Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 7, No. 1, Februari 2011

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bulan, 80% anak meninggal terjadi saat umur 1-11 bulan. 1 Menurut profil

Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 8, No. 1, Februari 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikterus neonatorum merupakan masalah yang sering dijumpai pada perawatan bayi baru lahir normal, khususnya di

PEMBERIAN FOTOTERAPI DENGAN PENURUNAN KADAR BILIRUBIN DALAM DARAH PADA BAYI BBLR DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA

BAB I PENDAHULUAN. Bayi menurut WHO ( World Health Organization) (2015) pada negara

HUBUNGAN ANTARA INSIDEN IKTERUS NEONATORUM DENGAN PERSALINAN SECARA INDUKSI

BAB I PENDAHULUAN. Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar

BAB I PENDAHULUAN. paling kritis karena dapat menyebabkan kesakitan dan kematian bayi. Kematian

ABSTRAK INSIDENSI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO IKTERUS NEONATORUM DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2005

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN INSIDEN IKTERUS NEONATORUM DENGAN PERSALINAN SECARA VAKUM EKSTRAKSI

PROFESI Volume 10 / September 2013 Februari 2014

Elli Hidayati, 2 Martsa Rahmaswari. Abstrak

METABOLISME BILIRUBIN

PENGARUH PERAWATAN BAYI LEKAT TERHADAP PENINGKATAN BERAT BADAN PADA BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Angka kematian bayi di negara-negara ASEAN seperti Singapura

FAKTOR-FAKTOR PADA IBU BERSALIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERBILLIRUBIN PADA BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKIT DUSTIRA CIMAHI TAHUN 2009

PERBEDAAN RISIKO DEPRESI POST PARTUM ANTARA IBU PRIMIPARA DENGAN IBU MULTIPARA DI RSIA AISYIYAH KLATEN

HUBUNGAN BERAT LAHIR DENGAN KEJADIAN IKTERIK PADA NEONATUS TAHUN 2015 DI RSUD. DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. Ikterus merupakan perubahan warna kuning pada kulit, jaringan mukosa,

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan ekstrauterin. Secara normal, neonatus aterm akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai sebelum bayi dilahirkan

C. Pengaruh Sinar Fototerapi Terhadap Bilirubin Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang perawat di

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90 persen.

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG IKTERUS FISIOLOGIS PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN ABSTRAK

MODUL FOTOTERAPI PADA BAYI NSA419. Materi Fototerapi Pada Bayi. Disusun Oleh Ns. Widia Sari, M. Kep. UNIVERSITAS ESA UNGGUL Tahun 2018

Kuning pada Bayi Baru Lahir: Kapan Harus ke Dokter?

BAB I PENDAHULUAN gram pada waktu lahir (Liewellyn dan Jones, 2001). Gejala klinisnya

Hubungan antara Apgar Score Dengan Ikterus Neonatorum Fisiologis di RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung Tahun 2014

Tasnim 1) JIK Vol. I No.16 Mei 2014: e-issn:

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang sering dihadapi tenaga kesehatan terjadi pada sekitar 25-50% bayi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari

INOVASI TERKAIT HIPERBILIRUBINEMIA

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu dan angka kematian perinatal. Menurut World Health. melahirkan dan nifas masih merupakan masalah besar yang terjadi di

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN USIA GESTASI DAN JENIS PERSALINAN DENGAN KADAR BILIRUBINEMIA PADA BAYI IKTERUS DI RSUP NTB. Syajaratuddur Faiqah

BAB I PENDAHULUAN. salah satu strategi dalam upaya peningkatan status kesehatan di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Perbandingan pengaruh promosi kesehatan menggunakan media audio dengan media audio-visual terhadap perilaku kesehatan gigi dan mulut siswa SD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki banyak risiko

BAB 1 PENDAHULUAN. penurunan angka kematian ibu (AKI) dan bayi sampai pada batas angka

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Metabolisme bilirubin meliputi sintesis, transportasi, intake dan konjugasi serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia. Di dunia, 12%

BAB I PENDAHULUAN. suplai darah dan oksigen ke otak (Smeltzer et al, 2002). Menurut World

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan adalah suatu proses fisiologi yang terjadi hampir pada setiap

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah kelahiran hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi AKB

BAB 1 PENDAHULUAN. saat menghadapi berbagai ancaman bagi kelangsungan hidupnya seperti kesakitan. dan kematian akibat berbagai masalah kesehatan.

PENGARUH KONSUMSI TELUR AYAM RAS REBUS TERHADAP PENINGKATAN KADAR HB PADA IBU HAMIL TRIMESTER II DI BPM WILAYAH KERJA PUSKESMAS KLATEN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Bilirubin merupakan produk samping pemecahan protein hemoglobin di

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PERDARAHAN POSTPARTUM DI RSU PKU MUHAMMADIYAH BANTUL

Jurnal Harapan Bangsa, Vol.1 No.1 Desember 2013 ISSN

GAMBARAN BAYI BARU LAHIR DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA DI RSUP H.ADAM MALIK PADA TAHUN Oleh : PRIYA DARISHINI GUNASEGARAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan melibatkan individu secara total, melibatkan keseluruhan status

BAB 1 PENDAHULUAN. pada ibu dan janin sehingga menimbulkan kecemasan semua orang termasuk

Fitri Arofiati, Erna Rumila, Hubungan antara Peranan Perawat...

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG DIARE TERHADAP PERILAKU IBU DALAM PENCEGAHAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS GAMPING 1 SLEMAN YOGYAKARTA

BULAN. Oleh: J DOKTER


FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PRE EKLAMPSIA PADA IBU BERSALIN DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap

BAB III METODE PENELITIAN. experimental) dengan pendekatan control group pretest postest design untuk

memberikan gejala yang berlanjut untuk suatu target organ seperti stroke, Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat

Kejadian Ikterus Pada Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dari Tahun

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

ABSTRAK DEFISIENSI G6PD SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERHADAP HIPERBILIRUBINEMIA PADA NOENATUS BERUMUR DUA HARI DI RSAB HARAPAN KITA, JAKARTA BARAT, TAHUN

HUBUNGAN KEHAMILAN POST TERM DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD DR SOEDIRMAN KEBUMEN

SKRIPSI. Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Gelar S 1 Keperawatan. Oleh: WAHYUNI J

PENELITIAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN TERHADAP HASIL LUARAN JANIN. Idawati*, Mugiati*

Oleh; Wahyu Riniasih 1). Fatchulloh 2) 1) Staf Pengajar STIKES An Nur Purwodadi Prodi Ners 2) Staf Pengajar STIKES An Nur Purwodadi Prodi Ners

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia yaitu sebesar 32

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan pada bayi merupakan suatu proses yang hakiki, unik, dinamik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical

PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI PERNAFASAN PADA TERAPI LATIHAN PASIF MENURUNKAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN LUKA BAKAR DERAJAT II DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Hubungan Pendidikan Kesehatan dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di Rumah Sakit.

BAB I PENDAHULUAN. pelatihan medik maupun paramedik serta sebagai pelayanan peningkatan

BAB 1 PENDAHULUAN. kejang pada bayi baru lahir, infeksi neonatal. 1 Hiperbilirubinemia merupakan

KELAS BAPAK DAN PENGETAHUAN SUAMI TENTANG TANDA BAHAYA KEHAMILAN

HUBUNGAN ANTARA KEHAMILAN SEROTINUS DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD INDRAMAYU PERIODE 01 SEPTEMBER-30 NOVEMBER TAHUN 2014

BAB III METODE PENELITIAN. resiko dan faktor efek (Notoatmodjo, 2010).

PERBEDAAN PENGETAHUAN HIV/AIDS PADA REMAJA SEKOLAH DENGAN METODE PEMUTARAN FILM DAN METODE LEAFLET DI SMK BINA DIRGANTARA KARANGANYAR

APGAR SCORE PADA BAYI BARU LAHIR DENGAN ASFIKSIA NEONATORUM PASCA RESUSITASI JANTUNG PARU

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan rancangan pre-post test with control group design yang

PERBEDAAN LAMA LEPAS TALI PUSAT PERAWATAN DENGAN MENGGUNAKAN KASA STERIL DIBANDINGKAN KASA ALKOHOL DI DESA BOWAN KECAMATAN DELANGGU SKRIPSI

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh FENNY NIM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi sumber daya yang berkualitas tidak hanya dilihat secara fisik namun

PENGARUH PENERAPAN METODE KANGURU DENGAN PENINGKATAN BERAT BADAN BAYI BARU LAHIR RENDAH (BBLR) DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG ABSTRAK

BAB III METODE PENELITIAN. pelaksanaan sebuah penelitian. Penggunaan sebuah metode dalam penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. design dengan pendekatan One Group pretest-posttest. dilakukan pada pre-test (sebelum perlakuan) dan post-test (setelah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental, yaitu

TERAPI PIJAT OKSITOSIN MENINGKATKAN PRODUKSI ASI PADA IBU POST PARTUM. Sarwinanti STIKES Aisyiyah Yogyakarta

MODEL PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM MENIGKATKAN PENGETAHUAN TENTANG PENGELOLAAN KEJANG DEMAM PADA IBU BALITA DI POSYANDU BALITA

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG LATIHAN RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP KETERAMPILAN KELUARGA DALAM MELAKUKAN ROM PADA PASIEN STROKE

BAB I PENDAHULUAN. kematian per kelahiran hidup. (Kemenkes RI 2015,h.104). Pada tahun

HUBUNGAN PARITAS DAN USIA IBU DENGAN BERAT BADAN BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKIT UMUM INSANI KECAMATAN STABAT KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap tahun, sekitar 15 juta bayi lahir prematur (sebelum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan data World Health Organization (2010) setiap

BAB I PENDAHULUAN. terbesar dari jumlah penderita diabetes melitus yang selanjutnya disingkat

Transkripsi:

EFEKTIFITAS FOTOTERAPI 24 JAM DAN 36 JAM TERHADAP PENURUNAN BILIRUBIN INDIRECT PADA BAYI IKTERUS NEONATORUM Harlina Yuhanidz 1, Saryono 2, Giyatmo 3 1,3Jurusan Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong 2Jurusan Keperawatan Unsoed Purwokerto ABSTRACT One of therapy to reduce the indirect bilirubin level is to use fototherapy. There are several methods to provide a phototherapy, that conducted for 24 hour and 36 hour of phototherapy. This study aimed to identify the differences in the effectiveness of phototherapy 24 hour and 36 hour to the indirect bilirubin level in icterus neonatorum patient of PKU Muhammadiyah Hospital Gombong. This research was a quasi-experimental study, Non randomized pre test-post test with control design. The population in this study were all patients who were treated at PKU Muhammadiyah. The amaunt of sample were 50 patient.data was analyzed by paired t-test and independent t-test. Statistical analysis with independent t-test showed that the t value > t table (2,741 >1.71), its mean there was a difference between phototherapy 24 hour and 36 hour significantly to indirect bilirubin level in icterus neonatorum patient at RSU PKU The 36 th hour of phototherapy was more efectifity to reduce indirect billirubin level in icterus neonatorum patient. Keywords: 36 hour, 24 haur, phototherapy, efectivity. PENDAHULUAN Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Bayi baru lahir harus berhasil melewati masa transisi, dari suatu sistem yang sebagian besar tergantung pada organorgan ibunya kesuatu sistim yang tergantung pada kemampuan genetik dan mekanisme homeostatik bayi itu sendiri. Masa perinatal yaitu 43

masa antara 28 minggu dalam kandungan sampai 7 hari setelah dilahirkan, merupakan masa rawan dalam proses tumbuh kembang anak, khususnya tumbuh kembang otak, trauma kepala akibat persalinan akan berpengaruh besar dan dapat meninggalkan cacat yang permanen (Soetjiningsih, 1994) Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek (Surasmi, 2005). Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis) (Surasmi, 2005). Hiperbillirubinemi akan berpengaruh buruk apabila billirubin indirect telah melalui sawar otak, sehingga bisa terjadi kern ikterus atau enselopati billiaris yang bisa mangakibatkan atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental dikemudian hari. Oleh karena itu semua penderita hiperbillirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik pertumbuhan fisik, motorik, perkembangan mental dan ketajaman pendengaran. Penatalaksanaan yang baik dari penderita hiperbillirubinemia adalah sangat penting untuk mencegah akibat tersebut diatas (Soetjiningsih, 1994). Hasil survei pada tahun 1998 di Malaysia dirumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Indonesia, insidens ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS Dr. Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85% (HTA, 2002) Pada penelitian ini penulis memilih efektifitas fototerapi 24 jam dan 36 jam terhadap prnurunan billirubin indirect pada bayi icterus neonatorum dirs PKU Muhammadiyah gombong, karena terapi dengan fototerapi 24 jam maupun 34 jam pada bilirubin indirec lebih dari 8 mg% adalah 50 bayi dari 1000 bayi baru lahir pada tahun 2008. 44

METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental semu (quasy experimental ). Rancangan penelitian yang digunakan adalah Eksperimen Non-Random (non randomized pretest-postest with control group design) (Saryono, 2008). Dalam penelitian ini dilakukan pretest dan postest yaitu dengan mengukur kadar bilirubin indirect sebelum dan sesudah fototherapi dilakukan baik menggunakan metode fototherapi 24 jam ataupun 36 jam. Ket : O 1dan O 3 O 2 dan O 4 X 1 X2 O 1 > (x 1) O 2 O3 > (-2) O4 : sebelum fototerapi : Sesudah fototerapi : perlakuan fototerapi 24 jam : Perlakuan fototerapi 36 jam Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2003). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat di Ruang Amanah PKU Muhammadiyah Gombong yaitu sebanyak 50orang. Tehnik pengambilan sample dilakukan dengan Non Probability Sampling-Sampling Jenuh (total sampling). Dalam hal ini peneliti mengambil semua dari populasi dan membaginya menjadi 2 group untuk dilakukan fototheraphi dengan metode fototheraphi 24 jam dan 36 jam (Sugiyono, 2006). Sampel penelitian diperoleh berdasarkan kriteria inklusi sebagai berikut : a) Berumur antara 0-28 hari. b) Kadar bilirubin indirect yaitu > 8 mg/dl pada bayi cukup bulan, >12,5 mg/dl pada bayi prematur c) Selama periode pelaksanaan penelitian ini dirawat di bangsal Amanah PKU Sedangkan kriteria eksklusinya antara lain : a) Bayi dengan komplikasi sejenis b) Menderita RDS (Respiratory distress sindrome) c) Bayi kern ikteterus d) Sumbatan traktus diagesif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik Besar sampel dalam penelitian ini adalah 100 % dari jumlah populasi yaitu 50 responden (Sugiyono, 2006). Dan 17 pada penelitian ini jumlah sampel/populasi yang ada dibagi menjadi dua group yaitu group pertama berjumlah 25 45

responden untuk perlakuan fototherapi selama 24 jam dan Group kedua berjumlah 25 responden untuk perlakuan fototherapi selama 36 jam.analisa bivariat merupakan analisa untuk mengetahui interaksi dua variabel, baik berupa komparatif, asosiatif, maupun korelatif. Sedangkan uji yang dipakai adalah uji parametik karena skala pengukuran berupa numerik (Saryono, 2008). Maka uji statistik yang sesuai dengan analisa diatas adalah uji paired t-test dilanjutkan dengan uji t- test independent. HASIL DAN BAHASAN Perbedaan kadar billirubin indirect pre dan post pada fototerapi 24 jam maupun fototerapi 36 jam pasien hiperbillirubinemia Hasil uji statistik dengan uji paired t-test pada fototerapi 24 jam diperoleh nilai t hitung sebesar 5,093 sedangkan nilai t tabel n = 25 adalah sebesar I,71 (p= 0,0001 <0,05) hal ini berarti bahwa t hitung > t tabel. sehingga dapat disimpulkan bahwa ada beda antara kadar bilirubin indirect sebelum dan sesudah fototerapi 24 jam. Pada kadar bilirubin indirect dengan fototerapi 36 jam, hasil uji statistik dengan uji paired t-test diperoleh nilai t hitung sebesar 11,416 sedangkan nilai t tabel n = 25 adalah sebesar I,71 hal ini berarti bahwa t hitung > t tabel. sehingga dapat disimpulkan ada beda yang signifikan antara kadar bilirubin indirect sebelum dan sesudah fototerapi 36 jam. Pada sig.(2-tailed) yaitu 0,000 yang berarti p <0,05 artinya ada beda yang signifikan antara kadar bilirubin indirect sebelum dan sesudah fototerapi 36 jam. Hal ini dapat dilihat pada table 4.5 berikut ini. Tabel 1 Rerata selisih fototerapi 24 jam dan 36 jam Metode Pre-test Post-test Selisih T p Ket. Mean SD mean SD Mean SD Fototheraphy 12,24 2,83 8,36 3,45 0,63 0,09 5,093 0,0001 Bermakna 24 jam Fototheraphy 36 jam 12,86 2,92 6,38 2,60-1,98-0,85 11,416 0,0001 Bermakna Efektifitas antara fototerapi 24 billirubin indirect pada bayi ikterik neonatorum Pada penelitian ini, peneliti menggunakan uji t-test independent untuk mengetahui nilai yang paling signifikan antara fototerapi 24 jam dan 36 jam terhadap kadar billirubin indirect pada pasien hiperbillirubinemia. Dari hasil uji statistik didapatkan bahwa nilai t hitung > t tabel yaitu 2,741 > 1,71 yang artinya ada perbedaan yang signifikan antara fototerapi 24 jam dan 36 jam terhadap kadar billirubin indirect pada pasien Nilai p pada Sig. (2-tailed) sebesar 0,009 yang berarti p < 0, 05, artinya ada perbedaan yang signifikan antara fototerapi 24 46

Dari nilai selisih mean pre dan post fototerapi dapat diketahui bahwa selisih mean fototerapi 36 jam > dari fototerapi 24 jam, yakni -1,98 > 0,63, tanda (-) menunjukan bahwa kadar bilirubin indirect post fototheraphy 36 jam lebih sedikit jika dibandingkan kadar bilirubin indirect sebelum fotothterapi 36 jam. Ini berarti fototerapi 36 jam lebih efektif dari fototerapi 24 jam. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut ini. Tabel 2 Nilai perbandingan antara fototerapi 24 jam dan 36 jam terhadap kadar hiperbillirubinemia Jenis Fototerapi Fototerapi 24 jam Fototerapi 36 jam Selisih Mean N T P ket. 0,63 25 2,741 0,009 Bermakna -1,98 25 Efektifitas antara fototerapi 24 Setelah diadakan fototerapi hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan kadar bilirubin indirect, baik yang dilakukan dengan fototerapi 24 jam maupun fototerapi 36 jam, lalu uji ini dilanjutkan dengan uji t-test independent untuk mengetahui manakah yang lebih efektif antara fototerapi 24 jam dan 36 jam terhadap kadar Pada penelitian ini, peneliti menggunakan uji t-test independent untuk mengetahui nilai yang paling signifikan antara fototerapi 24 jam dan 36 jam terhadap kadar billirubin indirect pada pasien hiperbillirubinemia. Dari hasil uji statistik didapatkan bahwa nilai t hitung > t tabel yaitu 2,741 > 1,71 (p= 0,009 <0,05) yang artinya ada perbedaan yang signifikan antara fototerapi 24 Dari nilai selisih mean pre dan post fototheraphy dapat diketahui bahwa selisih mean fototheraphy 36 jam > dari fototheraphy 24 jam, yakni -1,98 > 0,63, tanda (-) menunjukan bahwa kadar bilirubin indirect post fototheraphy 36 jam lebih sedikit jika dibandingkan kadar bilirubin indirect sebelum fototheraphy 36 jam. Ini berarti fototheraphy 36 jam lebih efektif dari fototheraphy 24 jam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fototheraphy 36 jam lebih efektif untuk menurunkan kadar bilirubin 47

indirect jika dibandingkan dengan fototheraphy 24 jam. Ada berbagai factor yang dapat mempengaruhi efektifitas foto diantaranya: Intensitas radiasi, kurva spektrum emisi dan luas tubuh bayi yang terpapar. Intensitas cahaya yang diperlukan 6-12 nm, usia bayi, umur gestasi, berat badan dan etiologi ikterus. Terapi sinar paling efektif untuk bayi prematur yang sangat kecil dan paling tidak efektif untuk bayi matur yang sangat kecil (gangguan pertumbuhan yang sangat berat) dengan peningkatan hematokrit. Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin efektif. Efikasi terapi sinar meningkat dengan meningkatnya konsentrasi bilirubin, tetapi tidak efektif untuk menurunkan konsentrasi bilirubin di bawah 100 µmol/l. Sedangkan faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah paparan kulit yang tidak adekuat, sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara terbalik dengan kuadrat jarak), lampu fluoresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi spektrum dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi memiliki peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti, bisa diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Rerata kadar bilirubin indirect sebelum dan sesudah dilakukan fototerapi 24 jam adalah sebelum 12,24 mgr/dl, sesudah 8,36 mgr/dl 2. Rerata kadar billirubin indirect sebelum dan sesudah dilakukan fototerapi 36 jam adalah sebelum 12,86 mgr/dl, sesudah 6,38 mgr/dl. 3. Ada perbedaan yang signifikan antara fototerapi 24 jam dan 36 jam terhadap penurunan kadar billirubin indirect pada bayi ikterus neonatorum diruang amanah RS PKU Muhammadiyah Gombong.. B. Saran 1. Bagi rumah sakit Pihak rumah sakit agar lebih memperhatikan dan memprioritaskan pemberian fototerapi 36 jam terhadap penurunan billirubin indirect pada bayi ikterus neonatorum,sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. 2. Bagi peneliti selanjutnya Perlu dilakukan penelitian lagi terkait efektifitas fototerapi 24 jam dan 36 jam dengan responden, waktu, dan tempat yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA American Family Physician. (2002). Approach to the Management of Hyperbilirubinemia in Term Newborn Infants, (online). http: /// 48

www.cps.ca./english/s tatetement/fn 98-02.htm. Constance & Thomas. (2003). Higrisk Newborn Hyperbilirubine and Jaundice, (online). http:// www.chkd.org/highkne wborn/hiperb.ih.asp Doengoes. (2001). Rencana Keperawatan Maternal dan Neonatal, Edisi 2. Jakarta, EGC Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit, Cetakan I. Jakarta.EGC Ozdwn N. (2003). Hyperbilirubinemia, Unconjugated, (online). http:// www.aafp.org/2002 02/05/599.htm/- famphi. Sacharine RM. (1992). Prinsip Perawatan Anak, Edisi 3. Jakarta, EGC. Saryono. (2008). Metedologi Penelitian Kesehatan, Yogyakarta, Mitra Cendakia. Soetjiningsih. (1994). Tumbuh Kembang Anak, Surabaya, EGC. Surasmi Astrining. (2005). Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jaakarta, EGC. Sugiono. 2004, Metode penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta University of Ultah. (2003). Hyperbilirubinemia and Jaundice, (online). http:// www.dart mont.edu/obyn/inform/ patient ed./icnjandice.htm Wiknyosastro. (1994). Ilmu Kebidanan, Edisi 3. jakarta, Yayasan Bina Pustaka Healt Technology Asessment unit medical development division ministry of health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of reproductive health and research, World health Organization, Geneva 2003. 49