Jakarta, 6 Februari 2016 Trump Tahan Dollar, BI Tahan Bunga Indeks dollar DXY sepekan lalu melemah 0,66% % sehingga menyebabkan n sepanjang tahun berjalan melemah 2,29%. Bisa jadi pelemahan dollar ini tidak hanya terkaitt dengan tuduhan administrasi presiden Trump terhadap China, Jepang dan Jerman yang telah sengaja melemahkan mata m uang mereka untuk mendorong ekspor. Tetapi juga oleh moment menurunnya persepsi pengetatan likuiditas the Fed yang pada pertemuan pekan lalu mempertahankan bunga tetap t sebesar 0,75%. Keputusan the Fed itu nampak dilatari penurunan tekanan inflasi yang bersumber dari tingkat upah terkait perkembangan lapangann kerja di Amerika Serikat. Seperti terlihat pada peraga Bloomberg diatas, tingkat upah per Januari 2017 naik 2,48% dibanding setahun silam. Angka ini menurunn dibanding 2,98% pada Desember 2016. Walau pertambahan kesempatan kerja bulan Januari 2017 mencapai 227 atau melebihi angka ekspektasi 180 ribu, namun tingkat pengangguran naik menjadi 4,8% 4 dari sebelumnya 4, 7%. Ternyata hal ini disebabkan oleh peningkatan tingkat partisisipasi angkatan kerja menjadi 62,9% dari 62,7%. Ini berarti lebih banyak penduduk Amerika Serikat kini mauu mencari pekerjaan sehingga berpeluang menahan kenaikan tingkat upah. Itu sebabnya investor memangkas kemungkinan the Fed menaikkan suku s bunga pada pertemuan Maret. Konsensus Bloomberg menaksir kemungkinan itu kini turun menjadi 24% dibanding 32% sebelum angka lapangan kerja dipublikasikan. Perubahan sikap ini menahann kenaikan yield T bond tetap pada kisaran 2,46% untuk tenor 10 tahun. Terkait dengan trend pergerakan indeks dollar, kami ingin kembali menyampaikan fenomena menarik yang pada akhirnya melandasi keyakinan kami akan kestabilan rupiah terutama bila pemerintah konsisten 1
memperbaiki defisit neraca minyak. Mohon waktu untuk memahai dua peraga berikut. Yang pertama terkait dengan trend velocity of money di Amerika Serikat yang menurun hingga paras terendah. Velocity of money diperoleh dengan membagi GDP nominal (sebagai cerminan sektor real) dan M2 (sektor moneter). Dengan penurunan trend velocity jelas menunjukkan pertumbuhan penciptaan uang M2 jauh lebih pesat ketimbang sektor riil. Secara alami hal ini melandasi pelemahan dollar seperti akhirnya berlaku secara historis seperti dapat direnungkan melalui peraga. Cermati juga krisis nilaii tukar di Asia, termasuk Indonesia,, pada medio 1997, dilatari oleh trend penguatann indeks dollar DXY yang sebelumnya secara siklikal ditopang oleh trend positif velocity of money. Lalu mengapa indeks dollar menguat sejak pertengahan 2014 seperti terlihat pada peraga? Kami menyakini hal ini terkait dengan dampak dari aksi quantitative easing yang dilakukan banyakk negara besar terutama Jepang, Eropa, China hingga Switzerland yang pada dasarnya mengikuti langkah the Fed. Mohon cermati peraga kedua dibawah ini yang menunjukkan posisi total asset the Fedd (biru), ECB (merah) dan BoJ (hijau). Peningkatann posisi menunjukkan aksi quantitative easing dimana pembelian bank sentral atas surat berharga kemudian diikuti oleh penciptaan likuiditas bagi perekonomian. Semoga dapat dipahami bahwa sejak awa 2015 dunia dibanjiri oleh likuiditas yang pada dasarnya akan menahan suku bunga. Namun posisi dollar akan cenderung menguat sebab ada tambahan likuiditas non dollar yang dilakukan bank sentral utama selain the Fed. Dalam framework peraga pertama, kami juga 2
melihat velocity of money di banyak negara maju menurunn lebih cepat ketimbangg yang terjadi di Amerika Serikat. Lalu apa hubungannya dengan rupiah? Ada sejumlah pertimbangan. Pertama suku bunga global yang relatif tetap rendah akan terus melandasi arus masuk modal asing ke Indonesia kendati trend dollar menguat sulit dicegah. Kedua, Bank Indonesia kemungkinan besar akan menahan penurunan sukuu bunga setelah publikasi inflasi bulanan Januari 2017 yang mencapai 0,97%. Angka ini jauh melebihi rata rata inflasi bulanan Januari selama tujuh tahun terakhir yang hanya berkisarr 0,13%. Seperti terlihat pada dashboard inflasi kami dibawah ini, inflasi bulanan Januari dipicu oleh kenaikan biaya transportasi khususnya STNK, utilitas dan pengangkutan. Model naïve forecasting yang menggunakan rata rata inflasi untuk bulan Februari hingga Desember selama tujuh tahun terakhir memproyeksikan inflasi 2017 sebesar 6,21% untukk umum dann inti (core) 4,83%. Angka ini jelas kurang nyamann sebab cendrung berada pada interval atas taksiran Bank Indonesia. Kami cermati risiko angka inflasi inti yang lebih tinggi ditopangg oleh peningkatan hargaa komoditas yang cenderung memacu pertumbuhan M1 seperti terlihat pada peraga dibawah ini. 3
Bakal menjadi pilihan pelik bagi pemerintah dalam menyikapi peningkatan harga komoditas. Pada satu sis jelas meningkatkan pendapatan masayarakat. Namun padaa sisi lain berisiko memicu defisit neraca minyak yang biasa terjadi akibat kekeliruan sistematik sistem subsidi energi dan sistem transportasi yang sejauh ini mengandalkan kendaraan mobil. Padahal sejak 2004 Indonesia tidak lago termasuk negara OPEC. Keputusan pemerintah mengurangi subsidi energi akan menyebabkann masyarakatt menerima harga energi yang lebih tinggi yang berisiko mendorong inflasi walau relatif menyelamatkan rupiah. Kami tetap mempertahankan strategi investasi Riding Commodity Gainn yang lebih berpihak kepada saham ketimbang obligasi negara berdurasi panjang. Seperti terlihat pada peraga dibawahh ini, laju real M1 growth cenderung berkorelasi positif dengan pertumbuhan tahunan IHSG. Bahkan dengan lonjakan real M1 growth pada akhir Desember 2016 ada indikasi IHSG kurang diapresiasi IHSG seolah pada periode fase fear. f Bisa jadi hal ini terkait dampak rotasi saham secara regional yang mengarah pada negara lain yang memiliki ekspor lebih kompetitif ke Amerika Serikat. Kami melengkapi ulasan kali ini dengan menyampakan update model regresi untuk memproyeksikan yield SUN 10 tahun pada akhir tahun 2017. Dengan asumsi Tbond yield 2,83%, kurs rupiah 13.780 per dollar dan CDS 146, model dengann data harian memproyeksikan yield SUN sebesar 8,08%. Angka ini meningkat dari 4
posisi saat ini 7,6%. Risiko proyeksi ini bakal meleset bila Indonesia mendapat rating upgrade yang menurunkann risk premium. Namun kami tetap mempertahankan pandangan bahwa upside potential lebih besar pada saham. Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation 5