pada pasien dengan sakit kritis dan mempunyai risiko tinggi penyebab bahaya jika digunakan tidak sesuai prosedur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien ICU sering terkena ADEs yang berpotensi membahayakan. Danish Medicines Agency (2011) mengidentifikasi kelompok obat dengan frekuensi terbanyak menyebabkan ADEs yang serius antara lain, antibiotik (amoxicillin, ceftriaxone, cefuroxime, ciprofloxacine, gentamicin, nevirapine, penicillin), antidepresan (SSRI), antipsikotik (haloperidol, quetiapine, zuclopenthixol), antithrombotik dan antikoagulan (acetylsalicylic acid, clopidogrel, enoxaparin, phenprocoumon, tinzaparin, warfarin), benzodiazepines (midazolam, triazolam), sitostatik (carboplatin, daunorubicin, etoposide, 5- fluorouracil, methotrexate), diuretik (furosemide, thiazide diuretik), insulin, NSAIDs, opioid kuat (morphine, oxycodone). United States Department of Health and Human Service (2012) menemukan 4 golongan obat high alert memiliki dampak terbesar menyebabkan bahaya karena sering digunakan yaitu insulin, antikoagulan, narkotik dan sedatif. Farmakologi obat, kompleksitas dosis, dan berbagai produk insulin berkontribusi terhadap potensi error dan terkait bahaya. Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling umum dari terapi insulin dan merupakan efek samping yang sangat sering terjadi di rumah sakit di seluruh dunia, bahkan ketika rumah sakit menggunakan protokol dan pedoman, efek samping terus terjadi. Penyesuaian dosis tidak memperhitungkan stres yang disebabkan oleh penyakit atau prosedur medis, atau ketika pasien mungkin tidak memiliki cukup makanan/asupan kalori. 4
Antikoagulan karena kurangnya panduan dosis dan pemantauan yang tepat dapat menyebabkan bahaya 4% preventable ADE dan 10% potensial ADEs. Warfarin umumnya terlibat dalam ADEs karena kompleksitas dosis dan pemantauan, kepatuhan pasien, interaksi dengan sejumlah obat dan diet yang dapat mempengaruhi aktivitas obat. Overdose atau underdose opioid berhubungan dengan depresi pernafasan atau kontrol nyeri yang buruk adalah faktor umum dalam adverse event. Bahaya bisa terjadi pada penggunaan sedatif jika tidak memiliki proses untuk menangani situasi darurat seperti depresi pernafasan dan arrest, obat sedatif menyumbang 42% preventable ADEs. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada pasien yang menerima pengobatan dengan risiko tinggi, dan terbukti memiliki kontribusi besar dalam menurunkan insiden/kesalahan. Upaya untuk menjamin keselamatan pasien di fasilitas kesehatan sangatlah kompleks dan banyak hambatan. Salah satu strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien adalah dengan mencegah terjadinya kejadian tidak diharapkan (adverse event), membuat sistem identifikasi dan pelaporan adverse event serta mengurangi efek akibat adverse event (Departemen Kesehatan, 2008). Dari latar belakang di atas bahwa ADEs menempati urutan utama insiden berisiko terhadap keselamatan pasien. Lingkungan perawatan kritis, dan pengobatan dengan high alert adalah faktor risiko terjadinya ADEs, serta ditemukannya 4 obat high alert yang mempunyai dampak terbesar menyebabkan bahaya, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul : Analisis Adverse Drug Events (ADEs) Pada Penggunaan Obat-Obat High Alert Di 5
Intensive Care Unit (ICU) Dan Cardiac Intensive Care Unit (CICU) Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana insidensi ADEs pada penggunaan obat-obat high alert yang meliputi obat antikoagulan, insulin, narkotik/opioid, dan sedatif di ICU dan CICU Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta? C. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang ADEs di ICU yang telah dilakukan sebelumnya diantaranya yaitu : 1. Kane-Gill et al (2010) tentang ADEs di ICU. Penelitian ini menjelaskan kejadian reaksi obat yang tidak diharapkan di unit perawatan intensif dengan melacak kejadian yang tidak diharapkan per 1000 hari serta biaya perawatan akibat kejadian tersebut. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa MEs terjadi pada 106 per 1000 hari pasien dan terjadi pada banyak tahap, preventable ADE 0,6% - 29% dan non-preventable ADE dua kali lebih besar daripada preventable ADE meliputi perdarahan akibat antithrombotik dan gagal ginjal akibat toksik pengobatan. Faktor risikonya adalah lingkungan ICU, populasi pasien risiko tinggi, pengobatan dengan high alert, dan infus IV, akibatnya berdampak pada kematian, kerusakan organ, menambah LOS dan biaya (2,3-4,8 hari @$3400/hari). 6
2. Seynaeve et al (2011) tentang Adverse Drug Events in Intensive Care Unit: A Cross-Sectional Study of Prevalence and Risk Factors. Penelitian ini bertujuan untuk menilai karakteristik ADEs pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif dan menentukan dampak keparahan penyakit dan beban kerja keperawatan pada prevalensi kejadian. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional berdasarkan analisis retrospektif sistem manajemen data pasien kualitas tinggi, pada penelitian ini prevalensi ADEs diukur menggunakan global trigger tool yang disesuaikan untuk lingkungan perawatan kritis, sedangkan klasifikasi ADEs berdasarkan 9 kriteria National Coordination Council for Medication Error Reporting and Prevention (NCC MERP). Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa 230 ADEs terjadi pada 79 pasien ICU dan terjadi pada 175 dari 1009 hari pasien dianalisis. Kejadian paling umum adalah hipoglikemia, perpanjangan tromboplastin time, dan hipokalemia. Dari kejadian yang terjadi, 96% diklasifikasikan menyebabkan bahaya sementara dan 4% menyebabkan komplikasi. Keparahan penyakit dan beban kerja perawat signifikan lebih tinggi pada hari ketika satu atau lebih ADEs terjadi. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah peneliti menganalisis ADEs secara retrospektif terhadap rekam medik pasien yang menggunakan obat high alert di ICU/CICU RS. Panti Rapih, berdasarkan trigger tool ADEs dan ICU adverse event terhadap 4 golongan obat high alert yaitu, antikoagulan, insulin, narkotik/opioid dan sedatif. 7
D. Tujuan Penelitian Menganalisis insiden ADEs pada penggunaan obat-obat high alert yang meliputi obat antikoagulan, insulin, narkotik/opioid, dan sedatif di ICU dan CICU Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. E. Manfaat Penelitian 1. Untuk RS. Panti Rapih Yogyakarta, penelitian ini sebagai dokumen insiden keselamatan pasien untuk pembelajaran awal mencegah kejadian yang sama terulang kembali. 2. Untuk peneliti, penelitian ini merupakan pengalaman yang berharga sebagai ilmu yang melatih peneliti sebagai farmasi klinik dalam upaya untuk menjamin keselamatan pasien yang menerima pengobatan dengan obat risiko tinggi (High alert drugs). 8