TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap. Kawasan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan yang diikuti dengan penerapan teknologi yang tinggi dan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini.

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

Iklim Perubahan iklim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

I. PENDAHULUAN. terdiri dari sekumpulan vegetasi berkayu yang didominasi oleh pepohonan. Hutan

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

I. PENDAHULUAN. pemanasan global antara lain naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi.

BAB VII PERKIRAAN EMISI. Pemerintah Kabupaten Donggala A. GAS RUMAH KACA B. KEGIATAN MANUSIA DAN JENIS GRK. Badan Lingkungan Hidup Daerah

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

FENOMENA GAS RUMAH KACA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi DAS Kali Bekasi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Indonesia Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. Penetapan kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional, nasional, serta penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global (Departemen Kehutanan, 2011). Menurut UU RI No. 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Pengertian hutan dapat ditinjau dari beberapa faktor antara lain: wujud biofisik lahan dan tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional pengelolaan atau kegiatan tertentu lainnya, dan status hukum lahan hutan (Departemen Kehutanan, 2007). Hutan bukan hanya kumpulan pohon-pohon yang dieksploitasi hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan, dan alam lingkungannya. Semuanya itu mempunyai keterkaitan yang saling bergantung satu sama lain. Selain saling bergantung, di dalam

hutan juga terjadi persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari, ataupun tempat tumbuh (Arief, 2001). Hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki ciri-ciri yaitu iklim yang selalu basah, tanah podsol, latosol, aluvial, dan regosol, drainase tanah baik, serta terletak jauh dari pantai. Tegakannya didominasi oleh pohon-pohon yang selalu hijau dan tidak menggugurkan daun. Hutan hujan tropis juga memiliki berbagai jenis kayu penting yang berasal dari suku dipterocarpaceae seperti Shorea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops, serta genus-genus lain seperti Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Kompassia, dan Octomeles. (Suhendang (2002). Menurut Kementerian Kehutanan (2011), Indonesia mengalami perubahan penutupan hutan dan lahan yang cukup cepat. Perubahan ini terutama terjadi setelah adanya perubahan iklim politik di Indonesia sejak tahun 1999. Aktivitas pemantauan penutupan lahan secara nasional dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Pemantauan penutupan lahan menggunakan Citra Landsat 7 ETM+ dengan resolusi spasial 30 meter (citra resolusi sedang) sehingga dianggap cocok untuk melakukan pemantauan sumber daya hutan pada skala nasional. Dengan resolusi spasial 30 meter cukup memudahkan penafsir dalam mengidentifikasi obyek-obyek yang ada diatas citra. Sementara itu citra resolusi sedang umumnya mampu untuk menjangkau wilayah yang relative luas karena cakupan sapuan citra satelitnya yang cukup luas (185 km). 2. Pemetaan penutupan lahan dengan citra Landsat 7 ETM+ ini hanya bisa dilakukan setiap tiga tahunan mengingat sulitnya untuk mendapatkan citra satelit yang bebas awan.

3. Penggunaan citra resolusi tinggi seperti Quickbird atau Ikonos akan memberikan informasi yang lebih detil namun biasanya hanya dapat menjangkau wilayah yang relative sempit. 4. Pemetaan penutupan lahan menggunakan sistem klasifikasi 23 kelas penutupan lahan. Penafsiran citra dilakukan dengan metode penafsiran visual dengan mendelineasi kelas penutupan lahan dengan kunci interpretasi. Karbon Hutan Cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara 7,5 264,70 ton C/ha. Secara umum pada hutan lahan kering primer mampu menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan lahan kering sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap kemampuannya menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar daripada hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat menyimpan karbon (Hairiah et al.,2001). Cadangan karbon untuk berbagai jenis pohon dan umur di hutan tanaman. Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan karbon lebih rendah dibandingkan hutan alam. Pada hutan tanaman didominasi oleh tanaman yang cenderung

monokultur dan tanaman berumur muda. Apabila dilihat dari produktivitasnya menyimpan karbon (persatuan luas dan per satuan waktu) maka ada kemungkinan hutan tanaman akan memiliki kemampuan menyimpan karbon pada tegakannya dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan di hutan alam karena daurnya lebih pendek (Hairiah et al.,2001). Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan karbon lebih rendah dibandingkan hutan alam. Pada hutan tanaman didominasi oleh tanaman yang cenderung monokultur dan tanaman berumur muda. Apabila dilihat dari produktivitasnya menyimpan karbon (persatuan luas dan per satuan waktu) maka ada kemungkinan hutan tanaman akan memiliki kemampuan menyimpan karbon pada tegakannya dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan di hutan alam karena daurnya lebih pendek (Hairiah et al.,2001). Cadangan karbon pada kawasan non hutan pada berbagai jenis tanaman dan umur berkisar antara 0,7 932,96 ton/ha. Kemampuan penyimpan karbon dapat juga terjadi diluar kawasan hutan pada beberapa pemanfaatan lahan yang terdapat berbagai tumbuhan. Savana atau padang rumput dan semak belukar memiliki keterbatasan dalam menyimpan karbon, sementara untuk hutan kota dan ruang terbuka hijau yang didominasi oleh tumbuhan berupa pepohonan kemampuan menyimpan karbonnya lebih tinggi bahkan hampir sama dengan kawasan hutan lahan kering primer. Lahan yang kelola masyarakat dalam bentuk agroforestri yang di dalamnya terdapat pepohonan juga potensial dalam menyimpan karbon (Hairiah et al.,2001). Jumlah karbon yang tersimpan dalam hutan di seluruh dunia mencapai 830 milyar ton. Jumlah ini sama dengan kandungan karbon dalam atmosfir yang terikat

dalam CO 2. Secara kasar, sekitar 40% atau 330 milyar ton karbon tersimpan dalam bagian pohon dan bagian tumbuhan hutan lainnya di atas permukaan tanah, sedangkan sisanya sekitar 60% atau 500 milyar ton tersimpan dalam tanah hutan dan akar-akar tumbuhan di dalam tanah (Suhendang, 2002). Panjang jangka penyimpanan karbon di dalam hutan akan sangat tergantung pada pengelolaan hutannya sendiri termasuk cara mengatasi gangguan yang mungkin terjadi. potensi penyerapan karbon ekosistem dunia tergantung pada tipe dan kondisi ekosistemnya yaitu komposisi jenis, struktur dan sebaran umur (khusus untuk hutan) (Hairiah dkk, 2001). Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga. Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer (Rusmantoro, 2003). Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Siklus karbon global melibatkan transfer karbon dari berbagai reservoir. Jika dibandingkan dengan sumber karbon yang tidak reaktif, biosfer mengandung karbon yang lebih sedikit, namun demikian siklus yang terjadi sangat dinamik di alam (Vlek, 1997).

Tabel 1. Karbon di dalam berbagai reservoir dari siklus global Lokasi Satuan C (ton x 10 10 ) Udara CO 2 -atmosfer 70 Darat Biomassa 59 Bahan organik tanah 85 Produksi bersih/tahun 6.3 Pelepasan dari fosil 0.5 Laut Biomassa 0.3 C-organik terlarut 100 C-anorganik (HCO 3 ) 3.500 Produksi bersih/tahun 45 Sedimen C-anorganik (HCO 3 ) 2.000.000 Batu bara dan minyak 1.000 Sumber: IPPC The International Panel on Panel Climate Change (2000) Sejumlah besar kalsium karbonat dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu telah terlarut dan tercuci dari permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang sama telah terpresipitasi dari air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal (residence time) karbon di dalam atmosfer dalam pertukarannya dengan hidrosfer berkisar antara 5 10 tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman dan binatang sekitar 300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan dengan residence time untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon dalam sedimen dan bahan bakar fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997). Hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan dem ikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan

sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer (Widjaja, 2002). Pemanasan Global Pemanasan global adalah salah satu isu lingkungan penting yang saat ini menjadi perhatian berbagai pihak. Akibat pemanasan global, terjadi peningkatan temperatur rata-rata laut dan daratan bumi yang disebabkan oleh kegiatan industri dan semakin berkurangnya penutupan lahan khususnya hutan akibat laju deforestasi akhir-akhir ini. Menurut Departemen Kehutanan (2007), penyebab dari pemanasan global adalah efek gas rumah kaca yaitu energi yang diterima dari sinar matahari yang diserap sebagai radiasi gelombang pendek dan dikembalikan keangkasa sebagai radiasi inframerah gelombang panjang. Gas-gas rumah kaca menyerap radiasi inframerah dan terperangkap di atmosfer dalam bentuk energi panas. Peristiwa ini dikenal dengan efek rumah kaca dimana panas yang masuk akan terperangkap di dalamnya dan tidak dapat menembus ke luar sehingga dapat membuat kondisi umum menjadi lebih panas. Sugiharto (2007) menyatakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah pemanasan global, salah satunya dengan meningkatkan kemampuan hutan yang luasannya semakin menurun sehingga tetap mampu mempertahankan fungsi ekologi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan. Pada protokol Kyoto dikenal dengan adanya mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM), dimana negara-negara industri dan negara

penghasil polutan diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga terjadi penyerapan dan penyimpanan sejumlah besar karbon. Dengan potensi hutan yang masih luas yang dimiliki Indonesia, tentu halini menjadi peluang emas bagi negara kita untuk memperoleh manfaat besar dari keberadaan hutannya dengan memperoleh insentif dari perdagangan karbonyang dapat dialokasikan untuk proyek atau program lingkungan seperti rehabilitasi dan konversi. Siklus karbon pada ekosistem hutan menyangkut proses penyerapan dan emisi karbon ke atmosfer. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor atau kondisi yaitu : 1) Kondisi vegetasi yang meliputi jenis atau tipe vegetasi atau hutan; 2) Kondisi tempat tumbuh dan lingkungan yang meliputi faktor edafis, klimatis dan faktor hayati lainnya; 3) Kondisi pengelolaan yang meliputi pengaturan ruang (tata ruang), penentuan peruntukan/penggunaanlahan dan hutan; 4) Kondisi gangguan seperti perubahan lingkungan, kemarau, ledakan gangguan hama dan penyakit, gangguan perbuatan manusia seperti pembakaran, eksploitasi tidak terkelola dengan baik dan lain-lain (Melillo et al., 1993 dalam Zak et al., 2000). Siklus Karbon merupakan proses penyerapan dan emisi karbon, yang hasil akhirnya adalah akumulasi atau stok karbon di tegakan atau hutan. Neraca Karbon akan menggambarkan perubahan stok karbon dari waktu ke waktu di dalam ekosistem hutan tersebut di dalam suatu ruang. Ada beberapa konsep umum yang mengukur hasil yang terjadi pada siklus karbon ini yaitu: 1) Produksi Primer Bruto (Gross Primary Production) yang merupakan penyerapan karbon dari atmosfer melalui proses fotosintesis dengan bantuan energi matahari dan klorofil pada

vegetasi; 2) Produksi Primer Neto (Net Primary Production) merupakan gambaran jumlah energi yang difiksasi menjadi bahan kimia (karbon) oleh vegetasi dikurangi oleh energi respirasi oleh vegetasi (autotrophic) berupa pelepasan karbon dioksida ke atmosfer; dan Produksi Ekosistem Neto (Net Ecosystem Production), merupakan gambaran metabolisme ekosistem total yaitu pembentukan bahan organik (karbon) neto di suatu ekosistem (Hairiah et al.,2001). Neraca Karbon dapat sebagai salah satu cermin kualitas tata kelola ekosistem hutan. Faktor penting yang terkait mempengaruhi neraca karbon antara lain: 1) Faktor yang mempengaruhi siklus karbon (fotosintesis, respirasi dan dekomposisi); 2) Faktor prasyarat berupa kepastian ruang kelola, kepastian bentuk penggunaan/pengelolaan, kepastian hak pengelolaan, yang dijamin secara legal; dan Faktor harmonisasi kepentingan para pihak di dalam pengelolaan ekosistem hutan, untuk pencapaian tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan(brown et al.,1995). Arboretum Arboretum berasal dari bahasa latin arboreta (pohon) dan rium (tempat), dengan demikian arboretum merupakan tempat atau wilayah untuk menanam pohon. Arboretum adalah tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan. Secara umum arboretum memiliki kegunaan sebagai tempat mengkoleksi berbagai jenis pohon. Arboretum sangat layak untuk dijadikan objek wisata edukatif karena selain memiliki nilai estetika dan keindahan, di dalamnya terdapat beraneka ragam jenis flora maupun fauna untuk dijadikan objek penelitian. Di perkotaan, arboretum dapat dijadikan sebagai solusi pemenuhan ruang

terbuka hijau, konservasi keanekaragaman hayati, mitigasi perubahan iklim, serta daerah resapan air (Hairiah, et al., 2007). Arboretum telah terdapat di beberapa kota di Indonesia antara lain, Arboretum Nyaru Menteng-Bukit Batu (Palangkaraya), Arboretum Bogor, Arboretum Bangko (Jambi), dll. Namun tidak sedikit kota besar maupun kota kecil yang belum memenuhi luas RTH dan belum memiliki arboretum. Bahkan saat ini justru pembangunan diarahkan untuk kemajuan sektor industri dan perekonomian. Padahal, jika ingin menambah sektor perekonomian tanpa mengurangi nilai natural suatu kota, misalnya dengan mengembangkan suatu arboretum sebagai pusat pendidikan dan penelitian di ibu kota. Di beberapa kampus di Indonesia kini juga telah memiliki arboretum sebagai tempat pendidikan, penelitian dan konservasi misalnya, Arboretum Kehutanan UGM, Arboretum UNPAD, Arboretum Kehutanan IPB, Arboretum Sumber Brantas (Batu), dll (Hairiah, et al., 2007). Menurut Hairiah (2007), arboretum memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah sebagai berikut: Tempat pembelajaran mengenai lingkungan dan keanekaan hayati untuk berbagai jenjang pendidikan dan umum. laboratorium lapangan, arboretum merupakan sumber daya plasma nutfah (bank genetik) yang menyimpan berbagai koleksi jenis tanaman langka khususnya dari daerah jawa barat, tanaman obat-obatan, tanaman pohon produksi dan kolam percobaan, berbagai jenis hewan liar. Melindungi mata air yang ada di sekitar kawasan arboretum

Melestarikan model ekologi pedesaan seperti pekarangan tradisional, rumah baduy, kolam, sawah, kebun dan lain-lain. Tempat wisata pendidikan dan rekreasi. Menurut Gultom (2012) dan Tambunan (2012), terdapat 22 jenis pohon di Arboretum USU yang terdiri dari pohon kehutanan dan pohon buah-buahan. 5 jenis pohon kehutanan yang paling banyak ditemukan adalah Pulai (Alstonia scholaris) yang berjumlah 384 pohon, Mindi (Melia azedarach) berjumlah 265 pohon, Gmelina (Gmelina Arborea) berjumlah 236 pohon, Jati (Tectona Grandis) berjumlah 127 pohon dan Mahoni (Swietenia mahagoni) berjumlah 75 pohon. Penanaman jenis yang tepat pada lahan yang sesuai merupakan cara yang tepat dalam pengembangan Arboretum. Arboretum USU seluas 64, 813 Ha dibangun di lahan Kampus USU Kuala Bekala. Arboretum USU yang disahkan pada tahun 2006 masih tergolong baru dan akan digunakan sebagai tempat dimana jenis-jenis pohon dan tanaman ditanam dan dipelihara untuk menjadi koleksi.