BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS KINERJA PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG POLA GADUHAN SISTEM REVOLVING

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

TESIS. Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh derajat S2 Magister Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang. Diajukan Oleh : J A Y U S

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2010

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur :

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Kredit Usaha. Pembibitan Sapi. Pelaksanaan. Pencabutan.

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI

Ditulis oleh Mukarom Salasa Jumat, 03 September :04 - Update Terakhir Sabtu, 18 September :09

PENDAHULUAN. Latar Belakang. subsektor peternakan. Suatu negara dapat dikatakan sistem

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN TERNAK PEMERINTAH DI KABUPATEN SITUBONDO

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

PENDAHULUAN. Kemajuan pembangunan nasional tidak terlepas dari peran bidang peternakan.

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 6 TAHUN 2011 T E N T A N G POLA PENGEMBANGAN TERNAK PEMERINTAH DI KABUPATEN KAPUAS

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu usaha peternakan yang banyak dilakukan oleh masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna

1 of 8 7/31/17, 9:02 AM

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 56 SERI E

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIKKA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN TERNAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIKKA,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penting pembangunan. Sehingga pada tanggal 11 Juni 2005 pemerintah pusat

RENCANA KINERJA TAHUNAN BPTU-HPT DENPASAR TAHUN 2016

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

L E M B A R A N D A E R A H PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN TERNAK DAERAH

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR SAPI TERHADAP PERKEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI NTB

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan. Sapi potong telah

LAPORAN KEGIATAN KINERJA PENYALURAN DAN PEMANFAATAN KREDIT PROGRAM PERTANIAN KKPE DI PROVINSI BALI

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 21 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN TERNAK BUPATI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL?

Proposal Masa Depan CONTOH PROPOSAL USAHA. Tanpa Usaha Keras, Ide itu HAMPA «Inspirasi Oh Inspirasi Dialog Terbuka Tersimpan Tanda Tanya»

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

III KERANGKA PEMIKIRAN

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Peternakan sapi potong merupakan salah satu sektor penyedia bahan

PENDAHULUAN. Kemitraan merupakan hubungan kerjasama secara aktif yang dilakukan. luar komunitas (kelompok) akan memberikan dukungan, bantuan dan

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

Johanis A. Jermias; Vinni D. Tome dan Tri A. Y. Foenay. ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN Target. Realisasi Persentase URAIAN (Rp)

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

PANDUAN. Mendukung. Penyusun : Sasongko WR. Penyunting : Tanda Panjaitan Achmad Muzani

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 7 TAHUN 2012

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MINAT PETERNAK UNTUK MENGEMBANGKAN TERNAK SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Studi Kasus : Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi)

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan. bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KEMENTERIAN PERTANIAN

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH

ABSTRAK BAB 1. PENDAHULUAN

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik adalah Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014). Program ini sebenarnya telah dicanangkan sejak tahun 2000, 2005, dan terakhir tahun 2010 yang hasilnya belum seperti yang diharapkan karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Usaha peternakan sapi potong di Indonesia lebih kurang 80 % masih diusahakan oleh peternakan rakyat. Usaha peternakan rakyat umumnya mempunyai segala keterbatasan terutama modal usaha dan sumber daya manusia (SDM), sehingga wajar bila program swasembada daging sapi hingga sampai saat ini belum dapat dicapai. Oleh karena itu program pemberdayaan dan peningkatan kinerja para peternak sapi potong rakyat perlu adanya upaya yang serius dari lembaga yang terkait agar PSDS-2014 dapat terwujud. Sejalan dengan program pemerintah pusat akan PSDS yang dimulai tahun 2000 hingga 2014 tersebut, pengembangan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Fakfak sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1986, 1988, 1996 oleh Dinas Peternakan, dan tahun 1999 oleh Departemen Transmigrasi dengan jenis sapi Bali karena mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis sapi potong lainnya. Berdasarkan data yang telah diolah dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Fakfak dan Dinas Tenaga Kerja dan Trasmigrasi 1

Kabupaten Fakfak, jumlah ternak sapi yang telah disebar sejak tahun 1986 1999 lebih kurang 175 ekor, namun hasilnya belum menunjukan kinerja seperti yang diharapkan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan daging dan sapi hidup di daerah. Berdasarkan potensi pasar, kebutuhan daging dan sapi di Kabupaten Fakfak dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Permintaan sapi untuk hewan kurban pada tahun 2011 mencapai 175 ekor belum termasuk yang dipotong untuk kebutuhan konsumsi setiap harinya (± 60 ekor per tahun). Sedangkan dari sisi kelemahan, bahwa sistem pengembangan ternak sapi potong yang diterapkan pada waktu lampau, yaitu sejak tahun 1986-1999 adalah sistem mini rench yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat pribumi. Hasil pengamatan di lapang menunjukan bahwa perkembangan ternak sapi potong hingga sekarang ini belum dapat diidentifikasi secara baik, karena kondisi ternak sapi telah menjadi liar dan hidup berkeliaran di hutan secara bebas, sehingga status kepemilikannya juga menjadi tidak jelas. Hal serupa juga terjadi pada kondisi ternak sapi potong yang dikelola oleh Departemen Transmigrasi waktu itu. Ketidakberhasilan usaha sistem mini rench tersebut diduga kemampuan petani peternak saat itu dalam hal manajemen pemeliharaan belum baik karena latar belakang peternak sebelumnya adalah sebagai nelayan dan kurangnya pendampingan dari petugas. Belajar dari pengalaman tersebut, kebijakan baru pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat, sejak tahun 2002 telah melakukan program pengembangkan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan dengan sistem revolving (sistem guliran) kepada petani peternak di Distrik Bomberay. Sistem baru tersebut merupakan 2

wujud pola kemitraan antara pemerintah sebagai inti yang menyediakan sarana input antara lain : bibit sapi, bibit rumput dan kandang kelompok serta sarana penunjang lainnya. Para peternak sapi sebagai plasma yang akan mengelola atau memproses sarana input dan sumberdaya lainnya menjadi produksi anak sapi. Pola dan sistem ini bertujuan untuk meningkatkan populasi dan meningkatkan produksi daging sapi yang saat ini kebutuhan daging dan sapi hidup masih didatangkan dari luar daerah. Tujuan yang kedua adalah untuk memberdayakan masyarakat transmigrasi yang sudah mulai enggan bertahan hidup di lokasi permukiman transmigrasi. Selain itu, meningkatkan motivasi petani peternak dan anggota keluarganya dalam rangka berusaha di bidang pertanian tanaman pangan dan hortikultura karena adanya ketersedian pupuk kandang diharapkan akan terjadi perbaikan kesuburan tanah. Harapan jangka pendek, dengan program pengembangan sapi potong dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak di perdesaan. Dalam jangka menengah, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak di wilayah KSP tersebut. Untuk keberlanjutan program, sejak itu pula Distrik Bomberay ditetapkan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Fakfak sebagai Kawasan Sentra Produksi (KSP) peternakan khususnya sapi potong. Dijadikannya kawasan tersebut sebagai KSP sapi potong karena mempunyai potensi sumberdaya alam berupa padang penggembalaan yang cukup luas. Selain potensi sumberdaya alam juga memiliki potensi sumberdaya manusia yang cukup berpengalaman dalam hal beternak sapi potong, karena petani peternak ekstransmigrasi 60% berasal 3

dari Jawa, Madura, Sunda, NTT, dan NTB. 40% ekstransmigrasi lokal yang telah mengalami proses transformasi pengetahuan walaupun secara informal. Melalui dana APBD tahun 2002 dan Otsus (Otonomi Khusus) tahun 2002, 2003, 2004 dan 2007 telah dilakukan program pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan dengan sistem revolving kepada petani peternak di Distrik Bomberay. Data penyebaran bibit sapi potong pola gaduhan sistem revolving di Distrik Bomberay dapat dilihat pada Lampiran 01. Program ini adalah pola kemitraan, berarti ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, yaitu pemerintah dan calon penggaduh. Kewajiban pemerintah adalah menyediakan input produksi antara lain: 1). Melakukan identifikasi dan seleksi calon penggaduh dan calon lokasi (CPCL), ini dilakukan untuk mencari calon penggaduh yang berpengalaman dan mempunyai ketrampilan dalam beternak sapi ; 2). Melakukan kegiatan pelatihan calon penggaduh (CP), ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta motivasi calon penggaduh; 3). Menyediakan sarana input produksi berupa bibit sapi potong, lahan HMT sebagai sumber bibit rumput, kandang sapi kelompok dan obat-obatan. Kewajiban penggaduh adalah melakukan proses produksi, yaitu merawat dan memelihara sapi gaduhan dengan baik agar bibit sapi potong yang diterima dapat berproduksi dan berkembang dengan baik. Hak pemerintah adalah memperoleh setoran dari penggaduh berupa anak sapi atau pedet minimal umur satu tahun setelah masa kontrak lima tahun jatuh tempo untuk digulirkan kepada petani peternak yang belum pernah mendapatkan sapi potong. Hak penggaduh adalah mendapatkan semua sisa sapi setelah setoran anak sapi dilunasi, bagi yang menggaduh satu ekor induk berkewajiban setor dua 4

anak sapi, sedangkan bagi yang menggaduh satu induk dan satu pejantan berkewajiban setor tiga anak sapi. Selama proses produksi yaitu selama masa kontrak berlangsung, kewajiban pemerintah adalah melakukan pendampingan yang dilakukan oleh petugas. Pendampingan bertujuan untuk pembinaan/ penyuluhan ke penggaduh, pengawasan lalu lintas ternak, pengobatan ternak bila ada yang sakit dan penarikan setoran anak sapi bila masa kontrak telah jatuh tempo. Selain itu, selama proses produksi diharapkan ada perbaikan manajemen penanganan ternak, sistem pemeliharan yang lebih baik, meningkatnya motivasi berusaha, penyediaan lahan HMT yang intensif dan partisipasi anggota keluarga dalam memelihara ternak sapi gaduhan, sehingga produksi dapat ditingkatkan dan proses revolving dapat sesuai target yang telah ditetapkan. Dengan berjalannya waktu, program sapi gaduhan sistem revolving telah memasuki berakhirnya masa kontrak sejak akhir 2007, 2008 dan awal 2010. Berdasarkan pengamatan penulis, bahwa perkembangan produksi usaha peternakan sapi potong pola gaduhan di Distrik Bomberay belum pernah dilakukan penelitian atau pengkajian terhadap kinerja kegiatan secara baik dan mendalam, khususnya sapi gaduhan yang masa kontraknya telah jatuh tempo. Berdasarkan data sekunder yang diolah bahwa proses revolving belum seperti yang diharapkan, masih banyak masalah yang harus diselesaikan. Target setoran anak sapi secara keseluruhan sebanyak 458 ekor, tetapi realisasi sampai dengan tahun 2010 baru mencapai 289 ekor, ini berarti baru mencapai 63,1% secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 01. Kondisi ini dikawatirkan akan berpengaruh pada program berikutnya, karena tidak ada ketegasan dari 5

pendamping atau pemerintah. Dampak selanjutnya, proses guliran yang kedua kalinya dikawatirkan tidak akan berkelanjutan (sustainable). Berdasarkan fenomena ini, penulis terdorong untuk mencoba melakukan penelitian tesis yang bertema kinerja. Tolok ukur keberhasilan program pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving di Distrik Bomberay selama masa kontrak dapat dilihat dari prestasi kinerjanya, yaitu kinerja output dan kinerja outcome. Tinggi rendahnya prestasi kinerja output dan kinerja outcome sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor input produksi dan faktor proses produksi seperti yang telah diuraikan di atas. Hal ini sesuai pendapat Rianto dan Purbowati (2010) keberhasilan bisnis usaha sapi potong dapat ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetis dan lingkungan. Faktor genetis yaitu kualitas dari bibit sapi yang akan dipelihara, sedangkan faktor lingkungan meliputi iklim, penyakit dan manajemen (penanganan ternak sapi potong oleh peternak) yang merupakan faktor proses produksi. Berdasarkan uraian di atas, untuk mengukur kinerja program pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving di Distrik Bomberay selama masa kontrak, pertama dianalisis dengan pendekatan indikator kinerja. Menurut Mahsun (2009) pengukuran kinerja organisasi publik meliputi aspek-aspek kelompok masukan (input), proses (process), keluaran (output), hasil (outcomes), manfaat (benefit) dan kelompok dampak (impact). Pendekatan yang kedua dengan teori produksi yaitu pendekatan input-output, karena usaha peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving yang dilakukan oleh peternak merupakan usaha produksi. Inputnya adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk proses produksi sapi, sedangkan outputnya adalah 6

produksi anak sapi. Karena usaha ini adalah usaha kemitraan antara pemerintah dengan peternak penggaduh, maka input produksinya berasal dari pemerintah dan proses produksinya diserahkan ke penggaduh dengan menggunakan sumberdaya yang dimilkinya. Untuk memproduksi anak sapi diperlukan input-input produksi, yaitu sumberdaya antara lain : dana atau anggaran, peralatan/ teknologi, sumberdaya manusia, material (Mahsun, 2009). Dalam penelitian ini, identifikasi faktor input produksi dibatasi pada ketepatan petugas dalam melakukan seleksi calon penggaduh dan calon lokasi (CPCL), tingkat pemahaman hasil pelatihan calon penggaduh (CP), kualitas bibit ternak sapi yang diterima oleh penggaduh. Sedangkan faktor proses produksi dibatasi pada aspek kualitas pendampingan, kualitas manajemen produksi, sistem pemeliharaan, motivasi berusaha, daya dukung lahan HMT, dan partisipasi anggota keluarga dalam mengelola usaha peternakan sapi potong gaduhan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian tesis sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kinerja program pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan dengan sistem revolving di Distrik Bomberay Kabupaten Fakfak selama masa kontrak? 2. Apakah faktor input dan faktor proses serta faktor output mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kinerja outcome program pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving yang diusahakan oleh penggaduh di Distrik Bomberay Kabupaten Fakfak selama masa kontrak? 7

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang diinginkan dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis kinerja program pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving yang selama ini dikembangkan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Fakfak di Distrik Bomberay selama masa kontrak berdasarkan indikator input (masukan), process (proses), output (keluaran), outcomes (hasil) dan benefit (manfaat). 2. Untuk menguji dan menganalisis faktor input dan faktor proses serta faktor output yang dapat mempengaruhi kinerja outcome program pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan dengan sistem revolving di Distrik Bomberay Kabupaten Fakfak selama masa kontrak. 1.4. Kegunaan Penelitian Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai : 1. Bahan informasi awal bagi semua pihak untuk penelitian lebih lanjut dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan usaha peternakan sapi potong. 2. Bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengembangan usaha peternakan sapi potong khususnya di Kabupaten Fakfak dan Provinsi Papua Barat maupun untuk daerah-daerah lainya. 8

1.5. Definisi / Batasan Istilah Untuk menghindari penafsiran yang salah terhadap beberapa istilah dalam penelitian ini, penulis membuat definisi atau batasan istilah sebagai berikut: 1. Kinerja program pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving adalah tolok ukur keberhasilan program yang diukur berdasarkan pendekatan indikator kinerja yang meliputi analisis indikator input (masukan), process (proses), output (keluaran), outcomes (hasil) dan benefit (manfaat) selama masa kontrak berlangsung yaitu lima tahun. 2. Indikator input adalah ketepatan dalam penentuan seleksi CPCL, tingkat pemahaman CP selama mengikuti pelatihan dan kualitas bibit sapi yang diterima oleh penggaduh. 3. Indikator proses adalah kualitas pendampingan yang dilakukan oleh petugas, kualitas manajemen produksi yang dilakukan oleh penggaduh, sistem pemeliharaan ternak sapi yang diterapkan oleh penggaduh, motivasi penggaduh untuk berusaha sapi, ketersediaan daya dukung lahan HMT dan partisipasi anggota keluarga dalam membantu pemeliharaan ternak sapi gaduhan selama masa kontrak. 4. Indikator output ialah produktivitas ternak sapi pokok dalam menghasilkan anak sapi selama kurun waktu masa kontrak yaitu lima tahun. 5. Produktivitas ternak sapi pokok ialah kemampuan induk melahirkan sejumlah anak sapi yang hidup dibagi dengan masa waktu lima tahun (masa kontrak) dikalikan 100%. 9

6. Indikator outcome ialah hasil revolving dari pelunasan atas kewajiban penggaduh untuk menyetor anak sapi kepada petugas atau pemerintah sampai waktu masa kontrak jatuh tempo. 7. Indikator benefit ialah besarnya manfaat atas program pengembangan usaha peternakan sapi potong dalam kontribusinya memenuhi kebutuhan daging dan sapi di Kabupaten Fakfak selama lima tahun terakhir. 8. Sistem revolving ialah perguliran ternak sapi berupa anak sapi atau pedet minimal berumur satu tahun dari penggaduh pertama ke penggaduh kedua setelah masa kontrak lima tahun jatuh tempo. Peternak yang menggaduh satu ekor bibit sapi betina wajib setor anakan sapi sebanyak dua ekor. Peternak menggaduh satu ekor bibit betina dan satu ekor sapi jantan wajib setor anakan sapi sebanyak tiga ekor. Proses guliran ini akan berlangsung terus setelah masa kontrak lima tahun jatuh tempo. 9. Faktor input ialah input produksi yang dapat mempengaruhi kinerja usaha sapi potong, yaitu identifikasi dan seleksi calon penggaduh dan calon lokasi (CPCL), pelatihan calon penggaduh (CP), kualitas bibit sapi potong. 10. Faktor proses ialah kualitas pendampingan, kualitas manajemen produksi, sistem pemeliharaan, motivasi berusaha, daya dukung lahan HMT dan partisipasi anggota keluarga. 11. Faktor output ialah produktivitas bibit sapi pokok dalam menghasilkan anak sapi hidup selama masa kontrak lima tahun. 10