Aneka No. 32 Th. VIII/1958 MASAALAH KEDUDUKAN SASTRA DALAM FILM (II) ASRUL SANI

dokumen-dokumen yang mirip
SUMBANGAN ARTIS FILM TERHADAP PEMBANGUNAN DJIWA BANGSA

Aneka No. 31 Th. VIII/1958 MASAALAH KEDUDUKAN SASTRA DALAM FILM (I) ASRUL SANI

Varia No. 406 Hal (26 Januari) Usmar Ismail tentang kesenian nasional Kegairahan untuk mentjipta harus di-kobar2kan lagi

FILM & SENSOR. Ditindjau dari sudut kreasi

Undang-undang 1946, No. 22 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI )

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN DJEMBRANA

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

HUBUNGAN PELA DI MALUKU-TENGAH DAN DI NEDERLAND

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I OBJEK, DJUMLAH DAN TERUTANGNJA PADJAK. Pasal 1

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI

TRANSKRIP Kuliah/Tanja-Djawab/ Pendjelasan J.M. Menko D.N. Aidit Dimuka Peserta Pendidikan Kader Revolusi Angkatan Dwikora Tanggal 18 Oktober 1964

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

ii----r. ~ DEPARTEM DISKUSI PANEL BUTAS kesimpulan : Dl TUG U. P UNT J A K - BOGOR. T A N GGA L 10 S/ D 13 AGUSTUS 1971

PENGUSAHA NASIONAL SWASTA, DJADILAH PENJUMBANG KONSTRUKTIF UNTUK JPENJELESAIAN REVOLUSI!

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 1 th. Ke V tgl. 1 Djan PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 1 TAHUN 1955.

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

dari Pemakaian Butas Sebagai Bahan Konstruksi Lapisan Permukaan Djalan.

Jahja pertama 1 Kenjataan hidup jang kekal, salam doa Nasehat akan hidup ditengah terang dengan kebenaran, mendjadi tanda persekutuan dengan Allah

Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 3 th. II tg. 27 Des PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 2 tahun TENTANG PEMADAM API

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 7 th. Ke IV tgl. 1 Sept. 54 No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 6 TAHUN 1954.

Salam doa 1 Salam daripada aku, Jakub, hamba Allah dan hamba Tuhan Jesus Keristus, kepada kedua belas suku bangsa jang bertaburan.

Peterus kedua 1 Salam doa Beberapa hal jang menjebabkan rasul memberi nasehat

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG PROPINSI BALI

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERDJA DENGAN RAHMAT TUHAN JANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1945 TENTANG PERATURAN MENGENAI KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH. KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Pilipi 1 Salam doa Utjapan sjukur kepada Allah karena persekutuan sidang djumaat Berita tentang keadaan rasul waktu ia terbelenggu

Kolose 1 Salam doa Utjapan sjukur karena iman sidang djumaat Doa rasul supaja sidang djumaat makin kenal kemuliaan Keristus

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN KONGRES NASIONAL LEKRA I

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

Mendajung Antara Dua Karang: Peletakan Sebuah Dasar. Oleh: Shohib Masykur

DJAKARTA. Sekarang tiba gilirannja: dia djuga mau pergi ke Djakarta.

SERI AMANAT 50 PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DJENDERAL SOEHARTO DIDEPAN SIDANG DPR-GR 16 AGUSTUS 1971 REPUBLIK INDONESIA

Tesalonika pertama 1. Tesalonika pertama 2

Peraturan Pemerintah 1950 No. 37

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Peterus pertama 1 Salam doa Utjapan sjukur kepada Allah karena pengharapan akan Keristus Dari hal ibadat jang benar

Banjak orang jang menganggap, bahwa bekerdja buat Tuhan berarti harus mendjadi pendeta, dan harus disiapkan di Sekolah Alkitab.

Timotius kedua 1 Salam doa Utjapan sjukur Nasehat kepada Timotius supaja berusaha Teladan rasul dan Onesiporus

Galatia 1 Salam doa Dari hal jang menjebabkan rasul berkirim suratnja Pemberitaan Paulus asal daripada Allah

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 2 th. Ke IV tg. 1 April 1954 No. 1

AKSARA ARAB MELAYU (JAWI) DAN NASKAH MELAYU

DJANGAN MENDERITA TANI-PHOBI! >itas Indonesia iltas Sastra pustakaan...^ y! ,08 j. f - /;, \ f. ' P!! r ^ s ^ S T R X JfcV. ' -.-r

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

Peranan Seni Tradisionil dalam Modernisasi dan Integrasi Nasional di Asia Tenggara

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROPINSI DJAWA-TIMUR Seri A DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG PROPINSI DJAWA TIMUR

UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930 (STOOM ORDONANTIE 1930) (Stb. No.225 TAHUN 1930)

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 4 th. Ke IV tgl. 1 Djuni PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 4 TAHUN 1954.

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

Tambahan Lembaran Kota Besar Surakarta Nomor 2 Tahun Ke VI Tanggal 1 Djuli 1956 Nomor 1 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA NOMOR 2 TAHUN 1956

M * H A m m A» H A T T a

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska no. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 5. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 12 TAHUN 1953, TENTANG AIR MINUM.

Dalam buku ini kami aturkan beberapa karangan E. Du Perron, Diantaranja ada jang mengenai politik, ada jang se-mata2

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERDJA DENGAN RAHMAT TUHAN JANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SEGI-SEGI DJURNALISTIK D4KIPADA PERS

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SURAT PENTJALONAN UNTUK PEMILIHAN ANGGOTA D.P.R./D.P.R.D.I DAN D.P.RD. II

UNDANG-UNDANG 1950 No. 4 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 29 tahun Mei 1969

PRO DAN KONTRA MODERNISASI SENIRUPA INDONESIA. D.A. Peransi

DJALAN JANG TERINDAH. Ellen G. White. Copyright 2014 Ellen G. White Estate, Inc.

Madjalah Kristen Kebangunan Rochani A P I M E N J A L A

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1948 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENERBIT D J AM B ATAN

Timotius pertama 1 Salam doa Nasehat supaja tetap didalam pengadjaran jang benar Sjariat Torat jang sebenarnja

MADJALAH KRISTEN KEBANGUNAN ROCHANI A P I M E N J A L A

DARI PADA TANAH, DUNIAWI.

Madjalah Kristen Kebangunan Roahani A P I M E N J A L A. * Untuk segala aliran Geredja (Interdenominational). * Disebarkan dengan tjuma2 (Gratis).

Surat tentang Kehidupan Keristen

Korintus kedua 1 Pendahuluan: salam doa Rasul bersjukur karena pertolongan Allah didalam sengsaranja Rasul bersjukur karena lepas daripada maut

SEDJARAH TELANDJANG MEMBUKA. MULUT MANUSIA BISU Chris Hartono

Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan

Tambahan Lembaran Kota Besar Surakarta No. 6 th. ke III tgl. 1 Djuli No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 11 TAHUN 1953.

TOO PEK KOAY HIAP. Oleh : Boe Beng Giok

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

8 t o i a * H, 3 1 OCT 2WI* 114 DEC tti- SEP 2o,2

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI

DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KOTAPRADJA S U R A K A R T A. PERATURAN-DAERAH Kotapradja Surakarta tentang padjak potong hewan. Pasal 1.

..INDONESIA" PADA PANTAI LAUTAN ATLANTIK

Epesus 1 Salam doa Doa sjukur kepada Allah karena anugerahnja didalam Tuhan Jesus Keristus

SINTAKSIS INDONESIA PROF. DR A. A. FOKKER. DJONJiAR. ^enerbit PRADNJA PARAM ITA DJAKARTA \912 O LEK. D IlN D O N psia K A N OLE]*

E D I T O R I A L - 3 -

KONSEPSI SENDIRI - DJANGAN MENDJIPLAK!

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 10

Upah, Harga dan Laba. K. Marx. Modified & Authorised by: Edi Cahyono, Webmaster Disclaimer & Copyright Notice 2005 Edi Cahyono s Experience

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1958 TENTANG PENGGUANAAN LAMBANG NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

REPUBLIK INDONESIA. sensus penduduk 1971

PERTEMUAN I FOTOGRAFI dan ILMU KOMUNIKASI

J.E.KAIHATU. PEE N IE F* & i t d j a m b a t a i

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 59 tahun Desember 1969

Transkripsi:

Aneka No. 32 Th. VIII/1958 MASAALAH KEDUDUKAN SASTRA DALAM FILM (II) ASRUL SANI Djika pada kesusasteraan kesatuan-komunikasi terketjil adalah kalimat jang dibatjakan oleh kata-kata, maka pada film kesatuan komunikasi terketjil ialah satu camera-angle atau camera set-up. Dan djika kita ingat, bahwa phenomenon film terlahir dari adanja bahan mentah jang terbuat dari celluloid jang berukuran dua dimensi bersifat peka terhadap tjahaja. Kepetjakan dan ukuran dua dimensi dari pita film ini mendjadi dasar dari susunan gambar menurut nilai-nilai bentuk dari perspektif-perspektif garis dan bidang-bidang. Dari kenjataan ini kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa alat terutama jang dipergunakan oleh seorang seniman film untuk menjatakan perasaan atau fikirannja oleh alat-alat grafis. Djadi dalam hal ini ia boleh dikatakan sama dengan seorang tukang potret. Pentjiptaan ruang dan keharuan visual dengan garis-garis dan bidang-bidang. Tapi ada lagi satu alat lain jang penting untuk melaksanakan pembuatan film ini dan jang menjumbang unsur-unsur bagi kemungkinankemungkinan film sebagai medium. Alat itu ialah kamera. Kamera ini, ketjuali adanja suatu system lensa jang pelik padanja untuk menjalurkan tjahaja jang kemudian akan ditimpakan pada pita film jang peka tjahaja, djuga ada padanja kaitan-kaitan dan alat penggerak jang dapat menggerakkan film tersebut dalam ketjepatan jang normalnja 24 frames atau gambar dalam satu detik. Djadi dalam satu detik ia dapat memotret 24 bagian dari satu kedjadian atau gerakan, jang kemudian karena terdapatnja sifat persistence of vision pada mata kita, kelak djika diprojektir dilajar putih akan memberikan gambaran dari gerak jang berlangsung dengan litjin dan berkelandjutan. Dari kenjataan-kenjataan ini dapat karakterisir film, sebagai rentetan gambar jang bergerak berkelandjutan. Djadi adanja gambar dan adanja gerakan jang kontinu adalah unsur-unsur pembangunan jang azazi bagi film dan karena itu bersifat menentukan bagi hukumhukum pembuatannja. Karena adanja gerak jang berkelandjutan, maka djuga terdapat padanja unsur waktu. Artinja padanja djuga terdapat kesanggupan untuk menjusun kedjadian-kedjadian menurut rentetan waktu, seperti jang kita temui pada tjerita. Djadi ia memang mempunjai kemungkinan, seperti jang dimiliki oleh seorang pengarang tjerita. Tjuma djika hasil seorang pengarang adalah suatu keasaan jang timbul dari kontinuitet kata-kata, maka hasil seorang seniman film adalah keesaan dari kontinuitet gambar-gambar. Untuk memungkinkan penarikan sebuah garis pemisah jang djelas antara film dan kesusasteraan, saja kira perlu sekali kita mengemukakan sebuah definisi tentang kesusasteraan. Biarpun definisi ini tidak lain hanja sebuah definisi kerdja. Sebuah definisi jang bisa diperdebatkan pandjang lebar, tapi jang ingin saja pergunakan disini semata untuk memperdjelas hal-hal jang hendak saja

bitjarakan dalam hal ini: sastera atau kesusasteraan adalah pengutaraan sebuah idée atau tjita dengan pertolongan kata-kata jang dituliskan. Tapi nilai atau harga sastera dari pengutaraan itu tidak hanja terletak pada idée jang hendak diutarakan, tapi terlebih-lebih pada tjara penggunaan alat dalam hal ini kata untuk mengutarakan idée tersebut, dan pada kesanggupan tjara ini untuk mengharukan pembatja. Tjara ini begitu penting, sehingga ialah jang membedakan apakah sebuah lembaran jang ditulisi berisi sebuah tjiptaan sastera ataukah ia hanja sekadar surat perintah kerdja. Djadi banjak dari harga sebuah hasil sastera itu tergantung pada sikap pengarang terhadap kata dan penggunaan kata. Seperti dikatakan oleh Jean-Paul Sartre dalam sebuah essaynja: Seorang disebut pengarang bukan karena ia telah mengatakan sesuatu, tapi karena ia telah memilih untuk mengatakannja dalam suatu tiara tertentu.dari sini tambah djelas lagi, bahwa sifta sastera itu lebih lagiditentukan oleh alatja dari pada isinja. Dan karena soal kata ini djadi penting dalam persoalan kita, boleh kita bertanja bagaimana pandangan atau pendirian seorang pengarang atau atau seorang penjair sebetulnja terhadap bahasa. Bagi seorang sasterawan atau seorang penjair bahasa adalah struktur dari sunia lahir. Seorang penjair berada diluar bahasa. Ia melihat bahasa itu terbaik seolah-olah dia bukan manusia jang serupa dengan sesamanja. Dan baginja kata-kata ditemuinja sebagai sematjam dinding dalam usahanja menemui manusia. Aturannja ia kenal kepada benda-benda berkat namanja, ia seolah-olah terlbih dulu mengadakan sematjam kontak dengan benda tersebut. Kemudian ia baru berpaling kepada bahasa. Bahasa ini ia raba-raba seperti seorang buta, ia udji, lalu kemudian ia temui diantara kata-kata bahasa itu jang mempunjai sedikit kemiripan dengan benda jang tadi ia hubungi dengan air, langit ataupun djua. Karena ketjondonganketjondongannja sebagai penjair atau pengarang tidak memungkinkannja mempergunakan kata sebagai tanda dari suatu aspek dunia, ia melihat dalam kata bajangan dari salah satu aspek ini. Dan gambaran kata jang ia pilih untuk menjatakan seorang gadis bukannja mustahil sebuah kata atau beberapa buah kata jang bisaa kita pergunakan untuk menundjukkan seorang gadis. Sebagai akibat dari usaha-usahanja ini maka terdjadilah sematjam revolusi dari ekonomi dalam sebuah kata. Sikap terhadap bahasa ini adalah unik. Ini telah menjebabkan dia mendjadi seorang sasterawan. Biarpun waktu kepada Ignazio Silone, ditanjakan mengapa ia mengarang, dan ia mendjawab karena ingin mengadakan komunikasi, maka keinginannja untuk berkomunikasi haruslah dilihat dari sudut ini. Dalam keextermannja seorang penjair, bukannja lagi mentjiptakan sebuah kalimat, tapi ia mentjiptakan sebuah objek. Maka kata disini mendjadi benda. Kini, ternjata dari praktek pembuatan film bahwa, seorang suteradara tidak mengarahkan cameranja begitu sadja. Ia bisaanja dipimpin oleh idée jang mau ia kemukakan setjara cinematografis. Idée ini bisa ditulis dan kemudian mendjadi apa jang orang sebutkan dalam filmfilm tjerita screenplay. Djika kita membaca sebuah screenplay maka kita akan membatja sebuah tjerita, dengan segala unsur-unsur seperti jang saja kemukakan dibagian pertama pidato saja ini. Didalamnja kita temui pengisahan kedjadian-kedjadian dalam rentetan waktu, watak-watak dan plot. Pendeknja tidak ubahnja seperti sebuah roman. Djika begitu apakah itu bukan

kesusasteraan? Dan djika begitu bukankah ada djuga kedudukan sastera dalam film? Sebelum saja djawab pertanjaan atau tukas ini, ingin saja terlebih dahulu membatjakan sebuah screenplay. Waktu menulis apa jang akan saja batjakan ini, tidak ada sedikit djuga terbajang dimata pengarang satu sangkut paut dengan film. Ia ditulis bukan dengan maksud untuk didjadikan sebuah film. Namanja Anak Laut. ANAK LAUT Sekali ia pergi tiada bertopi Kepantai landasan matahari Dan bermimpi tengah hari Akan negeri didjauhan Pasir dan air seakan Bertjampur. Awan tiada menutup matanja dan hatinja rindu melihat laut terbentang biru Sekali aku pergi dengan perahu kenegeri djauhan dan menjanji kekasih hati lagu merindukan daku Screenplay tau fragmen dari sebuah screenplay ini saja ambil dari Gema Tanah Air Prosa dan puisi 1942-1948. Kalau melihat makdus buku itu sebagaia kumpulan dari prosa dan puisi, maka screenplay yang diatas ini tentulah sebuah sadjak dan menurut akuran pengumpul buku tersebut dapat disebut hasil kesusasteraan. Saja akan membatjakan sebuah fragmen screenplay jang lain. Dalam sebuah gubuk kopi, lumajan djuga hiasannja, permpuan-perempuan mengidari kami. Seorang jang luar bisaa manisnja mendekati Ferrie. Rupanja ketarik oleh muka Ferrie, jang tampan itu. Minum tuaan? Ferrie mendjawab lebih merdu lagi, sambil menekan suku penghabisan setiap kata seperti dalam bahasa Perantjis: Kalu bisa. Mau minum apa, tuaan? Kopisusu ada?

Aadaa tuaan Merdu mengalir. Lemah lunglai dia masuk kedalam. Alunanmu jang masjhur. Penuh djuita, Ferrie, kata Jean. Aku ikut dengan dia, kawan. AKu interpiu dia dulu. Mudah-mudahan berhasil interpuimu, kata Jean. Kami djuga akan segera pergi menginterpiu yang lain. Wartawan di Tandjung. Djuga penulis fragmen dari screenplay ini tidak bermaksud menulis sebuah screenplay, karena ia adalah sebuah fragmen dari tjerita pendek Bachrum Rangkuti Laut, Permpuan dan Tuhan jang djuga saja kutip dari Gema Tanah Air. Apakah ini belum lagi bukti jang tjukup untuk menegakkan pendirian bahwa sastera mempunjai kedudukan dalam film dan bahwa boleh masaalah kedudukan sastera dalam film didjadikan poko sebuah tjeramah. Djawab saja hanja satu: tidak. Djadi kalau begitu bagaimana sebetulnja? Atau djika boleh saja memakai utjapan Bachrum Rangkuti: Ini apa, madu atau tomaat? Soalnja, ialah: kita disini menghadapi suatu grensgeval. Ini bukan setjara kebetulan. Sengadja saja pilih tjontoh-tjontoh jang diatas, karena grensgevallen sering menjebabkan salah faham. Sedangkan djika screenplay-screenplay rutine yang dipakai sebagai tjontoh, maka akan mudah sekali untuk membuktikan bahwa persoalan kedudukan sastera dalam film adalah suatu persoalan jang edan. Diatas tadi kita telah membitjarakan tentang sikap seorang sasterawan terhadap bahasa. Hal itu tidak ada atau tak dibutuhkan sama sekali oleh seorang pengarang scenario. Bagi seorang penjair kata-kata ditemui dalam keadaan liar, bagi seorang pengarang scenario jang dipakai hanja kata-kata jang sudah jinak. Bagi seorang penulis scenario atau screenplay kata-kata bukanlah objek tapi alat-alat penundjuk bagi suatu objek. Tidak dipersoalkan apakah kata itu enak atau tidak enak, tapi apakah ia sanggup menjatakan suatu benda atau pendapat dengan benar. Tapi dengan kedua tjontoh diatas tadi kita beroleh kesulitan. Karena disini pisau bermata dua. Sekarang tjoba kita perhatikan bagaimana hubungan seniman-seniman film terkenal hasil-hasil kesusatreaan, dalam hal ini roman. Dalam sebuah pertjakapan dengan sutradara Prantjis jang terkenal Jean Renoir saja bertanja pada beliau: Tuan Renoir, sebagai seorang suteradara apakah sebetulnja sekarang jang ingin tuan tjapai?. Maka suteradara jang telah tua itu jang telah tjukup memakan asam garam dalam film mendjawab dengan pendek: Saja ingin bercerita sebagai Prosper Merimee. Sebagai saudara-saudara ketahui Prosper Merimee adalah salah seorang sasterawan Perantjis jang baik ditjatat namanja. Djuga seniman film Rusia Eisenstein jang dikatakan djuga bapak dari teori film, menjatakan dengan djelas bahwa ia banjak beladjar dari roman djadi satu hasil sastera. Ia menjatakan, bahwa montage sebetulnja bukanlah suatu tehnik jang begitu sadja djatuh dari langit dan jang chas bagi film. Tidak, menurut dia, pengarang-pengarang jang besar-besar telah lama memakai tehnik montage ini. Di anatar lain ia menundjukkepada Leo Tolstoy. Tapi djanganlah kita terlalu lekas mengambil kesimpulan dari

kenjataan-kenjataan ini. Bahwa para seniman film beladjar pada kesusasteraan sudah wadjar sekali, karena kesusasteraan adalah sebuah seni jang lebih tua. Bukan itu sadja, bahkan Eisenstein sampai menghubung-hubungkan huruf dengan warna seperti jang ia temui dalam salah sebuah sadjak Rimbaud dalam kumpulannja Semusim di neraka. Dalam kumpulan ini terdapat sebuah sadjak Rimbaud dimana ia mulai mengatakan: A, hitam: E, putih: I, merah, U, hidjau dan sebagainja. Djuga ini sebetulnja belum mengatakan apa-apa. Djika kesusasteraan mempunjai kedudukan dalam film, maka kita akan menemui sematjam kesedjadjaran ukuran pada keduanja. Artinja suatu puntjak jang tinggi dalam kesusasteraan harusnja djuga menghasilkan suatu puntjak jang tinggi dalam film. Nanti akan terbukti, bahwa tidaklah demikian adanja. Djika kita selidiki hubungan Eisenstein dengan pengarang Inggeris Charles Dickens, seorang pengarang jang buku-bukunja banjak ia sandjung, akan ternjatalah bahwa penilaiannja adalah lain sekali dan sangat bersifat cinematic. Dalam sebuah essaynja untuk menggambarkan hubungan seniman film Amerika dengan Griffiith dan sumbangan jang dapat diberikan oleh Dickens pada para pembuat film sekarang ini, ia telah mengutip utjapan-utjapan dari Jackson (T.A. Jackson: Charles Dickens: The Progress of Radical, London, Chapman and Hall, 1892) dan Stefan Zweig (Three Masters: Balzac, Dickens, Dostojewsky, 1930). Jackson mengatakan antara lain tentang Dickens: Djika ada orang jang mempunjai bakat mata bukan sadja mata tapi djuga telinga dan hidung dan mempunjai kesanggupan untuk mengingat sampai keperintjian-perintjian jang se-ketjil-ketjilnja segala jang telah pernha ia lihat, dengar, rasakan, tjium, atau rasaimaka orang ini adalah Charles Dickens. Dan tentang penulisan tokoh-tokoh oleh Dickens Stefan Zweig menjatakan: psychologinja mulai dengan apa jang dapat dilihat oleh mata: ia beroleh pandangan terhadap watak seseorang dengan djalan pengamatan dari luar.. Dengan membuat tarikan-tarikan garis ia menjingkapkan type:. Dan di tempat lain Eisenstein memudji ketelitian mengenai details dan gambaran watak jang agak berlebihlebihan. Ini jang terutama dipudji oleh Eisenstein pada Dickens dan ini jang terutama ia lihat dalam karangan-karangan Dickens jang menjebabkan ia kagum melihat pengarang tersebut. Djika diperhatikan lebih landjut bahwa njatalah ada satu tjara tertentu bagi Eisenstein dalam menghargai karja-karja dan tokoh-tokoh Dickens tersebut. Dari pengemukaannja ternjata, bahwa baginja tokoh-tokoh itu penting karena sifat-sifat visuilnja dank arena tokoh-tokoh itu dapat memperlihatkan sifatnja masing-masing berkat tindakan-tindakan lahirnja. Dalam kritik sastera kebanjakan tokoh-tokoh jang kita temui dalam roman Dickens, adalah petjak. Tokoh-tokoh petjak ini umumnja dibangunkan sekeliling sebuah idée. Tokoh-tokoh jang betul-beyul petjak dapat dirumuskan dalam suatu kalimat. Mereka memperlihatkan suatu garis jang lurus, tidak membrikan penjimpangan-penjimpangan jang tiba, dan sebetulnja tidak lain dari type dan karikatur. Salah satu dari keuntungan seorang tokoh jang petjak ialah karena mereka mudah dikenal, dank arena itu tidak usah diperkenalkan berkali-kali. Keuntungan jang kedua, ialah karena ia mudah diingat oleh pembatja. Tokoh-tokoh ini terpateri dalam fikiran pembatja karena tokoh-tokoh ini tidak pernah berobah. Dan hampir semua tokoh-tokoh Dickens dapat dirumuskan dalam suatu kalimat. Sifat-sifat jang ditemui pada tokoh-tokoh petjak ini adalah sifat-sifat jang tjotjok sekali buat film. Dalam buku seorang pembatja, djika ia lupa sesuatu bisa kembali

kehalaman-halaman pertama untuk mentjari hal jang terlupa itu. Tapi pada film hal tersebut tidak bisa dilakukan. Karena itu pada penonton film harus dihadapkan hal-hal jang lebih mudah, jang bisa diingat dan tak usah diperkenalkan berkali-kali. Saja tidak akan mengingkari bahwa Dickens adalah seorang pengarang jang baik djika dilihat dari sudut kesusasteraan. Tapi djika dibandingkan misalnja dengan Dostojevsky, maka Dickens djauh lebih terbatas dalam kebesarannja. Dostojevsky telah menggali kedalaman-kedalaman manusia dengan keluasan dan intensitet jang lebih hebat. Tapi djika dilihat dari sudut cinema, keadaan itu akan terbalik. Dickens akan lebih memberikan puntjak jang lebih tinggi pada Dostojevsky. Ini adalah suatu bukti bahwa ketidak adaannja satu kesedjadjaran dalam pengukuran pada film dan sastera. Sehingga djika sastera mulai bitjara, maka film akan terdesak dan djika film jang bitjara sastera-sastera tiba-tiba djadi dangkal. Dickens bisa dianggap seorang pengarang scenario jang baik, sedangkan sasterawan besar Dostojevsky adalah seorang jang hampir tak berguna. Hal ini djuga dapat kita lihat pada film-film jang didasarkan pada kitabkitab kesusasteraan jang termasjhur. Kita ambillah misalnja buku Perang dan Damai jang telah didjadikan film oleh King Vidor. Buku ini adalah buku jang menarik sekali dilihat dari sudut penulisan roman. Tjara penulisannja sangat renggang. Nada-nada kebesaran jang keluar dari buku ini tidak terlahir dri tjeritanja, biarpun Tolstoy djuga maklum soal rentetan waktu itu, tidak dari episode-episodenja, dan tidak dari tokoh-tokohnja. Kebessarn ini keluar dari keluasan Russia jang tak tepermanai, dimana ia telah menjabarkan tokoh-tokoh dan kedjadiankedjadiannja: kebesaran ini keluar dari djumlah semesta dari djembatan-djembatan, sungaisungai jang djadi beku, hutan-hutan, djalan, kebun, lapangan, jang kesemuanja menumpuk suatu kebesaran. Hanja sedikit sekali pengarang jang mempunjai rasa terhadap tempat dan ruang jang begitu hebat seperti Tolstoy. Tapi djika kita lihat filmnja, kita akan tertjengang, karena apa jang dapat disebutkan essensiel dalam roman Tolstoy tidak kita djumpai sama sekali dalam film tersebut. Memang dalam adegan-adegan pertempuran antara tentara Napoleon dan tentara Rusia Vidor berusaha memperlihatan pemandangan-pemandangan jang luas, tapi hal ini tidak ada hubungannja sama sekali dengan ruang jang kita temui dalam bukunja. Tolstoy disini hanjalah alasan sedangkan Vidor adalah segalanja. Barangkali ini adalah disebabkan oleh karena ruang djiwa selalu lebih besar dari ruang fisik. Dalam romannja bukannja tidak ada faktor visuil ini. Tapi gambaran-gambaran ditimbulkan dalam fikiran pembatja, djadi bersifat kedjiwaan, sedangkan pada film, gambar disediakan sedangkan jang harus disediakan oleh djiwa dan fikiran. Tjontoh jang lain jang pernah saja lihat, ialah pembuatan film dari tjerita Kutjing Hitam karangan Edgar Allan Poe. Sambil lalu, ada satu kesulitan dalam membitjarakan film. Sebetulnja film jang didjadikan tjontoh itu harus diputar, tapi sajang sekali hal ini tidak selalu mungkin. Pemutaran film ini adalah satu-satunja djalan untuk pendjelaskan, karena bahkan pemakaian foto-fotopun tidak akan memadai. Djadi dalam keadaan kita sekarang ini, pembitjaraan ini hanja bisa dilakukan atas dasar kepertjaan kepada penglihatan saja. Seperti saudara ketahui, tjerita Kutjing hitam karangan Poe kalau saja tidak salah pernah diterdjemahkan kedalam bahasa Indonesia mentjeritakan tentang perdjalanan hidup seseorang jang sangat gandjil. Tjerita ini terdiri dalam beberapa bagian dan memuat penulisanpenulisan jang sangat menarik hati. Bagian pertama melukiskan orang itu sebagai seseorang jang menjukai hewan-hewan dan jang memiliki seekor kutjing hitam. Bagian kedua diperlihatkan bagaimana ia makin lama makin gelisah, dan achirnja menangkap kutjing itu dan mentjongkel mata hewan tersebut dengan sebuah pisau pena. Bagian ketiga mentjeritakan bagaimana

kebentjiannja itu dilandjutkan dan achirnja menggantung kutjing itu didahan sebuah pohon. Disini kita temui sebagian proza jang indah sekali jang pernah dituliskan oleh Poe. Suatu pagi dengan perasaan jang dingin,kukalungkan tali pada lehernja (kutjing itu) lalu ia kugantung didahan sebuah pohon; kugantung ia sedang air mata berlinang-linang dari mataku dan dalam hatiku suatu penjesalan jang getir ;. kugantung ia karena aku ta hu hewan ini mentjintai aku. dan karena aku merasa bahwa ia tidak memberikan alasan bagiku untuk membalas dendam; kugantung ia karena aku tahu dengan berlaku begitu aku telah melakukan sebuah dosa jang besar.... Kita melihat disini tiga puntjak-puntjak. Tapi dalam film puntjak-puntjak ini tidak ditemui pada tempat jang sama. Sehingga djika kita perbuatlah dua buah grafik dari turun naik perasaan, jang pertama disebabkan oleh pembatjaan karangan jang ditulis oleh Poe sedang jang sebuah lagi disebabkan menonton film dari tjerita jang dikarang oleh Poe, maka kita akan beroleh bentuk-bentuk garis jang sangat berlainan sekali, seolah-olah ia dilahirkan oleh dua dunia jang masing-masing tidak punja hu-bungan. Bait diatas jang saja batjakan jang dalam tulisan Poe sangat mengharukan dalam filmnja digambarkan tidak lebih dari suatu penggantungan seekor kutjing pada sebuah dahan. Mengharukan djuga, tapi tidak sampai mendekati keharuan jang kita peroleh dalam karangan aslinja. Hal-hal tersebut diatas, tiadanja ditemui diruang Tolstoy dalam film King Vidor, tidak terdapatnja kesedjadjaran puntjak antara proza Kutjing hitam dan film Kutjing hitam, bukanlah karena film lebih terbatas dari pada roman. Film bukanlah roman jang dipenggal beberapa kemungkinannja. Karena kita melihat pada film-film adegan-adegan jang tidak bisa ditimbulkan oleh seorang pengarang bagaimanapun djuga. Sebuah close-up dari sebuah tangan jang dirajapi oleh semut-semut besar kalau saja tidak salah dalam Los Olvidados tidak mungkin diutarakan oleh kesusasteraan dengan tjara bagaimanapun djuga. Lintasan-lintasan wadjah dari beberapa orang petani dalam sebuah film Eisenstein General-line, konflik bidang dalam adegan film Potemkin dimana kelihatan sebuah kereta anak-anak bergura-gura menuruni sebuah tangga dengan tak ada jang memegang atau mengendalikannja. Ini hanja beberapa tjontoh ketjil dari perbendaharaan kekajaan film jang boleh dikatakan tidak dapat diutarakan oleh kesusasteraan jang sama. Sumber dari segalanja ini, ialah, karena pada seorang penulis scenario dan seorang sutradara jang didjadikan soal bukanlah soal hubungannja dengan kata, tapi masaalah hubungannja dengan gambar. Jang mendjadi soal baginja, ialah bagaimana tjaranja mengutarakan kedalaman-kedalaman kehidupan manusia dengan pertolongan benda-benda lahir. Djadi tempat pertolakannja berbeda sekali. Dari segalanja ini ternjata bahwa sastera tidak punja kedudukan dalam film. Ukuran-ukuran sastera tidak bisa dipakai. Film mempunjai ukuran sastera. Tapi sebaliknja dalam film karena sifatnja sendiri terdapat unsur-unsur jang diperlukan untuk membuat suatu kesusasteraan. Pada permulaan pembitjaraan saja ini saja telah berkata tentang unsur tjerita. Djadi biarpun tidak ada ternpat buat kesusasteraan dalam film, film sebaliknja menjediakan lapangan jang sangat luas dan subur bagi kaum sasterawan.