BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencengahan dan

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. memasuki dunia pekerjaan. Mendapatkan predikat lulusan terbaik dari suatu

BAB I PENDAHULUAN. Di jaman yang semakin maju, pendidikan menjadi salah satu faktor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan diselenggarakan. Kaum muda diharapkan memiliki bekal

BAB 1 PENDAHULUAN. dibicarakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini tidak dapat disangkal

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

tersisih ", mengandung pengertian bahwa kaum gay pada akhirnya tetap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Setiap aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. pada rentang usia tahun mulai membangun sebuah relasi yang intim

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya dan semua orang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun. Pada masa ini, orang-orang mencari keintiman emosional dan fisik

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ilma Kapindan Muji,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. (Duvall & Miller, 1985). Pernikahan merupakan awal terbentuknya sebuah

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Komersial) merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. menyerukan kepada seluruh bangsa di dunia bahwa jika ingin membangun dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Subjek berasal dari keluarga tidak harmonis, sejak kecil subjek berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB I PENDAHULUAN. tanpa terkecuali dituntut untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sepanjang hidupnya individu mempunyai tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. dirinya adalah seorang homoseksual. Hal ini karena di Indonesia masih banyak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di dalam bidang pendidikan. Perubahan perubahan tersebut menuntut

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Pada rentang kehidupan manusia akan selalu terjadi proses perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia sedang mengalami penurunan ekonomi yang

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan individu lain. Hubungan ini memiliki jenis serta kualitas yang bervariasi. Hubungan yang terjadi pada individu tersebut dapat berupa persahabatan, persaudaraan, atau bahkan hubungan yang mengarah pada suatu hubungan yang khusus bersifat pribadi, yaitu hubungan intim. Hubungan intim biasanya bertujuan untuk lebih mengenal satu sama lain hingga tercapai tujuan bersama dan dapat membuat dua individu bersatu dalam ikatan yang disebut dengan ikatan perkawinan. Hubungan intim yang diharapkan pada dua individu adalah pria dengan wanita atau sebaliknya, tetapi pada kenyataannya tidak hanya terjadi antara pria dengan wanita melainkan antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita, yang disebut dengan homoseksual. Homoseksual adalah individu yang memiliki ketertarikan secara erotis, psikologis, emosional, dan sosial pada individu lain dari jenis kelamin yang sama, meskipun ketertarikan itu tidak diekspresikan

2 secara overt (Martin & Lyon, dalam Crooks & Baur, 1983). Wanita homoseksual dikenal dengan sebutan lesbi dan pria homoseksual dikenal dengan sebutan gay. Pada tahun 1973 American Psychiatric Association memutuskan untuk menghilangkan homoseksualitas dari daftar gangguan mental. Homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai gangguan mental, tetapi lesbi dan gay terus menjadi target permusuhan, ketakutan, dan prasangka yang ekstrem (Jeffrey & Spencer dalam Nevid, 2005). Sikap negatif oleh masyarakat lebih kuat terhadap kaum gay daripada kaum lesbi (Knox, 1984). Hal ini disebabkan adanya anggapan dan harapan dari masyarakat bahwa laki-laki harus menikah dan memberikan anak kepada istri dan keluarga (Oetomo, 2003). Menurut Koordinator Himpunan yang bergerak di bidang kesehatan man have sex with man (MSM) X Bandung, Ronnie, mengungkapkan, saat ini terdapat 17.000 pria homoseksual yang tersebar di berbagai daerah di Kota Kembang. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah mengingat setiap tahun selalu terjadi peningkatan yang cukup signifikan (http://www.pikiranrakyat.com/node/75401). Pada dasarnya yang membedakan homoseksual dan heteroseksual ada pada identitas seksualnya. Identitas seksual merupakan penghayatan diri individu yang mencakup preferensi seksual individu (heteroseksual, homoseksual dan biseksual) serta aktivitas, minat, dan gaya berperilaku seksual (Kelly, 2001). Menurut Erikson (dalam Hall, Lindzey, Loehlin, & Manosevitz, 1985), identitas

3 seksual merupakan bagian dari identitas diri yang puncak pembentukannya terjadi pada masa remaja. Setelah melewati masa remaja, identitas seksual diharapkan sudah terbentuk secara utuh sehingga individu mampu menghadapi tugas perkembangan di masa dewasa. Menurut Papalia (2008), individu pada tahap perkembangan dewasa awal memiliki berbagai tuntutan perkembangan pada rentang usia 20 hingga 40 tahun, dimana individu meninggalkan rumah orang tua mereka, memulai pekerjaan atau karier, menikah atau membina hubungan intim, memiliki dan membesarkan anak, dan mulai memberikan kontribusi yang signifikan untuk lingkungan mereka. Begitu pula tuntutan perkembangan kaum homoseksual pada dewasa awal, mereka akan meninggalkan rumah orang tua mereka, memulai pekerjaan atau karier, menikah atau membina hubungan intim, dan membesarkan anak. Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat (http://id.wikipedia.org/wiki/pernikahan). Idealnya dalam pernikahan memberikan keintiman, komitmen, persahabatan, afeksi, pemuasan seksual, dan kesempatan pertumbuhan emosional, juga sebagai sumber identitas dan harga diri (Gardiner & Kosmitzky; dalam Papalia, 2008). Pria homoseksual pada tahap perkembangan dewasa awal diharapkan dapat memenuhi tuntutan perkembangannya, yaitu menikah. Perkembangan

4 individu dapat berlangsung lancar bila pernikahan terjadi tepat waktu, bila tidak dapat menghasilkan suatu tekanan. Pernikahan menjadi suatu pengalaman yang umumnya diharapkan terjadi pada usia tertentu dalam masyarakat. Pria homoseksual pada tahap perkembangan dewasa awal diharapkan sudah memilih pasangan, menentukan tujuan, dan waktu dalam mencapai pernikahannya. Pria homoseksual pada tahap perkembangan dewasa awal yang belum menentukan pasangan, menentukan tujuan dan waktu dalam mencapai pernikahan, akan menghadapi berbagai pertanyaan dari keluarga, teman-teman sebaya, dan masyarakat sekitar. Pertanyaan-pertanyaan ini dapat berubah menjadi gunjingan dan cibiran yang akhirnya menjadi tekanan dari lingkungan sosial. Tuntutan ini pun dapat menjadi hambatan bagi pria homoseksual pada tahap perkembangan dewasa awal yang telah memiliki pasangan sejenis dan ingin melangsungkan pernikahan. Di Indonesia, pernikahan sesama jenis tidak mendapatkan pengakuan dari pihak hukum dan agama. Secara hukum, pernikahan dinyatakan sah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, Bab I, Pasal 1 bahwa Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila pasangan sesama jenis melaksanakan pernikahan, maka hanya komunitas tertentu yang mengakui pernikahan tersebut. Terdapat pasangan pria berasal dari Belanda dan Yogyakarta, yang melakukan pernikahan di negara

5 Belanda dan menggelar pesta perkawinan sesama jenis di Planet Pyramid, Yogyakarta. Pesta pernikahan ini dihadiri teman sesama jenis lainnya, tetapi hingga kini ceritanya masih menjadi buah bibir di Yogyakarta (http://www.gatra.com/artikel.php?id=31335). Adanya pertentangan mengenai pernikahan sesama jenis dapat menyebabkan pria homoseksual mengalami kesulitan membangun harapan, tujuan, dan waktu dalam mencapai ikatan pernikahan. Pria pada tahap perkembangan dewasa awal memiliki harapan dan minat, perencanaan, serta evaluasi terhadap pernikahan, yang disebut oleh Nurmi (1989) sebagai orientasi masa depan bidang pernikahan. Individu yang memiliki orientasi masa depan bidang pernikahan yang jelas berarti individu tersebut melakukan antisipasi terhadap kejadian-kejadian yang mungkin timbul dalam pernikahan di masa depannya. Menurut Nurmi (1989), orientasi masa depan bidang pernikahan diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap pernikahan di masa depannya. Bagaimana individu memandang pernikahan, akan tergambar melalui harapanharapan, tujuan standar, perencanaan dan strategi, dan evaluasi dalam pernikahan di masa depannya. Terdapat tiga proses di dalam orientasi masa depan bidang pernikahan, yaitu individu pada usia dewasa awal diharapkan terlebih dahulu mempunyai motivasi yang berisi minat, harapan, dan tujuan yang terarah pada pernikahan di masa depan. Setelah memiliki motivasi, mereka akan melakukan

6 perencanaan untuk merealisasikan tujuannya dan yang terakhir mereka akan mengevaluasi hal-hal yang sudah direncanakan dalam pernikahan tersebut. Pria homoseksual usia dewasa awal ada yang memiliki kejelasan orientasi masa depan dalam pernikahan, tetapi ada pula yang belum memiliki kejelasan orientasi masa depan dalam pernikahan. Pria homoseksual usia dewasa awal yang memiliki tujuan, minat, dan harapan yang besar pada pernikahan, memiliki perencanaan yang terarah dalam menentukan pernikahan, dan menilai dengan akurat bahwa pernikahan yang telah direncanakannya dapat terealisasikan sesuai dengan tujuannya di masa depan, menunjukkan bahwa mereka memiliki orientasi masa depan yang jelas dalam pernikahan. Pria homoseksual usia dewasa awal yang memiliki tujuan, minat dan, harapan yang kecil pada pernikahan, perencanaan yang tidak terarah dalam menentukan pernikahan, dan tidak akurat dalam menilai pernikahan di masa depannya dapat terealisasikan sesuai dengan tujuan, menunjukkan bahwa mereka belum memiliki orientasi masa depan yang jelas dalam pernikahan. Menurut Nurmi (1989) orientasi masa depan bidang pernikahan di pengaruhi oleh konteks sosial dan perkembangan sepanjang rentang kehidupan, dan lingkungan sosial. Faktor pertama adalah konteks kehidupan individu, yang dijelaskan melalui aturan-aturan sosial, dan tipe sistem belief yang berlaku di suatu kebudayaan. Pada setiap kebudayaan, terdapat perbedaan yang sangat bervariasi dalam aturan, dan belief.

7 Faktor berikutnya adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial disini dikarakteristikan sebagai lingkungan sosial saat ini, seperti orang tua dan keluarga. Meskipun orang muda lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman sepermainannya daripada orang tua, namun orang tua dan keluarga tetap penting bagi kehidupan seorang muda (Jurkovic & Ulrici 1985, dalam Nurmi 1989). Di Indonesia keberadaan pria homoseksual merupakan bagian dari masyarakat yang mendapatkan stigma dan diskriminasi, sehingga mereka membutuhkan tempat untuk mendapatkan informasi mengenai dukungan, persahabatan dan pertemanan bagi sesama pria homoseksual sehingga mereka tidak merasa sendiri. Himpunan X adalah lembaga yang bergerak dalam bidang pemberdayaan komunitas pria homoseksual dan masyarakat umum. Salah satu kegiatan dalam Himpunan X adalah kegiatan peer education, yaitu kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh teman sebaya untuk meningkatkan pengetahuan mengenai homoseksual dan berbagai masalah yang membayangi kaum homoseksual dan juga pelayanan hotline bagi kaum homoseksual yang membutuhkan konsultasi psikologi. Berdasarkan survei yang dilakukan di Himpunan X Bandung diketahui bahwa dari 10 orang pria homoseksual sebanyak 50% (5 orang) akan menikah dengan lawan jenis di masa depan, 40% (4 orang) akan menikah dengan sesama jenis di masa depan, dan 10% (1 orang) akan menikah dengan sesama dan lawan

8 jenis di masa depan. Hasil survei di atas menunjukkan bahwa adanya keinginan pria homoseksual di Himpunan X Bandung yang ingin menikah tidak hanya dengan sesama jenis, melainkan dengan lawan jenis, atau keduanya. Pria homoseksual di Himpunan X Bandung memiliki 100% motivasi pada pernikahan, mereka mempersiapkan diri untuk berkomitmen dengan pasangannya sesuai dengan tujuan dan harapannya di masa depan. Dari 100% pria homoseksual di Himpunan X yang memiliki motivasi, terdapat 40% (4 orang) diantaranya memiliki perencanaan yang terarah pada pernikahan agar mempunyai keturunan, menjalin hubungan dengan pasangan saat ini dapat diakui oleh banyak orang, melakukan pernikahan agar menghindari perselingkuhan, gaya hidup bebas dan berganti-ganti pasangan, agar ada yang merawat dirinya, dan kelak mendapatkan rasa cinta yang diharapkan. Sebaliknya terdapat 60% (6 orang) memiliki perencanaan yang tidak terarah dengan alasan, saat ini belum mempunyai pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan pasangannya kelak, belum adanya keterbukaan dari kedua pasangan apabila meresmikan hubungan dalam perkawinan, belum siap untuk hidup bersama dengan satu pasangan homoseksual, tidak mungkin menikah di negara Indonesia karena bukan negara liberal dan pernikahan sesama jenis tidak mungkin dilegalkan, belum menemukan calon pasangan, dan tidak ingin menyakiti hati apabila menikah dengan lawan jenis tetapi menikah dengan sesama jenis pun akan mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat.

9 Dari 100% pria homoseksual di Himpunan X yang memiliki motivasi, hanya 10% (1 orang) yang melakukan evaluasi dengan akurat, pria homoseksual menilai akan mendapatkan pasangan yang tepat dan dapat langsung menikah di masa depan. Sedangkan 90% (9 orang) melakukan evaluasi dengan tidak akurat, pria homoseksual menilai bahwa kecil kemungkinan untuk merealisasikan pernikahan yang sesuai dengan harapan dan tujuan pernikahan di Indonesia, tidak dapat melakukan hubungan suami istri, dan adanya ketakutan pernikahan tidak akan berlangsung lama. Dapat disimpulkan bahwa terdapat 10 % pria homoseksual di Himpunan X Bandung yang memiliki kejelasan dalam orientasi masa depan bidang pernikahan, karena memiliki motivasi yang besar, perencanaan yang terarah, dan melakukan evaluasi dengan akurat mengenai pernikahan sesuai dengan tujuan dan harapannya di masa depan. Sebaliknya terdapat 90% pria homoseksual di Himpunan X Bandung yang tidak memiliki kejelasan orientasi masa depan bidang pernikahan, walaupun memiliki motivasi besar, tetapi ada yang memiliki perencanaan terarah dan tidak terarah, dan melakukan evaluasi dengan tidak akurat mengenai pernikahan sesuai dengan tujuan dan harapannya di masa depan. Dari pernyataan sepuluh pria homoseksual himpunan X di Bandung dalam merencanakan masa depannya mereka memiliki kejelasan orientasi masa depan bidang pernikahan yang berbeda-beda. Dengan demikian peneliti tertarik

10 untuk meneliti orientasi masa depan bidang pernikahan pada kaum pria homoseksual di Himpunan X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Ingin diketahui bagaimanakah gambaran orientasi masa depan bidang pernikahan pada komunitas pria homoseksual di Himpunan X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk menjaring data tentang orientasi masa depan bidang pernikahan yang dipengaruhi oleh konteks sosial perkembangan sepanjang rentang kehidupan dan lingkungan sosial pada komunitas pria homoseksual di Himpunan X Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai orientasi masa depan bidang pernikahan pada komunitas pria homoseksual di Himpunan X Bandung.

11 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Memberikan sumbangan informasi pada ilmu Psikologi, khususnya pada bidang terapan Psikologi Sosial tentang orientasi masa depan bidang pernikahan pada komunitas pria homoseksual di Himpunan X Bandung. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong peneliti lain untuk mengembangkan dan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai orientasi masa depan bidang pernikahan pada sampel penelitian yang lain. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada komunitas pria homoseksual di Himpunan X Bandung, agar mereka yang belum memiliki kejelasan orientasi masa depan bidang pernikahan dapat memikirkan mengenai kejelasan orientasi masa depan bidang pernikahan dan bagi mereka yang sudah memiliki orientasi masa depan bidang pernikahan dapat mempertahankan orientasi masa depan bidang pernikahannya. Memberikan informasi kepada staff dan anggota di Himpunan X yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam memahami orientasi masa depan bidang pernikahan dan untuk kegiatan pendampingan (Peer Education) pada komunitas pria homoseksual di Himpunan X Bandung.

12 1.5 Kerangka Pikir Seorang dewasa awal rata-rata berada pada rentang usia 20 hingga 40 tahun adalah masa dimana individu meninggalkan rumah orang tua mereka, memulai pekerjaan atau karier, menikah atau membina hubungan intim, memiliki dan membesarkan anak, dan mulai memberikan kontribusi yang signifikan untuk lingkungan mereka (Papalia, 2008). Mereka membuat keputusan yang akan berdampak terhadap kehidupan mereka, baik dari segi kesehatan, kebahagiaan, dan kesuksesan. Pernikahan merupakan hubungan dua individu berjangka panjang, yang akan mempengaruhi kehidupan di masa depan. Transisi dari hubungan intim menuju kehidupan pernikahan membawa perubahan-perubahan besar dalam fungsi seksual, pengaturan hidup, hak dan tanggung jawab, kelekatan, dan kesetiaan. Dalam perjalanan kehidupan, pasangan heteroseksual pada dewasa awal mengalami siklus kehidupan keluarga. Fase siklus kehidupan keluarga mencakup menjadi orang tua dan sebuah keluarga dengan anak. Hal ini tidak dapat dialami bagi pasangan homoseksual karena pasangan homoseksual tidak dapat memiliki anak, hasil dari pernikahan mereka. Ada pun hambatan lainnya, yaitu pertentangan norma masyarakat, agama, dan hukum mengenai pernikahan sesama jenis di negara Indonesia.

13 Pada dasarnya yang membedakan homoseksual dan heterosekual ada pada identitas seksualnya. Identitas seksual merupakan penghayatan diri individu yang mencakup preferensi seksual individu (heteroseksual, homoseksual dan biseksual) serta aktivitas, minat dan gaya berperilaku seksual (Kelly, 2001). Menurut Erikson (dalam Hall, Lindzey, Loehlin, & Manosevitz, 1985), identitas seksual merupakan bagian dari identitas diri yang puncak pembentukannya terjadi pada masa remaja. Setelah melewati masa remaja, identitas seksual diharapkan sudah terbentuk secara utuh sehingga individu mampu menghadapi tugas perkembangan di masa dewasa. Selain itu, identitas seksual yang utuh akan menentukan sikap dan perilaku individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Ini merupakan hal yang penting untuk dimiliki individu agar dapat memenuhi harapan-harapan dari lingkungan sosial. Menurut Nurmi (1989), tugas-tugas perkembangan yang akan dijalani individu pada masa dewasa awal berkaitan dengan orientasi masa depan yaitu memilih pasangan hidup, belajar untuk hidup bersama dengan pasangan, memulai kehidupan berkeluarga membesarkan anak-anak, mengatur rumah tangga, dan mulai bekerja. Nurmi (1989), mendefinisikan orientasi masa depan sebagai cara pandang seseorang terhadap masa depannya yang akan tergambar melalui harapan-harapan, tujuan standar, perencanaan dan strategi

14 pencapaian tujuan. Pembentukan orientasi masa depan ini mencakup tiga tahapan yaitu motivasi, perencanaan, dan evaluasi. Tahap pertama adalah motivasi. Motivasi mendorong untuk bertingkah laku tertentu yang mengarah pada suatu tujuan. Motivasi meliputi motifmotif, minat-minat, dan harapan-harapan individu yang berkaitan dengan masa depannya. Minat yang dimiliki akan mengarahkan dirinya dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Untuk menetapkan tujuan yang realistik, motif-motif umum, dan nilai-nilai harus dibandingkan dengan pengetahuan yang berkaitan dengan masa depan (Markus & Wurf, 1987 dalam Nurmi 1989). Pria homoseksual di Himpunan X Bandung memiliki motivasi yang besar pada pernikahan akan mempersiapkan diri untuk berkomitmen pada pasangannya, menentukan usia saat akan menikah, dan dapat memperkirakan jarak waktu dalam merealisasikan pernikahan sesuai dengan harapan dan tujuannya. Pria homoseksual di Himpunan X Bandung memiliki motivasi yang kecil pada pernikahan, belum dapat mempersiapkan diri untuk berkomitmen dengan satu pasangan, tidak ada batasan usia tertentu untuk menikah, dan tidak dapat memperkirakan jarak waktu dalam merealisasikan pernikahan sesuai dengan harapan dan tujuannya. Tahap kedua adalah perencanaan, yaitu strategi yang disusun individu untuk merealisasikan tujuan. Perencanaan merupakan proses yang terdiri dari

15 penentuan tujuan, penyusunan dan perwujudan rencana, dimana individu akan membuat gambaran dari tujuan masa depan bidang pernikahan, lalu akan menyusun strategi pelaksanaannya dengan menentukan langkah-langkah yang paling memungkinkan untuk meraih tujuan. Pria homoseksual di Himpunan X Bandung yang perencanaannya terarah pada pernikahan mulai mencari banyak informasi yang berhubungan dengan pernikahan lawan jenis atau sesama jenis. Informasi ini digunakan dalam menentukan langkah-langkah yang jelas dan spesifik mengenai kesesuaian kemampuan dirinya dalam mencapai tujuan pernikahannya nanti, yaitu untuk memenuhi kewajiban agama, memiliki keturunan dan mempunyai status sosial yang jelas di masyarakat. Apabila langkah-langkah tersebut berhasil maka tujuan menikah dapat direalisasikan di masa depan. Pria homoseksual di Himpunan X Bandung yang perencanaannya tidak terarah pada pernikahan memiliki sedikit informasi mengenai pernikahan lawan jenis atau sesama jenis. Dengan pengetahuan yang terbatas mereka menentukan langkah-langkah yang bersifat umum mengenai kemampuan dirinya, contohnya akan menjadi orang yang lebih baik sebagai calon suami tetapi tidak menjelaskan dengan cara seperti apa untuk menjadi calon suami yang lebih baik. Sehingga tujuan untuk menikah belum dapat direalisasikan di masa depan.

16 Tahap terakhir evaluasi, dalam tahap ini individu dalam membuat rencana serta tujuan akan disesuaikan dengan kemampuan yang mereka miliki, hal ini dilakukan dengan mengevaluasi kesempatan yang dimiliki. Individu memperkirakan faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung dan menghambat pencapaian tujuan dari pernikahan. Keberhasilan dan kegagalan dari pernikahan diikuti emosi tertentu, dengan perasaan positif atau perasaan negatif. Pria homoseksual di Himpunan X Bandung yang melakukan evaluasi dengan akurat akan mengetahui hal-hal apa saja yang dapat mewujudkan pernikahannya. Mereka memiliki kesempatan dalam merealisasikan rencana pernikahan, sehingga memunculkan perasaan optimis untuk mencapai tujuan menikah, yaitu memenuhi kewajiban agama,memiliki keturunan, dan status sosial dalam masyarakat. Mereka menilai pernikahannya di masa depan dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Lain halnya dengan pria homoseksual di Himpunan X Bandung yang melakukan evaluasi dengan tidak akurat. Pria homoseksual di Himpunan X Bandung mengetahui hal-hal yang menjadi hambatan dalam pernikahan. Dengan melaksanakan pernikahan sesama jenis, mereka akan mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat, tidak memiliki keturunan, dan tidak dapat melegalkan pernikahan di negara Indonesia. Dengan adanya hambatan tersebut, kecil kesempatan untuk merealisasikan tujuan pernikahan di masa depan, sehingga memunculkan perasaan pesimis dalam merealisasikan tujuan

17 pernikahan. Mereka menilai pernikahannya di masa depan berlangsung dalam jangka waktu yang pendek. Dengan melakukan pernikahan lawan jenis, mereka dapat memiliki keturunan, tetapi ada hambatan dalam mempertahankan pernikahan. Kurangnya ketertarikan pria homoseksual melakukan hubungan suami istri dengan lawan jenis dapat mempengaruhi kelangsungan pernikahan. Mereka menilai pernikahan di masa depannya berlangsung dalam jangka waktu pendek. Menurut Nurmi (1989) orientasi masa depan bidang pernikahan di pengaruhi oleh konteks sosial dan perkembangan sepanjang rentang kehidupan, dan lingkungan sosial. Faktor pertama yang mempengaruhi orientasi masa depan bidang pernikahan adalah konteks sosial dan perkembangan sepanjang rentang kehidupan. Konteks kehidupan individu dijelaskan melalui aturan-aturan sosial, dan tipe sistem belief yang berlaku di suatu kebudayaan. Pada setiap kebudayaan, terdapat perbedaan yang sangat bervariasi dalam aturan, dan belief. Perkembangan orientasi masa depan berawal dari normative life events yang berhubungan dengan tugas perkembangan dan jadwal mengenai perkembangan tujuan dan minat dari orientasi masa depan seseorang. Kedua, sepanjang rentang kehidupan terdapat perubahan dalam kesempatan untuk bertingkah laku dan adanya model sebagai contoh untuk menyelesaikan tugas perkembangan yang merupakan suatu dasar untuk membuat perencanaan dan

18 strategi untuk mencapai orientasi masa depan. Kemudian standar dan hal-hal yang diutamakan untuk dapat menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik adalah suatu hal yang mendasar dalam proses evaluasi. Pria homoseksual pada dewasa awal di Himpunan X Bandung dihadapkan pada tugas perkembangan, sehingga pria homoseksual pada dewasa awal diharapkan sudah memiliki minat, harapan, dan tujuan untuk menikah. Sepanjang rentang kehidupan pria homoseksual dewasa awal memiliki kesempatan mendapatkan contoh dari masyarakat dalam merencanakan pernikahan di masa depan. Pria homoseksual pada dewasa awal di Himpunan X Bandung memandang budaya masyarakat Indonesia adalah budaya heteroseksual, sehingga pria homoseksual dewasa awal yang sebelumnya memiliki tujuan menikah dengan sesama jenis mempertimbangkan kembali perencanaan dan startegi pernikahan mereka untuk menikah dengan lawan jenis. Namun, pria homoseksual dewasa awal menilai bahwa untuk mewujudkan pernikahan dengan lawan jenis yang sesuai dengan harapan, dituntut untuk dapat melakukan hubungan suami istri agar pernikahannya dapat bertahan lama. Faktor berikutnya adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial dikarakteristikan sebagai lingkungan sosial saat ini, seperti orang tua dan keluarga. Meskipun orang muda lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman sepermainannya daripada orang tua, namun orang tua dan

19 keluarga tetap penting bagi kehidupan seorang muda (Jurkovic & Ulrici 1985, dalam Nurmi 1989). Pertama, orang tua menjadi model dalam mengatasi tugas perkembangan yang dimiliki. Kedua, dengan menetapkan standar normatif, orang tua dapat mempengaruhi perkembangan minat, nilai dan goal yang dimiliki oleh anaknya. Ketiga, interaksi dalam keluarga juga menjadi dasar untuk mempelajari keterampilan dalam penyusunan rencana dan strategi dalam memecahkan masalah yang akan digunakan individu dalam menghadapi tugas-tugas perkembangannya. Pria homoseksual pada dewasa awal di Himpunan X Bandung memiliki minat, harapan, dan tujuan untuk menikah dari standar normatif yang orang tua tetapkan. Pria homoseksual pada dewasa awal di Himpunan X Bandung yang awalnya memiliki tujuan untuk menikah dengan sesama jenis lalu mengetahui bahwa standar normatif yang ditetapkan oleh orang tua adalah menikah dengan lawan jenis, maka dapat mempengaruhi tujuan menikah pria homoseksual pada dewasa awal di Himpunan X Bandung dengan lawan jenis. Interaksi dari keluarga berupa dukungan dari orang tua sebagai dasar dari penyusunan rencana dan strategi untuk memecahkan masalah atau hambatan untuk pria homoseksual dewasa awal yang memiliki tujuan menikah dengan lawan jenis. Pria homoseksual di Himpunan X Bandung yang memiliki motivasi besar, memiliki perencanaan yang terarah, tetapi mengevaluasi rencana dan

20 tujuan dalam pernikahan dengan tidak akurat, maka pria homoseksual di Himpunan X Bandung belum memiliki kejelasan dalam orientasi masa depan bidang pernikahan. Pria homoseksual di Himpunan X Bandung dapat pula dikatakan belum memiliki kejelasan orientasi masa depan bidang pernikahan apabila memiliki motivasi yang besar, perencanaan yang tidak terarah, dan mengevaluasi rencana dan tujuan dalam pernikahan dengan tidak akurat. Apabila pria homoseksual di Himpunan X Bandung memiliki motivasi yang kecil, memiliki perencanaan yang tidak terarah, mengevaluasi rencana dan tujuan dalam pernikahan dengan tidak akurat, maka pria homoseksual di Himpunan X Bandung belum memiliki kejelasan orientasi masa depan bidang pernikahan. Berbeda dengan pria homoseksual di Himpunan X Bandung dengan motivasi yang besar, memiliki perencanaan yang terarah, mengevaluasi rencana dan tujuan dalam pernikahan dengan akurat, maka pria homoseksual di Himpunan X Bandung memiliki kejelasan orientasi masa depan bidang pernikahan.

21 Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam bagan berkut ini : Faktor-faktor yang berpengaruh : Konteks sosial dan perkembangan sepanjang rentang kehidupan Lingkungan sosial (orang tua) Komunitas pria homoseksual di Himpunan X Bandung pada usia 20-40 tahun Orientasi masa depan bidang pernikahan Jelas Motivasi Perencanaan Evaluasi Tidak jelas 1.1 Bagan Kerangka Pikir 1.6 Asumsi Pada usia 20 40 tahun pria homoseksual di Himpunan X Bandung dihadapkan pada perkembangan dewasa awal yang berorientasi masa depan bidang pernikahan. Pria homoseksual di Himpunan X Bandung yang berusia 20 40 tahun memiliki orientasi masa depan bidang pernikahan yang jelas dan tidak jelas.

22 Seberapa besar minat, harapan, dan dorongan terhadap pernikahan, seberapa terarah rencana pernikahan, dan seberapa akurat antisipasi dan penilaian tentang tujuan dan rencana pernikahan dapat membentuk orientasi masa depan bidang pernikahan pria homoseksual di Himpunan X Bandung, yaitu jelas dan tidak jelas. Orientasi masa depan bidang pernikahan pada pria homoseksual di Himpunan X Bandung dipengaruhi oleh konteks sosial dan perkembangan sepanjang rentang kehidupan, dan lingkungan sosial.