BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mengontrol akses menuju suatu wilayah atau material yang dilindungi, dibutuhkan teknik pengenalan individu yang handal. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, teknik pengenalan individu secara konvensional dinilai tidak praktis lagi dan memiliki berbagai kelemahan. Teknik pengenalan individu secara konvensional dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu berdasarkan sesuatu yang diketahui seperti penggunaan PIN dan password, dan berdasarkan sesuatu yang dimiliki seperti penggunaan kartu dan kunci. Kelemahan yang muncul dari penggunaan PIN dan password di antaranya adalah mudah terlupakan, dapat digunakan secara bersama-sama, serta mudah ditebak dan diketahui dengan menggunakan suatu algoritma brute-force. Penggunaan kartu dan kunci juga memunculkan beberapa kelemahan di antaranya adalah mudah hilang atau dicuri, dapat digunakan secara bersama-sama, serta mudah diduplikasi. Berbagai kelemahan yang muncul dari penggunaan teknik pengenalan individu secara konvensional memunculkan usulan dari para peneliti untuk membuat suatu teknik pengenalan berdasarkan ciri alami yang dimiliki oleh manusia. Teknik pengenalan ini dikenal dengan istilah sistem biometrik. Sistem biometrik menggunakan karakteristik fisiologis atau karakteristik perilaku untuk mengenali identitas seseorang. Karakteristik fisiologis adalah ciri fisik yang relatif stabil seperti sidik jari, geometri tangan, pola iris, dan retina. 1
2 Sedangkan karakteristik perilaku, seperti tanda tangan, pola ucapan, atau ritme mengetik, selain memiliki basis fisiologis yang relatif stabil, juga dipengaruhi kondisi psikologis yang mudah berubah. Biometrik dapat diaplikasikan di berbagai permasalahan yang membutuhkan pengenalan individu, di antaranya pada kontrol paspor, kontrol login komputer, bank elektronik, ATM, kartu kredit, bandar udara, pelayanan sosial dan kesehatan (Revenkar, 2010). Secara umum sistem biometrik dapat dibangun sebagai sistem verifikasi atau identifikasi. Sistem verifikasi merupakan sistem biometrik yang bertujuan untuk memberi penegasan berupa penerimaan atau penolakan terhadap identitas yang diklaim oleh seseorang. Pada sistem verifikasi, dilakukan pencocokan satu ke satu dari sampel biometrik yang diberikan terhadap sampel biometrik yang terdaftar atas identitas yang diklaim tersebut. Sedangkan sistem identifikasi merupakan sistem biometrik yang bertujuan untuk mengungkap identitas seseorang. Pada sistem identifikasi, dilakukan pencocokan satu ke banyak, yaitu pencarian ke seluruh database yang menyimpan identitas sampel biometrik yang telah terdaftar (Putra, 2010:24). Salah satu sistem biometrik yang paling menjanjikan adalah melalui salah satu bagian dari organ mata yaitu iris. Iris adalah daerah berbentuk gelang pada mata yang dibatasi oleh pupil (bagian pusat mata yang berwarna hitam) dan sclera (bagian putih dari mata). Kelebihan dari iris yang menjadikannya salah satu biometrik dengan tingkat akurasi yang tinggi adalah seumur hidup tekstur iris yang dimiliki seseorang akan stabil, iris merupakan organ internal yang dapat terlihat secara eksternal, iris dari dua orang kembar identik atau iris mata kanan dan kiri
3 dari seorang individu sangat berbeda dan tidak saling berhubungan, iris memiliki struktur fisik yang kaya dan dapat menyediakan banyak data (Tang, et al, 2009). Pengenalan iris diawali oleh dua orang ophthalmologists, yakni Dr. Leonard Flom dan Dr. Aran Safir, yang mematenkan ide mengenai penggunaan iris sebagai biometrik pada tahun 1987. Mereka bekerja sama dengan Prof. John Daugman untuk mengembangkan algoritma pengenalan iris. Pada tahun 1994, Daugman menerima hak paten untuk algoritma yang dikembangkannya. Suksesnya pengujian yang dilakukan untuk U.S. Defense Nuclear Agency ternyata diikuti dengan diimplementasikannya pengenalan iris secara komersial. Pada tahun 2003, pengenalan iris diajukan sebagai bagian dari kartu identitas nasional di Inggris (Dunstone and Yager, 2009:8). Semenjak dikembangkannya algoritma pengenalan iris oleh Prof. John Daugman, penelitian di bidang ini terus bermunculan dan menghasilkan algoritmaalgoritma baru yang dapat diaplikasikan dalam pengenalan iris. Tahap pengenalan iris yang seringkali menjadi objek penelitian adalah segmentasi iris. Tahap segmentasi iris bertujuan untuk menemukan wilayah iris dengan mendeteksi batas dalam iris yang memisahkan antara wilayah pupil dan iris, dan batas luar iris yang memisahkan antara wilayah iris dan sclera. Hasil dari tahap ini akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya suatu iris dikenali. Salah satu metode yang sering digunakan dalam segmentasi iris adalah transformasi lingkaran Hough seperti yang dilakukan oleh Masek, yang mengkombinasikannya dengan metode deteksi tepi Canny (Masek, 2003). Namun, dengan metode tersebut terkadang akurasi wilayah pupil dan iris yang diperoleh tidak sesuai, hal ini dikarenakan kedua
4 wilayah tersebut sebenarnya tidak berbentuk lingkaran sempurna, sedangkan transformasi lingkaran Hough menggunakan template lingkaran dengan bentuk yang sempurna untuk mencari wilayah pupil dan iris yang diasumsikan berbentuk lingkaran sempurna. Terlebih lagi, jika wilayah iris terhalang oleh kelopak mata sehingga bentuknya tidak lagi seperti lingkaran. Dalam hal ini, diperlukan suatu teknik yang dapat beradaptasi sesuai dengan solusi target yang diinginkan. Teknik segmentasi yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan solusi target adalah active contour atau sering disebut pula dengan istilah snake model. Pada teknik ini, suatu active contour (snake) yang terdiri dari himpunan titik koordinat akan mengitari fitur target (fitur yang akan diekstraksi). Cara kerjanya bisa dianalogikan seperti menemukan suatu bentuk dengan menggunakan balon, dalam hal ini balon akan melingkupi bentuk yang akan dicari. Udara di dalam balon kemudian dikeluarkan sedikit-demi sedikit hingga ukuran balon akan menyusut. Penyusutan pada balon akan berhenti pada saat ukuran balon telah sesuai dengan bentuk yang dicari. Dari ilustrasi tersebut dapat diketahui bahwa pencarian solusi dengan menggunakan snake model diekspresikan dengan proses meminimumkan fungsi tujuan (Nixon and Aguado, 2008:244). Namun, terdapat kelemahan dari snake model ini, yakni snakes seringkali terjebak pada keadaan minimum lokal sehingga akan mempengaruhi solusi yang dihasilkan. Particle swarm optimization (PSO) merupakan teknik optimasi yang didasarkan pada perilaku sosial kawanan burung. Teknik ini diharapkan mampu mengatasi kelemahan dari snake model dengan cara mengoptimasi proses meminimumkan fungsi tujuan dalam snake model sehingga solusi yang dihasilkan dapat lebih optimal. Pemilihan teknik PSO
5 didasarkan pada ulasan yang dilakukan oleh Kaur dan Singh yang menyimpulkan bahwa PSO yang dikombinasikan dengan metode lain seperti PSO-thresholding, PSO-berbasis fuzzy, PSO-algoritma genetika, PSO-berbasis wavelet, PSO-berbasis clustering, PSO-berbasis rough set, dan PSO-berbasis jaringan syaraf tiruan akan menghasilkan pendekatan yang lebih efektif, karena pada dasarnya PSO adalah metode yang sangat tangguh (powerful) (Kaur and Singh, 2012). Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan tersebut, penelitian mengenai pengenalan iris ini menggunakan pendekatan berbasis snake model yang dioptimasi dengan PSO untuk tahapan segmentasi. Ekstraksi ciri terhadap wilayah iris yang diperoleh dari tahap segmentasi akan menggunakan filter wavelet Gabor 2-D karena filter ini mampu menyediakan representasi gabungan yang optimal dari sinyal dalam domain spasial dan frekuensi. Hasil dari filter Gabor akan didemodulasi dengan menggunakan quadrature 2-D Gabor untuk menghasilkan iris code yang merupakan informasi pembeda (fitur ciri) iris yang telah dimampatkan. Proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi berbasis nearest neighbor, yakni metode K-NN. Metode tersebut telah terbukti sebagai algoritma pengenalan yang sederhana dan tangguh, dengan aturan keputusan yang memiliki kinerja yang baik mengingat bahwa tidak tersedia pengetahuan eksplisit dari data (Choudhary, et al., 2012). 1.2 Rumusan Masalah Pada penelitian ini, permasalahan akan difokuskan pada bagaimana merancang dan mengimplementasikan sistem identifikasi biometrik iris dengan
6 menggunakan metode Snake Model yang dioptimasi dengan PSO dan ekstraksi ciri menggunakan Gabor 2-D, serta bagaimana unjuk kerja dari sistem yang dihasilkan dalam melakukan identifikasi biometrik iris berdasarkan probabilitas kesalahan pencocokkan (FMR dan FNMR), tingkat keberhasilan sistem dalam mengidentifikasi pemilik iris (persentase akurasi keputusan), dan waktu yang dibutuhkan oleh sistem untuk melakukan proses pendaftaran dan identifikasi (ratarata waktu proses sistem). 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan sistem yang dapat melakukan identifikasi individu secara otomatis berdasarkan data biometrik iris, dalam hal ini tahap segmentasi diimplementasikan menggunakan Snake Model yang dioptimasi dengan PSO dan tahap ekstraksi ciri menggunakan Gabor 2-D, serta untuk menganalisis unjuk kerja dari sistem yang dihasilkan dalam melakukan identifikasi biometrik iris berdasarkan probabilitas kesalahan pencocokkan (FMR dan FNMR), tingkat keberhasilan sistem dalam mengidentifikasi pemilik iris (persentase akurasi keputusan), dan waktu yang dibutuhkan oleh sistem untuk melakukan proses pendaftaran dan identifikasi (rata-rata waktu proses sistem). 1.4 Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam pemilihan metode segmentasi dalam pengembangan sistem pengenalan iris baik dalam model verifikasi maupun identifikasi. Selain itu,
7 penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan acuan yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana membangun suatu sistem pengenalan biometrik iris, khususnya dalam model identifikasi. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang akan dilakukan adalah membangun sistem pengenalan biometrik iris dengan model identifikasi. Pendekatan yang digunakan untuk membangun sistem identifikasi tersebut adalah dengan mengimplementasikan snake model yang dioptimasi dengan PSO pada tahap segmentasi untuk memperoleh wilayah iris. Pada tahap ekstraksi ciri digunakan filter wavelet Gabor 2-D untuk membentuk iris code dari wilayah iris yang telah terdeteksi. Identifikasi dilakukan dengan mengimplementasikan klasifikasi berbasis K-NN terhadap iris code yang hendak diidentifikasi dengan iris code yang tersimpan di dalam database. Perhitungan jarak antara iris code yang hendak diidentifikasi dengan iris code yang tersimpan di dalam database dilakukan dengan menggunakan Hamming distance. Data biometrik citra iris yang digunakan pada penelitian ini adalah MMU Iris Database yang dapat diunduh di http://pesona.mmu.edu.my/~ccteo. Seluruh citra pada data set tersebut merupakan citra grayscale 24 bit dengan format BMP dan berukuran 320 240 piksel. Data biometrik citra iris tersebut diperoleh dari 46 individu, dengan setiap individu memiliki sampel citra untuk iris kanan dan kiri. Masing-masing sampel iris kanan dan kiri terdiri dari 5 citra.
8 1.6 Keaslian Penelitian Metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di bidang pengenalan biometrik iris dan satu lagi di bidang yang lebih mengkhusus, yakni segmentasi iris. Empat penelitian yang diacu adalah penelitian yang dilakukan oleh Daugman, Wildes, Masek, dan Jarjes et al. Pada tahap akuisisi data, Daugman mengambil citra yang digunakan secara langsung yakni dengan menggunakan kamera CCD Monochrome dengan NIR illumination 700nm-900nm. Sedangkan pada ketiga penelitian lainnya, tahap akuisisi data dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan database citra iris yang telah disediakan oleh organisasi penyedia citra biometrik. Pada tahap segmentasi citra, Daugman menggunakan operator Integrodifferential, Wildes dan Masek menggunakan transformasi Hough. Untuk segmentasi, Jarjes et al menggunakan teknik yang mampu beradaptasi dengan kontur dari objek yang dicari, yakni Snake Model yang dikombinasikan dengan Angular Integral Projection Function (AIPF). Pada tahap normalisasi citra, Daugman dan Masek menggunakan Daugman s Rubber Sheet Model, sedangkan Wildes mengembangkan tekniknya sendiri yaitu teknik registrasi citra. Pada tahap ekstraksi ciri, Daugman dan Masek menggunakan Gabor 2-D, sedangkan Wildes menggunakan Isotropic Bandpass. Pada tahap pencocokkan, Daugman dan Masek menggunakan Hamming Distance, sedangkan Wildes menggunakan korelasi ternormalisasi. Untuk mengetahui unjuk kerja sistem yang dihasilkan, Daugman menggunakan pendekatan Statistical Distribution, sedangkan Masek menggunakan FAR dan FRR.
9 Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, baik di bidang yang lebih umum, yaitu pengenalan biometrik iris, maupun bidang yang lebih khusus, yaitu segmentasi iris, dapat dirumuskan metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian ini. 1. Akuisisi data dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan MMU Iris Database. 2. Segmentasi citra menggunakan Snake Model yang dioptimasi dengan Particle Swarm Optimization (PSO). 3. Normalisasi citra menggunakan Daugman s Rubber Sheet Model. 4. Ekstraksi ciri menggunakan Gabor 2-D. 5. Identifikasi menggunakan K-NN dengan penghitungan skor kemiripan menggunakan Hamming Distance. 6. Unjuk kerja sistem yang dihasilkan didasarkan pada probabilitas kesalahan pencocokkan (FMR dan FNMR), akurasi keputusan, dan waktu proses sistem.
Gambar 1.1 Diagram Fishbone Penelitian 10