PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH EKS-IMPOR DAN LOKAL PADA TIGA PERIODE KELAHIRAN DI SP 2 T, KUTT SUKA MAKMUR GRATI, PASURUAN (The Performance of Ex-Import and Local Dairy Cattle Reproductive at Three Calving Period at SP2T, KUTT Suka Makmur Grati, Pasuruan) L. AFFANDHY, D. RATNAWATI dan MARIYONO Loka Penelitian Sapi Potong, Jawa Timur ABSTRACT The one of the reproductive factors that influenced to the developing of dairy cattle of smallholder s farmer are service per conception (S/C) and calving interval (CI). The study was conducted to know the service per conception and calving interval of ex-import and local dairy cow reproductive at three calving period at SP2T, KUTT Suka Makmur Grati, Pasuruan. The research is case study for three years to 133 dairy cows (92 heads ex-import and 41 heads local) in three periods of mating and calving. The calving interval and service per conception observation were conducted at the between first (between calving 1-2), second (between calving 2-3) and third (between calving 3-4). The ex-import dairy cattle are Frisian Holland which they were come from Australia. The feeding consists of concentrate 8 kg, tofu waste 5 kg and rice straw 8 kg. The time of weaning is one day after calving and mating by artificial insemination (AI). The parameters are: service per conception (S/C), calving interval (CI), mating and calving recordings. The data analysis using one way ANOVA by SPSS program. The results of research showed that CI at first calving period of ex-import dairy cow was higher 526, 9 ± 143, 7 days (P<0, 05) than local dairy cow (448, 0 ± 104, 5 days). The calving interval of second calving period of ex-import and local dairy cow were not different, but the CI at third calving period of ex-import dairy cow was lower 378,0 ± 46,2 days (P<0, 05) than local dairy cow (662,4 ± 237,1 days); and so S/C between two breeds and three service period of calving were not different. It was concluded that S/C and CI at first and second calving period of ex-import and local dairy cows were not different. The CI of the local dairy cow at the first calving was better than the ex-import dairy cows, but the CI of the ex-import dairy cows at the third calving period was better than the local dairy cows Keyword: Ex-import and local dairy cattle, performance reproduction, calving period ABSTRAK Salah satu faktor reproduksi yang berpengaruh terhadap perkembangan usaha sapi perah rakyat adalah service per conception (S/C) dan calving interval (CI). Penelitian ini bertujuan mengetahui S/C dan CI (jarak beranak) bangsa sapi perah eks-impor dan lokal pada tiga periode beranak (service periode) di Unit Sapi Potong dan Perah Terpadu (SP 2 T), Koperasi Usaha Tani Ternak (KUTT) Suka Makmur Grati, Pasuruan. Penelitian merupakan studi kasus selama tiga tahun terhadap 133 sapi perah rakyat (92 ekor eks-impor dan 41 ekor lokal) dalam tiga periode perkawinan dan kelahiran. Pengamatan jarak beranak dan jumlah perkawinan dilakukan pada kelahiran ke1-2, ke 2-3 dan ke 3-4. Sapi perah eks-impor merupakan bangsa sapi perah FH yang diimpor dari Australia. Pakan terdiri atas konsentrat komersial 8 kg, ampas tahu 5 kg dan jerami padi 8 kg dengan model penyapihan pedet satu hari langsung dipisah dan pola perkawinan secara IB. Parameter yang diamati meliputi : S/C, CI, catatan perkawinan dan kelahiran. Analisis data menggunakan one way ANOVA dengan menggunakan program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak beranak pada kelahiran ke1-2 pada bangsa sapi eks-impor adalah 526,9 ± 143,7 hari nyata (P<0,05) lebih besar dibanding bangsa sapi perah lokal (448,0 ± 104,5 hari). Jarak beranak pada kelahiran ke 2-3 antar sapi perah lokal dan eks-impor tidak berbeda nyata, namun jarak beranak 3-4 antara sapi perah lokal nyata (P<0,05) lebih besar daripada sapi eks-impor yang masing-masing adalah 622,4 ± 237,1 hari dan 378,0 ± 46,2 hari. Demikian pula S/C antar dua bangsa dan tiga periode kelahiran tidak menunjukkan perbedaan. Disimpulkan bahwa tingkat S/C dan jarak beranak pada periode kelahiran ke-2 dan ke-3 antara sapi perah lokal dan eks-impor tidak berbeda, namun jarak beranak sapi perah lokal pada periode kelahiran ke-1 lebih baik daripada sapi perah 148
eks-impor dan jarak beranak sapi perah eks-impor pada periode kelahiran ke-3 lebih baik daripada sapi perah lokal. Kata kunci: Sapi perah lokal dan eks-impor, performans reproduksi, periode kelahiran PENDAHULUAN Pendapatan peternak yang diperoleh dari usaha ternak sapi perah rakyat adalah hasil penjualan produksi susu dan pedet yang dilahirkan. Untuk memperoleh produksi susu yang tinggi, dan induk dapat beranak setiap tahun diperlukan bibit yang berkualitas. Selama periode 1979-1995 pemerintah telah mengimpor sebanyak 87.885 ekor bibit sapi perah melalui koperasi dalam bentuk kredit dengan harga sebelum krisis sebesar Rp. 2,2 juta (SWASTIKA, 2001). Saat ini harga sapi impor bunting (dara bunting) telah mencapai Rp. 16 juta per ekor, padahal sebelum tahun 2000 harga sapi impor hanya Rp. 7 juta-rp. 8 juta (KOMPAS, 2006). Umumnya peternak sapi perah rakyat yang berasal dari sapi perah impor maupun lokal masih menghadapi beberapa permasalahan antara lain jarak beranak > 18 bulan dengan produksi susu rata-rata 8-10 liter/hari, (SUBANDRIYO, 2006) dan skala usaha kecil (2,5 UT /peternak), serta tidak efisiennya penggunaan tenaga kerja keluarga (WIJONO dan UMIYASIH, 1997). Panjangnya jarak beranak pada induk-induk sapi perah disebabkan oleh kegagalan dalam mengawinkan sapi induk tersebut yang berakibat terjadinya kawin berulang. Beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap keberhasilan kebuntingan induk sapi adalah tingkat kesuburan pejantan, kesuburan betina, efisiensi kerja inseminator (TOELIHERE, 1993), faktor nutrisi (OXENREIDER et al., 1971 sitasi INTRARAKSA et al., 1988), waktu penyapihan (AFFANDHY et al., 2001; HAFEZ, 2000; MARGERISON et al., 2002) dan musim (YUSRAN et al., 1994). Jarak beranak sapi perah FH impor dan PFH di Usaha Peternakan Pasir Salam Sukabumi masing-masing 394, 60 hari dan 399,55 hari dengan S/C FH impor dan PFH lokal adalah 2,21 dan 2,24 kali (SUGIARTI dan HIDAYATI, 1997). Sapi perah rakyat di wilayah Jatim dengan kondisi tubuh 2, 4 dan 5 memiliki S/C masing-masing adalah 2,7; 3,0 dan 3,6 kali (WIJONO dan UMIYASIH, 1997). Calving interval sapi perah PFH pada usaha ternak rakyat di dataran tinggi Kecamatan Tutur (Nongkojajar), Pasuruan pada musim hujan dan kemarau masing-masing adalah 415,5 ± 108,8 dan 409,2 ± 86,4 hari (YUSRAN et al., 1994). Fungsi organ reproduksi normal lagi dapat dicapai dalam waktu 18-24 hari setelah birahi pertama setelah beranak (TOELIHERE, 1993). Fungsi organ reproduksi normal setelah 3-6 minggu (BOOTHBY dan FAHEY, 1995), tetapi ada indikasi bahwa terjadinya estrus dapat terlihat jelas setelah 60 hari partus (INTRARAKSA et al., 1988). Hasil pengamatan pada ternak sapi betina untuk inseminasi pertama 56% yang menjadi bunting, pada inseminasi kedua 74% dan pada inseminasi ketiga 81% dari semua sapi yang bunting (TOELIHERE, 1993). Keberhasilan kebuntingan pada ternak sapi juga dipengaruhi olah adanya waktu inseminasi dan ovulasi (BOOTHBY dan FAHEY, 1995). Kegagalan kebuntingan kemungkinan terjadi karena adanya birahi tetapi tidak ada ovulasi (TOELIHERE, 1993). Dengan demikan diperlukan adanya pengamatan tentang gambaran status reproduksi sapi-sapi perah bangsa FH eksimpor atau PFH guna memperoleh data yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan efisiensi reproduksi sapi perah di tingkat usaha ternak rakyat. Penelitan ini bertujuan mengetahui S/C dan CI (jarak beranak) bangsa sapi perah eksimpor dan lokal pada tiga periode beranak (calving periode) di usaha sapi perah yang dipelihara di Unit Sapi Potong dan Perah Terpadu (SP 2 T), Koperasi Usaha Tani Ternak (KUTT) Suka Makmur Grati, Pasuruan. MATERI DAN METODE Penelitian pengamatan performans reproduksi pada sapi perah eks-impor dan lokal dilakukan di usaha sapi perah yang dipelihara di Unit Sapi Potong dan Perah Terpadu (SP 2 T), Koperasi Usaha Tani Ternak (KUTT) Suka Makmur Grati, Pasuruan. Penelitian merupakan studi kasus selama tiga tahun (tahun 2003-2006) terhadap 133 sapi perah rakyat (92 ekor eks-impor dan 41 ekor 149
lokal) dalam tiga periode perkawinan dan kelahiran. Pengamatan jarak beranak dan jumlah perkawinan dilakukan pada kelahiran ke 1-2, ke 2-3 dan ke 3-4. Sapi perah eksimpor merupakan bangsa sapi perah Frisian Holland (FH) yang diimpor dari Australia. Tabel 1. Komposisi nutrisi pemberian pakan yang diberikan pada sapi perah eks-impor dan lokal di SP 2 T KUTT) Suka Makmur Grati No Nutrisi pakan Kandung nutrisi 1. Bahan kering (kg/e/h) 19,05 2 Protein kasar (%) 11,15 3 Lemak kasar (%) 1,73 4 Serat kasar (%) 22,37 5 TDN* (%) 55,84 Keterangan: *TDN = total digestible nutrient Pakan terdiri atas konsentrat komersial 8 kg, ampas tahu 5 kg dan jerami padi 8 kg dengan model penyapihan pedet satu hari langsung dipisah dan pola perkawinan secara IB. Komposisi nutrisi pemberian pakan yang diberikan pada sapi perah eks-impor dan lokal tertera pada Tabel 1. Parameter yang diamati meliputi: catatan perkawinan dan kelahiran, untuk menghitung S/C dan CI. Analisis data menggunakan one way ANOVA dengan menggunakan program SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Performans reproduksi yang meliputi S/C dan CI pada sapi perah eks-impor frisian Holland (FH) dan sapi perah lokal (peranakan FH) pada kelahiran pertama, kedua dan ketiga tertera di dalam Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Rata-rata S/C antar bangsa sapi perah eks-impor dan lokal di (SP 2 T), Koperasi Usaha Tani Ternak (KUTT) Suka Makmur Grati, Pasuruan Bangsa sapi Periode kelahiran ke 1 2 2 3 3 4 Sapi eks-impor* 2,8 ± 1,4 (20) 2,6 ± 1,2 (8) Sapi lokal 1,0 ± 0,0 (2) 3,3 ± 1,4 (10) 3,6 ± 2,3 (5) Rata-rata 1,0 ± 0,0 (2) 2,9 ± 1,4 (30) 3,0 ± 1,7 (13) Signifikan NS NS Keterangan: * = tidak ada data (impor sapi perah dalam kondisi bunting) NS = non signifikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa S/C antar bangsa sapi perah eks-impor dan lokal pada ketiga periode kelahiran tidak menunjukkan perbedaan; dengan nilai rata-rata S/C pada periode kelahiran ke-1, ke-2 dan ke-3 masing-masing adalah 1,0 ± 0,0; 2,9 ± 1,4 dan 3,0 ± 1,7 (Tabel 2). Hal serupa dilaporkan oleh SUGIARTI dan HIDAYATI (1997), bahwa S/C sapi perah FH impor dan PFH lokal di usaha peternakan Pasir Salam Sukabumi masingmasing dengan S/C FH impor dan PFH lokal adalah 2,21 dan 2,24 kali. Namun S/C di usaha ternak sapi rakyat di Pasuruan lebih tinggi dibandingkan dengan sapi perah yang berada di usaha peternakan Sukabumi (Jawa Barat). Beberapa kemungkinan adalah usaha ternak sapi perah rakyat di Kecamatan Grati terletak di dataran rendah sementara Sukabumi terletak di dataran lebih tinggi, di samping itu juga faktor manajemen yang juga berbeda. Sementara itu laporan tentang kinerja sapi perah rakyat di Jawa Timur dengan kondisi tubuh 2, 4 dan 5 memiliki S/C masing-masing adalah 2,7; 3,0 dan 3,6 kali (WIJONO dan UMIYASIH, 1997). Data S/C pada kelahiran pertama kali pada sapi eks-impor tidak ada nilai dikarenakan sapi tersebut sudah bunting ketika dimpor dari Australia sehingga tidak diketahui S/Cnya. Sapi perah impor dari Australia atau Amerika umumnya berupa sapi perah bibit (SWASTIKA, 2001) atau sapi perah bunting (dara bunting) yang harganya kini mencapai Rp. 16 juta per ekor. GKSI Jawa Timur menetapkan road map untuk masa lima tahun ke depan akan mengimpor sapi perah dara pada tahun 2008 sebanyak 10.000 ekor (SUTEJO, 2008) yang harganya lebih murah daripada sapi dara bunting. 150
Tabel 3. Calving interval antar bangsa sapi perah eks-impor dan lokal di Grati Bangsa sapi Periode kelahiran ke 1 2 2 3 3 4 Sapi eks-impor 526,9 ± 143,7 b (58) 465,9 ± 120,8 (27) 378,0 ± 46,2 a (7) Sapi lokal 448,0 ± 104,5 a (27) 480,4 ± 161,5 (9) 622,4 ± 237,1 b (5) Rata-rata 501,8 ± 136,9 (85) 469,6 ± 129,8 (36) 479,8 ± 193,5 (12) Signifikan P<0,05 NS P<0,05 Keterangan: CI = calving interval NS = non signifikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak beranak pada kelahiran ke 1 2 pada bangsa sapi eks-impor adalah 526,9 ± 143,7 hari nyata (P<0,05) lebih besar dibanding bangsa sapi perah lokal (448,0 ± 104,5 hari). Jarak beranak pada kelahiran ke 2 3 antar sapi perah lokal dan eks-impor tidak berbeda nyata, namun jarak beranak 3 4 antara sapi perah lokal nyata (P<0,05) lebih tinggi sebesar 622,4 ± 237,1 hari daripada sapi impor, yaitu 378,0 ± 46,2 hari. Pendeknya CI pada awal kelahiran pertama pada bangsa sapi perah lokal dibandingkan sapi eks-impor dikarenakan sapi lokal sudah beradaptasi dengan lingkungan dataran rendah sudah lama sedangkan sapi eksimpor masih dalam proses adaptasi dengan lingkungan baru sehingga berpengaruh terhadap jarak beranak pertama kali. Lingkungan baru tersebut meliputi: pakan, suhu dan lingkungan setempat. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan pada ternak sapi betina untuk inseminasi pertama 56% yang menjadi bunting, pada inseminasi kedua 74% dan pada inseminasi ketiga 81% dari semua sapi yang bunting (TOELIHERE, 1993). Jarak beranak antara bangsa pada periode berikutnya tidak berbeda (dengan nilai lebih rendah), dikarenakan organ reproduksi normal yang ditunjukkan dengan terjadinya estrus yang disertai dengan adanya ovulasi dan tingkat konsentrasi hormon progesteron telah normal yang berfungsi menjaga kebuntingan (INTRARAKSA et al., 1988; BOOTHBY dan FAHEY, 1995) serta tidak terjadi birahi tenang, yaitu corpus luteum persisten, yang menyebabkan abnormal ataupun gangguan reproduksi lainnya yang akibatnya kemungkinan adanya birahi tetapi tidak terjadi ovulasi dan terjadi kegagalan kebuntingan (TOELIHERE, 1993). Keberhasilan kebuntingan pada ternak sapi juga dipengaruhi olah faktor waktu inseminasi tepat, yaitu adanya gejala birahi dan terjadinya ovulasi (BOOTHBY dan FAHEY, 1995). Oleh karena itu disarankan apabila terjadi birahi kurang dari enam minggu dan kondisi tubuh induk jelek untuk menunda waktu perkawinan pada siklus birahi berikutnya. Sedangkan jarak beranak sapi lokal pada periode ketiga lebih panjang daripada sapi impor, hal ini diduga bahwa sapi lokal ketika kawin dan beranak pertama kali umurnya lebih tua. BOURDON dan BRINKS (1983) menyebutkan bahwa perkawinan dini cenderung menghasilkan calving interval yang lebih pendek dan sebaliknya, perkawinan yang terlambat menghasilkan calving interval yang lebih panjang. CAROLINO et al. (2005) menyatakan bahwa calving interval meningkat setiap tahunnya. KESIMPULAN DAN SARAN Disimpulkan bahwa tingkat S/C dan jarak beranak pada periode kelahiran ke-2 dan ke-3 antara sapi perah lokal dan eks-impor tidak berbeda, namun jarak beranak sapi perah lokal pada periode kelahiran ke-1 lebih baik daripada sapi perah eks-impor dan jarak beranak sapi perah eks-impor pada periode kelahiran ke-3 lebih baik daripada sapi perah lokal. Disarankan untuk menunda perkawinan apabila terjadi birahi kurang dari enam minggu dengan kondisi tubuh induk jelek perkawinan sebaiknya dilakukan pada siklus birahi berikutnya guna keberhasilan kebuntingan. DAFTAR PUSTAKA AFFANDHY, L., M. A. YUSRAN dan M. WINUGROHO. 2001. Pengaruh frekuensi pemisahan pedet pra-sapih terhadap tampilan reproduktivitas induk dan pertumbuhan pedet sapi Peranakan Ongole. Pros. Seminar Nasional Teknologi 151
Peternakan dan Veteriner 2001. Puslibangnak: 147-154. BOURDON, R.M and J. S. BRINKS. 1983. Calving Date versus Calving Interval as Reproductive Measure in Beef Cattle. J. Anim. Sci. Vol 57 :1412-1417. BOOTHBY, D. and G. FAHEY. 1995. A Practical Guide Artificial Breeding of Cattle. Agmedia, East Melbopurne Vic 3002. pp 127. CAROLINO, M.I., PERIRA, C.M., N. CAROLINO., J. MACHADO and L. T. GAMA. 2005. Calving Interval in Portuguese Dairy Catle.1. Estimaes of Genetic Parameters and Trends. HAFEZ, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th Edition. Reproductive Health Center. IVF Andrology Laboratory. Kiawah Island, South Carolina, USA. pp 509. INTRARAKSA, Y. K. NITICHAL, and S. AIUMLAMAI. 1988. Milk and serum progresterone assay for evaluation of reproductive performance of dairy herds in Thailand. IAEA.VIENNA, Austria: 87-98. KOMPAS. 2006. Harga Susu yang diterima petani tidak sebanding. http://64.203.71.11/kompascetak/0603/jabar/806.htm. MARGERISON, J.K., T.R. PRESTON and C. J. C. PHILIPST. 2002. Restricted suckling of tropical diary cows by their calf or their cows calves. J. Anim. Sci. Vol 80 :1663-1670. SUBANDRIYO. 2006. Alternatif pengembangan dan pembibitan sapi perah menyongsong revolusi putih dan ketersediaan daging sapi. Workshop nasional dalam rangka penyusunan program strategi penelitian dan pengembangan peternakan guna menyongsong swasembada daging nasional 2010. Kerjasama Puslitbang Peternakan dan RUSNAS Univeritas Brawijaya Malang: 30 halaman. SUGIARTI, T dan N. HIDAYATI. 1997. Status reproduksi sapi perah FH pada peternakan PT Tsukushima Indomilk Agropratama Pasir Salam Sukabumi. Pros. Sem Nas. Peternakan dan Viteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor, 18-19 Nopember 1997: 281-287. TOELIHERE, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung. (292 halaman). SUTEJO. 2008. Budi daya sapi perah terganjal modal dan pakan. Bisnis Com-Bisnis Indonesia Online. http://web.bisnis.com/artikel/2id832.hml. SUWASTIKA, D. K. S. 2001. Krisis ekonomi dan peternakan sapi perah Bull.Agro Ekonomi 1 (4) 2001:16-21. WIJONO, D.B., dan U. UMIYASIH. 1997. Tampilan status reproduksi sapi perah pada tingkat kondisi badan yang berbeda dan sistem pengelolaan di peternakan rakyat. Pros. Sem Nas. Peternaan dan Viteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor, 18-19 Nopember 1997: 297-304. YUSRAN, M.A., MARIYONO, L. AFFANDHY dan U. UMIYASIH. 1994. Tampilan beberapa sifat reproduksi kelompok sapi perah produksi tinggi di dataran tinggi (studi kasus di Kecamatan Tutur Pasuruan). Pros. Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balitnak Grati: 109-114. 152