BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA FAKULTAS PSIKOLOGI BANDUNG. Kata Pengantar

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah bahkan sekolah dewasa ini di bangun oleh pemerintah agar anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dapat

Tujuan pendidikan nasional seperti disebutkan dalam Undang-Undang. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal (3)

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. proses belajar sejak manusia lahir hingga akhir hayatnya. Havighurst dalam Bimo

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dan teknologi serta mampu bersaing pada era global ini.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Orang tua yang penuh perhatian tidak akan membiarkan anak untuk

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

BAB I PENDAHULUAN. Individu mulai mengenal orang lain di lingkungannya selain keluarga,

BAB I Pendahuluan. Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan

Tujuan pendidikan adalah membentuk seorang yang berkualitas dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang perlu mendapatkan perhatian semua orang. Salah satu masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode tatkala individu mengalami transisi dari

BAB I PENDAHULUAN. karena itu, agar dapat menciptakan sumber. peningkatan terhadap kualitas pendidikan itu sendiri.

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar berlangsung. Para guru dan siswa terlibat secara. Sekolah sebagai ruang lingkup pendidikan perlu menjamin

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang tua ingin anaknya menjadi anak yang mampu. menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya.

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya, masyarakat yang sejahtera memberi peluang besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang menjadi salah satu tempat dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap orangtua menginginkan yang terbaik

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa. 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Sekolah didirikan untuk mengembang tugas mewujudkan inspirasiinspirasi

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan sebuah negara. Maka dari itu, jika ingin memajukan sebuah negara terlebih dahulu

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan sebagai upaya dasar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sugiyono (2008:119) mengemukakan bahwa metode komparatif atau ex post facto

HUBUNGAN ANTARA KETELADANAN PENDIDIK DALAM INTERAKSI EDUKATIF DENGAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami berbagai perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum

PENGARUH KEDISIPLINAN BELAJAR DAN BERFIKIR KRITIS SISWA TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPS SISWA KELAS VII DI SMP NEGERI 2 COLOMADU TAHUN AJARAN 2009/ 2010

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Membolos merupakan salah satu perilaku siswa di sekolah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

Bandung, Agustus Peneliti. Universitas Kristen Maranatha

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya. Dalam melakukan penyesuaian diri di lingkungan sosial, manusia dihadapkan pada tuntutan dan harapan dari lingkungan sosial tersebut. Begitu juga dengan remaja sebagai bagian dari lingkungan sosial dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kehidupan sosial remaja tidak hanya di lingkungan rumah dan keluarga, tetapi juga berada di lingkungan masyarakat dan sekolah. Bagi remaja lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang paling penting karena remaja dituntut untuk mengenyam pendidikan sebagai bekal untuk masa depan. Selain itu juga, remaja lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar di sekolah dan pengaruh teman sekolah serta guru sangat berperan dalam kehidupan remaja, oleh karena itu remaja dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan sekolahnya. Di dalam lingkungan sekolah, remaja dihadapkan pada berbagai peraturan yang harus dijalankannya. Remaja yang duduk di bangku kelas I Sekolah Menengah Atas (SMA) akan dihadapkan pada tuntutan dan peraturan sekolah yang berbeda dengan tuntutan dan peraturan di lingkungan Sekolah Menengah 1

2 Pertama (SMP). Siswa kelas I SMA perlu menyesuaikan diri dengan teman-teman baru, pelajaran yang lebih sulit dan lebih beragam mata pelajarannya, serta para guru-guru yang baru. Selain itu juga, siswa kelas I SMA perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolahnya. Siswa kelas I SMA yang mampu menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan sekolahnya ditandai dengan menerima peraturan dan tanggung jawab yang diberikan sekolah, membina relasi yang baik dengan guru-guru, serta membantu sekolah untuk mencapai tujuan sekolah. Sebaliknya siswa kelas I SMA yang kurang mampu menyesuaikan diri di sekolah akan memperlihatkan sikap tidak tertarik pada sekolah, bolos sekolah, relasi dengan guru-guru dan teman yang tidak sehat, memberontak, merusak, dan menentang otoritas sekolah (Schneiders, 1964). Keberhasilan penyesuaian diri siswa di sekolah dapat terlihat dari respon positif siswa terhadap peraturan sekolah (Schneiders, 1964). Setiap sekolah akan menerapkan beberapa peraturan yang harus dijalankan oleh para siswanya. Begitu juga dengan keberadaan SMA X sebagai salah satu sekolah swasta di Bandung, menerapkan beberapa peraturan yang harus dijalankan oleh para siswanya di antaranya adalah tata tertib kegiatan belajar mengajar, tata tertib buku siswa, keterlambatan, absensi, uang sekolah, dan kewajiban siswa yang di dalamnya termasuk tata cara berpakaian seragam. Sekarang ini SMA X lebih menitikberatkan perhatiannya pada peraturan sekolah dengan tujuan untuk merealisasikan visi dan misi sekolah. Visi SMA X adalah agar para siswa berbudi pekerti luhur, cerdas, kreatif, dan patriotik,

3 sedangkan misi SMA X adalah agar para siswa mempunyai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai landasan moral perilaku dan etika, sopan santun, ramah tamah dan murah hati, kreativitas, inovatif dalam menghadapi tantangan jaman, disiplin dan tekun dalam menghadapi realita. Pada kenyataannya, respon dari siswa kelas I SMA X tidak seperti yang diinginkan oleh pihak sekolah. Menurut hasil wawancara dan data dari kepala sekolah dan guru BP diperoleh keterangan bahwa sebagian besar dari para siswa kelas I SMA X kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolahnya, terutama terhadap peraturan sekolah. Hal tersebut dapat dilihat dari hampir 75 % siswa kelas I SMA X pernah membolos lebih dari tiga kali, dan 35 % siswa tidak memakai atribut lengkap dan berpakaian seragam yang tidak sesuai dengan peraturan sekolah lebih dari tujuh kali. Menurut Coopersmith (1967), ketidakmampuan penyesuaian diri seseorang terhadap tuntutan lingkungan sosialnya berkaitan dengan derajat selfesteem orang tersebut. Begitu juga ketidakmampuan penyesuaian diri siswa terhadap peraturan sekolah berkaitan dengan derajat self-esteem siswa tersebut. Oleh karena itu perlu diketahui seberapa besar pengaruh self-esteem terhadap penyesuaian diri siswa pada peraturan sekolah. Self-esteem adalah penilaian seseorang mengenai dirinya sendiri yang tetap dipertahankannya. Penilaian diri ini menggambarkan sikap penolakan diri atau penerimaan diri dan merupakan indikasi sejauhmana seseorang menganggap dirinya sebagai orang yang mampu, berarti, dan sukses. Siswa yang memiliki self-esteem tinggi akan mudah untuk menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah karena ia mempunyai keyakinan

4 akan berhasil dan dihargai oleh warga sekolah lainnya, sedangkan siswa yang memiliki self-esteem rendah akan terhambat dalam melakukan penyesuaian diri terhadap peraturan sekolah karena ia kurang percaya diri serta takut gagal dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolahnya. Survey awal melalui wawancara kepada 10 orang siswa kelas I SMA X menunjukkan hasil sebagai berikut: Dua orang siswa mengatakan bahwa mereka sering melemparkan tanggung jawab kepada teman-temannya tatkala disuruh guru untuk mengerjakan tugas di papan tulis karena merasa takut salah dan malu kepada teman-temannya apabila melakukan kesalahan di depan kelas. Dua orang siswa mengatakan bahwa mereka lebih dari tujuh kali memakai seragam sekolah dengan atribut yang tidak lengkap dan memakai rok yang panjangnya di atas lutut, padahal sekolah mengharuskan para siswa perempuan memakai rok yang panjangnya di bawah lutut. Mereka melakukannya untuk mendapatkan perhatian dari para guru dan temantemannya karena mereka merasa dengan melakukan hal tersebut maka akan lebih diperhatikan oleh guru dan teman-temannya. Dua siswa yang bolos sekolah lebih dari tiga kali, mengatakan mereka bolos sekolah karena mereka merasa kurang diterima dan tidak dapat bergaul akrab dengan teman-teman sekelasnya, sehingga apabila mereka tidak masuk sekolah pun teman-teman sekelasnya tidak akan peduli.

5 Pernyataan dari keenam siswa di atas menunjukkan bahwa mereka kurang mampu menyesuaikan diri dengan peraturan sekolah, dan mereka menunjukkan selfesteem yang rendah. Satu orang siswa yang bolos sekolah lebih dari tiga kali, menyatakan bahwa dirinya bolos sekolah disebabkan ajakan dari temannya, ia yakin apabila membolos ia tidak akan ketinggalan pelajaran karena ia mampu untuk mengikuti semua mata pelajaran dengan baik dan sering mendapatkan pujian dari gurunya atas nilai-nilai yang diperolehnya. Siswa di atas menunjukkan bahwa ia kurang mampu menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah tetapi menunjukkan self-esteem yang tinggi. Satu orang siswa mengatakan bahwa ia merasa senang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru dan mengerjakannya dengan sebaik mungkin karena hal tersebut merupakan kewajiban setiap siswa, ia yakin bahwa dengan melaksanakan tugas yang diberikan oleh guru ia akan mendapatkan penghargaan dan pujian dari gurunya. Satu orang siswa yang selalu datang ke sekolah tepat waktu bahkan 15 menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi, mengatakan bahwa ia melakukan hal tersebut karena ia tidak ingin terlambat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Apabila ada materi yang kurang dimengerti ia akan segera mengajukan pertanyaan ataupun apabila ada diskusi kelompok ia akan mengemukakan pendapatnya, dan hal itu tidak akan bisa dilakukannya apabila ia terlambat masuk kelas.

6 Kedua siswa tersebut menunjukkan bahwa mereka mampu menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah dan menunjukkan self-esteem yang tinggi. Satu orang siswa yang selalu datang ke sekolah tepat waktu bahkan 15 menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi, mengatakan bahwa ia datang tepat waktu karena apabila terlambat masuk kelas ia merasa malu kepada temantemannya ketika di depan kelas harus meminta ijin kepada guru pengajarnya dan merasa takut kepada guru piket karena ia harus meminta ijin kepada guru piket terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kelas. Siswa tersebut menunjukkan ia mampu menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah, tetapi menunjukkan self-esteem yang rendah. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 siswa kelas I SMA X di atas, peneliti menemukan adanya variasi dalam penyesuaian diri terhadap peraturan sekolah dengan derajat self-esteem yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut seberapa besar pengaruh self-esteem terhadap penyesuaian diri terhadap peraturan sekolah pada siswa kelas I SMA X Bandung. 1.2.Identifikasi Masalah Dari uraian di atas, maka masalah yang akan diteliti, yaitu: Seberapa besar pengaruh self-esteem terhadap penyesuaian diri pada peraturan sekolah pada siswa kelas I SMA X Bandung.

7 1.3.Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian ini diadakan untuk memperoleh gambaran tentang derajat selfesteem dan penyesuaian diri pada peraturan sekolah pada siswa kelas I SMA X Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai kuat lemahnya pengaruh self-esteem terhadap penyesuaian diri pada peraturan sekolah pada siswa kelas I SMA X Bandung. 1.4.Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis Memberikan masukan bagi ilmu Psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Pendidikan mengenai pengaruh self-esteem terhadap penyesuaian diri pada peraturan sekolah pada siswa kelas I SMA X Bandung. Memberikan sumbangan informasi kepada peneliti lain tentang pengaruh selfesteem terhadap penyesuaian diri pada peraturan sekolah. 1.4.2. Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada kepala sekolah dan para guru mengenai selfesteem siswa dan penyesuaian diri pada peraturan sekolah pada siswa, sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program bagi siswa dalam rangka

8 meningkatkan self-esteem siswa dan meningkatkan kemampuan penyesuaian diri siswa pada peraturan sekolah. Memberikan informasi kepada siswa mengenai self-esteem dan penyesuaian diri pada peraturan sekolah, agar para siswa dapat memahami dirinya untuk kemudian meningkatkan self-esteem dan penyesuaian diri pada peraturan sekolah. 1.5. Kerangka Pemikiran Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri. Siswa kelas I SMA yang memasuki masa remaja madya (15-17 tahun) sedang dalam proses pencarian identitas diri dan menganggap penilaian orang lain, terutama yang penting dalam hidupnya seperti orang tua, guru, dan teman sebaya sebagai suatu hal yang penting bagi dirinya. Dikatakan penting karena penilaian itu akan mempengaruhi remaja dalam melakukan penilaian diri (Coopersmith, 1967). Penilaian diri atau yang lebih dikenal dengan self-esteem menurut Coopersmith (1967) adalah penilaian seseorang mengenai dirinya sendiri yang tetap dipertahankannya. Penilaian diri ini menggambarkan sikap penolakan diri atau penerimaan diri dan merupakan indikasi sejauhmana seseorang menganggap dirinya sebagai orang yang mampu, berarti, dan sukses. Self-esteem dibangun dan berkembang sepanjang hidup manusia. Pengalaman sebagai dasar sejak kanakkanak memegang peranan penting dalam membentuk self-esteem. Ketika berkembang menjadi remaja, kesuksesan juga kegagalan, bagaimana ia diperlakukan oleh keluarga dekat, gurunya, pelatihnya, otoritas religius, dan oleh

9 kelompok sebayanya, semuanya berperan dalam membangun self-esteem. Selfesteem yang dimiliki oleh remaja dapat berubah-ubah karena remaja masih dalam pencarian identitas diri. Terdapat empat aspek dari self-esteem, yaitu: sense of power, sense of significance, sense of virtue, dan sense of competence. Sense of Power merupakan penilaian seseorang bahwa dirinya mampu untuk bisa mengatur dan mengontrol orang lain. Kemampuan ini ditandai dengan adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima seseorang dari orang lain. Sense of Significance adalah penilaian seseorang terhadap dirinya melalui adanya kepedulian, perhatian, dan afeksi yang diterimanya dari orang lain. Keberartian tersebut ditandai dengan adanya kehangatan, perhatian, dan penghargaan dari orang lain serta adanya penerimaan dan popularitas. Sense of Virtue adalah penilaian seseorang bahwa dirinya mampu untuk mentaati standar moral dan etika. Ditandai dengan ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku yang diperbolehkan atau diharuskan oleh moral dan etika. Sense of Competence adalah penilaian seseorang bahwa dirinya mampu memenuhi tuntutan prestasi. Ditandai dengan keberhasilan seseorang dalam mengerjakan bermacam-macam tugas dengan baik (Coopersmith, 1967). Tingkat self-esteem seseorang akan ditentukan oleh tingkat sense of power, sense of significance, sense of virtue, dan sense of competence dari orang tersebut (Coopersmith, 1967). Begitu juga pada siswa kelas I SMA X, mereka akan mempunyai tingkat self-esteem yang berbeda-beda. Perbedaan tingkat self-esteem tersebut ditentukan oleh perbedaan tingkat sense of power, sense of significance,

10 sense of virtue, dan sense of competence dari siswa. Dan tinggi rendahnya keempat aspek tersebut akan berperan terhadap kemampuan siswa untuk menyesuaikan diri pada peraturan sekolah. Siswa kelas I SMA X akan memiliki sense of power yang tinggi di lingkungan sekolahnya apabila mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dari teman-teman sekolah serta para guru. Siswa yang mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dari teman-teman sekolah dan para guru akan memiliki sense of power tinggi karena siswa merasa mempunyai kemampuan untuk bisa mengatur teman-teman sekolahnya dan diakui oleh para guru. Dengan siswa memiliki sense of power tinggi, maka ia akan dapat membina relasi yang baik dengan guru-guru dan teman-temannya, sehingga ia akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolahnya termasuk terhadap peraturan sekolah. Sebaliknya, siswa akan memiliki sense of power yang rendah apabila kurang mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dari teman-teman sekolah serta para guru. Kurangnya pengakuan dan rasa hormat dari teman-teman sekolah dan para guru tersebut akan membuat siswa merasa kurang mampu untuk mengatur dan diakui oleh temantemannya dan para guru. Dengan keadaan tersebut maka siswa akan sulit untuk berelasi sosial dan menyesuiakan diri dengan lingkungan sekolahnya. Siswa kelas I SMA X juga akan memiliki sense of significance yang tinggi di lingkungan sekolahnya apabila mendapatkan kehangatan, perhatian, dan penghargaan dari teman-teman sekolah maupun dari para guru, serta adanya penerimaan dan popularitas di lingkungan sekolah. Hal tersebut akan membuat siswa memiliki sense of significance yang tinggi karena siswa merasa berarti dan

11 diterima di lingkungan sekolahnya. Keadaan tersebut akan membantu siswa untuk menyesuaikan diri pada lingkungan sekolah sehingga lebih mudah untuk menyesuaikan diri pada peraturan sekolah. Sebaliknya, siswa akan memiliki significance yang rendah apabila kurang mendapatkan kehangatan, perhatian, dan penghargaan dari teman-teman sekolah maupun dari para guru, serta kurangnya penerimaan dan popularitas di lingkungan sekolah. Hal tersebut disebabkan karena siswa merasa kurang berarti dan diterima di lingkungan sekolahnya. Dengan siswa merasa kurang berarti dan diterima di lingkungan sekolahnya maka ia akan lebih sulit untuk menyesuaikan diri pada lingkungan sekolahnya serta pada peraturan sekolah. Siswa kelas I SMA X yang memiliki sense of virtue tinggi akan taat pada peraturan yang berlaku di masyarakat dan sekolah serta melakukan tingkah laku yang memperhatikan nama baik sekolah. Siswa yang memiliki sense of virtue yang tinggi akan melakukan hal tersebut karena ia memiliki kesadaran dari dalam dirinya untuk mengikuti standar moral dan etika. Dengan kesadaran tersebut siswa akan lebih mudah untuk mentaati peraturan sekolah dan ia akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri pada peraturan sekolah. Sebaliknya, siswa yang memiliki sense of virtue rendah akan kurang taat pada peraturan yang berlaku di masyarakat dan sekolah, serta kurang melakukan tingkah laku yang memperhatikan nama baik sekolah. Hal tersebut disebabkan karena siswa yang memiliki sense of virtue yang rendah menghayati bahwa standar moral dan etika yang berlaku itu tidak selalu harus ditaati, termasuk peraturan sekolah juga tidak akan selalu mereka taati.

12 Siswa kelas I SMA X juga akan mempunyai sense of competence yang tinggi apabila mampu memecahkan masalah sendiri, mampu mengambil keputusan sendiri, serta mampu melaksanakan tugas dan kewajiban dengan baik. Hal tersebut disebabkan oleh penilaian siswa terhadap dirinya sendiri bahwa ia mampu untuk memenuhi tuntutan prestasi.dengan siswa merasa mampu untuk memenuhi tuntutan prestasi maka ia juga akan mampu untuk menjalankan peraturan sekolah dengan baik. Sebaliknya, siswa akan mempunyai sense of competence yang rendah apabila kurang mampu memecahkan masalah sendiri, kurang mampu mengambil keputusan sendiri, serta kurang mampu melaksanakan tugas dan kewajiban dengan baik. Hal tersebut bisa terjadi karena siswa merasa kurang mampu untuk memenuhi tuntutan prestasi. Hal tersebut akan berdampak terhadap kurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri pada peraturan sekolah. Self-esteem yang dimiliki siswa kelas I SMA turut mengarahkan tingkah laku siswa dalam melakukan penyesuaian terhadap peraturan sekolah. Hal tersebut selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Rogers (Burns, 1993: 49) bahwa self-esteem seseorang akan terlihat dalam aktivitasnya, oleh karena itu secara tidak langsung self-esteem seseorang akan tercermin dari tingkah lakunya. Hal tersebut diperjelas oleh Burns (1993: 54) bahwa penilaian subjektif individu terhadap diri sendiri merupakan umpan balik yang diterima individu dari lingkungan. Kondisi ini direfleksikan oleh siswa melalui tingkah lakunya dalam melakukan penyesuaian diri terhadap peraturan di sekolah. Penyesuaian diri dengan lingkungan atau yang lebih dikenal dengan penyesuaian sosial menunjuk pada kapasitas untuk bereaksi secara efektif dan

13 sehat pada realitas, situasi, dan relasi sosial, sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk kehidupan sosial terpenuhi dalam cara yang dapat diterima dan memuaskan (Schneiders, 1964). Penyesuaian sosial seseorang meliputi tiga aspek yaitu: penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah, dan di lingkungan masyarakat, ketiga aspek itu satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Walaupun berkaitan terdapat perbedaan dalam melakukan penyesuaiannya karena dihadapkan pada situasi dan lingkungan yang berbeda. Menurut (Schneiders, 1964) penyesuaian sosial yang dituntut oleh kehidupan sekolah adalah: 1. Rasa hormat kepada guru dan otoritas sekolah lainnya 2. Menerima peraturan dan tanggung jawab yang diberikan di sekolah 3. Membina relasi yang baik dengan guru-guru dan teman-teman 4. Membantu sekolah untuk mencapai tujuan sekolah. Menerima peraturan dan tanggung jawab yang diberikan sekolah merupakan salah satu penyesuaian sosial yang dituntut oleh kehidupan sekolah. Peraturan yang dibuat oleh SMA X di antaranya adalah tata tertib kegiatan belajar mengajar, tata tertib buku siswa, keterlambatan, absensi, uang sekolah, kewajiban siswa yang di dalamnya termasuk tata cara berpakaian seragam. Jika siswa dapat mematuhi peraturan tersebut maka siswa dikatakan mampu menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah, sebaliknya siswa yang banyak melanggar peraturan seperti: bolos sekolah, relasi dengan guru yang tidak sehat, memberontak, merusak, dan menentang otoritas, dikatakan kurang mampu menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah.

14 Menurut Coopersmith (1967), keberhasilan seseorang dalam melakukan penyesuaian diri tidak terlepas dari peran self-esteem. Begitu pula dengan keberhasilan siswa dalam melakukan penyesuaian diri terhadap peraturan sekolah tidak terlepas dari peran self-esteem, yaitu bagaimana siswa menerima dan menghargai diri. Siswa yang memiliki penghargaan diri yang positif, memiliki kepercayaan diri untuk berada di lingkungan sosialnya, untuk kemudian memenuhi tuntutan-tuntutan sekolah. Tuntutan-tuntutan ataupun peraturan dari sekolah akan menimbulkan respon pada setiap siswa. Respon siswa kelas I SMA X terhadap peraturan dan tuntutan sekolah akan berbeda-beda. Berdasarkan kerangka teoretik self-esteem dari Coopersmith (1967), perbedaan gaya berespon ini berkaitan dengan tinggi rendahnya self-esteem siswa. Siswa yang memiliki self-esteem tinggi akan mampu menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah, mampu mengekspresikan pendapat-pendapatnya, mampu mengekspresikan perasaannya karena siswa menerima, menghargai, dan menganggap dirinya kompeten sehingga menjadi pendorong untuk mentaati peraturan sekolah. Siswa merasa puas akan kemampuan dirinya sehingga merasa aman dalam lingkungan sekolahnya dan mudah untuk menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah. Sebaliknya siswa yang memiliki self-esteem rendah akan memunculkan perasaan bahwa mereka tidak mampu menghadapi sesuatu yang menuntut kemampuannya, dan tidak mau banyak berpartisipasi di lingkungan sekolah sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri di lingkungan sekolahnya. Siswa tidak mampu mengekspresikan perasaannya karena merasa

15 malu dan takut diketahui ketidakmampuannya. Siswa tidak puas dengan karakteristik dan kemampuan-kemampuan dirinya sehingga ketidakpastian diri ini menumbuhkan rasa tekanan terhadap keberadaan mereka dalam lingkungan sekolahnya. Rasa tekanan tersebut akan mengakibatkan siswa sulit untuk menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah. Selain self-esteem, terdapat faktor-faktor lain yang berperan pada penyesuaian diri siswa kelas I SMA X terhadap peraturan sekolah. Faktorfaktor tersebut ialah faktor yang berasal dari dalam diri siswa (faktor internal) dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (faktor eksternal). Faktor internal adalah: kondisi fisik, faktor perkembangan dan kematangan, serta faktor psikologis (pengalaman, learning, conditioning, self-determination, frustrasi, dan konflik), sedangkan faktor eksternal ialah faktor lingkungan sosial, serta faktor kebudayaan dan agama (Schneiders, 1964). Kondisi fisik akan mempengaruhi penyesuaian diri siswa terhadap peraturan sekolah. Siswa yang berada dalam kondisi fisik yang baik lebih mudah melakukan penyesuaian diri dibandingkan dengan siswa yang sedang sakit, mengalami cacat tubuh, kelemahan fisik, dan kekurangan-kekurangan lainnya. Siswa yang mengalami kekurangan fisik akan mempunyai perasaan tidak adekuat, inferioritas atau perhatian yang berlebihan terhadap fisiknya, yang seringkali menjadi penghambat dalam penyesuaian diri yang dilakukannya. Faktor perkembangan dan kematangan juga turut berperan dalam penyesuaian diri siswa terhadap peraturan sekolah. Menurut Kimmel (1995) siswa kelas I SMA yang berusia antara 15-17 tahun berada pada masa remaja

16 madya. Salah satu tugas perkembangan utama remaja madya adalah mencapai kemandirian dan otonomi dari orang tua. Siswa kelas I SMA yang sedang dalam proses perjuangan mendapatkan otonomi akan mematuhi peraturan sekolah tanpa harus ditegur terlebih dahulu oleh guru karena siswa yang mandiri secara emosional akan melakukan sesuatu tanpa harus diberikan pengarahan terlebih dahulu dan ia mempunyai inisiatif sendiri untuk melakukan suatu hal. Sebaliknya siswa yang belum mandiri secara emosional akan memerlukan pengarahan terlebih dahulu untuk melakukan suatu hal, sehingga siswa melakukan pelanggaran terhadap peraturan sekolah apabila tidak ditegur oleh guru. Siswa yang belum mandiri akan menganggap peraturan sekolah itu sebagai suatu hal yang mengikat dan menghambat kebebasan untuk bertingkah laku sesuai kemauan mereka, sehingga mereka akan melanggar peraturan sekolah tersebut. Menurut Hill (dalam Steinberg, 1993) salah satu ciri perkembangan remaja yang membuat perkembangan remaja istimewa dan penting adalah munculnya kemampuan berpikir kompleks. Jika dibandingkan dengan masa kanak-kanak, remaja lebih mampu untuk berpikir hipotetis dan abstrak. Perkembangan kemampuan berpikir hipotetis dan abstrak atau lebih dikenal perkembangan kognitif remaja tersebut akan mempengaruhi bagaimana siswa bereaksi terhadap peraturan sekolah. Misalnya siswa kelas I SMA akan mematuhi peraturan sekolahnya karena ia sudah memprediksi apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan sekolah maka ia akan mendapatkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya. Oleh sebab itu, siswa kelas I SMA X yang

17 sudah dapat memprediksi sanksi yang akan diterimanya apabila melanggar peraturan sekolah maka akan bertindak mematuhi peraturan sekolah tersebut. Faktor kematangan mempengaruhi siswa dalam menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah. Siswa yang lebih matang secara emosional akan lebih mudah untuk melakukan penyesuaian diri dibandingkan siswa yang kurang matang. Hal ini disebabkan siswa yang lebih matang secara emosional akan lebih mampu mengendalikan diri dan bereaksi sesuai situasi yang dihadapinya. Faktor psikologis selain self-esteem tidak kalah penting mempengaruhi penyesuaian diri siswa terhadap peraturan sekolah. Faktor psikologis meliputi pengalaman, learning, conditioning, self-determination, frustrasi, dan konflik yang semuanya itu akan berbeda-beda pada setiap siswa. Keadaan psikologis seseorang akan mempengaruhi perilakunya (Schneiders, 1964). Begitu juga dengan keadaan psikologis siswa dapat mempengaruhi perilakunya dalam menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah. Contohnya siswa yang mengalami konflik antara mentaati peraturan sekolah atau melanggar peraturan sekolah karena menginginkan kebebasan, akan lebih sulit untuk menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah dibandingkan dengan siswa yang tidak mengalami konflik. Penyesuaian diri terhadap peraturan sekolah juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan keluarga, masyarakat, dan yang paling berperan penting adalah kondisi lingkungan sekolah. Menurut Minuchin & Shapiro (dalam Santrock, 2003: 258) siswa sekolah lanjutan biasanya menyadari bahwa sekolah merupakan suatu sistem sosial dan siswa dapat termotivasi untuk menyesuaikan diri dengan

18 sistem tersebut ataupun menentangnya. Kondisi lingkungan sekolah yang mendukung untuk mencapai keberhasilan penegakan peraturan sekolah akan mempermudah siswa kelas I SMA untuk menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah dengan baik, dan sebaliknya kondisi lingkungan sekolah yang kurang mendukung pencapaian keberhasilan penegakan peraturan sekolah akan menghambat siswa kelas I SMA untuk menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah. Contohnya, para siswa akan mudah untuk menyesuaikan diri terhadap peraturan sekolah apabila para guru menerapkan peraturan sekolah itu dengan konsisten dan tegas, serta warga sekolah lainnya juga turut berpartisipasi dalam menegakkan peraturan sekolah. Selain itu, faktor kebudayaan dan agama juga mempengaruhi penyesuaian diri terhadap peraturan sekolah. Siswa akan merefleksikan pola kebudayaan dimana ia tinggal. Pada masyarakat tertentu terdapat pola-pola penyesuaian diri tertentu pula. Contohnya di budaya barat memberikan suatu barang kepada orang yang lebih tua menggunakan tangan kiri dianggap wajar, tetapi di budaya timur khususnya orang Indonesia menggunakan tangan kiri untuk memberikan suatu barang kepada orang lain apalagi yang lebih tua dianggap tidak sopan. Begitu juga apabila siswa memberikan suatu barang atau memberikan buku kepada gurunya dengan menggunakan tangan kiri dianggap tidak sopan, dan hal itu merupakan suatu peraturan tidak tertulis yang sudah menjadi ketentuan bagi para siswa untuk diperhatikan dan ditaati. Apabila seseorang berada pada lingkungan yang berbeda dengan kebudayaan dimana ia tinggal akan mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian diri terhadap peraturan di lingkungannya tersebut.

19 SKEMA KERANGKA BERPIKIR - Sense of Power - Sense of Significance - Sense of Virtue - Sense of Competence Faktor internal: Kondisi fisik Perkembangan dan kematangan Faktor psikologis (pengalaman, learning, conditioning, selfdetermination, frustrasi, konflik). Siswa kelas 1 SMA 15-17 tahun Self-esteem Penyesuaian diri terhadap peraturan sekolah Faktor eksternal: Faktor lingkungan sosial Faktor kebudayaan dan agama

20 1.6.Asumsi-asumsi Self-esteem yang dimiliki oleh siswa kelas 1 SMA mempunyai derajat yang berbeda-beda, tergantung pada derajat empat aspek dari self-esteem. Siswa dituntut untuk menyesuaikan diri pada peraturan sekolah. Derajat penyesuaian diri siswa terhadap peraturan sekolah berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri siswa (faktor internal) dan faktor-faktor yang berasal dari luar diri siswa (faktor eksternal). Self-esteem merupakan salah satu faktor internal siswa. 1.7. Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini, hipotesis yang dikemukakan, yaitu: Self-esteem berpengaruh terhadap penyesuaian diri pada peraturan sekolah pada siswa kelas I SMA X Bandung.