BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Merdekawati dan Budiantara (2013) mengemukakan bahwa kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. makro ekonomi. Tinggi rendah angka pembangunan dilihat dari trend

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Nomor No.12 tahun 2008 (revisi UU no.32 Tahun

E-Jurnal EP Unud, 4[11]: ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang situasi manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

Antiremed Kelas 10 Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori yang menjadi dasar

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jawa Tengah pada tahun 2013 sampai 2015 membutuhkan kajian sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,61 persen.

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach) Rahardja dan Manurung (2008:233) menyatakan bahwa pendekatan pengeluaran memandang Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai nilai total pengeluaran dalam perekonomian selama periode tertentu. Menurut metode ini pengeluaran agregat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: 1) Konsumsi Rumah Tangga (Household Consumption) Pengeluaran sektor rumah tangga dipakai untuk konsumsi akhir, baik barang dan jasa yang habis pakai dalam tempo setahun atau kurang maupun barang yang dapat dipakai lebih dari setahun atau barang tahan lama. 2) Konsumsi Pemerintah (Government Consumption) Perhitungan konsumsi pemerintah adalah pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk membeli barang dan jasa akhir (government expenditure). Sedangkan pengeluaran-pengeluaran untuk tunjangan sosial tidak masuk dalam perhitungan konsumsi pemerintah. Itulah sebabnya dalam data statistic PDB,pengeluaran konsumsi pemerintah nilainya lebih kecil daripada pengeluaran yang tertera dalam anggaran pemerintah. 3) Pengeluaran Investasi (Investment Expenditure) Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) merupakan pengeluaran sektor dunia usaha. Pengeluaran ini dilakukan untuk memelihara dan memperbaiki kemampuan menciptakan atau meningkatkan nilai tambah. 1

Bagian-bagian dalam PMTDB adalah perubahan stok, baik barang jadi maupun barang setegah jadi. Akurasi potensi produksi dapat diketahui melalui perhitungan investasi neto, yaitu investasi bruto dikurangi penyusutan. Penghitungan PMTDB ini menunjukkan bahwa pendekatan pengeluaran lebih mempertimbangkan barang-barang modal yang baru. Barang modal tersebut merupakan output baru, karena harus dimasukkan dalam perhitungan PDB. 4) Ekspor Neto (Net Export) Ekspor bersih adalah selisish antara nilai ekspor dengan impor. Ekspor neto yang positif menunjukkan bahwa ekspor lebih besar daripada impor, begitu juga sebaliknya. Perhitungan ekspor neto dilakukan bila perekonomian melakukan transaksi dengan perekonomian lain (dunia). Nilai PDB berdasarkan metode pengeluaran adalah nilai total lima jenis pengeluaran tersebut: PDB = C + G + I + (X-M)... (1) Keterangan: C = Konsumsi rumah tangga G = Konsumsi/pengeluaran pemerintah I = PMTDB (investasi) X = Ekspor M = Impor 2.1.2 Teori Pendapatan Nasional 2

Salah satu tolak ukur yang dapat digunakan untuk menilai kondisi perekonomian suatu negara adalah pendapatan nasional. Menurut Sukirno (2008:36) Pendapatan Nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor produksi yang digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu. Perhitungan pendapatan nasional sangat diperlukan dalam teori maupun kebijakan makro ekonomi dalam menghadapi berbagai masalah sentral yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, siklus bisnis, hubungan antara kegiatan ekonomi dan pengangguran, serta ukuran dan faktor-faktor penentu tingkat inflasi. Perhitungan pendapatan nasional dapat menjadi pemahaman mengenai bagaimana berbagai bagian dari suatu perekonomian saling berinteraksi satu sama lainnya, dan menyediakan suatu kerangka konseptual untuk menjelaskan keterkaitan antara berbagai perubah makro ekonomi yang penting seperti output, pendapatan, dan pengeluaran. Dari data perhitungan pendapatan nasional dapat menjadi landasan dalam melakukan pengukuran kinerja perekonomian, pembuatan peramalan ekonomi dan penyusunan berbagai kebijakan makroekonomi. Menurut Rahardja dan Manurung (2008:223) salah satu faktor terjadinya efisiensi secara makro adalah nilai output nasional yang dihasilkan sebuah perekonomian dalam satu tahun tertentu. Besarnya output nasional dapat menunjukan hal penting dalam sebuah perekonomian. Pertama, besarnya output nasional merupakan gambaran awal tentang seberapa efisien sumber daya yang ada dalam perekonomian (tenaga kerja, barang modal, uang, dan kemampuan kewirausahaan) digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Secara umum, 3

makin besar pendapatan nasional maka semakin baik efisiensi alokasi sumber daya ekonominya. Kedua, besarnya output nasional merupakan gambaran awal tentang produktivitas dan tingkat kemakmuran suatu Negara. Alat ukur yang disepakati tentang kemakmuran adalah output nasional per kapita. Nilai output per kapita diperoleh dengan cara membagi besarnya output nasional dengan jumlah penduduk pada tahun bersangkutan. Jika angka output perkapita makin besar, maka tingkat kemakmuran dianggap makin tinggi. Alat ukur tentang produktivitas rata-rata adalah output per tenaga kerja. Makin besar angkanya, maka tingkat produktivitas tenaga kerja makin tinggi. Ketiga, besarnya output nasional merupakan gambaran awal tentang masalah-masalah mendasar yang dihadapi suatu perekonomian. Ini berarti perekonomian harus segera memodernisasikan diri, dengan memperkuat industrinya, agar ada keseimbangan kontribusi antara sektor pertanian yang dianggap sektor tradisional dan sektor industri yang dianggap sektor modern. 2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Terdapat beberapa teori mengenai pertumbuhan ekonomi, diantaranya: 1) Teori Simon Kuznet Pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih bermakna apabila diiringi dengan peningkatan pemerataan pendapatan. Hipotesis Simon Kuznet yang menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan adalah hipotesis kurva U terbalik. Kuznet berpendapat bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan membentuk huruf U terbalik. Semakin tinggi koefisien gini akan semakin rendah distribusi pendapatan 4

(Boediono, 2008:61). Menurut Kuznet pada tahap awal pendapatan per kapita terhadap kesenjangan distribusi pendapatan cenderung meningkat. Tahap berikutnya ditribusi pendapatan bertambah tinggi hingga pada tahap akhir kesenjangan distribusi pendapatan akan menurun. Dasar dari hipotesis Kusnetz adalah ketimpangan yang rendah yang terjadi dipedesaan dengan sektor yang mendominasi adalah pertanian dibandingkan dengan perkotaan yang didominasi oleh sektor jasa dan industri yang tingkat ketimpangan pendapatanya tinggi, terjadi transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke sektor jasa (Arsyad, 2010:292). Kurva U terbalik pada hipotesis Simon Kuznet dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah. Gambar 2.1 Kurva U Terbalik dari Hipotesis Kuznet Tingkat kesejangan dari 20% penduduk terkaya dari pendapatan Tingkat pendapatan per kapita 2) Teori Walt Whitman Rostow Menurut Rostow proses pembangunan ekonomi dibedakan ke dalam lima tahapan (Arsyad, 2004:47) yaitu: a. Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang fungsi produksinya terbatas yang ditandai oleh cara produksi yang relatif masih primitif yang 5

didasarkan pada teknologi pra-newton dan cara hidup masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang kurang rasional tetapi kebiasaan tersebut telah turun temurun. Menurut Rostow dalam suatu masyarakat tradisional, tingkat produktivitas per pekerja masih rendah. Oleh karena itu sebagian besar sumber daya manusia digunakan untuk sektor pertanian. b. Tahap prasyarat tinggal landas didefinisikan sebagai suatu masa dimana masyarakat mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan atas kekuatan sendiri. Pada tahap ini dan sesudahnya pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara otomatis. c. Tahap tinggal landas, pada awal tahap ini terjadi perubahan yang drastis dalam masyarakat seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi, atau berupa terbukanya pasar-pasar baru. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut secara teratur akan tercipta inovasi-inovasi dan peningkatan investasi. Rostow mengambil kesimpulan bahwa untuk mancapai tahap tinggal landas tidak satu sektor ekonomi yang baku untuk semua negara yang bisa menciptakan pembangunan ekonomi. d. Tahap menuju kedewasaan diartikan sebagai masa dimana masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada hampir semua kegiatan produksi. Pada tahap ini sektor-sektor pimpinan baru muncul menggantikan sektor-sektor pimpinan lama yang akan mengalami kemunduran. 6

e. Tahap konsumsi tinggi, pada tahap ini perhatian masyarakat telah lebih menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahtraan masyarakat bukan lagi kepada masalah produksi. 2.1.4 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah adalah salah satu indikator dari kemadirian otonomi daerah dalam menggali potensi untuk meningkatkan sumber-sumber penerimaan. Semakin besar PAD maka semakin mandiri daerah dalam mengambil keputusan dan kebijakan pembangunan. Besarnya kontribusi pengeluaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah seharusnya merupakan sebuah peluang yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong perekonomian daerah (Perdana, 2013). Pendapatan Asli Daerah adalah sumber penerimaan utama bagi suatu daerah. PAD yang diperoleh suatu daerah berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, serta lain-lain PAD yang sah. Olatunji et al. (2009) mengatakan bahwa pendapatan pemerintah daerah terutama berasal dari pajak. PAD menjadi tulang punggung yang digunakan untuk membiayai belanja modal. 2.1.5 Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah). DBH yang berasal dari pemerintah terdiri dari dua jenis, yaitu DBH pajak 7

dan DBH bukan pajak (Sumber Daya Alam).Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian Gugus (2013) dan Santosa (2013). DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Secara teoritis pemerintah daerah menetapkan belanja modal yang semakin tinggi jika anggaran DBH semakin tinggi, begitupun sebaliknya, semakin kecil belanja modal yang akan ditetapkan jika anggaran DBH semakin kecil. DBH berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. 2.1.6 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) Belanja Pegawai Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dimana pekerjaan tersebut yang berkaitan dengan pembentukan modal. 2) Belanja Barang dan Jasa 8

Belanja barang dan jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. 3) Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aktiva tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.untuk mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai belanja modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya dan kriteria kapitalisasi aset tetap. 2.1.7 Hubungan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Langsung Penelitian tentang pengaruh pendapatan daerah terhadap pengeluaran daerah sudah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu, dimana pendapatan asli daerah dinyatakan berpengaruh positif terhadap belanja modal (Maimunah, 2006; Tuasikal, 2008; Syakier, 2012; Setyowati dan Suparwati, 2012; Sularno, 2013; Arwati dan Hadiati, 2013; Hariyadi dan Mahaendra Yasa, 2014; Mayasari dkk., 2014; Sugiarthi dan Supadmi, 2014; Kartika dan Dwirandra, 2014). Kemudian Indraningrum (2011) dan Syamni, dkk. (2014) menyatakan bahwa PAD berpengaruh positif signifikan terhadap belanja langsung, hal ini berarti pengeluaran pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran. Edogbanya and Sule (2013), menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara peningkatan pendapatan dengan 9

usaha pembangunan pemerintah meliputi infratstruktur dan sarana sosial lainnya melalui realisasi belanja. 2.1.8 Hubungan Dana Bagi Hasil Terhadap Belanja Langsung DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Secara teoritis Pemerintah daerah akan mampu menetapkan belanja modal yang semakin besar jika anggaran DBH semakin besar pula, begitupun sebaliknya semakin kecil belanja modal yang akan ditetapkan jika anggaran DBH semakin kecil. DBH berpengaruh positif terhadap Belanja Modal (Gugus, 2013). Pemerintah daerah selanjutnya melakukan pengelolaan atas dana perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pembiayaan sebagai bentuk penerimaan daerah untuk digunakan dalam membiayai kegiatan-kegiatan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 2.1.9 Hubungan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan asli daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan lain-lain, yang sepenuhnya digunakan untuk pembangunan daerah 10

melalui realisasi belanja modal tahunan. Peningkatan pendapatan asli daerah diasumsikan sebagai sumber modal bagi daerah untuk dibelanjakan. Dimana keseluruhan dari sumber pendapatan asli daerah ini akan memberikan timbal balik langsung pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga didukung oleh penelitian Pujiati (2008), dimana PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pernyataan ini juga senada dengan penelitian Hendriwiyanto (2015); Riska, dkk.(2014), Hariyadi dan Mahaendra Yasa (2014), Gunantara dan Dwirandra (2014). 2.1.10 Hubungan Dana Bagi Hasil Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dana bagi hasil adalah salah satu bagian dari dana perimbangan selain dana alokasi umum dan dana alokasi khusus, yang di transfer dari pemerintah pusat ke daerah dengan tujuan memaksimalkan pembangunan daerah sesuai dengan tujuan otonomi daerah (Nehen, 2012:411). Semakin tinggi DBH maka ekspektasi tingkat pembangunan daerah semakin tinggi, sehingga DBH berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini juga didukung oleh penelitan Pujiati (2008), Santosa (2013), Riska, dkk.(2014), dan Hendriwiyanto (2015). 2.1.11 Hubungan Belanja Langsung Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Syarat fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerahdiharapkan 11

akan memacu pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi setara dengan pengorbanan berupa belanja langsung yang besar, begitu pula sebaliknya. Dapat disimpulkan bahwa belanja langsung berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Adi (2006) menyatakan bahwa bagian dari belanja langsung, yaitu belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, degan kata lain jika pengeluaran pembangunan meningkat, maka pertumbuhan ekonomi meningkat dan begitu sebaliknya. Hal ini sejalan dengan teori pendekatan pengeluaran (expenditure approach) yang mengemukakan bahwa konsumsi pemerintah (anggaran belanja) merupakan salah satu elemen penting yang menunjang laju pertumbuhan ekonomi yang terefleksi melalui trend PDB di kancah nasional. Rrefleksi trend PDRB mendeskripsikan bahwa pertumbuhan ekonomi dipacu oleh tinggi rendahnya barang dan jasa yang dihasilkan, di mana untuk memaksimalkan produktivitas barang dan jasa diperlukan anggaran belanja langsung yang besar. Bose and Osborn (2007), menyatakan bahwa belanja modal pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi dalam penelitian tersebut diproksikan melalui GDP. Hasil penelitian yang sama juga diperoleh Chude and Chude (2013) yang membuktikan bahwa belanja modal bepengaruh positif signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini membuktikan bahwa tingginya realisasi belanja langsung merupakan indikator penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi. 2.1.12 Hubungan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertubuhan Ekonomi Melalui Belanja Langsung 12

PAD menjadi tulang punggung yang digunakan untuk membiayai belanja daerah (Kartika dan Dwirandra, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Liliana et al. (2011) memperoleh hasil bahwa pertumbuhan pendapatan pemerintah sangat kuat berkorelasi dengan pengeluaran pemerintah. Penelitian oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) serta Tuasikal (2008) memperoleh hasil bahwa PAD dan belanja modal memiliki hubungan yang positif. Semakin tinggi PAD suatu daerah, maka belanja modal yang dilakukan pemerintah daerah juga semakin meningkat. Selain itu, Ogujiuba dan Abraham (2012) yang melakukan penelitian di Nigeria juga memperoleh hasil bahwa pendapatan dan pengeluaran sangat berkorelasi. Belanja langsung dalam penelitian ini sebagai variabel intervening yang menguji pengaruh langsung dan tak langsung pada PAD terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi PAD maka ekspektasi produksi barang dan jasa daerah akan meningkat, yang secara langsung mencerminkan pertumbuhan ekonomi meningkat (Pujiati, 2008; Riska dkk.,2014; Gunantara dan Dwirandra, 2014; Hariyadi dan Mahaendra Yasa, 2014; Hendriwiyanto, 2015). Hal ini tercermin dari tingginya realisasi belanja langsung guna mengalokasikan penerimaan daerah untuk memaksimalkan tingkat produksi barang dan jasa suatu daerah (PDRB). 2.1.13 Hubungan Dana Bagi Hasil Pada Pertumbuhan Ekonomi Melalui Belanja Langsung Dana bagi hasil adalah salah satu komponen dari dana perimbangan yang ditransfer dari pusat ke daerah. Tujuan dari dana bagi hasil adalah untuk memenuhi anggaran belanja langsung, khususnya belanja modal daerah yang bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Dana bagi hasil memiliki 13

kontribusi langsung pada belanja modal, hal ini didukung oleh Gugus (2013) yang menyatakan bahwa DBH berpengaruh positif terhadap belanja modal. Hubungan antara DBH dengan pertumbuhan ekonomi diasumsikan dengan semakin tinggi DBH maka ekspektasi tingkat pembangunan daerah semakin tinggi (Pujiati, 2008; Santosa, 2013; Riska., dkk, 2014; Hendriwiyanto, 2015). Selanjutnya realisasi belanja langsung diasumsikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Bose dan Osborn, 2007; Chude dan Chude, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat produktivitas barang dan jasa melalui pertumbuhan ekonomi membutuhkan realisasi belanja langsung yang besar, kemudian belanja langsung yang besar didanai dari alokasi penerimaan daerah yang salah satuya adalah DBH. 2.2 Hipotesis Penelitian Pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil adalah komponen yang paling potensial untuk memenuhi realisasi anggaran belanja langsung daerah, dimana hubungan keduanya dapat dilihat melalui refleksi trend pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya yang diukur melalui PDRB. Berdasarkan pokok permasalah yang telah diuraikan, tujuan penelitian dan kajian-kajian teori yang relevan, maka diajukan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1) Pendapatan asli daerah berpengaruh langsung positif terhadap belanja langsung di Kabupaten/Kota Provinsi Bali 2007-2013 2) Dana bagi hasil berpengaruh langsung positif terhadap belanja langsung di Kabupaten/Kota Provinsi Bali 2007-2013 14

3) Pendapatan asli daerah berpengaruh langsung positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Bali 2007-2013 4) Dana bagi hasil berpengaruh langsung positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Bali 2007-2013 5) Belanja langsung berpengaruh langsung positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Bali 2007-2013 6) Pendapatan asli daerah berpengaruh positif tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui belanja langsung di Kabupaten/Kota Provinsi Bali 2007-2013 7) Dana bagi hasil berpengaruh positif tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui belanja langsung di Kabupaten/Kota Provinsi Bali 2007-2013 15