RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan I. PEMOHON Rama Ade Prasetya. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal Pasal 25 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 43 ayat (2) Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833) [UU 18/1999]. III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945; 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945; 4. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh karena itu jika 1
terdapat ketentuan Undang-Undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dilakukan pengujiannnya oleh Mahkamah Konstitusi; 5. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Pasal 25 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 43 ayat (2) UU 18/1999, oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara ; 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.; 3. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa hak konstutisionalnya dirugikan oleh berlakunya UU 18/1999; 4. Pemohon adalah seorang direktur utama perusahaan bidang jasa konstruksi yang saat ini berstatus Tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi dan diperiksa oleh Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Resor Tegal yang dilaporkan oleh Kepala Perwakilan BPK Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Laporan Hasil Audit dalam Rangka Perhitungan Keuangan 2
Negara atas runtuhnya atap bangunan gedung Puskesmas Tegal Barat Kota Tegal yang pembangunannya dilakukan oleh perusahaan yang dipimpin Pemohon. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU 18/1999: 1. Pasal 25 ayat (1): Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. 2. Pasal 25 ayat (2): Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. 3. Pasal 25 ayat (3): Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli. 4. Pasal 43 ayat (2): Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 1. Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum. 2. Pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 3. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 3
VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa Pemohon sebagai direktur utama perusahaan bidang jasa konstruksi saat ini berstatus Tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi dan diperiksa oleh Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Resor Tegal yang dilaporkan oleh Kepala Perwakilan BPK Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Laporan Hasil Audit dalam Rangka Perhitungan Keuangan Negara atas runtuhnya atap bangunan gedung Puskesmas Tegal Barat Kota Tegal yang pembangunannya dilakukan oleh perusahaan yang dipimpin Pemohon; 2. Bahwa dalam pemeriksaan dan analisa hukum yang dilakukan oleh penyidik di Polres Tegal, sangkaan tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon berdasarkan Pasal 25 ayat (1) dan (2) UU 18/1999; 3. Bahwa penyidik sama sekali tidak menggunakan dasar hukum Pasal 25 ayat (3) UU 18/1999 yaitu untuk menilai kegagalan suatu bangunan ataupun bagian dari bangunan haruslah melalui penilaian pihak ketiga selaku penilai ahli; 4. Bahwa menurut dalil Pemohon, Pemohon dijerat dengan ketentuan Pasal 25 UU 18/1999 akan tetapi pemidanaannya menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor); 5. Bahwa Pemohon mendalilkan, dikarenakan Pasal 43 ayat (2) UU 18/1999 tidak digunakan sebagai dasar hukum untuk pengenaan sanksi pidana terhadap Pemohon, Pemohon justru dikenakan hukuman pidana berdasarkan UU Tipikor, sehinga hal tersebut mengakibatkan Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum sesuai Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 6. Bahwa menurut dalil Pemohon, dengan tidak diberlakukannya UU 18/1999 sebagai dasar hukum pengenaan sanksi pidana terhadap Pemohon, maka hal tersebut tidak sejalan dengan asas negara hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tidak memberikan 4
kepastian hukum, telah membuat Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya dan menciderai jaminan perlindungan atas hukum yang adil terhadap diri Pemohon sesuai ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. VII. PETITUM Dalam Provisi: 1. Menerima seluruh permohonan provisi Pemohon; 2. Menyatakan bahwa Pemohon adalah korban praktik hukum penegakkan hukum akibat ketidakpastian berlakunya suatu undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi; 3. Menyatakan bahwa pemohon telah mengalami kerugian konstitusional, karena telah kehilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, sebagimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sejak telah dijatuhi hukuman pidana oleh Pengadilan Negeri Semarang dalam menjalankan usahanya hanya karena tidak berjalannya/ berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi sesuai dengan bidang usahanya; 4. Memerintahkan kepada semua lembaga penegak hukum, agar menggunakan atau memberlakukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi secara utuh dalam menangani sebuah kasus atau penyidikan yang berkaitan dengan jasa konstruksi sesuai yang diperundangkan apabila masih berlaku. Dalam Pokok Perkara: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dikarenakan sudah adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001; 5
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, dan sudah tidak berlaku lagi karena hanya akan mengakibatkan ketidakpastian hukum untuk para pihak pelaku jasa konstruksi; Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) diartikan bahwa semua penegakkan hukum dalam hal yang berkaitan dengan jasa konstruksi harus menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi secara utuh dengan segala pemidanaanya. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). 6