BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan. Tujuan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah-daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

Keuangan Kabupaten Karanganyar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Akuntansi Sektor Publik Pengertian Akuntansi Sektor Publik Bastian (2006:15) Mardiasmo (2009:2) Abdul Halim (2012:3)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pengertian anggaran menurut Mardiasmo (2004:62) menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi diperoleh dari perpajakan sebesar Rp1.235,8 triliun atau 83% dari

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB III KONTRIBUSI PENDAPATAN PAJAK PARKIR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

Transkripsi:

10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus diri sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan. Tujuan otonomi daerah dalam undang undang tersebut adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik yang lebih baik, pemerataan hasil hasil pembangunan, meningkatkan potensi daerah secara optimal, dan tentunya kemandirian keuanagan daerah. Dalam UU ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota didasarkan pada asas desentralisasi yang dilaksanakan secara luas, nyata dan bertanggung jawab. 2.1.2 Anggaran Sektor Publik Menurut Mardiasmo (2009:62) anggaran sektor publik adalah keharusan pemerintah daerah untuk menyusun perencanaan mengenai penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang lazim untuk menyelenggarakan urusan pemerintah. Anggaran publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran sektor publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari 10

11 suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas. Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa anggaran sektor publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan: 1. Beberapa biaya biaya atas rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja) 2. Berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan). Menurut Mardiasmo (2004), anggaran sektor publik dibagai menjadi dua, yaitu: 1. Anggaran Operasional Anggaran yang digunakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan pemerintahan. Pengeluaran yang termasuk anggaran operasional antara lain belanja umum, belanja operasi dan belanja pemeliharaan. 2. Anggaran modal Anggaran yang menunjukkan anggaran jangka panjang dan pembelajaran atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainnya. Belanja modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah, selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan biaya pemeliharaan. 2.1.2.1 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menurut Undangundang Nomor 23 Tahun 2014 adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan pemerintah daerah. Dalam rangka menjalankan proses

12 pemerintahan di daerah mewajibkan pemerintah daerah untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Unsur-unsur APBD sebagai anggaran daerah menurut Halim (2012:38) adalah sebagai berikut: 1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta urainnya secara terperinci. 2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya terkait aktivitas tersebut, dan adanya biaya merupakan batas maksimal pengeluaran yang akan dilaksanakan. 3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. 4. Periode anggaran, biasanya satu tahun. Menurut Halim (2012:38) karakteristik APBD pada era reformasi adalah sebagai berikut: 1. APBD disusun oleh DPRD bersama-sama dengan kepala daerah. 2. Menggunakan line item budgeting atau pendekatan tradisional dalam penyusunan anggaran, yaitu anggaran disusun berdasarkan penerimaan dan pengeluaran. 3. Siklus APBD terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemeriksaan, penyusunan, dan penetapan APBD. Penyusunan dan penetapan APBD merupakan pertanggungjawaban APBD, yaitu diserahkan kepada menteri dalam negeri untuk pemerintahan provinsi dan kepada gubernur untuk pemerintah kabupaten/kota (pertanggungjawaban vertikal) 4. Dalam tahap pengawasan dan pemeriksaan serta penyusunan dan penetapan perhitungan APBD, dilakukan pengawasan pendapatan dan pengeluaran daerah (bersifat keuangan). Pengawasan tersebut tidak memperhitungkan pertanggungjawaban dari aspek lain seperti aspek kinerja.

13 5. Pengawasan terhadap pengeluaran daerah dilakukan berdasarkan ketaatan terhadap tiga unsur utama, yaitu pada peraturan perundangan yang berlaku, unsur kehematan dan efisiensi, dan hasil program (untuk proyek-proyek daerah). 6. Akuntansi keuangan daerah menggunakan sistem stelsel kameral (tata buku anggaran), yaitu penyusunan anggaran dan pembukuan saling berhubungan dan memengaruhi. Pada sistem ini, diperolehnya pendapatan adalah pada saat penerimaan, sedangkan pembiayaan terjadi pada saat penerimaan, sedangkan pembiayaan terjadi pada saat dilakukan pembayaran. Sehingga sistem ini disebut juga tata buku kas. Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Standar Akuntansi Pemerintahan, struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, Transfer, dan Pembiayaan Daerah. 1. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. (UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah), pendapatan daerah berasal dari penerimaan dari dana perimbangan pusat dan daerah, juga yang berasal daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. 2. Belanja daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 3. Transfer adalah penerimaan/pengeluaran uang dari suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk dana perimbangan dan dana bagi hasil, (PP Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 24 Tahun 2005). 4. Pembiayaan daerah menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali,

14 baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, selisih kurang pedapatan daerah terhadap belanja daerah disebut defisit anggaran. Berdasarkan strukturnya, APBD memiliki pos pos penerimaan yaitu: a. Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu penerimaan yang berasal dari sumber sumber pendapatan daerah yang terdiri dari: pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba badan usaha milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain lain pendapatan daerah yang sah. b. Dana perimbangan yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. c. Pinjaman daerah adalah sumber pembiayaan yang diperoleh dari luar, yang dipergunakkan untuk mempercepat pembangunan atau untuk kegiatan investasi. Pinjaman dapat diperoleh dari beberapa sumber antara lain seperti: pinjaman dari pemerintah pusat, pinjaman dari bank atau lembaga non bank. 2.1.2.2 Fungsi Anggaran Sektor Publik Mardiasmo (2009) mengidentifikasi beberapa fungsi anggaran sektor publik adalah sebagai berikut: 1. Anggaran sebagai Alat Perencanaan Anggaran merupakan alat perencanaan yang digunakan untuk merencanakan tindakan apa yang harus dilakukan dan kearah mana kebijakan akan dibuat oleh pemerintah, berapa biaya yang akan dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut. Anggaran sebagai alat perencanaan, dapat digunakan untuk: (1) merumuskan

15 tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan, (2) merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaannya, (3) mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun, (4) menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi. 2. Anggaran sebagai Alat Pengendalian Sebagai alat pengendalian, anggaran digunakan untuk menghindari adanya pengeluaran yang terlalu besar (overspending), terlalu rendah (underspending), salah sasaran (missappropriation), atau adanya penggunaan yang tidak semsetinya (misspending). Pengendalian anggaran publik dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu: (a) membandingkan kinerja aktual dengan kinerja yang dianggarkan, (b) menghitung selisih anggaran (favourable dan unfavourable variances), (c) menemukan penyebab yang dapat dikendalikan (controllable) dan tidak dapat dikendalikan (uncontrollable) atau suatu varians, (d) merevisi standar biaya atau target anggaran untuk tahun berikutnya. 3. Anggaran sebagai Kebijakan Fiskal Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah digunakan untuk menentukan arah atas kebijakan tertentu, digunakan sebagai alat menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, serta digunakan sebagai alat prediksi dan estimasi ekonomi. 4. Anggaran sebagai Alat Politik Pada sektor publik, anggaran merupakan dokumen politik sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik. Anggaran pada sektor publik digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas dan kebutukan keuangan terhadap prioritas tertentu. Pembuatan anggaran publik bukan sekedar masalah teknis, melainkan diperlukan keterampilan berpolitik (political skill), membangun koalisi, keahlian

16 bernegoisasi, dan pemahaman tentang prinsip manajemen keuangan sektor publik yang memadai oleh para manajer publik. 5. Anggaran sebagai Alat Koordinasi dan Komunikasi Anggaran yang komprehensif dapat digunakan sebagai alat koordinasi dan komunikasi antara dan seluruh bagian dalam pemerintahan. Setiap unit kerja pemerintah terlibat dalam penyusunan anggaran. Anggaran publik yang disusun secara baik akan mampu mendeteksi terjadinya inkonsekuensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. 6. Anggaran sebagai Alat Penilaian Kinerja Anggaran dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk menilai pengendalian kinerja. Anggaran merupakan wujud komitmen dari budget holder (eksekutif) kepada pemberi wewenang (legislatif). Kinerja eksekutif dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja manajer publik dinilai berdasarkan berapa hasil yang dicapai dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan. 7. Anggaran sebagai Alat Motivasi Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi manjer dan sifatnya agar bekerja secara ekonimis, efektif, dan efisiensi dalam mencapai target dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Anggaran hendaknya bersifat jangan terlalu tinggi sehingga tidak dapat dipenuhi, namun juga jangan terlalu rendah sehingga terlalu mudah untuk dicapai. 8. Anggaran sebagai Alat untuk Mencapai Ruang Publik Funsi ini hanya berlaku pada organisasi sektor publik, karena pada organisasi swasta anggaran merupakan dokumen rahasia yang tertutup untuk publik. Masyarakat dan elemen masyarakat lainnya nonpemerintah, seperti LSM, Perguruan Tinggi Organisasi Keagamaan, dan Organisasi masyarakat lainnya, harus terlibat dalam proses penganggaran.

17 2.1.2.3 Prinsip-Prinsip Anggaran Sektor Publik Prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi organisasi publik dan/atau pemerintah dalam penyusunannya adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2009: 67-68). 1. Otoritas oleh legislatif Anggaran publik harus mendapatkan otorisasi dari legislatif terlebih dahulu sebelum eksekutif dapat membelanjakan anggaran tersebut. 2. Komprehensif Anggaran harus menunjukkan semua penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu, adanya dana non-budgetair pada dasarnya menyalahi prinsip anggaran yang bersifat komprehensif. 3. Keutuhan Anggaran Semua penerimaan dan belanja pemerintah harus terhimpun dalam dana umum (general fund). 4. Nondiscretionary Appropriation Jumlah yang disetujui oleh dewan legislatif harus termanfaatkan secara ekonomis, efisien, dan efektif. 5. Periodik Anggaran merupakan suatu proses yang periodik, dapat bersifat tahunan maupun multitahunan. 6. Akurat Estimasi anggaran hendaknya tidak memasukkan cadangan yang tersembunyi (hidden reserve) yang dapat dijadikan sebagai kantong-kantong pemborosan dan inefisiensi anggaran serta dapat mengakibatkan munculnya underestimate pendapatan dan overestimate pengeluaran.

18 7. Jelas Anggaran hendaknya sederhana, dapat dipahami masyarakat, dan tidak membingungkan. 8. Diketahui Publik Anggaran harus diinformasikan kepada masyarakat luas. 2.1.3 Belanja Modal Belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset dan kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok Belanja Adiministrasi Umum (Halim, 2004:73). Berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014 Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud. Indikator variabel belanja modal diukur dengan: Belanja Tanah, Belanja Peralatan dan Mesin, Belanja Gedung dan Bangunan, Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan, Belanja Aset Tetap lainnya. 2.1.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah dari sumbersumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Hal ini yang menjadi pendorong utama agar pemerintah

19 lebih optimal dalam menggali sumber kekayaan yang ada di daerah tersebut dengan sebaik-baiknya untuk tujuan peningkatan Pendapatan Asli Daerah untuk melengkapi sarana prasarana pembangunan daerah guna pelayanan publik yang menjadi kewajiban pemerintah. 2. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisai yang bertujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran masing-masing daerah. 3. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan untuk mebantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional pada Daerah tertentu yang mempunyai kebutuhan khusus, seperti mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat berupa pelayananan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur masyarakat dalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional. 4. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Dana Bagi hasil merupakan penerimaan daerah dari hasil pengelolaan kekayaan daerah. Dengan adanya Dana Bagi hasil pemerintah daerah diuntungkan karena dapat mengelola kekayaan daerah dan memberikan penerimaan daerah dan juga pembangunan insfrastruktur. 5. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a mencakup pelampauan penerimaan Pendapatan Asli Daerah, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lainlain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan,

20 dan sisa dana kegiatan lanjutan. Dana Sisa lebih perhitungan anggaran dapat digunakan oleh pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dalam bentuk belanja modal. 2.1.4 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Mardiasmo (2002: 132) pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Penerimaan yang digali di daerah tersebut digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Tujuan dari PAD yakni untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan Desentralisasi. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumbersumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Adapun kelompok PAD yang dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, diantaranya: 1. Pajak Daerah Berdasarkaun UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh

21 orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak tersebut digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah. Jenis-jenis pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Sedangkan yang termasuk pajak daerah untuk provinsi adalah: a. Pajak Kendaraan Bermotor b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d. Pajak Air Permukaan e. Pajak Rokok 2. Retribusi Daerah Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh

22 pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Beberapa kelompok retribusi daerah, yakni: a. Retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. b. Retribusi jasa usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. c. Retribusi perizinan tertentu, adalah retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 3. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/bumd dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta maupun kelompok masyarakat. 4. Lain-lain Pendapatan yang Sah Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan Pendapatan Asli Daerah yang sah, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pendapatan ini juga merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah.

23 Undang-undang nomor 33 tahun 2004 mengklasifikasikan yang termasuk dalam pendapatan asli daerah yang sah meliputi: (1) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; (2) jasa giro; (3) pendapatan bunga; (4) keuntungan adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; (5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan, pengadaaan barang ataupun jasa oleh pemerintah. 2.1.5 Dana Perimbangan Menurut Halim (2004:69), dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah. Dana perimbangan terdiri dari: Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. 2.1.5.1 Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendaptan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DBH merupakan hak daerah atas pengelolaan sumber-sumber penerimaan negara yang dihasilkan dari masing-masing daerah, yang besarnya ditentukan atas daerah penghasil. Berdasarakan UU Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dana bagi hasil untuk PBB Perdesaan dan Perkotaan, dan BPHTB (Bea Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan) tidak ada lagi. Penghasilan pajak yang sebelumnya dipungut pusat menjadi pajak daerah. Penerimaan DBH yang berasal dari pajak adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

24 Sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, perikanan, dan pertambangan panas bumi. 2.1.5.2 Dana Alokasi Umum (DAU) Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014, Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersifat Block Grant yang artinya ketika dana tersebut diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Daerah bebas untuk menggunakan dan mengalokasikan dana ini sesuai prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Menurut data dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2010, DAU merupakan bagian terbesar dari dana perimbangan yaitu sekitar 3,17% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Proporsi dana perimbangan semakin lama semakin menurun dalam anggaran Pemda sejalan dengan peningkatan penerimaan PAD walaupun masih menjadi sumber utama pendapatan daerah. Pada tahun 2007 prosentase dana perimbangan adalah 78% dari total pendapatan daerah, sedangkan pada tahun 2010 turun menjadi 73% (DJPK-Kemenkeu, 2011). Dana Alokasi Umum (DAU) masih tetap menjadi salah satu bagian terbesar anggaran nasional dan juga merupaka sumber utama anggaran Pemerintah Daerah. Pendapatan kabupaten/kota sekitar 80% adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan untuk provinsi sekitar sebesar 30%. 2.1.5.3 Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang berasal dari APBN dan dialokasikan ke daerah kota/kabupaten untuk membiayai kebutuhan tertentu yang sifatnya khusus. Sesuai

25 dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kegiatan khusus yang dimaksud adalah: 1. Kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi atau prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, serta saluran irigasi primer. 2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. 2.1.6 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Menurut Pemendagri Nomor 13 Tahun 2006, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periodeanggaran. SiLPA merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA terbentuk jika terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi Pembiayaan Netto yang positif, dimana penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan (Balitbang NTT, 2008) dalam Mentayani Rusmanto (2013). SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. 2.1 Rerangka Pemikiran PAD adalah Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari Hasil pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan dari laba Perusahaan Daerah dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah. Dana Perimbangan yang terdiri dari komponen Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam, merupakan dana yang

26 bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan dan PAD merupakan sumber dana daerah yang digunakan untuk menyelanggarakan pemerintahan di tingkat daerah. Setiap jenis dana perimbangan memiliki fungsinya masing-masing. Dana Bagi Hasil berperan sebagai penyeimbang fiskal antara pusat dan daerah dari pajak yang dibagihasilkan. DAU berperan sebagai pemerata fiskal antardaerah (fiscal equalization). Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. Dan DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan Urusan Daerah sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam APBN. Pemerintah daerah dapat menggunakan SiLPA tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai belanja atau pengeluaran pada periode berikutnya. Untuk itu Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, SiLPA, memiliki pengaruh terhadap Belanja Modal. Pendapatan Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Bagi Hasil (DBH) Belanja Modal

27 Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal pada Kabupaten/kota di Jawa Timur 2.2 Pengembangan Hipotesis 2.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal Pendapatan asli daerah dapat dilihat dari kemampuan dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik yang baik serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui alokasi belanja modal. Semakin besar pendapatan asli daerah yang diterima, maka semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakan otonomi. Salah satu tujuan utama desentralisasi fiskal adalah terciptanya kemandirian daerah. Pemerintah Daerah diharapkan mampu menggali sumber-sumber keuangan lokal, khususnya melalui PAD (Sidik, 2002). PAD merupakan salah sumber pembelanjaan daerah. Jika PAD meningkat maka dana yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah akan lebih tinggi dan tingkat kemandirian daerah akan meningkat pula, sehingga Pemerintah Daerah akan berinisiatif untuk lebih menggali potensi-potensi daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Tambunan, 2006). Hal ini menunjukkan suatu indikasi yang kuat, bahwa jika PAD suatu daerah meningkat, maka kemampuan daerah untuk melakukan pengeluaran belanja modal juga akan mengalami suatu peningkatan. Berdasarkan paparan tersebut, dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1 (H1): Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap belanja modal.

28 2.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal Daerah-daerah di Indonesia masih menunjukkan ketergantungan yang sangat besar besar terhadap pemerintah pusat. Prakoso (2004) dalam Adi dan Harianto (2007), menyatakan bahwa jumlah belanja modal dipengaruhi oleh dana alokasi umum yang diterima dari Pemerintah Pusat. Adi (2005) mengindikasikan bahwa ada kecenderungan untuk tetap mempertahankan (bahkan meningkatkan) transfer dari pemerintah pusat yang jumlahnya sangat besar, yaitu DAU. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan ini. Dari pemaparan ini dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Hipotesis 2 (H2): Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap belanja modal. 2.2.3 Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal. DAK diberikan dengan tujuan untuk membiayai kegiatan-kegiatan khusus pada daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Eakin et.al (1994), menyatakan bahwa terdapat keterkaitan erat antara transfer dari Pemerintah Pusat dengan belanja pemerintah daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku belanja daerah terutama belanja modal dipengaruhi oleh DAU. Dari paparan diatas, dikembangkan hipotesis penelitian: Hipotesis 3 (H3): Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap belanja modal. 2.2.4 Pengaruh Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Modal Dana bagi hasil yang penerimaannya didasarkan oleh potensi daerah penghasil, memiliki peranan dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Melalui pengaturan dana bagi

29 hasil, daerah diharapkan mampu mengelola keuangannya dan mengalokasikannya untuk belanja-belanja pembangunan daerah secara tepat sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Dana bagi hasil merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah di luar PAD dan DAU, serta dapat menjadi modal dasar pemerintah daerah untuk belanja modal. Puspitarini (2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pengaruh Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Modal. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku belanja daerah terutama belanja modal dipengaruhi oleh DAU. Dari paparan diatas, dikembangkan hipotesis penelitian: Hipotesis 4 (H4): Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif terhadap belanja modal. 2.2.5 Pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran terhadap Belanja Modal. Sumber pendanaan lainnya untuk alokasi belanja modal penyediaan berbagai fasilitas publik adalah penerimaan daerah yang bersumber dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tahun anggaran sebelumnya. Kusnandar & Siswantoro (2012) menunjukkan bahwa terdapatnya hubungan yang positif serta signifikan SiLPA terhadap belanja modal. Sedangkan menurut Ardhini (2011) SiLPA dalam hubungannya dengan belanja Modal menunjukkan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal. Sejalan dengan Ardhini, penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) menunjukkan bahwa terdapatnya hubungan yang positif serta signifikan SiLPA terhadap belanja modal. Kondisi demikian memberikan informasi bahwa SiLPA adalah salah satu sumber pendanaan belanja modal. Dari paparan diatas, dikembangkan hipotesis penelitian: Hipotesis 5 (H5): Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh positif terhadap belanja modal.