Lahan Basah bagi Pengurangan Risiko Bencana

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mengapa Isu Adaptasi Perubahan Iklim (API) dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Sangat Penting untuk Kita?

Deklarasi Changwon untuk Kesejahteraan Manusia dan Lahan Basah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN.5 2. MENGENAL LEBIH DEKAT MENGENAI BENCANA.8 5W 1H BENCANA.10 MENGENAL POTENSI BENCANA INDONESIA.39 KLASIFIKASI BENCANA.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Forests for Water and Wetlands

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

Penataan Ruang Berbasis Bencana. Oleh : Harrys Pratama Teguh Minggu, 22 Agustus :48

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

PENTINGNYA MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI ALAM DI SEKITAR KITA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

Restorasi mangrove: menanam atau tidak menanam?

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

Hutan Mangrove Segara Anakan Wisata Bahari Penyelamat Bumi

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PERMEN-KP/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GEMPA DAN TSUNAMI GEMPA BUMI

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

KEBIJAKAN NASIONAL ANTISIPASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN. Deputi Bidang SDA dan LH

BAB I PENDAHULUAN. tektonik besar yang terus bergerak yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

Transkripsi:

PRESS RELEASE Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten: Lahan Basah bagi Pengurangan Risiko Bencana Serang, 16 Februari 2016 Pengelolaan Lahan Basah secara Kolaboratif Kondisi lahan basah (wetlands) di Indonesia terus menjadi sorotan dunia dan menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan di Indonesia dalam perbaikan pengelolaannya. Sebagai negara dengan lahan basah terluas di Asia setelah China, yaitu seluas 40.5 juta hektar, lahan basah di Indonesia dipandang memiliki arti sangat penting. Tidak hanya itu, Indonesia merupakan negara yang memiliki mangrove terluas di dunia, yaitu seluas 3.2 juta hektar. Oleh sebab itu, lahan basah di Indonesia harus dilestarikan karena berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, menjadi sumber air, sumber pangan, menjaga kekayaan keanekaragaman hayati, serta berperan sebagai pengendali iklim global dan pengurang risiko bencana. Begitu pula dengan ekosistem mangrove, harus dipertahankan dengan tidak dialihfungsikan keberadaannya. Dalam rangka perayaan Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day / WWD), Wetlands International Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan serangkaian kegiatan pada 16 Februari 2017 di Teluk Banten, Desa Sawah Luhur, Serang, Banten. Acara ini melibatkan sekitar 200 orang dari berbagai unsur, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, akademisi, mahasiswa, siswa sekolah, serta masyarakat lainnya. Rangkaian kegiatan yang bertema "Lahan Basah untuk Pengurangan Risiko Bencana" ini terdiri dari: kunjungan ke lokasi rehabilitasi mangrove dengan teknik inovatif hybrid engineering berupa pembangunan pemerangkap lumpur / sediment trapping, pengamatan burung di Cagar Alam Pulau Dua (Pulau Burung), penelusuran jalur ekowisata mangrove dan pertambakan, penanaman mangrove, lomba menggambar siswa SD, pameran berbagai kegiatan dan produk masyarakat setempat berbahan mangrove serta kegiatan lainnya. Dalam sambutan pembukaannya, Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menyampaikan bahwa kondisi ekosistem lahan basah di Indonesia saat ini terus mengalami penurunan peran dan fungsi. Menyadari pentingnya peran dan fungsi lahan basah tersebut, maka perlu upaya pengelolaan lahan basah secara tepat dan terpadu. Diperlukan upaya bersama dengan melibatkan secara aktif masyarakat, lembaga (instansi) pemerintahan, instansi keilmuan, serta pemangku kepentingan lainnya untuk mempertahankan dan merestorasi ekosistem lahan basah, tak terkecuali ekosistem lahan basah di wilayah pesisir Teluk Banten. Lebih lanjut Hilman Nugroho mengatakan, Kami mengapresiasi kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Wetlands International bersama masyarakat serta pihakpihak lain dalam pengelolaan lahan basah, baik melalui kegiatan rehabilitasi pesisir, pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta pengembangan ekowisata di Teluk Banten, Beliau juga menyampaikan komitmennya untuk mendukung kegiatan masyarakat di Desa Sawah Luhur. Kami akan berikan bantuan pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di Desa Sawah Luhur senilai 50 juta rupiah, tambahnya. Beliau pun menekankan bahwa proses serta praktekpraktek rehabilitasi harapannya dapat mengikuti pola dan pendekatan yang telah diatur oleh pemerintah, seperti pola tanam sylvofishery yang ramah lingkungan. Pada kesempatan yang sama, Wakil Walikota Kota Serang, Sulhi Choir menyampaikan pentingnya kegiatan perbaikan ekosistem mangrove di Desa Sawah Luhur. Kami mengapresiasi seluruh pihak yang telah bekerja keras dalam rehabilitasi pesisir Teluk Banten, terutama di Kota Serang. Semoga kegiatan ini dapat direplikasi oleh masyarakat di sekitarnya, baik di Teluk Banten maupun di seluruh Indonesia. Teluk Banten dengan berbagai dinamika biofisiknya telah menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam terutama di wilayah bagian timur. Abrasi dan banjir rob merupakan beberapa ancaman yang mengancam ekosistem pesisir Teluk Banten. Wetlands International Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir ini telah melaksanakan kegiatan restorasi pesisir terpadu di

kawasan Teluk Banten. Kegiatan tersebut dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi lingkungan pesisir di Desa Sawah Luhur, Banten, melalui kegiatan penanaman mangrove di lahan tambak. Kegiatan restorasi dilaksanakan bekerja sama dengan masyarakat setempat, di mana masyarakat melakukan penanaman dan pada saat yang sama masyarakat memperoleh penghasilan dari tambak yang mereka pelihara. Berbagai kegiatan ini juga akan mendukung upaya pengurangan bencana di wilayah pesisir. I Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia, menyampaikan bahwa pola kerja kolaboratif tersebut terbukti telah memotivasi masyarakat untuk tidak hanya menanam, tetapi juga memelihara tanaman mangrove dengan sangat baik. Dalam jangka panjang, selain mata pencaharian masyarakat yang meningkat, kegiatan restorasi juga diharapkan dapat memberikan kontribusi jasa lingkungan, seperti penyerapan dan penyimpanan karbon, menyediakan habitat yang memadai untuk hidupan liar dan menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berekreasi di tengah lahan tambak yang telah direstorasi. Berdasarkan hasil kajian Wetlands International Indonesia, dari tahun 1970-an hingga saat ini teridentifikasi jangkauan abrasi dari garis pantai ke daratan mencapai satu kilometer, dengan laju jangkauan maksimum 25 meter per tahun dan luas areal terabrasi mencapai 714,97 ha. I Nyoman Suryadiputra mengatakan, Permasalahan di Teluk Banten, terlepas dari adanya abrasi, adalah kondisi hamparan pertambakan seluas 500-an hektar yang gersang. Perlu diupayakan agar tambak-tambak ini dihijaukan, misal melalui penerapan sylvofishery (tambak tumpang sari dengan tanaman mangrove). Untuk mencapai tujuan ini, penerapan sistem insentif dapat diberikan kepada pemilik tambak berupa keringanan/pengurangan biaya PBB (Pajak Bumi Bangunan); tapi jika tambak dibiarkan gersang, kepada mereka dikenakan PBB lebih tinggi. Menanggapi dukungan berbagai pihak dalam pengelolaan ekosistem mangrove Teluk Banten, Kasrudin, Ketua Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua, mengatakan, Kami sangat berterimakasih atas pihak-pihak yang telah mendukung kegiatan di sini. Termasuk rencana bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar kami dapat memperluas kegiatan rehabilitasi mangrove dan meningkatkan pemberdayaan ekonomi di (Desa) Sawah Luhur Diperlukan Pendekatan yang Inovatif Pada 2012, bangunan pemerangkap sedimen mulai dibangun oleh Wetlands International Indonesia bersama masyarakat untuk tujuan memperluas habitat tumbuh mangrove di Daerah Penyangga (depan pantai) Cagar Alam Pulau Dua, Desa Sawah Luhur, Serang, Banten. Awalnya, pemerangkap sedimen berskala kecil, dibangun dengan membentangkan jaring bekas dan menggunakan tumpukan karung sejauh 40 meter dari garis pantai yang terabrasi sepanjang 200 meter dan setinggi 1,5 meter. Di atas lumpur yang terperangkap ini kemudian ditumbuhi mangrove secara alami yang bibit-bibitnya berasal dari lantai hutan Cagar Alam Pulau Dua yang hanyut saat air surut. Bangunan ini ternyata berhasil sukses dan di atas lumpur kini telah tumbuh ribuan pohon Avicennia sp secara alami dengan ketinggian sekitar 2 6 meter, umur sekitar 4 tahun. Upaya ini dilakukan oleh Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua (KPAPPD) bekerja sama dengan Wetlands International Indonesia, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), serta beberapa pihak terkait lainnya. Dengan dukungan program Mangrove for the Future, inovasi ini dikembangkan lebih jauh, yaitu dengan membangun struktur pemerangkap sedimen dengan menggunakan bahan-bahan yang tersedia di sekitar lokasi kegiatan (seperti cerucuk bambu dan ranting/cabang pohon). Gabungan antara penggunaan jaring bekas dan tumpukan karung berisikan lumpur, ditambah dengan penggunaan cerucuk bambu, akhirnya akan menambah habitat mangrove di depan Cagar Alam Pulau Dua dan ini akan menjadikan sabuk hijau pantai desa sawah luhur bertambah luas, ujar Nyoman. Dengan kata lain, perluasan sabuk hijau (green belt), akan mendukung keanekaragaman hayati, melindungi kawasan Cagar Alam Pulau Dua, melindungi pertambakan serta meningkatkan ketahanan pemukiman pesisir Desa Sawah Luhur yang terletak di belakang cagar alam Pulau Dua dari adanya kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Upaya ini juga memiliki nilai strategis dalam kerangka kegiatan pengurangan risiko bencana di daerah pesisir. Kegiatan rehabilitasi di Teluk Banten juga mendukung keberlangsungan kawasan Cagar Alam Pulau Dua, yaitu kawasan yang bernilai penting bagi keberadaan burung air di dalamnya. Ribuan ekor burung dari sekitar 100 jenis burung sangat bergantung kehidupannya pada kawasan yang disebut pula sebagai Pulau Burung ini. Kondisi ini pun sangat potensial dikembangkan sebagai lokasi berbagai kajian pengembangan ilmu pengetahuan sehingga penting dipertahankan. Dalam rangkaian kegiatan pengamatan dan penghitungan burung air di Cagar Alam Pulau Dua bersama Universitas Ageng Tirtayasa (Untirta), Yus Rusila Noor, Program Manajer Wetlands International Indonesia yang juga merupakan pakar burung air di Indonesia, mengatakan, Kerjasama penelitian dan monitoring habitat burung air di Cagar Alam Pulau Dua sangat penting melibatkan institusi penelitian seperti Untirta. Sehingga dasar-dasar ilmiah dapat menjadi pertimbangan pengelolaan kawasan

Pengarusutamaan Pengelolaan Risiko Terpadu Sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana di tengah meningkatnya perubahan iklim dan semakin terdegradasinya lingkungan, Wetlands Internasional Indonesia saat ini tengah menerapkan sebuah pendekatan inovatif untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketahanan masyarakat rentan bencana yang dikenal dengan pendekatan Integrated Risk Management (IRM)/Pengelolaan Risiko Terpadu. IRM merupakan pendekatan yang memadukan Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Adaptasi Perubahan Iklim (API), serta Manajemen dan Restorasi Ekosistem (MRE) secara bersamaan. Delapan prinsip utama IRM: partisipatif, multidisiplin, kemitraan, pendekatan lanskap, penguatan sumber-sumber penghidupan, pembelajaran yang berkelanjutan, bekerja pada skala waktu yang beragam dan penguatan kelembagaan. Dalam penerapannya, pendekatan ini bekerjasama dengan masyarakat, sektor swasta dan pemerintah dan mengintegrasikannya ke dalam kebijakan, praktek investasi dan praktek pembangunan di Indonesia. Programme Manager Resilience Projects, Yus Rusila Noor, menyampaikan bahwa penerapan IRM bukanlah hal yang baru. Antara tahun 2011-2015, WII melalui program Partners for Ressilience telah berhasil mengembangkan kegiatan di lapangan yang terbukti tahan terhadap risiko dan sesuai dengan prinsip-prinsip IRM, salah satunya adalah kegiatan rehabilitasi pesisir dan penguatan ekonomi masyarakat pesisir yang dilakukan di Kabupaten Ende dan Sikka, NTT. Yus Rusila Noor mengatakan, Saat ini babak baru telah dimulai di mana program lanjutan dilakukan untuk mendorong aplikasi IRM yang lebih luas dalam agenda pembangunan di Indonesia, melalui kegiatan advokasi dan dialog kebijakan IRM. Untuk Wetlands International Indonesia, babak baru ini difokuskan pada program pengarusutamaan IRM dalam rencana pembangunan ekosistem dataran rendah khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pada kesempatan yang sama, Cherryta Yunia, Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, KLHK, juga menyampaikan pentingnya pendidikan dan penyadartahuan lingkungan kepada masyarakat dan anak usia dini sebagai bagian dari pengarusutamaan IRM. Di sela kegiatan lomba menggambar siswa-siswa SD, Cherryta mengatakan, Hubungan antara anak dengan alam sekitarnya merupakan landasan yang penting untuk membangun hubungan yang baik antara manusia dengan alam atau lingkungan hidup sekitarnya. Sehingga, kesadaran lingkungan tercermin dalam berbagai perilaku kehidupan di masyarakat. *Informasi tambahan: Brosur Profil Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day) 2017 disampaikan dalam lembar terpisah Untuk informasi lebih lanjut, hubungi: I Nyoman Suryadiputra Direktur Wetlands International Indonesia nyoman@wetlands.or.id Cherryta Yunia Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan cherrytays@yahoo.com Kegiatan Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia ini memperoleh dukungan dari: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pemerintah Provinsi Banten dan Kota Serang Pemerintah Kecamatan Kasemen dan Kelurahan Sawah Luhur Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Serang Asian Waterbird Census Kemitraan Partners for Resilience Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua Program Mangroves for the Future

Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia Apa itu Hari Lahan Basah Sedunia? Setiap tanggal 2 Februari diperingati sebagai hari Lahan Basah Sedunia, sebagai tindak lanjut telah disepakati dan ditandatanganinya suatu Konvensi Internasional (Perjanjian Internasional) tentang lahan basah, tepatnya tanggal 2 Februari 1971 di kota Ramsar, Iran. Konvensi tersebut kemudian kita kenal sebagai: Konvensi Ramsar. Konvensi pada awalnya fokus pada masalah burung air termasuk burung air migran, lalu berkembang kepada konservasi ekosistem lahan basah termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Bahkan saat ini lebih bermulti fokus menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Melihat kenyataan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa lahan basah adalah penyangga kehidupan. Lahan basah menurut Konvensi Ramsar merupakan definisi yang luas, yaitu Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan: alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir, tawar, payau atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut. Indonesia masuk menjadi anggota Konvensi Ramsar pada tahun 1991 dengan diterbitkannya Keppres 48 th 1991 yang merupakan Ratifikasi Konvensi Ramsar di Indonesia. Pada tahun 1996, sebagai salah satu hasil pertemuan para anggota Konvensi Ramsar, ditetapkan bahwa tanggal 2 Februari adalah Hari Lahan Basah Sedunia. Pada tahun 1997, Hari Lahan Basah Sedunia untuk pertama kalinya diperingati di seluruh dunia oleh negara-negara anggota Konvensi Ramsar. Tema tahun 2017 ini adalah Wetlands for Disaster Risk Reduction - Lahan Basah bagi Pengurangan Risiko bencana. Kegiatan manusia yang tidak melindungi, tidak menjaga, bahkan merusak demi beberapa alasan (terutama berlatar belakang ekonomi) adalah faktor utama penyebab terjadinya berbagai kerusakan dan bencana di muka bumi. Beberapa dekade terakhir bahkan bencana meningkat secara drastis, seiring dengan semakin parahnya perubahan iklim yang berkontribusi terhadap cuaca yang lebih ekstrim dan semakin tidak terduga. Degradasi dan kerusakan ekosistem turut meningkatkan kerawanan ekosistem terhadap bencana. Ditambah dengan tingginya tingkat kemiskinan masyarakat di sekitar ekosistem, maka risiko bencana semakin meningkat. Lahan basah yang kondisinya masih baik haruslah dijaga dan dipertahankan, sementara lahan basah yang telah terdegradasi dan rusak harus segera dipulihkan dan dikembalikan fungsi serta manfaatnya, agar ekosistem kembali menjadi kuat. Ekosistem lahan basah yang kuat akan mengurangi risiko bencana bagi ekosistem itu sendiri dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Frekuensi bencana di hampir seluruh belahan dunia terus meningkat, bahkan dalam 35 tahun terakhir frekuensinya meningkat lebih dari dua kali lipat (Sumber: Ramsar). Penyebab utamanya adalah rusaknya lingkungan akibat ulah dan kelalaian manusia, diperparah lagi dengan fenomena perubahan iklim yang terjadi. Kondisi demikian menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan, sehingga lingkungan dan bahkan kehidupan masyarakat di dalamnya menjadi semakin terancam dan rentan. Badan dunia yang membidangi masalah Air memperkirakan bahwa 90% dari semua bencana alam terkait dengan air. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksikan bahwa peristiwa ekstrim ke depan akan jauh lebih parah lagi. Kerusakan lingkungan serta bencana yang terus menerpa, menjadikan ekosistem lingkungan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat (terutama masyarakat miskin) semakin rentan. Ramsar menyatakan bahwa 90% kematian akibat bencana terdapat di negara-negara miskin dan berpendapatan yang rendah. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar yang terletak diantara dua lempeng benua yang menjadikan negara kepulauan ini memiliki risiko bencana gempa, letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan tanah longsor 10 kali lebih besar dibandingkan dengan negara lainya. Kondisi ini diperparah dengan predikat Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki tingkat kerentanan terhadap dampak perubahan iklim yang cukup tinggi. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa tren bencana Indonesia dari 2002 hingga 2015 cenderung meningkat. Pada tahun 2002, tercatat 143 bencana terjadi di Indonesia, meningkat hingga 1.681 bencana pada 2015 (Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/02/10/15560681/15. Tahun.Terakhir.Tren.Bencana.di.Indonesia.Meningkat). Sembilan puluh lima persen diantaranya merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, puting beliung, cuaca ekstrim, dan kekeringan. Semuanya akibat tingginya kerusakan lingkungan, meningkatnya dampak perubahan iklim dan tidak terintegrasinya program pengurangan risiko bencana kedalam ranah kerja sektoral (dan sebaliknya).

Sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana ditengah meningkatnya perubahan iklim dan semakin terdegradasinya lingkungan, Wetlands Internasional Indonesia (WII) saat ini tengah menerapkan sebuah pendekatan inovatif untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketahanan masyarakat rentan bencana yang dikenal dengan pendekatan Integrated Risk Management (IRM)/Pengelolaan Risiko Terpadu. IRM merupakan pendekatan yang memadukan Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Adaptasi Perubahan Iklim (API, serta Manajemen dan Restorasi Ekosistem (MRE) secara bersamaan. Delapan prinsip utama IRM : partisipatif, multidisiplin, kemitraan, pendekatan landscape, penguatan sumber-sumber penghidupan, pembelajaran yang berkelanjutan, bekerja pada skala waktu yang beragam dan penguatan kelembagaan. Dalam penerapannya, WII bekerjasama dengan masyarakat, sektor swasta dan pemerintah, dalam mengintegrasikan Integrated Risk Management (IRM)/ pengelolaan risiko terpadu kedalam kebijakan, praktek investasi dan praktek pembangunan di Indonesia. Penerapan IRM bukanlah hal yang baru. Antara tahun 2011-2015, WII melalui program Partners for Ressilience telah berhasil mengembangkan kegiatan di lapangan yang terbukti tahan terhadap risiko dan sesuai dengan prinsip-prinsip IRM, salah satunya adalah kegiatan rehabilitasi pesisir dan penguatan ekonomi masyarakat pesisir yang dilakukan di Kabupaten Ende dan Sikka, NTT. Saat ini babak baru telah dimulai dimana program lanjutan dilakukan untuk mendorong aplikasi IRM yang lebih luas dalam agenda pembangunan di Indonesia, melalui kegiatan advokasi dan dialog kebijakan IRM. Untuk WII, babak baru ini difokuskan pada program pengarus utamaan IRM dalam rencana pembangunan ekosistem dataran rendah khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Kembalikan peran dan fungsi Lahan Basah, agar risiko bencana semakin berkurang. Ekosistem lahan basah sehat, Bencana terhambat, Masyarakat menjadi kuat Selamat hari Lahan Basah Sedunia 2017 Wetlands for Disaster Risk Reduction - Lahan Basah bagi Pengurangan Risiko Bencana Informasi lebih lanjut silakan hubungi: Wetlands International Indonesia Jl. Bango No. 11 Bogor 16161 Tel. 0251 8312189; E-mail: admin@wetlands.or.id