OPTIMALISASI JANGKAUAN PELAYANAN HALTE BRT/BUS TRANS SEMARANG

dokumen-dokumen yang mirip
SEMARANG. Ngaliyan) Oleh : L2D FAKULTAS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PEMILIHAN MODA ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) UNTUK KAWASAN URBAN SPRAWL KOTA SEMARANG (Studi Kasus : Koridor Setiabudi dan Majapahit) TUGAS AKHIR

MODEL BANGKITAN PERJALANAN YANG DITIMBULKAN PERUMAHAN PURI DINAR MAS DI KELURAHAN METESEH KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Transportasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis faktor..., Agus Imam Rifusua, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI MULAI. Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

ANALISIS PERGERAKAN PENDUDUK USIA KERJA DI KECAMATAN PEDURUNGAN SEBAGAI KAWASAN URBAN FRINGE KOTA SEMARANG (Studi Kasus Di Kelurahan Tlogosari Kulon)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS TUNDAAN PADA RUAS JALAN MAJAPAHIT KOTA SEMARANG DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONSUMSI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan faktor pendukung pertumbuhan perekonomian di sebuah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan

Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi BAB VIII PENUTUP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Armandha Redo Pratama, 2015

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN

PENGEMBANGAN PRASARANA FEEDER MENUJU HALTE KORIDOR 2 BUS RAPID TRANSIT (BRT) MAMMINASATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TOWNHOUSE DI SEMARANG

PENYEDIAAN TRANSPORTASI UMUM MASA DEPAN DI KOTA SEMARANG. Siti Rahma, Dyah Amalia Wijayanti, Ismiyati *), Djoko Purwanto *)

EKSISTENSI ANGKUTAN PLAT HITAM PADA KORIDOR PASAR JATINGALEH GEREJA RANDUSARI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

PENYEDIAAN TRANSPORTASI UMUM MASA DEPAN DI KOTA SEMARANG. Siti Rahma, Dyah Amalia Wijayanti, Ismiyati *), Djoko Purwanto *)

Bab I PENDAHULUAN. sarana dan prasarana mencakup pada sarana transportasi. Transportasi merupakan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN ASOSIASINYA TERHADAP PENGGUNAAN KENDARAAN PRIBADI DI KAWASAN PINGGIRAN KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. penduduk atau barang atau jasa atau pikiran untuk tujuan khusus (dari daerah asal ke daerah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

KAJIAN PERUBAHAN SPASIAL KAWASAN PINGGIRAN KOTA SEMARANG DITINJAU DARI RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) TAHUN

selatan Ringroad dan sebagian Sleman yang berada di sebelah utara Ringroad. Meskipun demikian, kondisi wilayah perkotaan yang berada di dalam jalan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun jumlah penduduk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

DAFTAR ISI BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial diketahui tidak dapat hidup sendiri

PILIHAN PELAYANAN PENUMPANG ANGKUTAN PERKOTAAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. tarik tersendiri bagi penduduk untuk melakukan migrasi ke daerah tertentu. Migrasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN

Peningkatan Pelayanan Bus Transjakarta Berdasarkan Preferensi Pengguna (Studi Kasus: Koridor I Blok M Kota, Jakarta)

Keterkaitan Karakteristik Pergerakan di Kawasan Pinggiran Terhadap Kesediaan Menggunakan BRT di Kota Palembang

EVALUASI PENEMPATAN LOKASI POS PEMADAM KEBAKARAN DI KOTA SEMARANG

Gambar 5.30 Peta Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai Gambar 5.31 Peta rencana Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai...

MODEL PEMILIHAN MODA ANTARA LIGHT RAIL TRANSIT (LRT) DENGAN SEPEDA MOTOR DI JAKARTA

PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN BECAK DALAM SISTEM PERGERAKAN DI PERUMNAS TLOGOSARI SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. TINJAUAN UMUM

BAB V PEMBAHASAN. Kota Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. transportasi sehingga bertambah pula intensitas pergerakan lalu lintas kota.

BAB I PENDAHULUAN. berjalan beriringan, terlebih di Daerah Istimewa Yogyakarta. Arus perekonomian

Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek (Tahap II) Laporan Akhir: Ringkasan Laporan

DAYA LAYAN HALTE BATIK SOLO TRANS DI KOTA SURAKARTA, KABUPATEN BOYOLALI, KABUPATEN KARANGANYAR DAN KABUPATEN SUKOHARJO. Abstract

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian khususnya perkotaan. Hal tersebut dikarenakan transportasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia sebagai negara berkembang saat ini sedang giat melaksanakan

ANALISIS POLA PERJALANAN TRANSPORTASI PENDUDUK DAERAH PINGGIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan masyarakat kota Padang dalam menjalankan aktifitas sehari-hari sangat tinggi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai

Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. menunjang kegiatan sehari-hari adalah sektor jasa transportasi. Transportasi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN I.1

Pengelolaan Transportasi Berwawasan Lingkungan Sebagai Dampak Perkembangan Perkotaan Tak Terkendali (Studi Kasus Kota Semarang)

Aditya Putrantono Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuatu yang merupakan penunjang terselenggaranya suatu proses (usaha,

BAB II LANDASAN TEORI. transportasi untuk kebutuhan produksi, distribusi dan konsumsi

Merumuskan pola penggunaan/pemilihan moda penduduk Jakarta. Merumuskan peluang perpindahan penggunaan moda dari kendaraan pribadi ke BRT di Jakarta.

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Peranan tersebut menjadikan angkutan umum perkotaan sebagai aspek

BAB 2 LANDASAN TEORI. merupakan Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu

BAB IV ANALISA DAN HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008) Evaluasi adalah penilaian. Prestasi yang di perlihatkan, (3) kemampuan kerja.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengurangan tingkat..., Arini Yunita, FE UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

usaha pemenntah pusat maupun daerah dalam melaksanakan pembangunan fisik dan

I. PENDAHULUAN. Permasalahan di sektor transportasi merupakan permasalahan yang banyak terjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, umumnya seragam, yaitu kota-kota mengalami tahap pertumbuhan

BAB I PENDAHULAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan Perumahan bagi Penduduk Jakarta

EVALUASI SISTEM PELAYANAN TRANSIT ANTAR KORIDOR BUS RAPID TRANSIT TRANS SEMARANG

BAB. I. Pendahuluan I - 1 BAB I PENDAHULUAN

Bab VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kawasan stasiun Pasar Nguter, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. oleh Negara Negara yang telah maju maupun oleh Negara yang sedang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Atika Permatasari, 2013

Transkripsi:

OPTIMALISASI JANGKAUAN PELAYANAN HALTE BRT/BUS TRANS SEMARANG Djoko Suwandono Staff Lecturer Urban and Regional Planning Department Faculty of Engineering Diponegoro University Jl. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang Telp/Fax: (024) 7460054 dsuwandono@yahoo.com Mussadun Staff Lecturer Urban and Regional Planning Department Faculty of Engineering Diponegoro University Jl. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang Telp/Fax: (024) 7460054 mussadun@gmail.com Diah Intan Kusumo Dewi Staff Lecturer Urban and Regional Planning Department Faculty of Engineering Dipnoegoro University Jl. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang Telp/Fax: (024) 7460054 diah.dewi@undip.ac.id Pratamaningtyas A Asisten Laboratory Urban and Regional Planning Department Faculty of Engineering Diponegoro University Jl. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang Telp/Fax: (024) 7460054 pratamatyas@yahoo.co.id Abstract The growth of urban population is often not accompanied with adequate public transport. To meet the needs of public transport, Semarang city are beginning to develop the provision of Bus Rapid Transit (BRT) or Bus Trans Semarang in 2010. One of the problems to meet the needs of public transport services is BRT shelter range of service is not optimal. It can be seen from the BRT shelter service outreach at a radius of 400 meters (on foot) only covers 47 % of the 177 districts (kelurahan) in the city of Semarang. The limited range of shelter coverage is due to lack of modal options (such as taxi motorcycle, rickshaw, bicycle) between residential location with BRT shelter. To overcome these problems required the addition of BRT shelter outreach radius to a radius of 3 km by bike and ride facilities (for bicycles) and other advanced modes such as taxi motorcycle or rickshaw. Kata Kunci: Range of service, Shelter, Bus Rapid Abstrak Pertumbuhan penduduk yang meningkat dikawasan perkotaan seringkali tidak diiringi adanya penyediaan angkutan umum yang memadai. Seperti halnya Kota Semarang yang mulai mengembangkan penyediaan bus Rapid Transit (BRT) atau Bus Trans Semarang mulai beroperasi tahun 2010, untuk memenuhi kebutuhan transportasi penduduknya. Salah satu permasalahan dalam memenuhi kebutuhan pelayanan angkutan umum adalah jangkauan pelayanan halte BRT yang tidak optimal. Hal ini dapat dilihat dari jangkauan pelayanan halte BRT pada radius 400 meter (dengan berjalan kaki) hanya mencapai 47% dari 177 kelurahan di Kota Semarang. Terbatasnya jangkauan pelayanan halte BRT ini diakibatkan tidak adanya pilihan moda lanjutan (seperti ojek, becak, sepeda) yang memadai antara lokasi pemukiman dengan shelter BRT. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya penambahan radius jangkauan pelayanan shelter BRT hingga radius 3 km dengan menyediakan fasilitas bike and ride (untuk sepeda) dan moda lanjutan lainnya seperti ojek atau becak. Kata Kunci: Jangkauan pelayananan, Halte, Bus Trans PENDAHULUAN Kota Semarang merupakan kota yang mempunyai bentuk seperti kipas atau the fan shaped cities (Yunus, 2000). Hal ini mempengaruhi perkembangan kota kearah pinggiran kota terutama ke bagian Selatan, Timur dan Barat. Perkembangan kota Semarang ini diiringi dengan perkembangan sistem transportasi yang lebih baik. Transportasi sebagai kegiatan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal (origin) ke tempat tujuan (destination) 130

menciptakan guna tempat (place utility) dan guna waktu (time utility), karena nilai barang menjadi lebih tinggi di tempat tujuan dibandingkan di tempat asal. (Adisasmita, 2010) Transportasi merupakan kegiatan jasa pelayanan (service activities). Jasa transportasi tersebut diperlukan untuk membantu kegiatan sektor-sektor lain (sektor pertanian, sektor perindustrian, sektor keuangan, sektor pemerintahan, transmigrasi, pertanahan-keamanan dan lainnya untuk mengangkut barang dan manusia dalam kegiatan masing-masing sektor tersebut. (Sinegar, 1995: 21 dalam Adisasmita, 2010:1) Sistem transportasi mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan sebuah kota. Penerapan peran sistem transportasi yang tidak sesuai dapat menimbulkan dampak negatif yang berpengaruh terhadap perkembangan di segala bidang baik ekonomi, sosial maupun lingkungan. Menurut Waluya dan Nugratama (2006), pemilihan sistem transportasi yang salah untuk wilayah perkotaan dapat mengakibatkan terjadinya kemacetan lalu lintas, yang berarti pemborosan besar dari penggunaan energi dan ruang, serta timbulnya masalah pencemaran udara akibat gas buang kendaraan yang semakin besar jumlahnya. Perkembangan transportasi di kota-kota besar di Indonesia semakin meningkat akibat dari pertumbuhan dan perkembangan kota serta laju pertumbuhan penduduk. Kota Semarang sekaligus sebagai salah satu kota Metropolitan mengalami peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun mempengaruhi peningkatan pergerakan aktivitas penduduk, sehingga menyebabkan. Pertumbuhan jumlah kendaraan cukup pesat dan apabila ditambah beban kendaraan dari luar kota. Diperkirakan bahwa setiap hari sebanyak 450 ribu orang masuk dan keluar kota Semarang. Jumlah kendaraan sendiri terdaftar pada 2007 sebanyak 704.560 (82%) sepeda motor dan 147.791 mobil (18%). Di tahun 2007 tingkat pertumbuhan kendaraan mencapai 2,5% per tahun. (http://suaramerdeka.com/) Pada skala regional, hubungan antara transportasi dan pembangunan sudah jelas. Perencana, Ekonom dan pembuat kebijakan perkotaan telah khawatir tentang pertumbuhan lalu lintas perkotaan, khususnya peningkatan dalam perjalanan dan tergantungan terhadap mobil. (Banister, 1995:3-6) Untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan mobil pribadi, khususnya untuk komuter, kota-kota Eropa telah berinvestasi secara ekstensif dalam sistem transportasi publik. Tingginya nilai lahan dan kepadatan di pusat kota mempengaruhi masyarakatnya untuk bergerak ke arah pinggiran kota. Hubungan antara transportasi dan guna lahan ini saling mempengaruhi, sehingga kota memerlukan adanya angkutan umum massal atau BRT yang dapat diandalkan. Fakta bahwa pengguna BRT harus turun dan naik pada halte tertentu maka jangkauan pelayanan halte BRT sangat berpengaruh pada kemudahan untuk menjangkaunya. Kemudahan pengguna untuk menjangkau halte BRT tersebut tidak diikuti dengan penyediaan fasilitas dan pilihan moda lanjutan. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan adanya kajian jangkauan pelayanan halte BRT untuk mengetahui apakah jangkauan pelayanan BRT yang ada di Kota Semarang saat ini sudah optimal. METODOLOGI STUDI Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Tahap pertama dilakukan penentuan sistem transit point atau lokasi halte pada koridor 1 dan 2 seperti gambar 1 serta melakukan survei lapangan menggunakan GPS. Adapun jumlah halte yang ada pada koridor 1 dan 2 sebanyak 95 titik. 131

Sumber: http://semarangkota.com/01/rute-dan-tarif-bis-trans-semarang/ Gambar1. Peta Rute Bus Trans Semarang Kemudian dilakukan pengkajian jarak ideal jangkauan pejalan kaki yaitu 400m (menurut tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan/sni 03-1733-2004). Sehingga akan dihasilkan peta buffer untuk masing-masing peta berdasarkan jangkauan 400m. Selanjutnya, dilakukan analisis pengunaan lahan permukiman di sekitar jangkauan pelayanan untuk mengetahui lokasi lahan pemukiman yang tidak terjangkau oleh pejalan kaki. Tahap kedua, dilakukan analisis yang sama seperti tahap satu tetapi dengan radius 3km. Selain itu pada wilayah studi juga dilakukan pengambilan kuesioner sejumlah 100 orang pada penumpang bus BRT koridor 1 dan 2. Penentuan ukuran sampel 100 orang didasarkan pada rekomendasi Cooper (1996) untuk menentukan ukuran sampel pada populasi yang sulit diketahui ukuran populasinya. 132

HASIL PEMBAHASAN Analisis Tujuan Perjalanan Pengguna Bus BRT Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat diketahui tujuan perjalanan pengguna Bus Trans Semarang adalah untuk bekerja 55%; belajar 30%; belanja dan kegiatan lainnya 15%. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perkembangan kota yang cukup pesat bahwa pada umumnya pengguna bus BRT melakukan perjalanan cukup jauh dari lokasi huniannya untuk melakukan aktivitasnya. Analisis Jangkauan Pelayanan Bus BRT Jangkauan pelayanan merupakan salah satu faktor dalam menentukan lokasi halte. Penentuan lokasi menurut Rushton (1973) ditentukan dengan jarak seminimal mungkin untuk berjalan kaki, yaitu 400m (menurut tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan/sni 03-1733-2004). Dari hasil survei yang telah dilakukan rata-rata pengguna bus BRT sebanyak 70% memiliki lokasi hunian dalam radius 400m - 1km dari halte dan sisanya 30% dalam radius >1km (dengan lokasi hunian tejauh 3km). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengguna bus BRT mempunyai peminat pengguna yang cukup besar walaupun jarak antara lokasi hunian dan halte yang dituju cukup jauh. Berdasarkan analisis buffer yang telah dilakukan terlihat pada gambar 2 hanya 84 kelurahan atau 47% dari 177 kelurahan yang masuk dalam jangkauan pelayanan radius 400m. Apabila dikaitkan dengan hasil survei terhadap pengguna bus Trans Hal ini mengindikasikan bahwa jangkauan pelayanan bus BRT pada koridor 1 dan 2 masih rendah. Gambar 2. Jangkauan Pelayanan Halte 400m Berdasarkan analisis buffer yang telah dilakukan terlihat pada gambar 3 menunjukan bahwa 149 kelurahan atau 84% dari 177 kelurahan yang masuk dalam jangkauan pelayanan radius 3km. Pemilihan jarak angkauan pelayanan menuju halte oleh pengguna dikaitkan dengan hasil survei. Hal ini mengindikasikan bahwa bus BRT dapat menarik lebih banyak pengguna pada radius 3 km. 133

Gambar 3. Jangkauan Pelayanan Halte 3km Sedangkan berdasarkan hasil survey pengguna bus BRT pada radius 3km menunjukan adanya penggunaan moda lajutan untuk menuju halte, seperti yang terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi Moda Lanjutan Pengguna Bus BRT Radius 3km Moda Jalan Kaki Sepeda/becak Sepeda motor (ojek/diantar) Mobil % 10% 20% 45% 25% Berdasarkan hasil survey pengguna bus BRT radius 3km dapat diketahui bahwa pengguna menginginkan adanya kemudahan pencapaian untuk mencapai halte. Sebab pengguna bus BRT dengan moda lanjutan seperti sepeda, sepeda motor dan mobil masih mengandalkan anggota keluarga lainnya untuk mengantar dan menjemput ke lokasi halte. Terutama bagi pengguna bus yang berjalan kaki dan diantar dengan sepeda/becak, mereka menginginkan adanya tempat penitipan sepeda dekat lokasi halte. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya peningkatan penggunaan bus BRT radius 3 km apabila disediakan fasilitas penitipan sepeda atau tersedianya moda angkutan umum lanjutan lainnya seperti becak dan ojek di dekat halte/hunian. Analisis Penggunaan Lahan Permukiman di Sekitar Jangkauan Pelayanan Halte Permukiman menurut Undang-Undang No.1 Tahun 2011 merupakan bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Sedangkan menurut Koestoer (1995), menyatakan bahwa batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Permukiman merupakan salah satu bagian dari penggunaan lahan yang menjadi aspek yang paling penting dalam menciptakan pergerakan terbesar di dalam perkotaan. Persebaran permukiman di kota Semarang terbagi menjadi pusat dan pingiran kota. Lokasi permukiman di pusat kota Semarang berada di kecamatan Semarang Tengah dan Semarang 134

Timur. Saat ini perkembangan permukiman di kota Semarang telah merambah ke daerah pinggiran kota seperti ke arah kecamatan Ngaliyan, Tembalang dan Banyumanik. Dengan melihat lokasi halte BRT saat ini, sedikit bayak telah menjangkau beberapa area/kawasan permukiman di kota Semarang. Halte BRT yang membagi Semarang kearah Timur-Barat dan Utara-Selatan ini, memberikan alternatif pemecahan permasalahan transportasi di kota Semarang. Namun demikian lokasi persebaran halte BRT ini belum cukup optimal dari segi pelayanannya. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, bahwa lokasi permukiman yang belum terjangkau oleh BRT pada radius 400m adalah di kecamatan Banyumanik, Tembalang.dan sebagian besar kecamatan yang menjadi bagian dari rute BRT seperti Candisari, Gajah Mungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, dan Tugu. Sedangkan, pada radius 3km, BRT belum menjangkau kecamatan Ngaliyan dan sebagian besar kecamatan Banyumanik serta beberapa kelurahan Tembalang. Gambar 4. Permukiman di Sekitar Jangkauan Pelayanan Halte SIMPULAN Optimalisasi jangkauan pelayanan halte bus BRT sangat tergantung dari kemudahan pencapaiannya. Saat ini jangkauan pelayanan halte bus BRT sangat terbatas, hal ini dapat dilihat dari terbatasnya jangkauan pelayanan halte bus pada radius 400m. Untuk mengoptimalkan jangkauan pelayanannya hingga 3km diperlukan adanya penambahan fasilitas penitipan sepeda atau tersedianya moda angkutan umum lanjutan lainnya seperti becak dan ojek di dekat halte/hunian. 135

Tabel 2. Jangkauan Pelayanan Halte Bus BRT Radius 400m dan 3km Jangkauan Pelayanan Terlayani Persentase Tidak Terlayani Persentase Total Radius 400m 84 47% 93 53% 177 kelurahan Radius 3 km 149 84% 28 16% (100%) Berdasarkan jangkauan pelayanan halte di Kota Semarang, menunjukkan bahwa persebaran lokasi permukiman yang belum terlayani oleh Bus Trans ialah kecamatan Ngaliyan dan sebagian besar kecamatan Banyumanik serta beberapa kelurahan Tembalang. Gambar 5. Lokasi Permukiman di Sekitar Jangkauan Pelayanan Halte UCAPAN TERIMAKASIH Artikel ini merupakan salah satu penelitian yang dibiayai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditlitabmas Dikti Kemendikbud) Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) tahun anggaran 2014, melalui Daftar Isian Pelaksanaan Angaran (DIPA) Universitas Diponegoro Nomor DIPA : 023.04.2.189185/2014, tanggal 05 Desember 2013. REFERENSI Adisasmita, Rahardjo. 2010. Dasar-Dasar Ekonomi Transportasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Banister, David. 1995. Transport and Urban Development. London: E & FN Spon. Cooper, R. Donald. 1996. Metode Penelitian Bisnis, Jilid I Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. 136

http://suaramerdeka.com/. Kemacetan Mulai Kepung Semarang. Semarang, 13 Februari 2011. http://semarangkota.com/01/rute-dan-tarif-bis-trans-semarang/. Rute dan Tarif Bis Trans Semarang. Semarang, 4 January, 2013. Koestoer, dkk. 1995. Prespektif Lingkungan Desa Kota. Jakarta: Ui Press. Rushton, Gerard. 1985. Optimal Location of Facilities. Iowa. Departement of Geography University of Iowa. Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan. SNI 03-1733-2004. Badan Standarisasi Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman. Waluya, Jaka dan Nugratama, Sony. Lingkungan Dan Transportasi. Jurrnal REGION Volume II. No. 2 September 2010 Yunus, Hadi S. (2000). Struktur Tata Ruang Kota. Yogysakarta: Pustaka Pelajar. 137