EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia


Analisis Harga Gabah Maret 2013

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH

KEBIJAKAN MENYANGGA ANJLOKNYA HARGA GABAH PADA PANEN RAYA BULAN FEBRUARI S/D APRIL 2007

I. PENDAHULUAN. umumnya, khususnya sebagai sumber penyediaan energi dan protein. Neraca

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KAJIAN KEBIJAKAN PERBERASAN

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

KAJIAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH-BERAS : Kasus Propinsi Jawa Barat

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

KAJIAN PENURUNAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS PENDAHULUAN

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN FEBRUARI 2013

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH PERIODE APRIL 2017

KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN UPAH BURUH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI *) DAN HARGA PRODUSEN GABAH

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JANUARI 2013

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH PERIODE MEI 2017

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia, dimana sektor

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN UPAH BURUH

I. PENDAHULUAN. sebagai penyedia pangan yang cukup bagi penduduknya dan pendukung

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

PERKEMBANGAN HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

ANALISIS KELAYAKAN PENGALIHAN SUBSIDI PUPUK MENJADI PENJAMINAN HARGA GABAH : Subsidi Input vs Output *

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH PERIODE AGUSTUS 2017

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Bahan FGD Antisipasi Penerapan Kebijakan RASTRA Sistem Tunai Oleh : Dirjen Pemberdayaan Sosial

PERKEMBANGAN HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

PERKEMBANGAN HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN DESEMBER 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI *) DAN PERKEMBANGAN HARGA PRODUSEN GABAH

PERKEMBANGAN HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN KETUA HARIAN DEWAN KETAHAN PANGAN NOMOR: 24/Permentan/PP.330/4/2008 TENTANG

Boks 2. Pembentukan Harga dan Rantai Distribusi Beras di Kota Palangka Raya

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2017

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN SEPTEMBER 2016

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

1 % 1,73% Data capaian penduduk rawan pangan tergambar pada akhir tahun dan capaian tersebut tergantung pada instansi lain.

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN SEPTEMBER 2015

PERKEMBANGAN HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

MANAJEMEN KETAHANAN PANGAN ERA OTONOMI DAERAH DAN PERUM BULOG 1)

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN OKTOBER 2015

TINJAUAN HARGA PRODUSEN GABAH KALIMANTAN TENGAH 2013

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas pangan masyarakat Indonesia yang dominan adalah beras yang

IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. A. Kontribusi Pangan Terhadap Laju Inflasi Di Indonesia

NTP Provinsi Aceh, September 2017 sebesar 94,18. Inflasi Pedesaan, September 2017 sebesar 0,46 persen.

ANALISIS TATANIAGA BERAS

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN DESEMBER 2013

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN SEPTEMBER 2016

KEBERADAAN BULOG DI MASA KRISIS

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN NOVEMBER 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN SEPTEMBER 2014

KEMBALIKAN SUBSIDI PUPUK KEPADA PETANI

Transkripsi:

EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004 Paket Kebijakan Harga Dasar Gabah/Beras Pembelian Pemerintah (HDPP) yang belaku saat ini ditetapkan melalui Inpres No.9, 31 Desember 2002 efektif sejak 1 Januari 2003. HDPP tersebut biasanya dikaji ulang tiap akhir tahun. Keputusan apakah HDPP tersebut perlu dinaikkan mestinya harus dibuat pula pada akhir tahun 2004 ini. Analisis singkat ini dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan kebijakan HDPP tersebut. Oleh karena dinilai sebagai suatu kebijakan strategis yang lingkupnya mencakup tugas dan kewenangan lintas departemen, paket kebijakan HDPP ditetapkan melalu Instruksi Presiden berdasarkan usulan dari Menteri Koordinator Ekonomi. Mengingat HDPP pada intinya adalah kebijakan pertanian, maka rumusan awal atau inisiatif perubahan paket HDPP biasanya berasal dari Menteri Pertanian. Terlepas diubah atau tidak, dalam waktu dekat ini Menteri Pertanian seyogyanya sudah memberikan pertimbangan kepada Menteri Koordinator Ekonomi mengenai kebijakan HDPP tahun 2005. 1. Kebijakan Harga Dasar Gabah Tidak Efektif di Setiap Wilayah Sepanjang Tahun Secara rata-rata, pada tahun 2004 (Januari Oktober) harga jual gabah petani dalam bentuk gabah kering panen (GKP) mencapai Rp 1.211 per kg GKP yang berarti lebih tinggi dari HDPP yang ditetapkan pemerintah Rp 1.200 per kg GKP (Tabel 1; Gambar-1). Berbeda dengan dalam bentuk GKP, harga jual gabah petani dalam bentuk gabah kering giling (GKG) hanya Rp 1.610/kg GKG, di bawah HDPP yang ditetapkan pemerintah Rp 1.700/kg GKG. Hal yang sama berlaku pada tingkat penggilingan, harga GKP di atas HDPP, sedangkan GKG di bawah HDPP. Tidak diperoleh data mengenai harga beras di tingkat petani dan penggilingan. Namun dapat dipastikan harga beras di tingkat petani maupun di penggilingan pasti lebih rendah dari HDPP karena di tingkat konsumen saja harga beras konsisten di bawah HDPP yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 2.790/kg. Insiden anjloknya harga di bawah HDPP masih terjadi pada bulan Maret hingga April yang merupakan masa panen raya (Gambar 1). Pada bulan Maret 2003, harga gabah di tingkat petani hanya Rp 1.113/kg GKP atau sekitar 7 persen di bawah HDPP, merupakan rekor terendah dalam tiga tahun terakhir. Selama masa panen utama padi (Maret Agustus) tahun 2004 ini, rerata harga gabah petani hanya Rp 1.188/kg GKP, yang berarti lebih rendah dari HDPP, sedangkan pada periode sama tahun 2003, rerata harga gabah petani mencapai Rp 1.201/kg GKP, yang berarti sedikit di atas HDPP. 8

Tabel 1. Perkembangan harga gabah di tingkat penggilingan dan petani, 2003-2004 (Rp/kg). Bulan 2003 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember 2004 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Sumber : BPS. Harga di penggilingan Harga di petani GKG GKP GKP GKG Aktual HDPP Aktual HDPP Aktual HDPP Aktual HDPP 1681 1552 1554 1581 1510 1703 1573 1567 1614 1558 1690 1715 1853 1325 1278 1296 1258 1195 1244 1218 1174 1268 1272 1273 1253 1262 1314 1228 1139 1189 1261 1262 1236 1236 1256 1301 1252 1271 1232 1173 1217 1182 1150 1240 1245 1251 1227 1232 1287 1202 1113 1158 1228 1227 1203 1220 1274 1654 1535 1529 1558 1500 1679 1559 1530 1586 1522 1666 1821 1275 (Rp/kg) 2000 Gambar 1. Perkembangan Harga Gabah Petani, 2003-2004 (Rp/kg) GKP Aktual HDPP GKP GKG Aktual HDPP GKG 1000 Bulan 9

Dengan demikian, pada tahun 2004 kebijakan harga dasar gabah gagal diefektifikan sepanjang tahun. Lebih daripada itu, efektifitas kebijakan HDPP pada tahun 2004 lebih rendah dari pada tahun 2003. Bahwa HDPP tidak efektif di semua wilayah dan sepanjang waktu juga terbukti dari hasil monitoring lapang yang dilaksanakan oleh BPS. Hingga bulan September 2004, kasus transaksi jual beli gabah di bawah HDPP di tingkat penggilingan mencapai 55,09 persen dari total observasi, sedangkan yang di atas HDPP dan yang sama dengan HDPP masingmasing 44,95 persen dan 9,96 persen. Gabah yang dijual di luar (di bawah) persyaratan kualitas mencapai 8,82 persen (Tabel 2). Prevalensi kasus transaksi jual beli gabah di bawah HDPP umumnya tinggi di wilayah sentra produksi gabah seperti Banten, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Tabel 2. Persentase Observasi Transaksi Harga Gabah Di Tingkat Penggilingan. Provinsi Sama dengan HDPP (%) Di atas HDPP (%) Di bawah HDPP (%) Di luar kelompok kualitas (%) 1. Sumatera Barat - 97,22 2,78 4,00 2. Jambi 66,67 33,33 - - 3. Lampung - 57,89 42,11 9,52 4. Jawa Barat 10,89 81,19 7,92 15,12 5. Jawa Tengah 2,73 45,45 51,82 13,38 6. D.I. Yogyakarta 3,33 15,00 81,67-7. Jawa Timur 11,66 25,68 60,66 11,17 8. Banten - 8,57 91,43-9. Bali 11,54 61,54 26,92 10,34 10. Kalimantan Tengah 33,33-66,67-11. Kalimantan Selatan - 65,00 35,00-12. Kalimantan Timur - 100,00 - - 13. Sulawesi Tengah - 100,00-66,67 14. Sulawesi Selatan 31,92 17,02 51,06-15. Sulawesi Tenggara - - 100,00 - Tingkat Penggilingan 9,96 44,95 55,09 8,82 Sumber: BPS, Laporan Monitoring s/d September 2004. 2. Harga Gabah yang Diterima Petani Cenderung Menurun Walau secara rerata masih sesuai HDPP, harga gabah yang diterima petani cenderung menurun dalam dua tahun terakhir. Pada periode Januari Oktober 2004, harga gabah rata-rata Rp 1.211/kg GKP, lebih rendah daripada periode yang sama tahun 2003 yang mencapai Rp 1.222. Rekor tertinggi harga gabah petani adalah Rp 1.231 pada tahun 2002 (Tabel 3). Penurunan harga gabah petani pada tahun 2004 seolah-olah suatu fenomena anomali, karena pada tahun ini harga beras impor meningkat tajam, sementara pemerintah telah berusaha keras menyangga HDPP dengan berbagai instrumen tambahan 10

seperti melarang impor beras, menyediakan dana talangan, membangun lumbung, dan sebagainya. Peningkatan harga gabah petani pada tahun 2002 dan penurunan pada tahun 2003 dapat dijelaskan sebagai konsekuensi dari peningkatan dan penurunan harga beras impor. Hingga tahun 2003 harga gabah di tingkat petani bergerak searah dengan harga beras impor yang berarti pasar gabah domestik terintegrasi dengan pasar beras dunia sebagai konsekuensi dari pasar terbuka. Pada umumnya ini tidak terjadi pada tahun 2004. Tabel 3. Rerata harga gabah di tingkat petani dan penggilingan, Januari Oktober 2004 Uraian 2001 2002 2003 2004 1. Tingkat petani (GKP) 1.092 1.224 1.222 1.211 2. Tingkat penggilingan (GKG) 1.466 1.560 1.615 1.640 Sumber: BPS. Penurunan harga gabah petani pada tahun 2004 bersamaan dengan peningkatan cukup tinggi (sekitar 25%) harga beras impor. Seperti halnya harga gabah, harga beras yang dibayar konsumen di pasar domestik juga mengalami penurunan pada tahun 2004. Ini berarti, pada tahun 2004 pasar beras dan gabah domestik tersekat, tidak lagi terintegrasi dengan harga beras dunia. Akar penyebabnya ialah kebijakan pelarangan impor beras yang ditetapkan pemerintah sejak bulan Januari 2004, pada awalnya hanya pada masa panen raya, namun diperpanjang secara bertahap hingga sampai bulan Desember 2004 mendatang. Seperti yang akan diuraikan lebih lanjut, penurunan harga gabah tahun 2004 merupakan akibat dari perpaduan kesalahan kebijakan pelarangan impor dan melonjaknya produksi gabah domestik. 3. HDPP untuk GKG dan Beras Kurang Relevan dan Terlalu Tinggi Fakta bahwa harga GKG kerapkali di bawah HDPP dan harga beras selalu di bawah HDPP walaupun GKP di atas HDPP merupakan isu penting yang perlu dikaji lebih mendalam karena mengandung implikasi terhadap konstruksi kebijakan HDPP tersebut. Patut diduga HDPP untuk GKG dan beras kurang relevan atau terlalu tinggi relatif terhadap GKP. Pertama, pada umumnya petani menjual gabah dalam bentuk GKP, jarang dalam bentuk GKG dan praktis tidak pernah dalam bentuk beras. Oleh karena itu, HDPP untuk GKG dan beras kurang relevan dijadikan sebagai instrumen penyangga harga gabah petani. HDPP mestinya hanya untuk GKP saja. Harga GKG dan beras dibiarkan bebas berdasarkan kekuatan pasar. 11

Kedua, dapat dipastikan HDPP untuk GKG dan beras relatif terlalu tinggi dibanding untuk GKP. Rasio harga GKG/GKP berdasarkan harga pasar (di tingkat penggilingan) adalah 1,16 sedangkan berdasarkan HDPP yang ditetapkan pemerintah 1,40. Rasio harga beras di tingkat konsumen/ GKP di tingkat penggilingan adalah 2,15, sedangkan berdasarkan HDPP yang ditetapkan pemerintah adalah 2,27. Hal inilah yang menyebabkan harga GKG dan harga beras dapat berada di bawah HDPP masing-masing, walaupun harga GKP di bawah HDPP-nya Ketiga, penetapan HDPP untuk GKG dan beras yang tidak konsisten, atau tegasnya terlalu tinggi relatif terhadap GKP, sementara transaksi GKG dan beras berdasarkan HDPP praktis hanya antara Bulog dan pengusaha kilang penggilingan padi, maka dapat dipastikan penetapan HDPP untuk GKG dan beras kurang bermanfaat bagi petani, lebih menguntungkan bagi Bulog dan mitra pengusaha kilang padinya, dan merugikan bagi negara. Keempat, penetapan tiga HDPP (untuk GKP, GKG, beras) yang tidak konsisten dapat menimbulkan kesulitan dalam monitoring dan evaluasi kinerja kebijakan HDPP tersebut. Jika harga GKP yang diterima petani selalu di atas HDPP, sementara GKG dan beras di bawah HDPP masing-masing, lantas apakah dapat disimpulkan kebijakan HDPP efektif atau tidak? Harga produk mana yang akan diacu? Kesulitan ini dapat diatasi dengan menetapkan HDPP untuk satu jenis produk gabah saja, yakni Gabah Kering Panen (GKP). Berdasarkan uraian di atas maka disarankan agar HDPP ditetapkan untuk satu produk saja, yaitu GKP. HDPP untuk GKG dan beras tidak perlu lagi ditetapkan pemerintah. Inilah salah satu usulan revisi terhadap ketentuan dalam Inpres 9/2002. Jika memang tetap akan direvisi penetapan harga pembayaran beras program Raskin oleh pemerintah kepada Bulog mestinya dilakukan berdasarkan kajian tersendiri dan tidak harus termasuk dalam ketentuan Inpres yang mengatur HDPP. 4. Kebijakan Pelarangan Impor Bumerang bagi Petani Namun Menguntungkan Konsumen Barangkali karena gagal mencapai kesepakatan untuk meningkatkan tarif impor guna mendukung HDPP, berdasarkan rekomendasi dari Menteri Pertanian, akhirnya pada bulan Januari 2004 Menteri Perindustrian dan Perdagangan menerbitkan peraturan pelarangan impor beras dua bulan sebelum hingga sebulan sesudah musim panen raya beras atau spesifiknya dari bulan Januari hingga Juni 2004. Kebijakan ini selanjutnya diperpanjang hingga bulan Desember 2004. Kebijakan pelarangan impor sepanjang tahun sesungguhnya tidak sejalan dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 12

Namun demikian, pelarangan impor mungkin masih dapat ditolerir sebagai mekanisme perlindungan khusus (special safeguard mechanism). Pokok masalahnya ialah apakah kebijakan pelarangan impor tersebut tepat dijadikan sebagai instrumen penyangga HDPP guna mengangkat harga gabah petani, mengingat tidak terjadi perubahan besar dalam konteks pasar beras dunia dan produksi gabah domestik? Kebijakan pelarangan impor menimbulkan dua konsekuensi yang merugikan petani, namun menguntungkan konsumen beras. Pertama, insulasi pasar domestik tatkala produksi gabah meningkat tajam (pada tahun 2004 produksi gabah melonjak 4,23 %) akan menyebabkan harga gabah petani (dan harga beras konsumen) anjlok, khususnya pada masa panen padi (Maret Agustus). Data empiris menunjukkan harga gabah pada musim panen padi anjlok dari Rp 1.201/kg GKP, berarti praktis sesuai HDPP Rp 1.200/kg GKP di tingkat petani, pada tahun 2003 menjadi Rp 1.188/kg GKP, berarti di bawah HDPP, pada tahun 2004. Dalam kondisi demikian, pasar dunia mestinya dapat dipakai sebagai tempat pelepasan efek lonjakan produksi pada pasar gabah/beras domestik sehingga penurunan harga dapat dicegah atau dikurangi. Kedua, insulasi pasar gabah dan beras domestik tatkala harga beras impor melonjak akan menghambat efek transmisi peningkatan harga beras dunia terhadap harga gabah petani dan harga beras konsumen. Artinya, petani padi kehilangan kesempatan untuk menikmati efek peningkatan harga beras impor sementara konsumen beras terhindar dari efek peningkatan harga beras. Dengan demikian, kebijakan melarang impor beras merugikan bagi petani padi, namun menguntungkan bagi konsumen beras domestik. Berdasarkan analisis di atas, penurunan harga gabah pada tahun 2004 diduga merupakan akibat dari kesalahan kebijakan: melarang impor beras tatkala produksi gabah domestik meningkat tajam, sementara harga beras impor juga meningkat tajam. Kebijakan larangan impor beras didasarkan pada dua pertimbangan pokok. Pertama, tarif impor beras yang ada tidak memadai untuk menutup disparitas antara harga beras domestik sepadan HDPP dan harga beras impor. Kedua, terjadi kebocoran dalam pelaksanaan kebijakan tarif impor beras berupa penyelundupan dan manipulasi dokumen sehingga sejumlah besar beras impor tidak terkena bea masuk. Dengan perkataan lain, kebijakan pelarangan impor dapat bermanfaat untuk meningkatkan harga gabah petani bila terdapat disparitas antara harga beras sepadan HDPP dan harga beras impor yang cukup besar, sementara defisit beras cukup besar pula. Dengan HDPP gabah kering panen di tingkat petani Rp 1.200/kg maka harga beras domestik di tingkat konsumen diperkirakan Rp 2.675/kg. Memang benar, sekalipun bea masuk impor beras dibayar penuh, selama periode bulan Januari Februari 2004 harga beras impor masih jauh lebih murah daripada harga beras domestik sepadan HDPP gabah 13

kering giling tersebut (Gambar 2, Tabel 4). Disparitas harga dan bea masuk yang cukup besar tersebut merupakan insentif yang cukup menggiurkan bagi para oportunis untuk melakukan tindakan melawan hukum menyelundupkan atau memanipulasi dokumen impor beras. (Rp/kg) 3500 Gambar 2. Perkembangan Harga Beras Domestik Padanan HDPP dan Harga Beras Impor, 2004 3000 2500 2000 HDPP (Rp. 2.675/kg) Beras impor, bea penuh Beras impor, bea separo 1500 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus B u l a n Perpaduan antara peningkatan harga beras dunia, ongkos angkut kapal, dan depresiasi rupiah yang terjadi serentak dan berkelanjutan telah menyebabkan harga beras impor meningkat tajam sejak bulan Januari 2004. Dengan bea masuk penuh, sejak bulan Maret 2004, harga beras impor telah lebih tinggi daripada harga beras domestik sepadan HDPP. Bahkan, kalaupun bea masuk impor beras hanya dibayar separohnya, beras separoh nyolong, sejak bulan Mei 2004 harga beras impor sudah lebih tinggi dari harga beras domestik sepadan HDPP. Dengan demikian, kebijakan pelarangan impor beras mestinya tidak diperpanjang. Keputusan untuk memperpanjang larangan impor merupakan kebijakan yang kurang tepat dari sisi kepentingan petani. Keputusan untuk memperpanjang pelarangan impor beras setelah masa puncak panen raya Mei 2004 justru menjadi kontraproduktif terhadap upaya menopang HDPP. Isolasi pasar domestik tatkala produksi beras domestik melonjak, lebih-lebih saat puncak panen raya telah menyebabkan harga beras (dan gabah petani) domestik menurun sejak bulan Juni 2004. Penurunan harga beras domestik tersebut bukanlah akibat maraknya penyelundupan beras sebagaimana diberitakan media masa pada bulan Juni 2004 lalu. Tabel 4. Perkembangan Harga Beras Domestik Dan Harga Beras Impor, 2004 (Rp/kg). 14

Bulan Harga beras impor menurut bea masuk Harga beras domestik efektif Sepadan Aktual Rp 430 Rp 215 Nihil HDPP Januari 2.675 2.700 2.498 2.273 2.047 Februari 2.675 2.700 2.518 2.292 2.067 Maret 2.675 2.700 2.786 2.560 2.334 April 2.675 2.700 2.828 2.602 2.376 Mei 2.675 2.700 2.928 2.702 2.476 Juni 2.675 2.693 2.958 2.732 2.506 Juli 2.675 2.571 2.950 2.725 2.499 Agustus 2.675 2.456 3.021 2.795 2.569 Disadari atau tidak, tidak dapat dipungkiri keputusan untuk memperpanjang kebijakan larangan impor beras dari sebelumnya hanya sampai bulan Juni 2004 menjadi hingga bulan Desember 2004 bermanfaat untuk meredam dampak peningkatan harga beras dunia terhadap harga beras domestik yang amat membantu bagi konsumen beras domestik. Tidak saja berhasil sempurna menahan efek peningkatan harga beras dunia, harga beras domestik bahkan mengalami penurunan akibat tekanan peningkatan produksi gabah domestik. Kebijakan tersebut telah amat membantu menjaga stabilitas harga beras domestik pada masa hari-hari besar keagamaan yang terjadi beruntun sejak bulan November 2004 hingga Januari 2005. Menjaga harga beras stabil pada level yang cukup rendah demi untuk kepentingan konsumen domestik juga merupakan kewajiban pemerintah. Dalam perspektif ini, kebijakan untuk memperpanjang kebijakan pelarangan impor merupakan keputusan tepat yang harus diambil oleh pemerintah. Namun demikian, sejak semula, tujuan kebijakan pelarangan impor beras adalah untuk menopang kebijakan HDPP dalam mengangkat harga gabah petani. Oleh karena itu, dan mengingat pula bahwa hari raya keagamaan akan berakhir pada bulan Januari 2005 mendatang, maka adalah tepat bila kebijakan pelarangan impor beras yang saat ini berlaku hingga Desember 2004 disarankan tidak diperpanjang lagi atau tegasnya harus dicabut. 5. Disparitas HDPP dan Harga Beras Impor Telah Berbalik dan Tarif Impor Beras Tidak Perlu Dinaikkan Akar penyebab dari masalah kronis harga gabah petani persisten di bawah HDPP pada rejim perdagangan terbuka adalah karena tarif impor beras terlalu rendah sehingga terjadi disparitas harga yakni harga beras domestik sepadan HDPP terlalu tinggi dibandingkan harga beras impor. Artinya, konstruksi paket kebijakan tidak sepadan; tarif impor relatif terlalu rendah dibanding HDPP. Di sisi lain, secara absolut tarif impor beras sudah cukup tinggi sehingga cukup menggiurkan bagi para oportunis untuk berbuat 15

tindakan melawan hukum mengimpor beras secara illegal dengan menyelundupkan beras atau memanipulasi dokumen beras impor. Perhitungan yang ditampilkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa dengan tarif berlaku Rp 430/kg, disparitas antara harga beras domestik sepadan HDPP dan harga beras impor memang masih cukup besar hingga bulan Februari 2004, namun sejak bulan Maret 2004 sudah berbalik arah, harga beras impor sudah lebih tinggi dari harga beras domestik sepadan HDPP. Bahkan kalaupun bea masuk impor hanya dibayarkan separoh (Rp 215/kg), sejak bulan Mei 2004 harga beras impor sudah lebih tinggi daripada harga beras domestik sepadan HDPP. Dengan demikian, tarif impor beras yang berlaku saat ini, yaitu Rp 430/kg masih cukup memadai untuk menopang HDPP berdasarkan Inpres 9/2002 yang menetapkan Rp 1.230/kg GKP di tingkat penggilingan atau Rp 1.200/kg GKP di tingkat petani. Artinya, jika HDPP tidak dinaikkan maka tarif impor beras tidak perlu pula dinaikkan. Sudah barang tentu, kesimpulan ini hanya berlaku dalam konteks harga beras dunia, ongkos pengapalan dan nilai rupiah yang berlaku dalam beberapa bulan terakhir. Asumsi ini tentu amat labil dan bersifat jangka pendek. 6. Perspektif Kebijakan HDPP 2005 Isu pertama dan utama ialah apakah HDPP sebagaimana diatur dalam Inpres 9/2002 perlu diubah (dinaikkan)? Isu ini hendaklah dikaji dengan pertimbangan ekonomi politik maupun ekonomi positif. Dari segi ekonomi politik menaikkan HDPP tentunya bermanfaat untuk mengangkat popularitas politik pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Wakil Presiden Jusuf Kalla (SBY JK) yang baru saja terbentuk. Revisi Inpres 9/202 dapat dijadikan sebagai salah satu implementasi Program 100 Hari pemerintahan SBY-JK. Dilihat dari kebiasaan masa lalu, harga dasar gabah memang selalu dinaikkan paling sedikit sekali dalam dua tahun. Kalau tidak melakukan revisi Inpres 9/2002 pada akhir tahun 2004 ini maka pemerintahah SBY-JK mungkin akan dikritik kurang peduli kepada petani, karena menjadi pemerintahan yang pertama kali tidak menaikkan harga dasar gabah dalam dua tahun. Keputusan mengenai HDPP juga amat penting dikaitkan dengan keberlanjutan kebijakan subsidi pupuk. Pencabutan atau pengalihan subsidi pupuk, seperti yang sudah mulai diwacanakan pemerintah, akan meningkatkan harga pupuk di tingkat petani. Kalau pun nilai subsidi tidak berkurang serta dapat disalurkan lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan pendapatan petani dan memacu pertumbuhan sektor pertanian, peningkatan harga pupuk, akibat alih subsidi tersebut, mungkin saja akan diprotes petani beserta para pendukungnya. Oleh karena itu, bila pemeritah berniat sungguh-sungguh mencabut atau 16

mengalihkan subsidi pupuk, maka akan muncul desakan politik untuk menaikkan harga dasar gabah. Namun secara ekonomi positif, harga dasar gabah tidak mendesak untuk ditingkatkan pada tahun 2005. Pertama, harga beras impor telah meningkat tajam dan terus bertahan tinggi sebagai akibat dari peningkatan harga beras dunia, peningkatan ongkos angkut kapal dan depresiasi rupiah. Dalam beberapa bulan terakhir, jika bea masuk dibayar penuh, harga beras impor di tingkat pedagang domestik telah mencapai sekitar Rp 3.000/kg atau sepadan dengan harga gabah di tingkat petani sekitar Rp 1.350/kg GKP atau 12,50 persen lebih tinggi dari harga dasar yang berlaku saat ini Rp 1.200/kg GKP. Dengan demikian, daripada meningkatkan HDPP, pilihan kebijakan yang lebih baik ialah mengusahakan agar peningkatan harga beras dunia dapat ditransmisikan sempurna hingga ke harga gabah di tingkat petani. Kedua, jika HDPP ditingkatkan maka agar efektif, tarif impor beras harus ditingkatkan pula. Secara historis, pemeritah (para menteri) sangat sukar mencapai kesepakatan mengenai peningkatan tarif impor. Selain itu, peningkatan tarif impor diperkirakan akan semakin merangsang praktek impor beras illegal yang tidak saja akan membuat HDPP tidak dapat diefektifikan, tetapi juga menimbulkan masalah tersendiri yang harus ditangani pemerintah. Ketiga, peningkatan HDPP akan meningkatkan beban anggaran subsidi Program Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin) dan atau ongkos operasi pengamanan kebijakan HDPP yang keduanya harus dipikul pemerintah. Hal ini tentu akan semakin mempersulit masalah beban anggaran belanja yang kini sudah cukup berat. Keempat, peningkatan HDPP akan mendorong peningkatan harga beras di tingkat konsumen sehingga akan memberatkan penduduk miskin. Penelitian menunjukkan peningkatan harga beras di tingkat konsumen dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin. Peningkatan HDPP bersifat dilematis, di satu sisi perlu untuk meningkatkan pendapatan petani dan pemantapan ketahanan pangan, di sisi lain dapat meningkatkan penduduk miskin, khususnya yang bermukim di wilayah perkotaan. Kebijakan perberasan terkait lainnya yang disarankan sebaiknya dipilih pemerintah dalam waktu dekat ini ialah: 1. Kebijakan larangan impor beras. Kebijakan larangan impor beras kembali diberlakukan hanya pada bulan-bulan panen raya yaitu sekitar bulan Maret sampai bulan Mei 2005, sedangkan bulan-bulan lainnya tetap dibuka, dengan tetap mengenakan tarif impor. Kebijakan ini dipandang perlu untuk membuka pasar beras domestik sehingga harga beras yang kini cukup 17

tinggi di pasar dunia dapat ditransmisikan hingga harga gabah petani mengalami peningkatan. 2. Melaksanakan kampanye nasional pencegah-tangkalan praktek impor beras illegal Sesungguhnya pencegah-tangkalan impor beras illegal merupakan kunci utama keberhasilan kebijakan HDPP. Selain melalui peningkatan disiplin petugas keamanan, melibatkan seluruh komponen masyarakat luas, khususnya organisai petani atau lembaga swadaya masyarakat lainnya, mungkin lebih efektif dalam pemberantasan praktek impor beras illegal. Hal ini telah terbukti pada tataniaga gula di mana organisasi petani tebu cukup berperan dan berhasil mencegah-tangkal impor gula illegal. 3. Mengintegrasikan program Raskin dalam paket instrumen penyangga HDPP. Bila tidak diintegrasikan secara harmonis dengan paket instrumen penyangga HDPP, program Raskin memang dapat berdampak negatif terhadap harga gabah petani. Sebagaimana telah dinyatakan oleh sebagian pakar, sesungguhnya program Raskin dapat dijadikan sebagai bagian dari instrumen penyangga harga gabah petani dengan cara: a. Mewajibkan Bulog bahwa beras yang disalurkan dalam program Raskin haruslah beras dari pengadaan dalam negeri, yakni hasil operasi pembelian gabah petani dalam rangka pengamanan HDPP. b. Sejalan dengan butir (a), Bulog tidak diberi hak istimewa untuk mengimpor beras. c. Mengharuskan Bulog agar program Raskin dilaksanakan dengan prinsip tanpa menambah pasokan, setidaknya di wilayah surplus gabah. Artinya, beras yang disalurkan berasal dari wilayah sendiri. Prinsip ini tidak saja menetralisir efek negatif terhadap harga petani, tetapi juga bermanfaat dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasional program Raskin. Sudah pasti, dengan cara ini maka ongkos transportasi lebih murah, mutu beras lebih terjamin dan administrasi operasional lebih transparan. 18