BAB II KERANGKA TEORI. disebut dengan gregariousness. Lebih lanjut, interaksi sosial sendiri merupakan. dengan kelompok manusia (Soekanto, 2006: 55).

dokumen-dokumen yang mirip
Indikator dalam konflik

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XI (SEBELAS) SOSIOLOGI STRUKTUR DAN DIFERENSIASI SOSIAL

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERHUTANI AKIBAT PENGAMBILAN LAHAN KEHUTANAN

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kornblurn dalam Susan, mengatakan bahwa konflik menjadi fenomena yang

MATERI 4 POLA INTERAKSI SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, tiga ratus lebih suku, budaya,

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

II. TINJAUAN PUSTAKA. manusia yang terorganisir secara stabil, tujuannya untuk menjamin dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. (2002 : 115) mengemukakan beberapa persyaratan sebuah kelompok sosial.

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG

MENGATASI KONFLIK, NEGOSIASI, PENDEKATAN KEAMANAN BERPERSPEKTIF HAM

KEBIJAKAN PENGENDALIAN KONFLIK BERBASIS BUDAYA LOKAL Oleh Drs. Putu Agustana, M.Si. 1

Bentuk-bentuk Interaksi Sosial beserta Status dan Peran individunya. Annisa Nurhalisa

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

I. PENDAHULUAN. mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan ada di dalamnya. Hal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

KONFLIK TAPAL BATAS ANTARA KABUPATEN MESUJI DAN KABUPATEN TULANG BAWANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. khusus dari interaksi sosial. Menurut Soekanto (1983: 80), berlangsungnya

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XI (SEBELAS) SOSIOLOGI STRUKTUR DAN DIFERENSIASI SOSIAL. Dilihat dari sifatnya :

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. pandangan hidup bagi suatu kelompok masyarakat (Berry et al,1999). Pandangan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

PROSES SOSIAL DAN INTERAKSI SOSIAL

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

BAB I PENDAHULUAN. mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan. (Huvigurst dalam Hurlock, 2000).

5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN

BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konflik menurut Webster,dalam bahasa aslinya berarti suatu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. melainkan kebutuhan untuk meredakan ketegangan konflik dari salah satu pihak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan Kelinci di Tinjau Dari Limbah, Bau dan Manfaat yang Ditimbulkan.

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF. melekat dalam setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya

BAB IV ANALISIS. Pustaka Pelajar, 2001, hlm Azyumardi Azra, Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen Di Indonesia, dalam Dinamika

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Manajemen Konflik

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kemajemukan

Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional Tahun 1995 Anthropologi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. persahabatan, pertemanan, perkumpulan dan juga perkawinan. Komunikasi. orang lain, sekecil apapun perbedaan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Fenomena ini misalnya terlihat pada kasus penganut ajaran Sikh yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN. orangtua agar anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan

BAB II KONFLIK DAN INTEGRASI DALAM PARADIGMA TEORI SOSIAL. dengan; atau berselisih dengan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia konflik

PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE

Agama Dalam Masyarakat yang Multi Religius Oleh Ven K Sri Dhammananda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. interaksi manusia antara lain imitasi, sugesti, simpati, identifikasi, dan empati.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Menciptakan Harmonisasi Hubungan Antaretnik di Kabupaten Ketapang

DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK

BAB IV ANALISIS DATA. Bahwasanya kehidupan di dunia ini pada kodratnya diciptakan dalam bentuk yang

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

Budaya dan Komunikasi 1

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PRASANGKA ETNIS PADA ETNIS DAYAK PASCA KONFLIK DAYAK-MADURA DI SAMPIT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang

ASUMSI DAN PROSES KONFLIK

TUGAS AKHIR KONFLIK DI INDONESIA DAN MAKNA PANCASILA

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Konflik

PROSES SOSIAL E K O N U G R O H O, S. P T, M. S C FA K U LTA S P E T E R N A K A N U N I V E R S I TA S B R AW I J AYA S E M E S T E R G A N J I L

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II KERANGKA TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

PENDAHULUAN. yang dimilikinya. Keragaman memang indah dan menjadi kekayaan bangsa yang. dari pada modal bangsa Indonesia (Hanifah, 2010:2).

Oleh: DEPUTI VI/KESBANG KEMENKO POLHUKAM RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KAB/KOTA SE INDONESIA

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions

Transkripsi:

BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Teori Konflik Dalam kehidupannya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Dalam kajian sosiologis, kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain disebut dengan gregariousness. Lebih lanjut, interaksi sosial sendiri merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orangorang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orangperorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2006: 55). Interaksi sosial sendiri dimulai ketika dua orang bertemu (tatap muka), saling menegur (kontak suara), dan berjabat tangan (kontak fisik). Lebih lanjut, interasi sosial menurut Karp dan Yoels (dalam Soenarto, 2003) ditentukan oleh ciri-ciri fisik dan penampilan. Ciri-ciri fisik meliputi jenis kelamin, usia, ras, sedangkan penampilan meliputi daya tarik, bentuk tubuh, busana, dan wacana percakapan. Berdasarkan pendapat di atas, diketahui bahwa pertimbangan dalam berinteraksi biasanya ditentukan oleh adanya persamaan-persamaan, baik persamaan dalam ciri fisik maupun penampilan. Dalam hal ini, individu cenderung melakukan identifikasi atau mencari persamaan, dimana individu kemudian menempatkan diri pada kelompok tertentu. Pada tataran kelompok etnis, persamaan yang dicari diantaranya persamaan bahasa, adat kebiasaan, wilayah, sejarah, sikap, dan sistem politik.

Lebih lanjut, bentuk-bentuk interaksi sosial yang sering dijumpai dalam masyarakat, antara lain; kerjasama, persaingan, dan pertentangan (konflik). Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Sedangkan kompetisi adalah suatu proses dimana individu atau kelompok saling bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan (sumber daya) yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum. Wirawan (2010) mendefinisikan konflik sebagai proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Secara sosiologis, konflik lahir karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak atau belum dapat diterima oleh satu individu dengan individu lain atau antara suatu kelompok dengan kelompok tertentu. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan antara individu-individu (ciri-ciri badaniah), perbedaan unsur-unsur kebudayaan, emosi, perubahan sosial yang terlalu cepat, perbedaan pola-pola perilaku, dan perbedaan kepentingan. Giddens (dalam Susan, 2009) mengemukakan bahwa pendekatan primordial menganggap konflik sebagai akibat dari pergesekan kepentingan kelompok identitas, seperti; identitas yang berbasis pada etnis, keagamaan, budaya, geografis, bangsa, bahasa, tribal, kepercayaan, religius, kasta, dan lain sebagainya. Pendapat Giddens menyiratkan makna bahwa pendekatan primordial melihat identitas-identitas tersebut merupakan potensi konflik, dimana potensi konflik itu dibentuk melalui serangkaian proses panjang, yang diwariskan secara turun-temurun

melalui sosialisasi dalam institusi keluarga. Adanya hal ini memperkuat asumsi bahwa potensi tersebut telah mengakar dalam diri individu. Dalam konteks ini, konflik dalam pendekatan primordial biasanya dapat muncul ke permukaan dengan melibatkan kebencian, dendam, prasangka (prejudice), dan stereotip yang sifatnya ekstrim. Prasangka oleh Soenarto (2003) didefinisikan sebagai sikap bermusuhan yang ditujukan pada kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri-ciri yang tidak menyenangkan. Prasangka umumnya bersifat tidak rasional serta berada di bawah alam sadar, ini yang menyebabkan mengapa prasangka sulit untuk dihilangkan meski kebenaran mengenai prasangka yang dianut telah disangkal melalui bukti-bukti nyata. Kornblum (dalam Soenarto, 2003) mengutarakan bahwa stereotip adalah citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Dalam pandangan sosiologis, stereotip memiliki dua sifat yakni positif dan negatif. Stereotip yang bersifat positif biasanya membawa keuntungan, sedangkan stereotip yang bersifat negatif justru menjadi potensi konflik antarkelompok, baik etnis maupun agama. Senada dengan Kornblum, Thung Ju Lan (2006) mengatakan bahwa setiap etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan.

Selanjutnya, oleh Pelly (dalam Sitorus, 2003) perbedaan-perbedaan tersebut dianggap akan mempengaruhi harmoni konsensus dan intensitas potensi konflik karena picuan perbedaan kepentingan, terutama bila terdapat kelompok-kelompok yang ingin tetap dominatif melalui kiat mengail di air keruh dari suatu kondisi yang dipenuhi oleh ketegangan sosial. Perbedaan kepentingan pada konteks ini, oleh Dahrendorf (dalam Poloma, 2003) dibagi menjadi dua, yakni kepentingan manifes dan kepentingan laten. Kepentingan manifes adalah kepentingan yang disadari oleh semua pihak, sedangkan kepentingan laten sendiri merupakan tingkah laku potensil yang telah ditentukan bagi seseorang karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum disadari. Apa yang dikatakan oleh Dahrendorf mengenai kepentingan manifest dan laten (dalam Poloma, 2003) dikuatkan dengan pendapat Giddens yang melihat potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim dengan menggunakan pendekatan primordial. Kemudian, Magenda dalam Sitorus (2003) juga mengatakan bahwa terdapat pembelahan kultur pada masyarakat Jawa, sedangkan pada banyak suku, agama merupakan identitas suku (seperti halnya orang Melayu yang identik dengan agama Islam), sehingga lahirlah konsep agama suku. Adanya pembelahan kultur pada masyarakat Jawa (Jawa Muslim, Jawa Hindu, Jawa Buddha, dan Jawa Kristen) di Indonesia sendiri merupakan salah satu potensi konflik, jika dilihat dari pendekatan yang digunakan oleh Giddens. Konflik pada hakikatnya terbagi atas dua jenis, yakni konflik vertikal atau konflik antara kelas atas (penguasa) dan kelas bawah (yang dikuasai), serta konflik horizontal atau konflik yang terjadi di antara kelas yang sama. Lebih lanjut, untuk

membahas setiap situasi konflik, Coser membedakan konflik menjadi dua tipologi, yakni konflik realistis dan konflik non-realistis. Konflik realistis adalah konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan (Poloma, 2003: 111). Selanjutnya, konflik non-realistis diartikan oleh Coser (dalam Poloma, 2003) sebagai konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistik, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari satu pihak. Rothchild dan Sriram (dalam Wirawan, 2010) mengemukakan konflik antarkelompok ke dalam empat fase, diantaranya: a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), dimana konflik telah terjadi namun dalam intensitas yang rendah. Factor structural, sosio-ekonomi, kultur, dan politik menjadi penyebab konflik. Perasaan tidak puas mulai tumbuh, namun tidak dikatalisasikan ke dalam kelompok yang terorganisir. b. Fase pertumbuhan (gestation phase), dimana isu yang dipertentangkan oleh kelompok lebih didefinisikan, hubungan antarkelompok lebih dipolitisir dan dimobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang dipertentangkan masih dapat dirundingkan, namun kemungkinan terjadinya kekerasan makin tinggi. c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), dimana persepsi perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur, politik, dan structural) memicu terjadinya eskalasi. Fase ini ditandai dengan adanya kekerasan masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi antarelit,

kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain dan merasa tidak dapat berkompromi. d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat knflik untuk menghindari terulangnya kekerasan. Fase ini terbagi atas dua bagan yang terpisah, yakni; fase keamanan jangka pendek (security-building phase) yang melibatkan dukungan dari militer, serta fase keamanan jangka panjang (long-term institution building phase) dimana rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi membantu membangun kembali hubungan antarkelompok sebagai upaya perdamaian yang berkelanjutan. Sementara itu, Soekanto (2006) mengutarakan bahwa konflik atau pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus, antara lain; pertentangan pribadi, pertentangan rasial, pertentangan politik, pertentangan internasional, serta pertentangan antara kelas-kelas sosial. Terkait dengan kelas sosial, Dahrendorf (dalam Poloma, 2003) berpendapat bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, meskipun bukan determinan kelas akan tetapi dapat mempengaruhi intensitas pertentangan. Senada dengan apa yang diungkapkan Soekanto, Susan (2009) mengemukakan bahwa konflik dapat muncul pada skala yang berbeda, seperti konflik antarorang (interpersonal conflict), konflik antarkelompok (intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan negara (vertical conflict), serta konflik antarnegara

(interstate conflict). Konflik yang muncul pada skala tersebut umumnya dapat ditemui oleh individu dalam kehidupan sosial yang nyata di lingkungannya. Dalam kehidupan sosial di tingkat interpersonal, konflik cenderung disebabkan oleh adanya ikatan yang intim dengan orang lain. Pada tahapan ini, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan daripada mengungkapkan rasa permusuhan. Sementara di sisi lain, penekanan rasa permusuhan itu sendiri dapat menyebabkan akumulasi permusuhan yang akan meledak apabila konflik tersebut berkembang (Poloma, 2003: 114). Pada umumnya konflik di tingkat interpersonal relatif mudah untuk ditangani, sebab konflik tersebut hanya melibatkan antara satu orang dengan orang lainnya. Akan tetapi, konflik yang telah melibatkan suatu kelompok pada umumnya relatif sulit untuk ditangani dan memerlukan mekanisme khusus dalam upaya resolusinya. Coser (dalam Ritzer dan Goodman, 2006) mengemukakan bahwa mekanisme tersebut adalah katup penyelamat atau savety valve. Katup penyelamat memungkinkan luapan konflik tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, dimana konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Selain katup penyelamat, mekanisme lain yang dikemukakan oleh Coser adalah pengkambinghitaman atau scapegoating. Pengkambinghitaman sendiri oleh Coser (dalam Poloma, 2003) digunakan untuk menggambarkan keadaan dimana seseorang atau suatu kelompok tidak melepaskan prasangka (prejudice) mereka terhadap kelompok yang benar-benar merupakan lawan, akan tetapi menggunakan kelompok pengganti sebagai objek prasangka.

Poloma (2003) mengatakan bahwa konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Fisher (dalam Susan, 2009) mengemukakan bahwa terkait persoalan sikap, perilaku, dan situasi konflik dapat dibagi menjadi empat tipe. Tipe-tipe tersebut terdiri dari: a. Tanpa konflik; menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubunganhubungan antarkelompok bias saling memenuhi dan damai. b. Konflik laten; menggambarkan situasi dimana konflik yang ada sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan untuk ditangani. c. Konflik terbuka; menggambarkan situasi konflik yang nyata dan telah muncul ke permukaan, berakar kuat, serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebabnya. d. Konflik di permukaan; memiliki akar yang dangkal atau bahkan tidak berakar, dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran. Sebagai suatu proses sosial yang sifatnya dinamis, konflik sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh yang berasal dari berbagai aspek. Sifatnya yang dinamis cenderung membuat konflik dapat dikelola untuk mencapai suatu resolusi, dimana resolusi tersebut merupakan suatu keadaan dimana kepentingan yang mengalami pergesekan dapat bertemu dan menetapkan kesepakatan bersama.

Susan (2009) menetapkan metode resolusi konflik melalui konsep tata kelola konflik (conflict governance). Konsep tersebut melibatkan penggunaan seluruh sumber daya yang ada, disertai strategi yang tepat, sehingga tujuan dari resolusi tersebut dapat dicapai dengan baik. Sementara itu, Wirawan (2010) juga memaparkan bahwa resolusi konflik dapat dicapai dengan dua cara, yakni pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang berkonflik (self regulation), dan melalui intervensi pihak ketiga (third party intervention). Dalam pengaturan sendiri, pihak-pihak yang terlibat menyusun strategi konflik untuk mencapai tujuannya. Sementara apabila melibatkan pihak ketiga, terdiri atas; resolusi melalui pengadilan, proses administrasi, dan resolusi perselisihan alternatif. Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan oleh beberapa pakar, maka dapat dijabarkan bahwa dalam menganalis konflik sedikitnya terdapat beberapa indikator penting. Indikator-indikator tersebut antara lain sebagai berikut: a. Interaksi (interaction), yakni hubungan-hubungan sosial yang terjadi antara individu ataupun kelompok yang dapat menyebabkan konflik. b. Sumber-sumber konflik (source), yang meliputi; perbedaan fisik, perbedaan kepentingan, perbedaan perlakuan, perbedaan identitas, kekecewaan, keterbatasan sumber daya, bahasa, terputusnya komunikasi, perbedaan persepsi, dan stereotip. c. Pihak-pihak yang berkonflik (stakeholder), yakni pihak-pihak yang berkonflik atau memiliki kepentingan atas terjadinya konflik, meliputi; individu, kelompok, dan pihak ketiga (mediator, free rider, dan lain sebagainya).

d. Proses (process), yakni bagaimana konflik diawali dan berlangsung hingga saat ini. Proses konflik juga meliputi sampai sejauhmana konflik atau potensi konflik akan terjadi, yang dapat digambarkan sebagai eskalasi dan deskalasi konflik. e. Ekspresi (expression), yakni dalam bentuk apa konflik ditunjukkan, seperti; ucapan (verbal), tulisan, gerak tubuh (gesture), dan kontak fisik. f. Hasil akhir (result), meliputi bagaimana hasil akhir dari konflik yang terjadi, seperti; win-win, win-lose, dan lose-lose condition. Pada etnis Jawa yang masih memegang nilai-nilai tradisional, perihal kehidupan diatur dalam suatu tatanan norma dan nilai luhur yang disebut dengan pitutur. Dalam pitutur, diajarkan bahwa hidup orang Jawa haruslah harmonis, selaras, serasi, dan seimbang. Sebab, kebahagiaan dunia dan akhirat dapat tercapai apabila keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan terwujud. Maka dari itu, segala hal yang dapat mengganggu keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan harus dihindari (Wirawan, 2010). Geertz dalam Wirawan (2010) mengemukakan bahwa terdapat dua prinsip dasar dari kehidupan masyarakat Jawa dalam rangka penciptaan harmoni, keseimbangan, dan keselarasan, yakni prinsip rukun dan prinsip hormat. Apabila kedua prinsip ini dipegang teguh sebagai pedoman hidup, maka hubungan sosial yang harmonis dapat diwujudkan dengan baik.

2.2. Definisi Operasional 2.2.1. Konflik Konflik dalam penelitian ini adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Rothchild dan Sriram (dalam Wirawan, 2010) mengemukakan konflik antarkelompok ke dalam empat fase, diantaranya: a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), dimana konflik telah terjadi namun dalam intensitas yang rendah. b. Fase pertumbuhan (gestation phase), dimana isu yang dipertentangkan oleh kelompok lebih didefinisikan, hubungan antarkelompok lebih dipolitisir dan dimobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang dipertentangkan masih dapat dirundingkan, namun kemungkinan terjadinya kekerasan makin tinggi. c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), dimana persepsi perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur, politik, dan struktural) memicu terjadinya eskalasi. Fase ini ditandai dengan kekerasan masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi antarelit, kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain dan merasa tidak dapat berkompromi. d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali

hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat knflik untuk menghindari terulangnya kekerasan. Pada etnis Jawa yang masih memegang nilai-nilai tradisional, perihal kehidupan diatur dalam suatu tatanan norma dan nilai luhur yang disebut dengan pitutur. Dalam pitutur, diajarkan bahwa hidup haruslah harmonis, selaras, serasi, dan seimbang. Sebab, kebahagiaan dunia dan akhirat dapat tercapai apabila keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan terwujud. Maka dari itu, segala hal yang dapat mengganggu keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan harus dihindari (Wirawan, 2010). Geertz dalam Wirawan (2010) mengemukakan bahwa terdapat dua prinsip dasar dari kehidupan masyarakat Jawa dalam rangka penciptaan harmoni, keseimbangan, dan keselarasan, yakni prinsip rukun dan prinsip hormat. Apabila kedua prinsip ini dipegang teguh sebagai pedoman hidup, maka hubungan sosial yang harmonis dapat diwujudkan dengan baik. Prinsip rukun memandang konflik dapat mengganggu keselarasan, dan harmoni kehidupan. Konflik bertentangan dengan nilai-nilai luhur, serta menyebabkan orang tidak dapat bahagia di dunia dan akhirat, sehingga konflik bagi masyarakat Jawa harus dihindari dalam kehidupan. Dalam budaya Jawa terdapat stratifikasi sosial yang membedakan antara seorang individu dengan individu lainnya dalam hierarki yang kompleks, seperti bangsawan dan abdi, orang tua dan anak, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Setiap bagian dari hierarki tersebut mempunyai status dan peran yang berbeda. Prinsip hormat menekankan bahwa setiap orang berkewajiban untuk

menghormati status yang dimiliki orang lain, meskipun penghormatan yang diberikan kepada setiap orang cenderung berbeda. Selain prinsip rukun dan hormat, dikenal pula pitutur catur murti, yakni; berbicara yang baik, berpikir yang baik, berbuat yang baik, dan berperasaan yang baik. Prinsip ini tidak hanya ditujukan untuk menghindari konflik, tetapi juga menjadi pedoman bagi seseorang untuk berperilaku ketika sedang berada dalam situasi konflik. Pada situasi konflik, penerapan catur murti bertujuan untuk menghargai dan menghormati setiap lawan yang dihadapi. Dalam hal ini, penerapan catur murti biasanya diikuti pula dengan dengan beberapa prinsip, antara lain sebagai berikut: a. Sugih tanpo bondo; kaya tanpa harta. b. Ngluruk tanpo bolo; menyerang tanpa tentara. c. Menang tan ngasorake; menang tanpa merendahkan. d. Eling; ingat (tidak lupa diri). e. Aja dumeh; tidak sombong (menganggap remeh). f. Teposeliro ngerti kualat; tenggang rasa dan memahami resiko perbuatan. g. Durung menang yen durung wani kalah; belum menang kalau belum siap untuk kalah. h. Durung unggul yen durung wani asor; belum di atas kalau belum berani di bawah. i. Durung gede yen durung wani cilik; belum dianggap besar kalau belum berani menjadi (dianggap) kecil. j. Mikul dhuwur mendem jero; menjunjung setinggi-tingginya (kebaikan lawan), dan memendam sedalam-dalamnya (keburukan lawan).

2.2.2. Potensi Konflik Potensi konflik adalah akar permasalahan dari konflik sosial, atau berbagai hal yang dapat memicu terjadinya konflik. Potensi konfik dalam penelitian ini muncul dari beberapa aspek, yakni; No Aspek Konflik Variabel Indikator 1 Aspek Sosial dan Interaksi a. Frekuensi interaksi b. Identitas sosial Perbedaan agama Perbedaan etnis Perbedaan warna kulit Perbedaan budaya Perbedaan bahasa Perbedaan kelas Penampilan c. Jumlah teman dalam jejaring sosial d. Toleransi Tanggapan terhadap pelaksanaan kegiatan adat etnis lain Tanggapan terhadap pelaksanaan kegiatan agama lain Tanggapan terhadap pembangunan rumah ibadah agama lain Menghadiri resepi pernikahan Mengunjungi tetangga yang kemalangan e. Jarak sosial (skala Bogardus) di kota yang sama di kecamatan yang sama di kelurahan yang sama sebagai tetangga sebagai anggota keluarga 2 Aspek Ekonomi a. Kecemburuan sosial Status ekonomi Status sosial

Kekayaan 3 Aspek Struktural Politik dan b. Kesempatan kerja a. Partisipasi politik Kesempatan usaha Pekerjaan strategis Persaingan dengan etnis lain Persaingan dengan penganut agama lain Ormas kesukuan Ormas keagamaan Partai politik b. Akses terhadap sumber daya (sarana dan prasarana kota) Tempat tinggal Sarana kesehatan Pendidikan Kepemilikan tanah c. Etnisitas dalam kepemimpinan Berdasarkan kesamaan agama Berdasarkan kesamaan etnis d. Kepuasan terhadap kepemimpinan saat ini 4 Aspek Budaya a. Pengetahuan tentang budaya Kepuasan terhadap proporsi etnis Jawa di pemerintahan Kepuasan terhadap kepemimpinan non-jawa Keterwakilan aspirasi politik Peninggalan sejarah kejawaan Upacara adat Jawa Kesenian adat Jawa Gotong-royong Penggunaan bahasa b. Prasangka dan Stereotip e. Ekspresi konflik dan Resolusi konflik Penilaian dan citra kaku terhadap etnis lain Cara yang disukai untuk menunjukkan rasa tidak suka dan cara yang disukai untuk menyelesaikannya.