PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula dari melemahnya nilai kurs Rupiah tersebut telah berkembang menjadi krisis multidimensi, sebagai akibat dari adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan tidak stabilnya situasi sosial politik dan keamanan, baik pada tingkat regional maupun pada tingkat nasional. Krisis ekonomi tersebut kemudian memicu gerakan massa pada Mei 1998 dan kemudian mampu menggulingkan rezim Orde Baru yang pada dasarnya merupakan puncak penolakan rakyat atas pelaksanaan sistem pemerintahan yang sentralistik. Hadi (2001) mengemukakan bahwa kebijakan pembangunan yang sentralistik dan menekankan kepada pencapaian petumbuhan ekonomi serta penciptaan kondisi politik dan keamanan yang sangat terkendali secara spasial ternyata telah menambah tingkat ketimpangan antar wilayah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik tersebut didukung oleh undang-undang yang mengatur tentang hubungan pemerintahan dan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejak periode kemerdekaan sampai dengan masa orde baru telah diterbitkan 6 Undang-undang yang mengatur hubungan pemerintahan antara pusat dan daerah, yaitu (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969, dan (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Sedangkan undang-undang yang mengatur hubungan keuangan baru diterbitkan 1 undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956. Di dalam undang-undang itu terkandung otonomi daerah, tetapi dalam pelaksanaannya berbeda dalam hal pembagian bobot kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bahkan materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengakibatkan semakin besarnya peranan pemerintah pusat, karena pusat menguasai dan mengontrol hampir semua sumber-sumber penerimaan daerah termasuk sumber penerimaan yang berasal dari potensi sumber daya alam daerah, seperti pertambangan
2 minyak bumi dan gas alam, kehutanan, perkebunan dan perikanan. Akibatnya timbul masalah ketimpangan vertikal (vertikal imbalance) antara pusat dan daerah penghasil sumber daya alam. Selain itu karena belum terukurnya mekanisme pengalokasian transfer kepada daerah menyebabkan timbulnya ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara satu daerah dengan daerah lain, terutama antara daerah-daerah yang berada di Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia. Permasalahan ketimpangan di atas dinilai sebagai pangkal dari timbulnya krisis multidimensi dan isu disintegrasi bangsa. Dalam upaya meredam masalah ketimpangan tersebut, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan dua undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah. Lahirnya dua paket produk undang-undang yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2001 dipandang sebagai proses awal bangkitnya semangat desentralisasi pada sistem pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, terdapat empat hal yang mengalami perubahan cukup fundamental, yaitu (1) konsep desentralisasi lebih mengemuka dibandingkan dengan konsep dekonsentrasi, (2) masalah pertanggungjawaban pelaksanaan pemerintahan daerah lebih bersifat horizontal dibandingkan vertikal, (3) pengaturan yang lebih jelas mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah, dan (4) kewenangan pengelolaan keuangan diberikan secara utuh kepada daerah. Substansi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah mengatur mengenai desentralisasi kewenangan, yaitu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah dalam satu paket P3D (Pembiayaan, Personil, Peralatan dan Dokumen), artinya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah akan disertai dengan pengalihan P3D tersebut. Ini berarti pusat harus memberikan tidak saja penyerahan keuangan, tetapi juga sumber daya manusia (pegawai pusat) dan peralatan (bangunan kantor dan isinya) dan dokumentasi pendukung. Di pihak lain, daerah juga wajib menerima tanggung jawab untuk memelihara semua yang diserahkan kepada daerah termasuk mendukung pembayaran gaji dan perencanaan karier pegawai pusat yang diserahkan kepada daerah. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan
3 kewenangan ini, maka kantor pusat yang ada di daerah (Kanwil dan Kandep) sebagian besar diserahkan kepada daerah termasuk pegawai dan assetnya. Materi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengatur mengenai desentralisasi fiskal, yaitu penyerahan sumber keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah disertai dengan hak pengelolaannya. Desentralisasi fiskal pada dasarnya bertujuan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, sehingga pengaturan materi Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, transfer dana kepada daerah berbentuk Dana Perimbangan yang terdiri atas (a) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber alam (Dana Bagi Hasil), (b) Dana Alokasi Khusus (DAK), dan (c) Dana Alokasi Umum (DAU). Dana Bagi Hasil dan DAU merupakan bantuan yang bersifat blok (block grant), artinya penggunaan dari kedua sumber dana itu ditentukan sendiri oleh daerah berdasarkan prioritas daerah dan tidak ada intervensi dari pemerintah pusat. Sementara kewenangan pemerintahan daerah untuk memungut pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari bidang pajak dan retribusi telah diatur di dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab serta memperkecil perbedaan pembangunan antardaerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang. Dengan demikian melalui pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan akan terjadi pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Dengan bekal kemampuan keuangan yang relatif sama tersebut diharapkan setiap daerah dapat membangun daerahnya dengan tingkat perkembangan yang relatif sama pula.
4 Secara ringkas latar belakang penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Kebijakan Pembangunan Sentralistik (Rezim Orde Baru) Krisis Ekonomi Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah Kemiskinan Ancaman Disintegrasi Tuntutan Reformasi Sistem Pemerintahan dan Fiskal (Tahun 1997) Lahirnya Kebijakan Otonomi Daerah UU 22/1999 dan UU 25/1999 Desentralisasi Fiskal UU 25/1999 Sistem Pemda: 1. Provinsi 2. Kab./Kota Otonomi Daerah dititikberatkan pada Kab/Kota (UU 22/1999) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Perimbangan 1. Dana Bagi Hasil 2. DAU 3. DAK 1. Pemerataan Kemampuan Keuangan Antardaerah 2. Pemerataan Kinerja Pembangunan Daerah? Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten Gambar 1 Diagram alir latar belakang penelitian
5 Perumusan Masalah Pelaksanaan otonomi daerah yang diikuti oleh desentralisasi fiskal, yaitu dengan diberikannya diskresi kepada daerah dalam mengelola sumber-sumber penerimaan daerah bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (mengoreksi vertikal imbalance) serta ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (mengoreksi horizontal imbalance). Koreksi vertikal imbalance dilakukan melalui pengalokasian Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, dan koreksi horizontal imbalance dilakukan melalui pengalokasian DAU. Artinya bagi daerah-daerah yang memiliki potensi pajak seperti DKI Jakarta, dan daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam seperti Kalimantan Timur, dan Riau akan memperoleh penerimaan dari Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, sehingga proporsi perolehan dari DAU akan relatif kecil. Sebaliknya bagi daerah-daerah yang tidak memiliki potensi pajak dan potensi SDA akan mendapatkan proporsi DAU yang relatif lebih besar daripada daerah yang memiliki potensi pajak dan potensi SDA. Provinsi Banten merupakan provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Provinsi Banten terdiri atas (1) Kabupaten Serang, (2) Kabupaten Pandeglang, (3) Kabupaten Lebak, (4) Kabupaten Tangerang, (5) Kota Tangerang, dan (6) Kota Cilegon. Masing-masing kabupaten/kota memiliki sumber daya, dan aktivitas ekonomi yang berbeda-beda sehingga mendapatkan DAU, DAK, Dana Bagi Hasil yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pemerataan kemampuan keuangan, dan kinerja pembangunan daerah antar kabupaten/kota di Provinsi Banten. Berdasarkan latar belakang seperti diuraikan di atas pelaksanaan desentralisasi fiskal menghadapi beberapa persoalan penting yang antara lain dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah formula yang dipergunakan dalam mengalokasikan DAU kepada daerah telah mencerminkan fungsi DAU sebagai alat pemerataan kemampuan keuangan antardaerah (equalizing grant)?
6 2. Seberapa jauh dampak pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui pengalokasian DAU akan meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan kabupaten/kota di Provinsi Banten? 3. Bagaimana kinerja pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Banten setelah desentralisasi fiskal dilaksanakan? Kerangka Pemikiran Salah satu tujuan pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal adalah untuk meratakan kemampuan keuangan antardaerah sehingga setiap daerah di Indonesia memiliki kemampuan yang relatif sama dalam membangun dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dilakukan dengan cara mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (mengoreksi vertikal imbalance) serta mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (mengoreksi horizontal imbalance). Koreksi vertikal imbalance dilakukan melalui pengalokasian Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, dan koreksi horizontal imbalance dilakukan melalui pengalokasian DAU. Pada kondisi yang sama, daerah yang memiliki potensi Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam yang tinggi akan mendapat proporsi DAU yang lebih kecil dari daerah yang tidak memiliki potensi pajak dan potensi SDA. Selanjutnya guna mendukung berjalannya fungsi suatu daerah otonom, melalui kebijakan desentralisasi fiskal setiap daerah diberikan keleluasaan untuk mengelola sumber-sumber penerimaannya sesuai dengan prioritas daerah. Untuk mengetahui pemerataan kemampuan keuangan daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten adalah dengan menganalisis penerimaan DAU per kapita dan pendapatan APBD perkapita. Selanjutnya untuk mengetahui kinerja pembangunan daerah dilakukan dengan menganalisis perkembangan perekonomian dan tingkat kesejahteraan penduduk di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten. Secara ringkas kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
7 Pemerintah Pusat Desentralisasi 1.Kewenangan (UU 22/1999) 2.Fiskal (UU 25/1999) Pemerintah Kab/Kota Di Provinsi Banten Desentralisasi Dekonsentrasi Tugas Pembantuan APBD PAD Dana Perimbangan Pinjaman APBN APBN Pajak Daerah Retribusi Daerah BUMD Lain-lain PAD Bagi Hasil DAU DAK Eksisting Kemampuan Keuangan Antar Kab/Kota di Provinsi Banten Metode Analisis Pemerataan Kemampuan Keuangan Antar Kab/Kota Di Provinsi Banten?? Kinerja Pembangunan Daerah Kab/Kota Di Provinsi Banten Pencapaian Sasaran Desentralisasi Fiskal 1. Pemerataan Pertumbuhan Perekonomian 2. Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat? Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
8 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Evaluasi atas formula yang dipergunakan dalam pengalokasian DAU. 2. Analisis pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pemerataan kemampuan keuangan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. 3. Analisis kinerja pembangunan daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di wilayah Provinsi Banten. 2. Memberikan kontribusi kepada para peneliti dan akademisi sebagai bahan bacaan pada kajian yang berkaitan dengan keuangan negara/daerah.
9 Batasan Penelitian Agar penelitian ini berfokus kepada tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka ditetapkan batasan-batasan penelitian sebagai berikut: 1. Analisis dilakukan pada pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 sampai 2005. 2. Pada saat penelitian ini dilakukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Berdasarkan Ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, pelaksanaan perubahan aturan Bagi Hasil Pajak Sumber Daya Alam berlaku efektif mulai tahun 2009 (Pasal 106) dan perubahan mengenai aturan Dana Alokasi Umum berlaku efektif mulai tahun 2008 (Pasal 107). Dengan demikian bahasan kebijakan desentralisasi fiskal pada penelitian ini hanya mengacu kepada aturan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan aturan-aturan pelaksanaannya. 3. Obyek penelitian adalah seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Banten yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang. 4. Dengan pertimbangan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari fungsi pemerintahan, maka pemerataan kemampuan keuangan dicerminkan dari meratanya DAU per kapita dan Pendapatan APBD per kapita, sementara pemerataan kinerja pembangunan daerah dicerminkan dari meratanya perekonomian daerah dan kesejahteraan penduduk.