BAB I PENDAHULUAN. Competitiveness Report Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya,

dokumen-dokumen yang mirip
Kata Kunci: PAD, Belanja Modal, DAU, IPM

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Secara ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. dimana satu orang atau lebih (principal) terlibat dengan orang lain (agent) untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai a process

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara teoritis ada

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. (a process of enlarging the choice of people). Indeks Pembangunan Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. maka daerah akan lebih paham dan lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum bagi yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporan tahunan The Global Competitiveness Report 2012 2013.Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya, laporan tahunan ini menyajikan data yang komprehensif mengenai Indeks daya saing global beserta unsur-unsur pembentuknya. Peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness Report 2012-2013 mengalami penurunan, dari peringkat 46 di tahun 2011/2012 turun ke peringkat 50 di tahun 2012/2013.Kondisi ini bukan saja memprihatinkan tetapi sudah merupakan ancaman serius terutama jika dikaitkan dengan diberlakunnya era perdagangan bebas ASEAN 2015. Turun dan/atau rendahnya daya saing nasional merupakan cerminan dari kondisi daya saing daerah, dan sudah tentu pemerintah daerah/pemda yang berperan penting juga harus ikut bertanggungjawab membenahinya. Seperti yang ditekankan oleh Ketua DPD RI, Irman Gusman (2012), yang menekankan bahwa pemda memiliki peranan penting dalam mengembangkan daya saing daerah agar mampu meningkatkan daya saing nasional. Kinerja daya saing daerah yang kurang baik ini menjadi preseden buruk bagi efektivitas kebijakan desentralisasi fiskal sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional melalui penguatan otonomi daerah. Seperti kritik yang sampaikan oleh Sudarsono Hardjosoekarto (2012), bahwa sampai dengan menjelang sewindu implementasi UU 32 tahun 2004, masih sangat sedikit pihak yang menyadari

pentingnya implementasi Pasal 2 ayat 3 UU 32 tahun 2004 yang menegaskan bahwa tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan umum, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan daya saing daerah. Penerapan desentralisasi fiskal memberikan konsekuensi-konsekuensi, yaitu di setiap daerah dituntut untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah, namun tidak semua daerah mampu membiayai pengeluaran pemerintah daerah menggunakan pendapatan asli daerah (PAD), dikarenakan kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan (Darwanto dan Yustikasari, 2006). Hal tersebut mengakibatkan tidak meratanya pembangunan di setiap daerah. Dalam rangka mengatasi adanya ketimpangan infrastruktur fiskal yang terdapat di setiap daerah, Pemerintah Pusat memberikan insentif fiskal dalam bentuk kebijakan fiskal daerah.dana perimbangan yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) yang pengalokasiannnya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintah (UU No. 32 Tahun 2004). Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah. Daerah yang mempunyai potensi

pajak dan sumber daya alam (SDA) yang besar hanya terbatas pada daerah tertentu saja (Sugiarthi, 2013). PAD dan bantuan pemerintah pusat diharapkan dapat dikelola secara bijak dan dialokasikan secara efektif, agar terciptanya kesejahteraan masyarakat. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan (Permendagri Nomor 13 Tahun 2006). Ketidak efektifan desentralisasi fiskal di Indonesia merupakan isu cukup sentral. Khusaini (2006) memetakan kelemahan infrastruktur desentralisasi fiskal yang masih perlu mendapat perhatian serius, yaitu 1) Pengalokasian APBD di Indonesia pada era desentralisasi fiskal yang masih jauh dari aspek transparansi, 2) Hasil survei GDS (governance decentralization survey) pada tahun 2002 menjelaskan bahwa adanya isu korupsi (KKN) dan berbagai pungutan liar di era desentralisasi semakin besar dan terbanyak justru melibatkan para elit eksekutif di daerah (tertinggi bupati/walikota, disusul oleh Bappeda, dan DPRD), 3) Hasil survei tersebut juga mencatat bahwa hanya 40% masyarakat mempesepsikan pelayanan pendidikan dan kesehatan lebih baik di era desentralisasi, 50% mempersepsikan sama saja, dan 15% sisanya ternyata mempersepsikan lebih jelek, 4) Adanya pengadaan mobil dinas dan pembangunan fasilitas umum (misalnya: terminal, dan pasar) yang tidak terlalu

mendesak dan atau pemanfaatannya tidak optimum dan tidak memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal memberikan kewenangan fiskal yang lebih besar kepada daerah dan pemerintah juga memberikan stimulus transfer dana perimbangan guna menutupi ketimpangan infrastruktur fiskal daerah. Kinerja kapasitas fiskal daerah menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.07/2008 adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan tersebut maka komponen kapasitas fiskal adalah: PAD, DAU, DBH. Sementara, Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah pasal 28 ayat 4 menyebutkan Kinerja kapasitas fiskal daerah merupakan pendanaan yang berasal dari PAD dan DBH. Seiring dengan kebijakan desentralisasi fiskal ini maka kinerja kapasitas fiskal daerah pun meningkat. Namun, efektivitas peningkatannya nampak belum sejalan dengan tujuan kebijakan desentralisasi fiskal, setidaknya, dapat dilihat dari kondisi daya saing daerah. Oleh karenanya studi tentang dampak kinerja kapasitas fiskal daerah terhadap DSD mendesak dilakukan terutama untuk memperoleh bukti empiris

signifikan dan tidaknya pengaruh meningkat kinerja kapasitas fiskal daerah terhadap daya saing daerah. Disamping kapasitas fiskal daerah, faktor lain yang menjadi sumber pembiayaandalam rangka penyediaan berbagai fasilitas publik untuk meningkatkan daya saing daerah adalah SiLPA tahun anggaran sebelumnya. SiLPA merupakan selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006). SiLPA sebagai indikator yang dapat menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah dan timbul pelampauan target penerimaan daerah, sangat diharapkan sebagai sumber penerimaan pembiayaan dalam mendukung pembangunan daerah. Secara normatif, semakin meningkatnya kinerja kapasitas fiskal daerah dan SiLPA maka pemda memiliki dana yang cukup untuk merealisasikan program-program kerjanya dan sudah tentu termasuk program kerja dalam rangka meningkatkan daya saing daerah. Namun, dengan adanya realitas daya saing daerah yang kurang baik di saat meningkatnya kinerja kapasitas fiskal daerahdan SiLPA berarti upaya peningkatan kinerja kapasitas fiskal daerah ini tidak serta merta/linear mampu meningkatkan daya saing daerah atau dengan kata lain ada faktor kontinjensi yang berperan di dalamnya, salah satunya yang patut diduga adalah indeks pembangunan manusia (IPM). IPM atau human development index (HDI) merupakan suatu indeks komposit yang mencakup tiga bidang pembangunan manusia yang dianggap sangat mendasar yaitu usia hidup (longetivity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak

(decent living). Secara umum metode penghitungan IPM yang disajikan dalam penelitian ini sesuai dengan metode yang digunakan The United Nations Development Programme (UNDP) dalam menghitung HDI (Human Devolepment Index). Dalam penelitian ini IPM dijadikan sebagai variabel pemoderasi karena IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks harapan hidup, dan indeks standar hidup layak. IPM digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan di suatu tempat pada suatu waktu dan dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk melihat apakah pembangunan yang elah dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. IPM juga digunakan sebagai alat pemantau yang bisa memberikan perbandingan antar wilayah serta perkembangan antar waktu sehingga dapat memperlihatkan dampak pembangunan yang dilakukan pada periode sebelumnya (BPS, 2012a:19). Setyowati dan Suparwati (2012) meneliti pengaruh pertumbuhan ekonomi, DAU, DAK, PAD terhadap IPM dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening. Hasil penelitian tersebut menunjukkan PAD, DAU, dan DAK terbukti berpengaruh positif terhadap IPM. Selanjutnya, Lugastoro (2013) menemukan hanya PAD dan DAK berpengaruh positif terhadap IPM, sedangkan DAU berpengaruh negatif. Sebaliknya penelitian Harahap (2010) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu DAU, DAK tidak berpengaruh terhadap IPM. Terjadinya kontradiksi atau perbedaan pada hasil penelitian sebelumnya memungkinkan adanya pengaruh variabel moderating dalam mengidentifikasi

pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Pengaruh dari variabel moderating tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Variabel moderating ini digunakan untuk menyelesaikan perbedaan dari penelitian tersebut. Dalam penelitian ini variabel IPM digunakan sebagai pemoderasi karena IPM merupakan sebuah indeks komposit (gabungan) dari indeks pendidikan, kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk yang berpendidikan, sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta mempunyai pendapatan untuk hidup layak. Tingginya IPM ini sangat patut diduga mampu meningkatkan pengaruh KKFD dan SiLPA pada daya saing daerah. Kemudian dilihat dari penelitian-penelitian sebelumnya banyak terjadi inkonsistensi hasil penelitian, serta variabel IPM lebih banyak digunakan sebagai variabel dependen (terikat). Maka dari itu peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh IPM terhadap KKFD dan SiLPA apabila dijadikan sebagai variabel pemoderasi. Berbeda dengan penelitian terdahulu, pertama, penelitian ini ingin mengetahui pengaruh KFD dan SiLPA pada daya saing daerah seperti yang sudah dijelaskan peneliti sebelumnya. Lebih jauh lagi, penelitian ini ingin mengetahui kemampuan IPM memoderasi pengaruh KFD dan SiLPA pada daya saing daerah. Kiranya, urgensinya dan perbedaaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya diharapkan dapat memberikan nilai tambah pada pengembangan ilmu, riset, dan praktis.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan atas latar belakang yang telah disampaikan, maka dapat dirumuskan rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1) Apakah KKFD (PAD, DAU, DBH) berpengaruh pada daya saing daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali? 2) Apakah SiLPA berpengaruh pada daya saing daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali? 3) Apakah IPM berpengaruh pada daya saing daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali? 4) Apakah IPM mampu memoderasi pengaruh KKFFD (PAD, DAU, DBH) kabupaten/kota di Provinsi Bali? 5) Apakah IPM mampu memoderasi pengaruh SiLPA pada daya saing daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui pengaruh KKFD (PAD, DAU, DBH) pada daya saing daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali. 2) Untuk mengetahui pengaruh SiLPA pada daya saing daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali.

3) Untuk mengetahui pengaruh IPM pada daya saing daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali. 4) Untuk mengetahui kemampuan IPM memoderasi pengaruh KKFD (PAD, DAU, DBH) pada daya saing daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali. 5) Untuk mengetahui kemampuan IPM memoderasi SiLPA pada daya saing daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis untuk berbagai pihak yang berhubungan dengan penelitian ini. Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini mampu memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kemampuan IPM dalam memoderasi pengaruh KKFD dan SiLPA pada DSD. Selain itu hasil penelitian ini juga berkontribusi terhadap pengembangan teori, karena jika variabel moderasi dalam penelitian ini terbukti mampu memoderasi pengaruh positif peningkatan KKFD terhadap DSD maka hal ini juga berarti perlu adanya revitalisasi teori federalisme fiskal, dan teori keagenan karena fakta dilapangan menunjukkan bahwa tidak selamanya KKFD berpengaruh langsung terhadap DSD karena ada faktor lain atau faktor kontinjensi yang dapat memperkuat pengaruh langsung KKFD terhadap DSD. Kemudian penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian berikutnya yang sejenis.

2) Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini memberikan informasi kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan-kebijakan strategis terkait peningkatan DSD melalui KKFD serta sekaligus sebagai referensi untuk menentukan strategi yang tepat guna meningkatkan KKFD dengan mengelola komponen-komponen dari KKFD itu sendiri seperti PAD, DAU, DBH, serta dengan adanya SiLPA semakin menjadi faktor yang berpengaruh dalam upaya pemerintah daerah meningkatkan DSD. 1.5 Sistematika Penulisan Sebagai arahan dalam memahami skripsi ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan Bab ini menguraikan latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian Bab ini mencakup mengenai teori atau konsep-konsep yang relevan antara PAD, DAU, DBH, SiLPA, IPM dengan DSD, hasil penelitian terdahulu dan hipotesis penelitian.

Bab III : Metode Penelitian Bab ini menguraikan desain penelitian, lokasi atau ruang lingkup wilayah penelitian, obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi dan sampel, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data dan teknik analisis data yang digunakan. Bab IV : Pembahasan Hasil Penelitian Pada bab ini diuraikan mengenai data amatan, hasil uji asumsi klasik, deskripsi statistik, hasil uji model fit dan hasil uji hipotesis baik pengaruh parsial maupun moderasi. Bab V : Simpulan dan Saran Bab ini menguraikan simpulan dari keseluruhan hasil penelitian dan disertakan pula saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.