Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

dokumen-dokumen yang mirip
1. Pendahuluan.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB III PENUTUP. dilakukanlah penelitian hukum normatif dengan melacak data-data sekunder

BAB IV PENUTUP. 4.1 Kesimpulan. 1. Berkenaan dengan kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat Perjanjian. Internasional:

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

BAB III PENUTUP. Konvensi Chicago Tahun 1944 sebagai berikut :

PENGATURAN TENTANG CABOTAGE DALAM HUKUM UDARA INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA SKRIPSI

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

State Sovereignty over the Airspace Concept and Enforcement Efforts of Sovereignty Violations by Foreign Aircraft

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN APABILA TERJADI KECELAKAAN AKIBAT PILOT MEMAKAI OBAT TERLARANG

BAB III METODE PENELITIAN. hukum empiris. Penelitian hukum normatif akan mengkaji asas-asas, konsepkonsep

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

BAB III METODE PENELITIAN. hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. 1 Adapun pencarian bahan di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

ASPEK HUKUM KESELAMATAN PENERBANGAN PESAWAT UDARA (STUDI KASUS BANDARA INTERNASIONAL KUALA NAMU) JURNAL HUKUM OLEH: NAMA: PUSPITASARI DAMANIK

BAB III PENUTUP. merugikan Indonesiamesti dituangkan dalam bentuk bilateral agreement antara

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

I. PENDAHULUAN. hidup. Selain berfungsi sebagai paru-paru dunia, hutan dianggap rumah bagi

BAB I PENDAHULUAN. memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 1, Tambahan Lem

2017, No Safety Regulations Part 65) Sertifikasi Ahli Perawatan Pesawat Udara (Licensing of Aircraft Maintenance Engineer) Edisi 1 Amandemen

BAB I PENDAHULUAN. penghubung, media rekreasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang ditata dalam sistem

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN DOMESTIK PT. GARUDA INDONESIA TERHADAP PENUMPANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

BAB III METODE PENELITIAN. yang sedang berlaku. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah hukum positif (Ius

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di

2017, No personel ahli perawatan harus memiliki sertifikat kelulusan pelatihan pesawat udara tingkat dasar (basic aircraft training graduation

2 pengenaan sanksi administratif; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL YANG MELINTASI ANTAR NEGARA JURNAL

PENGATURAN PENCEGATAN (INTERCEPTION) PESAWAT UDARA SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. (Skripsi) Oleh: VIZAY GUNTORO

BAB IV PENUTUP. Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari pembahasan yang telah di sampaikan dalam penulisan tesis ini, maka dapat

BAB I PENDAHULUAN. Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah the most broken-up nation in the world, satu negeri,

BAB V PENUTUP. Berdasarkan rumusan masalah diperoleh kesimpulan, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Melalui pesawat udara hubungan antar Negara-negara di dunia semakin mudah. Saat ini

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website :

2017, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor

DAFTAR PUSTAKA. Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2000).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan angkutan udara merupakan salah satu alat transportasi yang cepat dan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

Jurnal RechtsVinding BPHN

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

BAB I PENDAHULUAN. wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

STATUS PULAU BUATAN YANG DIBANGUN DI DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF TERHADAP PENETAPAN LEBAR LAUT TERITORIAL DAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Oleh Gede Irwan Mahardika Ngakan Ketut Dunia Dewa Gede Rudy Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. negara yang diinginkan serta tujuan pembentukan pemerintahan. Negara

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DALAM PERISTIWA PENEMBAKAN PESAWAT UDARA SIPIL DITINJAU DARI ASPEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Medan sekitar pukul Wib saat memasuki udara Indonesia. 1 Diperkirakan

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/Agustus/2013

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

BAB I PENDAHULUAN. yang sama oleh hakim tersebut (audi et alterampartem). Persamaan dihadapan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dan strategis dalam cakupan upaya pencapaian

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

KEDUDUKAN SBKRI (SURAT BUKTI KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA) TERHADAP HAK WNI KETURUNAN TIONGHOA DITINJAU DARI HUKUM HAM INTERNASIONAL

RINGKASAN EKSEKUTIF POLICY BRIEF PERTIMBANGAN YURIDIS PENGELOMPOKAN PERUMUSAN 9 RPP SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG KEANTARIKSAAN DALAM RPP YANG TERPISAH

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara Internasional dan Implementasinya dalam Peraturan Menteri No 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pesawat Udara Tanpa Awak Diruang Udara yang Dilayani Indonesia 1 Mutiara Jida Samsudin, 2 Neni Ruhaeni 1,2 Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 e-mail: 1 mutirajida28@gmail.com Abstrak. Pesawat tanpa awak atau drone merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi penerbangan yang sedang gencar dikembangkan oleh masyarakat dunia tak terkecuali di Indonesia. kegunaannya yang semula hanya dimanfaatkan untuk kepentingan negara sebagai alat penunjang pertahanan militer, sekarang sudah digunakan oleh masyarakat luas untuk dimanfaatkan dalam berbagai kebutuhan. Sebagai penemuan teknologi yang sangat membantu kehidupan modern masa kini, para praktisi hukum udara dituntut untuk segera memberlakukan peraturan yang secara khusus mengatur tentang pengoperasian drone karena pengoperasian drone menimbulkan beberapa masalah hukum yang perlu diantisipasi. Sampai saat ini belum ada instrumen hukum Internasional yang mengatur secara khusus mengenai pengoperasian drone. Konvensi Chicago 1944 hanya mengatur pemanfaatan ruang udara oleh pesawat udara berawak dengan klasifikasi pesawat udara sipil (civil aircraft) dan pesawat udara negara (state aircraft). Walapun Indonesia sudah mempunyai peraturan khusus yang mengatur tentang pengoperasian drone yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan melalui Peraturan Mentri No. 90 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Pesawat Udara Tanpa Awak Di Ruang Udara Yang Dilayani Indonesia, namun belum mengatur aspek tanggung jawab dalam pengoperasian drone. Penelitian ini mengkaji implementasi peraturan menteri perhubungan tersebut berdasarkan hukum udara Internasional khususnya dalam aspek tanggung jawab yang timbul dalam pengoperasian drone. Metode pendekatan yang dilakukan didalam penelitian ini adalah yuridis normatif sedangkan menurut sifatnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah aspek tanggung jawab yang harus diterapkan dalam peraturan drone, dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan aspek tanggung jawab dikaitkan dengan hukum Internasional yang berlaku tentang asas tanggung jawab dan teori-teori hukum lainnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa drone dapat diklasifikasikan sebagai pesawat udara negara (state aircraft) yang tunduk kepada peraturan nasional setiap negara yang mengoperasikan drone. Peraturan Menteri No. 90 Tahun 2015 Tentang Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak menjadi dasar hukum pengguna drone di Indonesia yang merupakan implementasi dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Namun peraturan ini belum mengatur aspek tanggung jawab dalam pengoperasian drone. Kata kunci : Drone (Pesawat Tanpa Awak), tanggung jawab drone. Pesawat Udara Negara (State Aircraft), Aspek A. Pendahuluan Kemajuan teknologi didalam dunia penerbangan meningkat sangat pesat, beragam jenis pesawat baru sudah mulai bermunculan dengan berbagai jenis teknologi baru yang lebih canggih dan modern, contohnya saja dalam perkembangan pesawat tanpa awak atau sering disebut dengan drone yang baru-baru ini sedang banyak diminati dan dikembangkan oleh pecinta teknologi di dunia. Sebagai negara yang mengikuti perkembangan teknologi, Indonesia juga turut serta untuk memanfaatkan drone untuk kepentingan yang beragam. Seiring dengan maraknya penggunaan drone di Indonesia membuat Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengeluarkan peraturan tentang penggunaan drone di Indonesia. Peraturan tersebut tertulis dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak, yang disahkan pada 12 Mei 415

416 Mutiara Jida Samsudin, et al. 2015 (selanjutnya disebut Permenhub 90/15). Permenhub 90/2015 mendefinisikan drone sebagai sebuah mesin terbang yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh penerbang (pilot) atau mampu mengendalikan dirinya sendiri dengan menggunakan hukum aerodinamika. Pengertian ini sejalan dengan beberapa definisi yang dikemukakan dalam peraturan nasional tentang pengoperasian Drone di beberapa Negara dan sejalan juga dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum udara. Pengoperasian drone berdasarkan hukum udara internasional pengaturannya dapat diserahkan kepada regulasi nasional negara-negara apabila drone diklasifikasikan sebagai State Aircraft. Namun bagaimana apabila pengoperasian drone menimbulkan kerugian terhadap negara lain atau mengganggu kedaulatan wilayah negara lain, padahal hukum udara internasional belum mengatur secara spesifik mengenai hal ini. Indonesia sebagai negara yang berdaulat juga bertanggung jawab untuk menjaga kedaulatan negaranya dan harus bertanggung jawab apabila perbuatannya dapat merugikan negara lain. Aspek tanggung jawab dalam pengoperasian drone oleh karena itu menjadi aspek yang sangat penting untuk dikaji. Permenhub 90/15 yang sudah dikeluarkan oleh Mentri perhubungan hanya menetapkan ketentuan-ketentuan pengoprasian drone di tingkat nasional atau domestik Indonesia. Apabila dilihat lebih lanjut tentang peraturan tersebut, maka ada beberapa aspek yang belum dijabarkan secara jelas merajuk pada Hukum Internasional mengenai hukum udara dan penerbangan yang tertuang dalam Konvensi Chicago 1944, terutama aspek tanggung jawab. Ketiadaan aspek tanggung jawab dalam instrumen hukum tentang drone di Indonesia (Permenhub 90/15) tentu menjadi tanda tanya besar dan menjadi perbicangan yang cukup hangat dikalangan para praktisi hukum udara nasional dan juga sebagian daripada pengguna drone itu sendiri. Mengingat betapa pentingnya suatu negara untuk bertanggung jawab atas kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi dalam proses penggunaan drone. Apalagi jika kerugian itu dirasakan oleh negara lain, apakah negara akan lepas tangan begitu saja mengenai permasalahan ini dan pertanggung jawaban individual lah yang akan dituntut pada akhirnya Target khusus dari penelitian ini adalah disempurnakannya peraturan perundangan nasional tentang pengoperasian drone di Indonesia. Secara umum tujuan penelitian ini adalah: 1. Ditemukannya aspek tanggung jawab yang timbul dari pengoperasian drone ditinjau dari hukum udara internasional 2. Ditemukannya implementasi pengaturan aspek tanggung jawab yang timbul dari pengoperasian drone berdasarkan hukum udara internasional di dalam Peraturan Menteri No. 90 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Pesawat Udara Tanpa Awak Di Ruang Udara Yang Dilayani Indonesia. B. Landasan Teori Dalam hukum udara, peraturan mengenai ruang udara tunduk pada prinsip kedaulatan yang utuh dan penuh bagi suatu negara yang berada di bawahnya (negara kolong). Hal itu diakui oleh Pasal 1 Convention on International Civil Aviation yang ditetapkan pada 7 Desember 1944 (selanjutnya disebut Konvensi Chicago 1944) yang menyatakan : The Contracting State recognize that every state has complete and exclusive sovereignty in the airspace above its territory. Merujuk kepada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, pengakuan kedaulatan di udara tidak terbatas pada negara Volume 2, No.1, Tahun 2016

Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara... 417 anggota konvensi saja, melainkan juga berlaku terhadap bukan negara peserta konvensi Chicago 1944. Drone dalam pengoprasiannya memerlukan penggunakan ruang udara. Hal ini mendorong para pengguna drone untuk mematuhi protokol-protokol peraturan yang berlaku di dalam ruang udara Indonesia yang tercantum dalam Undang Undang No 1 Tahun 2009 (selanjutnya disebut Undang-Undang Penerbangan). Kedaulatan atas wilayah udara dalam Undang-Undang Penerbangan diatur dalam Bab IV dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9. Berdasarkan Pasal 5 Undang- Undang Penerbangan: Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Merujuk kepada Penjelasan dari undang-undang tersebut (Penjelasan atas Pasal 5 Undang-Undang tentang Penerbangan) sebagai negara berdaulat maka Negara Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif di wilayah udara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944. Selanjutnya dijelaskan bahwa ketentuan dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia, sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan perundang-undangan di bidang pertahanan negara. Oleh karena itu, diperlukan penguasaan dan pengembangan teknologi agar Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat menguasai wilayah udaranya setinggi mungkin untuk kepentingan masyarakat seluas-luasnya dan secara khusus untuk kepentingan penerbangan. Dalam pengoperasian drone ini, aspek-aspek hukum yag terkait harus selalu diperhatikan, antara lain dalam ketentuan Undang-Undang Penerbangan dan dalam ketentuan Permenhub 90/15. Selain itu dalam ketentuan Konvensi Chicago 1949 juga harus selalu dipatuhi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang tercantum didalamnya seperti prinsip tanggung jawab, pendaftaran pesawat dan kebangsaan pesawat. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Konvensi Chicago 1944 sebagai bahan hukum primer yang menjadi acuan dalam penelitian ini, tidak mengatur secara khusus pengoperasian Drone. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, Konvensi Chicago 1944 hanya menetapkan klasifikasi pesawat udara menjadi pesawat udara sipil (civil aircraft) dan pesawat udara negara (state aircraft) dan konvensi hanya mengatur pemanfaatan ruang udara oleh pesawat udara sipil. State aircraft tunduk kepada peraturan perundangan nasional masing-masing negara peserta konvensi dengan ketentuan peraturan nasional tentang pengoperasian pesawat udara negara yang dibuat harus memperhatikan keselamatan civil aircraft. Konsekuensinya, semua negara peserta harus membuat peraturan perundangan yang mengkoordinasikan operasional civil aircraft dan state aircraft untuk menjamin keselamatan penerbangan. Drone sudah diklasifikasikan termasuk kedalam pesawat udara negara atau State Aircrft yang pada pengaturannya akan tunduk kepada peraturan nasional dimana drone itu berlangsung. Dalam pengoperasian drone di Indonesia, sudah ada beberapa peraturan yang mengatur tentang pengoperasian drone. Selain dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (selanjutnya disebut Undang-Undang Penerbangan) pengaturan drone juga sudah diatur khusus dalam Peraturan Menteri Ilmu Hukum, Gelombang 1, Tahun Akademik 2015-2016

418 Mutiara Jida Samsudin, et al. Nomor 90 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Pesawat Udara Tanpa Awak Di Ruang Udara Yang Dilayani Indonesia (selanjutnya disebut Permenhub 90/15) yang baru disahkan tanggal 12 Mei 2015 oleh Menteri Perhubungan. Secara umum Peraturan Menteri tersebut antara lain mengatur mengenai persyaratan, batasan, dan perizinan bagi pengoperasian pesawat tanpa awak. Pengesahan Permenhub 90/2015 merupakan pelaksanaan dari amanat Undang-Undang Penerbangan. Apabila di analisis lebih dalam, substansi ketentuan Permenhub 90/2015 diatas hanya mengimplementasikan ketentuan pengoperasian Pilotless Aircraft yang diatur oleh Pasal 8 Konvensi Chicago 1944 dan terkait dengan satu aspek hukum saja dari pengoperasian Drone, yaitu aspek kedaulatan negara di ruang udara. Aspek hukum lainnya yang seharusnya ikut diatur dan diimplementasikan dalam peraturan pengoperasian drone diantaranya adalah aspek tanggung jawab. Sebagai peraturan turunan yang khusus mengatur tentang pengoperasian drone, idealnya substansi peraturan Permenhub 90/15 juga meliputi aspek tanggung jawab yang sudah tercantum dalam Undang-Undang penerbangan yang dijelaskan diatas. Karena aspek tanggung jawab ini merupakan aspek yang sangat penting karena menjadi suatu landasan akan aspek aspek hukum lain misalnya sistem keamanan dan keselamatan dalam pengoperasian Drone. Selain itu, pengklasifikasian Drone sebagai civil aircraft atau state aircraft seharusnya juga diatur sebagai substansi yang diatur dalam Permenhub 90/2015. D. Kesimpulan 1. Aspek tanggung jawab dalam hukum internasional Konvensi Chicago 1944. Dalam konvensi ini, aspek tanggung jawab diatur berdasarkan dengan klasifikasi pesawat udara yakni pesawat udara sipil (Civil Aircraft) dan pesawat udara negara (State Aircraft). Drone diklasifikasikan sebagai pesawat udara negara (State Aircraft) karena penggunaan terbesarnya didalam dunia militer sebagaimana diatur dalam pasal 3 Konvensi Chicago 1944. Oleh karena itu, sebagai pesawat udara negara peraturan pengoperasian drone tidak termasuk dalam lingkup pengaturan Konvensi Chicago namun tunduk pada peraturan perundangan nasional masing-masing negara. 2. Dalam peraturan Indonesia tentang pengoperasian drone sudah tergambar dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Nomor 90 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Pesawat Udara Tanpa Awak Di Ruang Udara Yang Dilayani Indonesia. Dalam Implementasinya, Undang-Undang tentang Penerbangan secara umum telah mengatur beberapa aspek hukum yang terkait dengan pengoperasian Drone di Indonesia, yaitu aspek kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, aspek pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, dan aspek keamanan dan keselamatan penerbangan yang meliputi aspek kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara serta aspek tanggung jawab. Namun demikian, secara teknis aspek-aspek hukum tersebut belum dijabarkan seluruhnya dalam suatu peraturan perundangan yang menjadi turunan dari Undang-Undang tentang Penerbangan yakni dalam Peraturan Menteri Nomor 90 Tahun 2015 khususnya tentang aspek tanggung jawab. Volume 2, No.1, Tahun 2016

Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara... 419 Daftar Pustaka Buku Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2010. David J. Harris, Cases and Materials on International Law, Sweet And Maxwell, London, 1982. Diederiks Verschoor, An Introduction to Air Law, Kluwer Law International, 2001. E. Saefullah Wiradipradja, Pengantar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, P.T Alumni, Bandung, 2014. Frans Likada, Masalah Lintas Di Ruang Udara, Bina Cipta, Bandung, 1987. Hans Kelsen, Principles of International Law, Rinehart And Co, New York, 1956. Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, P.T, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 James Crawford, The International Law Commissions Articles on State Responsibility: Introduction Text and Commentaries, Cambridge University Press, United Kingdom, 2002. K. Martono, Hukum Penerbangan Berdasarkan UURI No. 1 Tahun 2009, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009. Malcom N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, United Kingdom, 1977. ----------, International Law, Butterworths Edisi 2, Cambridge University Press, United Kingdom, 1986. Mieke Komar, Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remadja Karya, Bandung, 1984. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Belajar, Yogyakarta. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara dan Ruang Udara, Fikahati bekerjasama dengan Badan Arbirasi Nasional Indonesia, Jakarta, 2003. ----------, Mata Rantai Pembangunan Ilmu Teknologi dan Hukum Kedirgantaraan Nasional Indonesia, Fikahati Aneska, 2011. Sharon Williams, Public International Governing Trans-Boundary Pollution, L.J, University of Queensland, 1984. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1998. Suryo Sakti Hadiwijoyo, Pembatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Giana Ilmu, Yogyakarta, 2011. Peraturan Perundang-Undangan Convention on International Civil Aviation, 7 December 1944. Charter of the United Nations. 1996 ILC Draft Articles on State Responsibility. The International Law Commission s Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, Report of the 53rd Session, I.L.C. (2001) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Ilmu Hukum, Gelombang 1, Tahun Akademik 2015-2016

420 Mutiara Jida Samsudin, et al. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak. Volume 2, No.1, Tahun 2016