II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS TATANIAGA KUBIS (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan)

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas


II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

BAB IV METODE PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

ANALISIS TATANIAGA BERAS

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO. memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi dalam upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional.

I. PENDAHULUAN *

IV. METODE PENELITIAN

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan pada subsistem budidaya (on farm) di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung, Jawa bawah bimbingan ARIF IMAM SUROSO).

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum.

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 18. (2) 2015 ISSN Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan²

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

Program Studi Agribisnis FP USU Jln. Prof. A. Sofyan No. 3 Medan HP ,

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A

VI. ANALISIS TATANIAGA NENAS BOGOR

7. KINERJA RANTAI PASOK

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

LAPORAN TAHUNAN/AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama

ANALISIS TATANIAGA BAWANG MERAH (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes)

VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN WORTEL DI SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) KABUPATEN KARANGANYAR

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

KARYA ILMIAH MAHASISWA AGRIBISNIS

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , ,

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis Cabai Merah

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam menopang kehidupan

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengambilan Responden

ANALISIS KERAGAAN PASAR PEMBENIHAN DAN PENDEDERAN IKAN GURAMI (Oshpronemus Gouramy) DI KELURAHAN DUREN MEKAR DAN DUREN SERIBU DEPOK JAWA BARAT

PERDAGANGAN KOMODITAS STRATEGIS 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang ada. Penelitian tentang tata niaga gabah/ beras ini berusaha menggambarkan

margin pemasaran dapat dihitung dengan rumus matematis sebagai berikut:

KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Usahatani jamur tiram di Provinsi Lampung menguntungkan bagi petani

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. ke konsumen membentuk suatu jalur yang disebut saluran pemasaran. Distribusi

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Melinjo (Gnetum gnemon, L.) termasuk tumbuhan berbiji terbuka

III. KERANGKA PEMIKIRAN

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Umum Komoditi Ikan Gurame

ANALISIS TATANIAGA KENTANG DARI DESA JERNIH JAYA KECAMATAN GUNUNG TUJUH KABUPATEN KERINCI KE KOTA PADANG OLEH MEGI MELIAN

ANALISIS PEMASARAN CABAI MERAH (Capsicum annum) DI DESA GOMBONG KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG ABSTRAK

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar.

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan.

Transkripsi:

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis Kubis juga disebut kol dibeberapa daerah. Kubis merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan sumbangan yang besar dalam peningkatan kesejahteraan petani dalam Herviyani (2009). Kubis sebagai sayuran mempunyai peran penting untuk kesehatan manusia. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. Secara umum, semua jenis kubis mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai jenis tanah. Namun, kubis dapat tumbuh optimum bila ditanam pada tanah yang kaya bahan organik. Kubis tidak dapat tumbuh dengan baik di tanah yang sangat asam. Keasaman optimum untuk pertumbuhan kubis antara 5,5-5,6. Kubis akan tumbuh dengan baik bila ditanam didaerah dengan suhu optimum 15 0-20 0 C. Jika suhu melebihi 25 0 C maka pertumbuhan kubis akan terhambat. Kubis dapat dipanen pada umur tiga hingga bulan. Permasalahan yang dihadapi petani dalam penanaman kubis antara lain serangan hama dan penyakit serta pemasaran. Menurut Susila (2006), hama yang biasanya menyerang kubis yaitu ulat daun, ulat krop, Chartopilla brassicae, dan Pieris brassicae. Sedangkan penyakit yang biasanya menyerang kubis yaitu Bacterium xanthomonas campestris, Alternaria brassicae, Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani kuhn, dan Damping-off. Tataniaga menjadi kendala yang serius dalam budidaya kubis. Pada saat harga tinggi petani cenderung untuk menanam kubis, akibatnya produksi melimpah, harga kubis jatuh dan petani mengalami kerugian. 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga Aliran suatu komoditi dari produsen ke konsumen melibatkan beberapa lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer, Sub Terminal Agribisnis (STA), dan lain sebagainya yang membentuk suatu rantai atau pola saluran tataniaga. Pola saluran tataniaga dapat berbeda-beda antara satu jenis komoditi dengan yang lainnya maupun antara satu tempat dengan tempat lainnya. Wacana (2011) dan Utama (2011) menjelaskan bahwa terdapat empat pola saluran tataniaga masing-masing untuk komoditi bawang merah dan daun 9

bawang di wilayah yang berbeda. Sedangkan Ariyanto (2008) dan Agustina (2008) menjelaskan hanya terdapat tiga pola saluran tataniaga untuk komoditi bayam dan kubis. Noviana (2011) menjelaskan lebih ringkas, bahwa hanya terdapat dua pola saluran tataniaga untuk komoditi jamur tiram yaitu; Pola I : Petani Pedagang pengumpul desa Pedagang besar/grosir - Pedagang pengecer Konsumen akhir dan Pola II : Petani Konsumen akhir. Panjang-pendeknya suatu saluran tataniaga belum dapat menggambarkan suatu efisiensi tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga dalam kegiatan tataniaga atau pemasaran menjalankan fungsinya masing-masing. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Ariyanto (2008) menjelaskan bahwa petani sebagai produsen menjalankan ketiga fungsi tersebut, yaitu fungsi pertukaran yang berupa fungsi penjualan, fungsi fisik yakni kegiatan pengemasan dan pengangkutan, dan fungsi fasilitas meliputi informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Berbeda dengan Agustina (2008), Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011) mengemukakan bahwa petani hanya menjalankan dua dari tiga fungsi tataniaga yang ada. Agustina (2008) menemukan bahwa petani tidak melakukan fungi fasilitas. Fungsi fasilitas dijalankan oleh lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, grosir, dan pengecer dalam hal standardisasi/grading, pembiayaan, penanggungan resiko dan informasi harga. Petani juga tidak menjalankan fungsi fisik menurut Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011). Pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer dan lembaga tataniaga lainlah yang menjalankan fungsi fisik tersebut. Lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, grosir, dan pengecerpun turut menjalankan fungsi pertukaran dalam hal pembelian dan penjualan. Pedagang pengumpul misalnya, melakukan pembelian kepada petani dan penjualan ke pedagang pengecer. Struktur pasar yang dihadapi setiap lembaga tataniaga dapat berbeda-beda tergantung pada jumlah atau ukuran perusahaan, keadaan produk yang diperjualbelikan, mudah atau sukar untuk keluar-masuk pasar atau industri dan tingkat pengetahuan (informasi) yang dimiliki oleh masing-masing lembaga tataniaga. Petani menghadapi pasar yang bersaing sempurna menurut Ariyanto (2008), Wacana (2011), dan Utama (2011). Hal ini dibuktikan dengan jumlah 10

petani yang banyak. Selain itu, petani juga bebas untuk keluar masuk pasar, produk petani bersifat homogen, dan informasi harga yang dimiliki petani cukup baik. Sistem penentuan harga dilakukan oleh pedagang berdasarkan harga yang berlaku di pasar sehingga kedudukan petani dalam sistem tataniaga sangat lemah (price taker). Agustina (2008) menyatakan hal yang berbeda, bahwa petani kubis green cronet dihadapkan pada pasar yang mengarah ke oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah petani dibandingkan jumlah pedagang pengumpul, sedikitnya jumlah pedagang pengumpul menyebabkan harga lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul, sehingga petani hanya bertindak sebagai price taker akibat posisi tawar yang lemah walaupun dalam proses transaksi dilakukan secara tawar-menawar, dan komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen, serta informasi pasar diperoleh dari sesama petani dan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul menghadapi pasar oligopoli atau oligopsoni menurut Agustina (2008), Ariyanto (2008), dan Wacana (2011) karena jumlah penjual dan pembeli yang terlibat dalam kegiatan pemasaran pada tingkat pedagang pengumpul sedikit dan terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul memiliki keterikatan (hubungan yang erat) dengan petani. Setiap pedagang pengumpul telah memiliki petani langganan. Jumlah pedagang pengumpul sedikit dibandingkan dengan jumlah petani. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer bersifat persaingan sempurna. Ariyanto (2008) dan Utama (2011) melihat bahwa jumlah pedagang pengecer banyak, produk yang diperjualbelikan bersifat homogen dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi pasar sehingga bertindak sebagai price taker. Agustina (2008) dan Wacana (2011) menemukan hal yang berbeda bahwa pedagang pengecer masing-masing dihadapkan pada pasar oligopoli dan persaingan monopolistik. Dapat disimpulkan bahwa masing-masing lembaga tataniaga menghadapi struktur pasar yang bervariasi. Perilaku pasar meliputi kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Noviana 11

(2011) dan Utama (2011) menyebutkan setiap lembaga tataniaga melakukan praktek penjualan dan pembelian, kecuali petani yang tidak melakukan praktek pembelian (hanya melakukan praktek penjualan) serta konsumen akhir yang tidak melakukan proses penjualan (hanya melakukan praktek pembelian). Utama (2011) menggambarkan saluran pemasaran daun bawang yang dimulai dari petani yang menjual daun bawangnya dengan tiga cara, yaitu penjualan kepada pedagang pengumpul kebun (PPK), penjualan ke pedagang pengecer dan penjualan ke pedagang besar. Daun bawang yang telah dipanen oleh petani kemudian dijual kepada pedagang pengumpul kebun (PPK) selanjutnya PPK menjual kembali daun bawang tersebut melalui pedagang besar dan STA (Sub Terminal Agribinis), yang kemudian daun bawang dijual ke pedagang pengecer yang terdiri dari pedagang lokal dan supermarket. Praktek pembelian daun bawang ditingkat PPK dilakukan dengan petani kemudian PPK menjualnya ke pedagang besar. Pedagang pengecer membeli daun bawang dari pedagang besar. Penentuan harga biasanya dilakukan melalui tawar menawar antar lembaga tataniaga. Utama (2011) menjelaskan bahwa harga daun bawang ditingkat petani lebih ditentukan oleh pedagang pengumpul kebun, karena sebagian besar petani mengandalkan PPK untuk memasarkan hasil panen daun bawang dengan pertimbangan kemudahan dalam akses pengangkutan menuju pasar dan PPK lebih menguasai pasar. Agustina (2008) menemukan bahwa penentuan harga ditingkat pedagang pengumpul didasarkan pada harga yang berlaku dipasaran. Sedangkan menurut Wacana (2011) sistem penentuan harga yang terjadi baik ditingkat petani hingga pedagang pengecer sebenarnya terbentuk dari hasil penyesuaian terhadap harga yang berlaku ditingkat pedagang pengecer. Sistem pembayaran yang dilakukan antar lembaga tataniaga memiliki banyak keragaman diantaranya sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran dibayar dimuka, sistem pembayaran sebagian, dan sistem pembayaran hutang. Namun sistem pembayaran tunai merupakan jenis sistem pembayaran yang selalu terdapat dalam transaksi oleh lembaga-lembaga tataniaga. Tataniaga yang mudah dan lancar didukung oleh kerjasama antar lembaga tataniaga. Agustina (2008) menjelaskan bahwa lembaga- lembaga tataniaga telah melakukan kerjasama dalam pendistribusian kubis dari produsen dan konsumen. 12

Lembaga tataniaga melakukan kerjasama atas dasar lamanya mereka melakukan hubungan dagang dan rasa saling percaya. Hal ini diperkuat oleh Utama (2011) bahwa pelaku pelaku dalam kelembagaan daun bawang sudah menjalin kerjasama yang terjalin lama dan baik. Analisis margin tataniaga bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga dalam suatu aliran tataniaga. Margin tataniaga merupakan penjumlahan dari seluruh biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diambil oleh lembaga tataniaga selama proses pendistribusian suatu komoditas. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka akan semakin memperbesar margin tataniaga. Margin tataniaga memiliki hubungan negatif dengan farmer s share (bagian pendapatan yang diterima petani). Semakin tinggi margin tataniaga, maka bagian yang akan diperoleh petani semakin rendah. Indikator lain yang menentukan efisiensi suatu komoditas yaitu rasio keuntungan terhadap biaya (π/c). Agustina (2008), menunjukkan perhitungan margin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang berbeda-beda pada setiap saluran tataniaga. Total margin tataniaga untuk masing masing pola secara berurutan yaitu: Pola I: Petani - Pengumpul I - Grosir - Pengecer Konsumen sebesar Rp 1.681,87, Pola II A (untuk penjualan di sekitar daerah produksi): Petani - Pengumpul II - Grosir - Pengecer Konsumen yaitu Rp 1.731,87, Pola II B (untuk penjualan di luar daerah produksi) sebesar Rp 2.131,87, dan Pola III : Petani - Grosir Pengecer Konsumen sebesar Rp 1.681,87. Farmer s share yang diperoleh untuk masing masing saluran tataniaga I, IIA, IIB, dan III secara berurutan yaitu 43,29persen ; 43,18 persen; 36,54 persen; dan 55,81 persen. Rasio keuntungan terhadap biaya untuk masing-masing saluran tataniaga I, IIA, IIB, dan III secara berurutan yaitu 2,13; 1,93; 1,98; dan 2,28. Rasio keuntungan yang terbesar terdapat pada saluran tataniaga III sebesar 2,28, artinya satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya tataniaga kubis akan diperoleh hasil sebesar Rp 2,28. Hasil analisis margin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya dapat dijadikan dasar dalam penentuan saluran tataniaga yang efisien dilihat dari margin tataniaga yang terkecil, farmer s share dan rasio keuntungan terhadap biaya yang terbesar. Penelitian diatas menunjukkan 13

bahwa saluran yang efisien yaitu saluran III. 2.3. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu Kajian mengenai sistem tataniaga umumnya ditujukan untuk melihat efisiensi tataniaga pada komoditas yang diteliti. Efisien atau tidaknya suatu saluran tataniaga dilihat dari dua sisi yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif meliputi analisis lembaga dan saluran pemasaran, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Secara kualitatif efisiensi tataniaga diukur dari margin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c). Persamaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian Ariyanto (2008), Agustina (2008), Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011) yaitu dalam penggunaan alat analisis untuk menentukan sistem tataniaga dan efisiensi saluran tataniaga. Perbedaan penelitian dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu lokasi penelitian. Penelitian dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Penelitian mengenai analisis tataniaga kubis di daerah tersebut belum pernah dilakukan. 14