KAJIAN EKOLOGI IKAN LALAWAK (Barbodes sp) ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi Tingkat Pencemaran Air Pembuangan Limbah Cair Pabrik Kertas di Sungai Klinter Kabupaten Nganjuk

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke yang di

I. PENDAHULUAN. perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

MANAJEMEN KUALITAS AIR

PENGARUH SUBTITUSI PARSIAL TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG TULANG TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus.

1) Staf Pengajar pada Prog. Studi. Budidaya Perairan, Fakultas

Kelayakan kualitas air kolam di lokasi pariwisata Embung Klamalu Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

STUDI KUALITAS AIR UNTUK BUDIDAYA IKAN KARAMBA DI SUNGAI KAHAYAN (Water Quality Research For Fish Farming Keramba In The Kahayan River)

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN, Pangasius sp.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 40 DAN 60 EKOR/LITER DALAM SISTEM RESIRKULASI

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

PENGGUNAAN KOMBINASI BERAGAM PAKAN HIJAUAN DAN PAKAN KOMERSIAL TERHADAP PERTAMBAHAN BOBOT IKAN GURAME (Osphronemus gouramy Lac.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL

STUDI MORFOLOGI BEBERAPA JENIS IKAN LALAWAK (Barbodes spp) DI SUNGAI CIKANDUNG DAN KOLAM BUDIDAYA KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem

III. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Struktur Komunitas

PENGARUH MEDIA YANG BERBEDA TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN LARVA Chironomus sp.

OPTIMASI BUDIDAYA SUPER INTENSIF IKAN NILA RAMAH LINGKUNGAN:

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sungai Bedagai merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Pemerintah

Lampiran 1 Ringkasan Skripsi. Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya Alamat pos elektronik:

III. METODOLOGI PENELITIAN

4. KONDISI HABITAT SIMPING

MANAJEMEN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA IKAN NILA (Orechromis niloticus) DI KOLAM AIR DERAS

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Jenis nutrien Kandungan (%) 2.2 Metode Penelitian Rancangan Penelitian

3. METODE PENELITIAN

PERTUMBUHAN IKAN KERALI (Labocheilos falchifer) DI PERAIRAN SUNGAI LEMATANG, SUMATERA SELATAN

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan benih ikan mas (Cyprinus carpio) strain rajadanu dengan kepadatan berbeda

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

bio.unsoed.ac.id II.KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN I.PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

PENGARUH AKTIVITAS MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS AIR DAN KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI SUNGAI BELAWAN MEDAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) sebagai pengendali pertumbuhan plankton yang berlebihan di Waduk Cirata

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bawal air tawar (Collosoma sp.) dengan laju debit air berbeda pada sistem resirkulasi

Penggunaan arang tempurung kelapa guna meningkatkan kualitas air pada pemeliharaan benih ikan baung (hemibagrus nemurus cv) dalam resirkulasi tertutup

PEMANFAATAN TEPUNG ECENG GONDOK TERFERMENTASI SEBAGAI BAHAN BAKU DALAM PEMBUATAN PAKAN IKAN BAUNG (Mystus nemurus CV

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Fisik-kimia Perairan Danau Limboto sebagai Dasar Pengembangan Perikanan Budidaya Air Tawar

BAB 2 BAHAN DAN METODA

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya

Transkripsi:

KAJIAN EKOLOGI IKAN LALAWAK (Barbodes sp) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi lingkungan ikan lalawak (Barbodes sp). Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dan dianalisis secara deskriptif serta membandingkan preferensi lingkungan ikan lalawak dari masingmasing stasiun penelitian. Hasil penelitian menunjukkan parameter kualitas air untuk masing-masing stasiun pengamatan relatif sama, kecuali alkalinitas, serta hasil analisis index of prepondence, ikan lalawak termasuk ikan omnivora yang cenderung ke herbivora dengan makanan utamanya, adalah phytoplankton, selanjutnya diikuti zooplankton, invertebrata air dan detritus dan Pertumbuhan panjang ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam lebih cepat daripada beratnya, tetapi ikan lalawak jengkol lebih mudah dikenal karena bentuk tubuhnya bulat seperti jengkol. PENDAHULUAN Air sebagai lingkungan tempat hidup organisme perairan harus mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan organisme tersebut. Kualitas air tidak hanya menentukan bagaimana ikan akan tumbuh tetapi juga bagaimana dapat bertahan hidup. Air bukanlah hanya air saja, tetapi juga mengandung berbagai bahan kimia lain, apakah dalam bentuk yang larut atau dalam bentuk partikel. Kualitas air ini sangat penting, tidak hanya untuk ikan tetapi juga untuk semua kehidupan yang ada dalam perairan. Di samping pengaruh kualitas, kuantitas air juga penting dipandang dari segi besarnya produksi perairan. Pada perairan alami, kualitas air mempengaruhi seluruh komunitas perairan (bakteri, tanaman, ikan, zooplankton dan sebagainya). Dalam kegiatan budidaya, perbedaan dari masing-masing siklus kehidupan sudah banyak dipelajari. Seperti pada budidaya ikan sistem air mengalir, air hanya bertindak sebagai sarana bagi transpor oksigen dan hasil buangan yang berasal dari ikan dan sebagai akibatnya kualitas air tersebut dapat diterima selama kualitas air tertsebut tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap sasaran antara lain pertumbuhan ikan, penetasan telur dan sebagainya. Beberapa parameter fisika dan kimia perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan adalah suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, amonia, ph dan alkalinitas (Weatherley 1972). Suhu merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh. Suhu tinggi cenderung menyebabkan kandungan oksigen terlarut menurun, di lain pihak menyebabkan konsumsi oksigen meningkat (Philips 1972). Pada ikan kemampuan dalam mentoleransi suhu rendah banyak memperoleh hambatan dibanding suhu tinggi. Metabolisme merupakan reaksi kimia dan proses kerjanya dipengaruhi oleh suhu. Ikan mempunyai selang suhu optimum untuk memenuhi laju metabolisme yang diinginkan (Philips 1972). Kebutuhan oksigen terlarut ikan bervariasi, bergantung kepada spesiesnya. Wardoyo (1981) menyatakan bahwa kebutuhan organisme akan oksigen bergantung kepada jenis, stadia dan aktivitasnya. Jika kandungan oksigen di perairan tidak

dipertahankan maka hewan peliharaan akan mengalami stress, mudah terserang parasit dan penyakit atau mati (Stickney 1979). Selanjutnya dikemukakan bahwa, kadar oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan ikan tidak kurang dari 2 ppm. Ikan memerlukan oksigen untuk mengoksidasi nutrien yang diperoleh dari makanan yang dikonsumsinya agar di peroleh energi untuk berbagai aktivitas, seperti aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi atau sebaliknya (Zonneveld et al. 1991). Sedangkan kandungan karbondioksida yang baik untuk tidak mengganggu kehidupan ikan adalah tidak lebih dari 5 ppm dan apabila kandungan oksigen tinggi, ikan dapat mentolerir kandungan karbondioksida lebih dari 10 ppm dan kandungan amonia yang dapat ditolerir oleh ikan adalah antara 0.6 sampai 2 ppm (Boyd 1979). Selanjutnya Piedrahita dan Seland (1994) mengemukakan bahwa ph berpengaruh terhadap kesadahan dan lingkungan perairan alami maupun dalam sistem budidaya. Perairan dengan ph berkisar antara 6.5 sampai 9.0 sangat baik bagi pertumbuhan ikan, sedangkan pada kisaran ph 4.0 sampai 6.5 dan 9.5 sampai 11.0 pertumbuhannya cenderung lambat (Swingle 1969 dalam Boyd 1982). Untuk pengembangbiakan ikan lalawak agar keberadaanya tetap terjaga baik diperairan umum maupun kolam masyarakat, perlu terlebih dahulu dilakukan kajian tentang lingkungannya seperti faktor fisika, kimia dan apa yang biasa dimakan oleh ikan lalawak tersebut sehingga dapat dijadikan dasar dalam kajian pembudidayaannya. BAHAN DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Mei 2004. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Congeang dan Kecamatan Buah Dua Kabupaten Sumedang dan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air dan Laboratorium Limnologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi lingkungan tempat ikan lalawak ditemukan. Sehingga data yang diperoleh dapat dijadikan landasan dalam menetukan kondisi lingkungan yang dapat dijadikan media budidaya ikan lalawak. Prosedur Penelitian Data preferensi lingkungan diambil berdasarkan stasiun penelitian yang telah ditentukan maupun kolam-kolam masyarakat. Pengambilan sampel yang akan diamati dilakukan bersamaan dengan penangkapan/pengambilan ikan contoh dari masing-masing lokasi. Lokasi penelitian terdiri dari tiga stasiun, stasiun satu dan dua terletak di sungai Cikandung dan stasiun tiga adalah kolam milik warga di desa Congeang (Gambar 1). Parameter yang diamati meliputi fisik, kimia dan biologi perairan (Tabel 1). Beberapa parameter dianalisis di lapangan dan sebagaian dianalisis di Laboratorium. 2

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Gambar 1. Stasiun pengamatan penelitian Parameter Uji Parameter preferensi lingkungan yang diamati antara lain: fisika (suhu, kedalaman, kecerahan, total suspency solid (TSS), arus dan subtrat. Untuk faktor kimia (ph, oksigen terlarut, ammonia dan alkalinitas), sedangkan parameter biologi adalah kebiasaan makanan dan hubungan panjang berat dan faktor kondisi. Analisis kebiasaan makanan dilakukan dengan menggunakan persamaan indeks bagian terbesar (Indeks of preponderance) (Natarajan dan Jhingran dalam Effendie 1979): IP = (ViOi/ ViOi) x 100% Keterangan: IP = Indeks bagian tebesar Vi = Persentase volume satu macam makanan Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan N = Jumlah total individu dari seluruh jenis Sedangkan hubungan panjang berat persamaan yang digunakan adalah menurut Hile (1936) dalam Effendi (1979). W = al b Keterangan: W = Berat ikan (g) L = Panjang ikan (mm) 3

a dan b = konstanta Selanjutnnya untuk faktor kondisi mengacu kepada persamaan yang digunakan oleh Lagler (1961) dalam Effendi (1979). K = 10 5 W/L 3 Keterangan: K = Faktor kondisi W = Berat ikan (g) L = Panjang ikan (mm) Analisis Data Semua data yang diperoleh dari uji preferensi lingkungan ikan lalawak dari masing-masing stasiun penelitian di tabulasikan. Selanjutnya dibandingkan antar masing-masing stasiun untuk melihat kesesuaian lingkungan, sehingga nantinya diperoleh suatu gambaran lingkungan yang cocok untuk pemeliharaan ikan lalawak. Tabel 1. Parameter fisika-kimia-biologi air yang diamati Parameter Alat Metode Analisis Satuan Lokasi Fisika Suhu Kecerahan Kedalaman Arus TSS Substrat Termometer Secchi disk Tongkat berskala Pelampung dan tali Kertas saring - Pembacaan skala Penetrasi cahaya Pendugaan Langrangian Gravimetrik Visual 0 C cm m m/dt - Ex situ Kimia ph DO BOD 5 Alkalinitas Ammonia ph meter Buret Buret Buret Spektrofotometer Pembacaan skala Titrasi Titrasi Titrasi Phenate - Ex situ Ex situ Biologi Fitoplankton Planktonnet Filtration Method indv./l Ex situ 1. Parameter Fisika-Kimia HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis parameter fisika dan kimia masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 2. Parameter Fisika Suhu Kecerahan Kedalaman Arus TSS Tabel 2. Parameter fisika dan kimia pada masing-masing stasiun penelitian Satuan 0 C cm m m/dt 1 (Sungai Cikandung) 25-26.5 25-30 0.70 1.50 0.30-0.45 74-80.1 kerikil Rerata 25.75 27.5 110 0.38 77.05 Stasiun 2 (Sungai Rerata Cikandung) 26.5-28 25-27.5 27.25 0.50 0.70 26.25 0.45-0.50 60 80.5-90.3 0.48 kerikil 85.4 3 (Kolam budidaya) 26-28 30-35 0.75-1.00 0.007-0.035 78.9-80.3 lumpur Rerata 27 32.5 87.5 0.02 79.6 4

Substrat - - - - Kimia ph DO BOD 5 Ammonia Alkalinitas - ppm CaCO 3 6.0-6.5 4.48-6.61 2.53-3.31 0.095-0.16 112-125 6.25 5.55 2.92 0.13 118.5 6.5-7.0 3.64-4.63 2.02-3.20 0.02-0.19 120-160 6.75 4.14 2.52 0.11 140 6.5-7.0 3.43-4.30 2.31-2.80 0.028-0.05 85-100 6.75 3.87 2.56 0.04 92.5 Tabel 2 menunjukkan untuk stasiun satu suhunya lebih rendah dari stasiun dua dan tiga, hal ini disebabkan karena stasiun satu berada di daerah hulu sungai dan di daerah pinggir sungai banyak ditumbuhi pohon-pohon yang besar. Secara topografi letak stasiun satu juga lebih tinggi dibandingkan stasiun dua dan tiga. Untuk kecerahan stasiun tiga lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun dua dan satu. Perbedaan ini disebabkan oleh kecepatan arus, dimana pada stasiun dua kecepatan arusnya lebih cepat, selanjutnya diikuti oleh stasiun satu dan tiga. Pada arus yang lambat proses pengendapan lumpur lebih mudah terjadi. Selain kecepatan arus, kecerahan dipengaruhi pula oleh padatan tersuspensi (TSS). Nilai TSS pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 74 sampai 90.3. Menurut Alabaster dan Lloyd (1980), kisaran nilai TSS 80 sampai 400 kurang menunjang untuk usaha perikanan, karena kondisi perairan dengan nilai tersebut dapat menyebabkan proses fotosintesis di perairan tidak berjalan dengan maksimum. Kecepatan arus juga dipengaruhi oleh ketinggian antara bagian hulu dan hilir sungai, kalau perbedaannya cukup besar maka arus akan semakin deras. Kecepatan arus juga akan berpengaruh pada jenis subtrat suatu perairan. Pada stasiun satu dan dua subtrat berbentuk kerikil, sedangkan pada stasiun tiga berbentuk lumpur karena arusnya lambat. Menurut Effendi (2003), kecepatan arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar. Derajat keasaman (ph) stasiun pengamatan berkisar antara 6.0 sampai 7.0, hal ini berarti ph perairan yang terdapat pada stasiun pengamatan tergolong netral. Kondisi ini disebabkan lokasi pengamatan berada jauh dari sumber limbah seperti pabrik tahu dan pemukiman penduduk. Sungai di sekitar stasiun pengamatan sampai ke hulu hanya dikelilingi oleh hutan dan persawahan. Nilai ph netral cukup baik untuk menunjang kehidupan ikan (Hickling 1971). Oksigen terlarut pada stasiun satu lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan suhu perairan, pergerakan air dan proses fotosintesis organisme di perairan. BOD 5 menunjukkan banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air selama lima hari. Semakin tinggi nilai BOD 5 di suatu perairan berarti semakin tinggi kandungan bahan organik di perairan tersebut. Hasil pengukuran BOD 5 menunjukkan bahwa pada stasiun satu nilainya paling tinggi dan selanjutnya secara berurutan diikuti oleh stasiun tiga dan dua. Hal ini sejalan dengan kadar ammonia, dimana kadar ammonia tertinggi terdapat pada stasiun satu dan 5

selanjutnya diikuti oleh stasiun dua dan tiga. Namun demikian kadar ammonia di ke tiga stasiun masih dikategorikan aman bagi kelangsungan hidup ikan (Lloyd 1980). Kadar alkalinitas di suatu perairan menunjukkan kapasitas penyangga perairan tersebut serta dapat pula digunakan untuk menduga kesuburannya. Kadar alkalinitas pada ke tiga stasiun masih berada pada kisaran 50-200, dan alkalinitas tersebut cukup baik untuk perikanan. Ikan lalawak hidup di air yang jernih sampai air yang agak keruh, dengan dasar perairan yang berpasir, sedikit berlumpur dan berbatu-batu kecil. Sedangkan hasil penelitian Luvi (2000), parameter kualitas air sungai Cimanuk sebagai habitat ikan lalawak menunjukkan kondisi optimal untuk kehidupannya (Tabel 3). Tabel 3. Kisaran nilai parameter fisika-kimia air sungai Cimanuk Parameter Fisik Suhu Kecerahan Kedalaman Kecepatan arus Lebar sungai Kekeruhan Kimia ph DO Alkalinitas Ammonia Sumber : Luvi (2000) Kisaran Nilai 24.5 29 0 C 5-52 cm 50-700 cm 0.2-1.67 m/dt 8-100 meter 14-80 NTU 5-7 4.84-7.06 45-120 0.0089-1.735 2. Parameter Biologi Komposisi makanan ikan berdasarkan nilai rata-rata index of prepondence pada ketiga stasiun pengambilan sampel disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Indeks of Propenderance (IP) makanan Ikan Lalawak (Barbodes sp) Jenis Makanan Phytoplankton Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Euglanophyceae Zooplankton Rotifera Protozoa Invertebrata Air Crustacea Lain-lain Detritus Tidak terdeteksi 92.05 2.28 0.00 5.68 IP (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 80.30 70.40 44.32 26.52 12.80 5.68 21.21 9.60 19.32 12.12 24.80 22.73 20.45 23.20 1.14 1.14 0.00 3.41 2.27 13.64 2.27 3.79 0.00 13.64 2.27 1.52 2.27 24.80 0.80 4.00 4.80 20.00 0.80 3.20 0.80 Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa yang menjadi makanan utama bagi ikan lalawak di stasiun satu, dua dan tiga adalah fitoplankton dengan IP masing-masing 92.05, 80.30 dan 70.40%. Tingginya nilai IP jenis fitoplankton di dalam usus ikan ini juga ditunjang oleh ketersediaan jenis makanan tersebut di 6

alam. Menurut Nikolsky (1963) dalam Luvi (2000), urutan kebiasaan makanan ikan terdiri dari makanan utama, pelengkap dan pengganti. Adapun jenis yang terbanyak dikonsumsi oleh ikan pada stasiun satu adalah dari kelas Bacillariophyceae yaitu sebesar 45%, selanjutnya diikuti oleh Euglenophyceae sebesar 23%, Cyanophyceae 19%, Chlorophyceae 6%, Detritus 3%, tidak terdeteksi 2%, Rotifera 1%, Protozoa 1%, dan Crustaceae 0% (Gambar 2). Untuk stasiun dua adalah kelas Bacillariophyceae yaitu sebesar 27%, selanjutnya diikuti oleh Chlorophyceae 21%, Euglenophyceae 20%, Protozoa 14%, Cyanophyceae 12%, Crustaceae 2%, Detritus 2%, tidak terdeteksi sebesar 2% dan Rotifera 0% (Gambar 3). Sedangkan untuk stasiun tiga kelas Cyanophyceae yaitu sebesar 24%, selanjutnya diikuti oleh Euglenophyceae sebesar 23%, Protozoa 20%, Bacillariophyceae 13%, Chlorophyceae 10%, Rotifera 5%, Detritus 3%, Crustaceae 1% dan tidak terdeteksi sebesar 1% (Gambar 4). Berdasarkan hasil analisis tersebut didapatkan bahwa jenis makanan ikan lalawak adalah berupa phytoplankton, zooplankton, invertebrata air dan lainnya (detritus). Menurut Luvi (2000), ikan lalawak dari sungai Cimanuk berdasarkan analisis isi perutnya tergolong ikan omnivora karena ditemukan jenis organisme nabati dan hewani. 1% 1% 0% 3% 2% 23% 45% 19% 6% Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Euglenophyceae Rotifera Crustaceae Protozoa Detritus Tidak Terdeteksi Gambar 2. Komposisi makanan ikan Lalawak (Barbodes sp) di stasiun satu 7

14% 2% 2% 27% 2% 0% 20% 12% 21% Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Euglenophyceae Rotifera Crustaceae Protozoa Detritus Tidak Terdeteksi Gambar 3. Komposisi makanan ikan Lalawak (Barbodes sp) di stasiun dua 3% 1% 13% 20% 10% 1% 5% 23% 24% Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Euglenophyceae Rotifera Crustaceae Protozoa Detritus Tidak Terdeteksi Gambar 4. Komposisi makanan ikan Lalawak (Barbodes sp) di stasiun tiga 3. Hubungan panjang total dan bobot tubuh serta faktor kondisi Hasil analisis hubungan panjang total dan bobot tubuh serta faktor kondisi untuk ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hubungan panjang total dan bobot tubuh dan faktor kondisi Parameter Ikan Lalawak (Barbodes sp) Jengkol Sungai Kolam Jumlah ikan (ekor) 20 20 25 Bobot rata-rata (g) 17.571 9.943 29.956 Panjang total rata-rata (mm) 98.330 93.733 129.041 Hubungan Panjang berat W = 0.00011*L 6.230 W = 8.05E-05*L 6.270 W = 2.39E*L 5.970 Nilai r 0.74 0.94 0.93 8

Berat tubuh (g) Bobot tubuh (g) Tipe pertumbuhan Alometrik negatif Alometrik negatif Alometrik negatif Faktor kondisi 1.498 1.149 1.216 Berdasarkan hasil analisis seperti terlihat pada Tabel 5, bahwa antara panjang total dan bobot tubuh ikan lalawak baik jengkol, sungai maupun kolam menunjukkan hubungan yang kuat sekali, hal ini terlihat dari nilai r korelasinya yang tinggi. Santoso (2003), menyatakan bahwa angka korelasi diatas 0.5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan dibawah 0.5 korelasi lemah. Nilai korelasi terendah terdapat pada ikan lalawak jengkol yaitu sebesar 0.74 (Gambar 5), selanjutnya diikuti oleh ikan lalawak kolam yaitu sebesar 0.93 (Gambar 6) dan lalawak sungai yaitu sebesar 0.94 (Gambar 7). 70 60 50 40 W = 0,00011*L 6,230 R 2 = 0,74 30 20 10 0 0 5 10 15 20 Panjang total (cm) Gambar 5. Hubungan panjang total dengan bobot tubuh ikan lalawak jengkol 25 20 15 W = 8,05E-05*L 6,270 R 2 = 0,94 10 5 0 0 2 4 6 8 10 12 14 Panjang total (cm) Gambar 6. Hubungan panjang total dengan bobot tubuh ikan lalawak sungai 9

Bobot tubuh (g) 100 90 80 W = 2,39E-05*L 5,970 R 2 = 0,93 70 60 50 40 30 20 10 0 0 5 10 15 20 Panjang total (cm) Gambar 7. Hubungan panjang total dengan bobot tubuh ikan lalawak kolam Faktor kondisi (K) ikan lalawak jengkol didapatkan sebesar 1.848, selanjutnya diikuti oleh lalawak kolam, yaitu sebesar 1.394 dan ikan lalawak sungai, yaitu sebesar 1.207. Secara keseluruhan untuk ikan lalawak baik jengkol, sungai dan kolam pertumbuhan panjangnya lebih cepat daripada pertumbuhan berat. Hal ini juga diikuti oleh faktor kondisi ikan lalawak, dimana nilai K nya berkisar antara 1.207 sampai 1.848. Menurut Effendi (1979), bahwa nilai K untuk ikan-ikan yang badannya kurang pipih berkisar antara 1 sampai 3. Hubungan panjang total dan bobot tubuh serta faktor kondisi suatu ikan bergantung kepada makanan, umur, jenis sex dan kematangan gonad (Effendi 1997). Data ini tidak jauh berbeda dengan data yang diperoleh oleh Luvi (2000), ikan lalawak yang ada diperairan umum (sungai Cimanuk kabupaten Sumedang), mempunyai nilai r korelasi hubungan panjang total dan bobot tubuh berkisar antara 0.78 sampai 0.99, sedangkan nilai K berkisar antara 0.53 sampai 3.54. SIMPULAN 1. Parameter kualitas air untuk masing-masing stasiun pengamatan relatif sama, kecuali alkalinitas. 2. Berdasarkan analisis index of prepondence, ikan lalawak termasuk ikan omnivora yang cenderung ke herbivora dengan makanan utamanya, adalah phytoplankton, selanjutnya diikuti zooplankton, invertebrata air dan detritus. 10

3. Pertumbuhan panjang ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam lebih cepat daripada beratnya, tetapi ikan lalawak jengkol lebih mudah dikenal karena bentuk tubuhnya bulat seperti jengkol. SARAN Untuk melakukan kegiatan budidaya ikan lalawak yang intensif, perlu dilakukan penelitian lanjutan terutama tentang aspek lingkungan (alkalinitas) dan pakan buatan (kandungan protein pakan). DAFTAR PUSTAKA Alabaster, J. S., and R. Lloyd. 1980. Water quality criteria for freshwater fish. Butterwothhs. 297 p. Boyd, C. E., and Lichkoppler. 1979. Water quality management in pond fish culture. International Center for Aquaculture Experiment Station, Auburn University Press, Alabama. 359 p. Boyd, C. E., and Lichkoppler. 1982. Water quality management in pond fish culture. International Centre for Aquaculture Experiment Station. Auburn University Press. Alabama. 318 p. Effendie, M. I. 1979. Metode biologi perikanan. Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal. Effendie, M. I. 1997. Biologi perikanan. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163 hal. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Kanasius. Jokjakarta. 258 hal. Hickling CF. 1971. Fish culture. Revised Edition. Faber and Faber. London. 317 pp. Lloyd R. 1980. Water quality criteries for fresh water fish. FAO of The United Nation. Butler. Worths. 297 p. Luvi, D.M. 2000. Aspek reproduksi dan kebiasaan makanan ikan lalawak (Barbodes balleroides) di Sungai Cimanuk, Sumedang Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. Philips, J. 1972. Calory and energy requirements in fish nutrition. Edited by J. E. Halver. Acad. Press. Inc. New York. 713 pp. Piedrahita RH, dan A Seland. 1994. Calculation of ph in fresh and seawater aquaculture systems. Aquaculture Engineering, 14 (4) : 331 346 p. Santoso S. 2003. Mengatasi berbagai masalah statistik dengan SPSS versi 11.5. enerbit PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. 11

Stickney RR. 1979. Principle of warm water aquaculture. John Wiley and Sons Inc. Toronto. 375 p. In Chervinsky, J., and S. Rothbard. 1981. An aid in manually sexing tilapia. Aquaculture, 26 : 389. Wardoyo, S. T. H. 1981. Kriteria kualitas air untuk keperluan pertanian dan perikanan. Analisa Dampak Lingkungan. PPLH-UNDP-PUSDI-PSL, Institut Pertanian Bogor. Weatherley, A. H. 1972. Growth and Ecology of Fish Populations. Academic London, New York. Press, Zonneveld, N., E. A. Huisman and J. H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip budidaya ikan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 318 hal. 12