Tabloid Pelajar PELAJAR INDONESIA, terbit di Bandung, Edisi November 2002

dokumen-dokumen yang mirip
Manajemen Mutu Pendidikan

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd

Majalah Dit-TK-SD Depdiknas FASILITATOR, terbit di Jakarta, Edisi April 2007

SEJARAH MBS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Di

MATERI KULIAH MANAGEMEN BERBASIS SEKOLAH. By: Estuhono, S.Pd, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Seutuhnya (Integrated School Development) disingkat SID. dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

HAKIKAT MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) 1 (School Based Management/SBM)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. nasional merupakan kajian yang menarik, mengingat makin tumbuhnya kesadaran

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dimensi dalam kehidupan mulai dari politik, sosial, budaya, dan

BAB I PENDAHULUAN. Madrasah sebagai salah satu sarana untuk mencetak generasi yang

ANALISIS KURIKULUM DAN MODEL PEMBELAJARAN GEOGRAFI PERTEMUAN PERTAMA

Majalah Dit-TK-SD Depdiknas FASILITATOR, terbit di Jakarta, Edisi Juli 2007

Prof. Dr. H. D. Budimansyah, M.Si.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. (SISDIKNAS), penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

EKSISTENSI SEKOLAHRUMAH (HOMESCHOOLING) DALAM KHASANAH PENDIDIKAN. Oleh: Wahyudi 1

OTONOMI DAERAH DI BIDANG PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. kita saat ini adalah peningkatan mutu pendidikan. Mengingat dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya penyelenggaraan pemerintahan

PENGELOLAAN SUMBER DANA PENDIDIKAN DASAR. (Studi Situs SDN Todanan 1) TESIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Majalah PUSARA, Edisi Juli TAMANSISWA DI ERA DESENTRALISASI PENDIDIKAN Oleh : Ki Supriyoko

PERANAN SERTIFIKASI GURU DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN *) Oleh: Dr. S. Eko Putro Widoyoko, M. Pd. **)

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pemerintah menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,

Penyederhanaan Pembagian Urusan Bidang Pendidikan

EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH. ( Studi Situs SD Negeri Bekonang 02 Kecamatan Mojolaban Sukoharjo) TESIS

Surat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta Edisi 17 Juli MISTERI RIBUAN KURSI KOSONG SMTP Oleh : Ki Supriyoko

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan Millenium Development Goals (MDGS), yang semula dicanangkan

BAB I PENDAHULUAN. yang belum sepenuhnya dengan harapan dan ketentuan yang. adalah bukan soal mendirikan atau membentuknya, tetapi bagaimana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Inisiasi 1 Manajemen Berbasis Sekolah

PENDAHULUAN. pendidikan bagus, maka bagus pula kualitas peradaban bangsa tersebut. Salah satu

(Bandung: RosdaKarya, cet. 7, 2002), h Mulyasa, Manajemen Berbasis Madrasah: Konsep, Strategi dan Implementasi

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, propinsi, kabupaten dan kota.

BAB I PENDAHULUAN. mencakup berbagai persoalan yang rumit dan kompleks, baik mencakup

BAB I PENDAHULUAN. hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional.

Pelita V diusahakan untuk berubah ke laju peningkatan pemerataan rendah tapi

BAB I LATAR BELAKANG

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. inovasi yang berdampak pada meningkatnya kinerja sekolah. seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa

Manajemen Berbasis Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. dengan jelas dan singkat pokok permasalahan. dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pengertian, fungsi, dan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan tujuan pembangunan Sumber Daya Manusia. Dalam. pengamatannya, manajemen pendidikan di Indonesia masih belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik

Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd FIAI UII YOGYAKARTA. kegiatan pendidikan di Indonesia menyiratkan tanda-tanda kebangkitan, terutama dari

B A B I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang berlaku

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi pada Negara Kesatuan

Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 9 Januari AKHIRNYA SIPENMARU HARUS TURUN TAHTA Oleh : Ki Supriyoko

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat yaitu 206 juta jiwa merupakan kekayaan hidup yang. eksistensinya berpeluang untuk memimpin dunia.

BUPATI PURWAKARTA BUPATI PURWAKARTA PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 84 TAHUN 2013 TENTANG

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan terhadap masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sejak tahun 1998 merupakan era transisi dengan tumbuhnya

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Oleh karena itu setiap tenaga

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjamin kelangsungan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya kewenangannya dipegang oleh pemerintahan pusat sekarang

BAB I PENDAHULUAN. besar dan kecil mempunyai berbagai keragaman. Keragaman itu menjadi

DAFTAR ISI A. LATAR BELAKANG 27 B. TUJUAN 27 C. RUANG LINGKUP KEGIATAN 27 D. UNSUR YANG TERLIBAT 28 E. REFERENSI 28 F. PENGERTIAN DAN KONSEP 28

BAB I PENDAHULUAN. maupun manajemen informasi. Kompleksitas dan perubahan eksternal

BAB I PENDAHULUAN. dan unsur penunjang lainnya termasuk sumber dana. Potensi - potensi itu dapat

MATERI KULIAH PENGEMBANGAN KURIKULUM MULOK. By: Estuhono, S.Pd, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang

Strategi Pengembangan Sekolah Efektif untuk Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan atau Kurikulum Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi kewenangan ke tingkat sekolah.

Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 10 Juli 1989

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

PENDIDIKAN PROFESI GURU ( PPG ) SEBUAH CATATAN PENINGKATAN KUALITAS GURU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan di Indonesia yang tercantum dalam UU Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pendidikan juga merupakan cara yang efektif sebagai proses nation and

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

ISU-ISU PENDIDIKAN DIY Oleh Dr. Rochmat Wahab, MA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

-2- Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terdiri atas pembinaan dan pengawasan umum serta pembinaan dan pengawasan te

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sekolah, saat ini

I. PENDAHULUAN. Kebijakan Otonomi Daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan dimana-mana

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Menurut Suryadi (2011: 2) warga negara berhak memperoleh pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

Transkripsi:

Tabloid Pelajar PELAJAR INDONESIA, terbit di Bandung, Edisi November 2002 PRAKTEK MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) MENUJU KEMANDIRIAN SEKOLAH Oleh : Ki Supriyoko Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang diterjemahkan dari konsep aslinya, School-Based Management, merupakan terminologi yang sedang populer dan aktual di masyarakat khususnya masyarakat pendidikan. Istilah itu dalam beberapa waktu terakhir ini amat sering diperbincangkan oleh para guru, kepala sekolah, pengawas, eksponen pendidikan, dan bahkan sampai kepada orang tua siswa dan tokoh masyarakat. MBS hampir senantiasa menjadi pembicaraan dalam berbagai pertemuan insan pendidikan, khususnya insan pen-didikan yang bergerak dalam dunia pendidikan formal. Dalam forum seminar, lokakarya, simposium, temu karya, rapat kerja, dan jenis pertemuan lainnya topik MBS hampir tak pernah tidak dibicarakan. Keadaan itu bisa terjadi karena MBS telah menjadi kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, di dalam upaya memajukan pendidikan di Indonesia; khususnya melalui jalur sekolah. Dengan diberlakukannya pendekatan MBS yang sudah teruji di beberapa negara maju diharapkan terjadi kemajuan yang signifikan dalam pelaksanaan pendidikan nasional sehingga akan menghasilkan kinerja yang membanggakan. Secara kebetulan munculnya istilah MBS tersebut bersamaan dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi pendidikan yang merupakan konsekuensi logis dari sistem pemerintahan yang otonomis. Seperti kita ketahui, dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan besar dalam penyelenggaraan pendidikan, karena pendidikan (dan kebudayaan) termasuk bidang pemerintahan yang diotonomikan. Dari situlah kemudian muncul istilah desentralisasi pendidik-an, meskipun sebenarnya istilah tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU. Diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi se-bagai Daerah Otonomi lebih memperjelas kewenangan kabupaten/kota untuk menjalankan pendidikan, dalam hal

2 ini pendidikan dasar dan menengah. Kondisi ini merupakan manifestasi dari konsep desentralisasi pendidikan, di mana keputusan untuk menjalankan pendidikan nasional berada di daerah; tidak lagi serba terpusat di Jakarta. Di berbagai negara seperti Amerika Serikat (AS), Australia dan Jepang, desentralisasi pendidikan sudah dijalankan semenjak lama serta terbukti telah membawa kemajuan yang sangat signifikan terhadap kemajuan bangsa dan negara. Apakah penerapan konsep desentralisasi di Indonesia secara otomatis akan membawa kemajuan bagi bangsa? Secara lebih mikro, apakah penerapan konsep desen-tralisasi pendidikan secara otomatis membawa kemajuan sekolah? Meski di negara-negara lain penerapan konsep desentralisasi pendidikan telah membawa kemajuan bangsa dan negara dalam skala makro serta kemajuan sekolah dalam skala mikro; tetapi penerapan konsep desentralisasi pendidikan di Indonesia tak serta merta akan membawa kemajuan sekolah. Adapun yang lebih membawa kemajuan sekolah adalah sistem yang dijalankan di masing-masing sekolah itu sendiri. Oleh karena itulah bersamaan dengan dijalankannya desentralisasi pendidikan maka dikembangkan konsep MBS sekaligus. Kemandirian Sekolah Di Indonesia sebenarnya MBS bukanlah sesuatu yang baru sama sekali meskipun kebanyakan sekolah atau satuan pendidikan belum menjalankannya secara efektif. MBS sekarang ini dikembangkan sebagai program resmi departemen pendidikan. Pada dasarnya MBS itu merupakan suatu sistem manajemen yang dirancang untuk memandirikan sekolah; di mana pihak sekolah yang dalam hal ini kepala sekolah serta para guru dan insan sekolah yang lainnya, memiliki kewenangan penuh untuk mengambil dan mengembangkan kebijakan dan/atau keputusan di dalam beraktivitas akademis maupun nonakademis. Pihak sekolah memiliki kewenangan penuh untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan akademik dan/atau kegiatankegiatan nonakademik yang diyakini akan dapat memajukan sekolah. Dalam konsep MBS kepala sekolah memiliki kewenangan yang memadai untuk menjalankan manajemen sekolahnya. Seorang kepala sekolah memiliki kewenangan untuk menjalankan kebijakan apa saja yang dianggap berpotensi dalam memajukan sekolah, termasuk men-cari dana dan memilih guru yang tepat bagi anak didiknya. Secara teoretis, dalam konsep MBS maka kewenangan yang dimiliki oleh kepala sekolah bersifat penuh; namun demikian dalam prakteknya kewenangan tersebut seringkali terkurangi banyak oleh kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh pihak pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah setempat. Sebagai con-toh yang konkrit, para kepala sekolah sesungguhnya mempunyai kewenangan penuh untuk memilih dan menerapkan kurikulum yang tepat bagi siswa akan tetapi ternyata pemerintah membuat kebijakan mengenai penyeragaman kurikulum (nasional) yang harus dijalankan oleh sekolah. Dalam kasus seperti ini

3 keharusan untuk menjalankan kurikulum (nasional) secara konkrit telah mengurangi kewenangan kepala sekolah. Dalam konsep MBS, kepala sekolah berperan sebagai seorang manajer. Dengan kewenangan yang dimilikinya seorang manajer bisa melakukan apa saja yang dianggap positif, konstruktif, relevan dan potensial untuk memajukan sekolah yang dimanageri. Sudah barang tentu kewenangan yang dimiliki oleh seorang kepala sekolah meski-pun bersifat penuh bukan berarti tidak terbatas. Ada hal-hal yang membatasi kewenangan kepala sekolah. Di dalam pengembangan konsep MBS di Indonesia maka oleh Tim Teknis MBS yang dibentuk secara bersama oleh Bappenas dan Bank Dunia telah diformulasikan tawaran-tawaran lingkup strategi sesuai dengan kondisi sekolah di Indonesia. Adapun lingkup strate-gi yang ditawarkan oleh tim tersebut adalah sebagai berikut. 1. Kurikulum yang bersifat inklusif. 2. Proses belajar mengajar yang efektif. 3. Lingkungan sekolah yang mendukung. 4. Sumber daya yang berasas pemerataan. 5. Standardisasi dalam hal tertentu, monitoring, evaluasi dan tes. Meskipun sekolah memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum secara penuh akan tetapi dalam tawaran tersebut dibatasi pada kurikulum yang bersifat inklusif yang selama ini lebih dikenal dengan muatan lokal. Tegasnya, kurikulum nasional dikembangkan oleh pemerintah pusat sedangkan kurikulum lokal oleh sekolah. Menyangkut proses belajar mengajar, kepala sekolah memiliki kewenangan yang lebih luas. Sebagai manager, kepala sekolah bisa mengatur guru, mengatur jam belajar, mengatur ruangan, mengatur komposisi siswa, dsb, sepanjang hal itu semua dilaksanakan dalam kerangka mengefektifkan proses belajar mengajar. Dalam kapasitas-nya sebagai manager, kepala sekolah juga dapat melakukan apa saja untuk menciptakan lingkungan, baik fisik maupun sosial, untuk memajukan sekolah. Sementara itu mengenai sumber daya, seperti guru, instruktor, laboran, tenaga administrasi,dsb, kepala sekolah berhak menatanya untuk mencapai efektivitas yang memadai. Mengenai standardisasi dalam hal tertentu, monitoring, eva-luasi dan tes dapat dikerjakan pula oleh kepala sekolah dengan ada kesepakatan terlebih dahulu dengan pusat. Dengan kata lain kepala sekolah diberi kebebasan menjalankan evaluasi misalnya, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah yang sudah dite-tapkan oleh pemerintah pusat. Lingkup strategis yang ditawarkan oleh Tim Teknis Bappenas dan Bank Dunia tersebut memang cukup menarik namun begitu bukan berarti tawaran tersebut sudah sempurna. Tawaran tersebut masih jauh dari kata sempurna; dan salah satu ketidaksempurnaan terletak pada tidak dicantumkannya manajemen di bidang

4 keuangan. Pada hal keuangan atau finansial sekolah merupakan aspek penting yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kemajuan sekolah. Kemajuan suatu sekolah sangat tergantung pada manajemen keuangan sekolah yang bersangkutan. Apabila manajemen sekolah tidak profesional maka kemajuan sekolah akan sulit diperoleh. Sejarah membuktikan banyak sekolah tidak maju dikarenakan tidak memiliki keuangan yang cukup; di sisi yang lain banyak pula sekolah yang tidak maju dikarenakan manajemen keuangannya tidak profesional meski sesungguhnya sekolah tersebut memiliki keuangan yang cukup. Keadaan ini membuktikan demikian besarnya pengaruh manajemen keuangan terhadap kemajuan sekolah. Bagi sekolah-sekolah nonpemerintah alias swasta, MBS bukan merupakan hal baru. Selama ini sekolah swasta sudah melaksanakan MBS; mereka mencari dana operasional sendiri, menseleksi kandidat pamong atau guru, memilih siswa, mengatur jam belajar di sekolah, menata ruangan, serta memprioritaskan kegiatan akademik dan non- akademik yang harus dipilih. Kegiatan seperti ini merupakan tanda atau indikasi telah dijalankannya konsep MBS yang secara langsung mencerminkan kemandirian sekolah. Kendala di Lapangan Sekarang ini konsep MBS masih disosialisasi ke masyarakat, khususnya masyarakat sekolah; meskipun demikian sesungguhnya sebagian sekolah di negara kita, baik SD, SLTP, SMU maupun SMK sudah menjalankan konsep manajemen persekolahan tersebut. Praktek MBS diantaranya ialah penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Praktek MBS, utamanya MPMBS, di sekolah-sekolah ternyata menghadapi kendala kultural yang signifikan; khususnya menyangkut kreativitas dan kemandirian civitas sekolah. Selama ini kepala sekolah (negeri) utamanya di SD dan SLTP, sudah terbiasa bekerja "nunggu dawuh" (instruktif). Mereka pada umumnya melaksanakan sesuatu apabila ada instruksi dari atasan, apalagi menyangkut hal-hal yang fundamental atau agak fundamental. Kebiasaan seperti ini tidak menumbuhkan kreativitas dan kemandirian yang justru sangat diperlukan dalam pengembangan MPMBS. Dengan melihat keadaan seperti tersebut di atas sebenarnya konsep MBS tidak bisa diterapkan secara serta merta pada seluruh sekolah di Indonesia. Di dalam hal ini ada sekolah-sekolah tertentu yang cocok melaksanakan MBS, yaitu sekolahsekolah yang setidak-tidaknya memiliki SDM memadai; di sisi lainnya ada sekolahsekolah yang tidak cocok melaksanakan MBS dikarenakan kondisi kultural SDMnya yang tidak mendukung. Konsep MBS pada dasarnya amat konstruktif untuk memajukan pendidikan di Indonesia, meskipun sesungguhnya hal itu bukan barang baru di Indonesia. Penerapan konsep MBS untuk mencapai hasil yang optimal menghadapi banyak

5 kendala, utamanya menyangkut kendala kultural. Meskipun pada dasarnya konsep MBS sangat konstruktif tetapi tidak selalu cocok untuk keseluruhan sekolah di Indonesia; maksudnya ada sekolah yang cocok akan tetapi ada pula yang tidak cocok untuk menerapkan konsep MBS!!!***** -------------------------------------------------------- BIODATA SINGKAT: * Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. * Pengamat dan peneliti masalah-masalah sosial dan pendidikan