BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER

BAB IV ANALISIS. IV.1.1 Perbandingan Antara Peta Garis Dasar Normal dengan Peta Generalisasi Pemendagri 1/2006

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH

PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 17 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PENETAPAN BATAS WILAYAH NEGERI DI KOTA AMBON

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,

Bab III KAJIAN TEKNIS

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

Pengaruh Perubahan UU 32/2004 Menjadi UU 23/2014 Terhadap Luas Wilayah Bagi Hasil Kelautan Terminal Teluk Lamong antara

ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT DALAM UNDANG UNDANG NO. 22 TAHUN 1999

PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH

NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kebijakan Pemprov Banten Mengenai Penegasan Batas Daerah

BAB IV ANALISIS. 4.1Analisis Peta Dasar yang Digunakan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

2012, No Batas Daerah di Darat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 Tahun 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI JAWA BARAT

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

KAJIAN KEPEMILIKAN SUMBER DAYA ALAM NON HAYATI DALAM WILAYAH 12 MIL LAUT (STUDI KASUS : Pulau Pagerungan Besar dan Kecil, Kabupaten Sumenep) Abstrak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PERATURAN DAERAH

BAB III IMPLEMENTASI PENENTUAN BATAS LAUT KABUPATEN SELAYAR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Draft 0 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. /Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN

Bab I PENDAHULUAN. meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bagi hasil sumber daya alam

STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN. Klaten, 21 Oktober 2015

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 44/Menhut-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI PERAIRAN LAUT

Dasar-dasar Pemetaan Pemahaman Peta

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERAN KADASTER LAUT DALAM PEMECAHAN KONFLIK DI PERAIRAN STUDI KASUS: KABUPATEN REMBANG, Arief widiansyah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Geodesi dan Keterkaitannya dengan Geospasial

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG D E N G A N R A H M A T T U H A N Y A N G M A H A E S A

2014, No.31 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL. BAB I K

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.06/MEN/2008 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR. P.47/Menhut -II/2010 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 96 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR LEGALISASI BATAS DESA

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

Home : tedyagungc.wordpress.com

BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT

2011, No Mengingat Pengukuran dan Penataan Batas Areal Kerja Hak Pengusahaan di Bidang Kehutanan perlu disesuaikan dengan ketentuan perundang-un

PETA DAN KARTOGRAFI (Bagian 2)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut

PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG

2016, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L

GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENATAAN BATAS KAWASAN HUTAN DI JAWA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

Transkripsi:

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut Ada dua peraturan yang dijadikan rujukan dalam penulisan Tugas Akhir ini, yaitu UU No.32 Tahun 2004 yang menerangkan tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri No.1 tahun 2006 yang menjelaskan tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Dalam UU tersebut dijelaskan tentang kewenangan daerah di wilayah laut yang terdapat dalam pasal 18. Pasal 18 terdiri atas 7 ayat yaitu: 1. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. 2. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan Negara 4. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota; 5

5. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. 6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. 7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. II.2. Pedoman Penegasan Batas Daerah Pedoman penetapan batas di daerah mengacu kepada Permendagri No.1/2006. Permendagri ini merupakan tindak lanjut dari UU No. 32.2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Permendagri 1/2006 yang menjelaskan tentang penegasan batas di laut memiliki sepuluh pasal. Pasal 1: 6) Batas daerah di laut adalah pemisah antara daerah yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di peta yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan pengelolaan sumber daya di wilayah laut. 7) Peta Dasar adalah peta yang memuat unsur topografi/rupabumi atau batimetri dan digunakan sebagai dasar pembuatan peta turunan/tematik. 8) Peta batas daerah adalah peta tematik yang menyajikan unsur-unsur batas dan unsur-unsur topografi/rupabumi atau batimetri yang terkait. 9) Pelacakan batas daerah di laut adalah kegiatan untuk menentukan letak batas di laut berdasarkan kesepakatan dan penentuan lokasi titik acuan. 11) Titik acuan adalah titik yang digunakan sebagai referensi untuk menentukan posisi titik awal. 12) Titik awal adalah titik koordinat yang terletak pada garis pantai dan ditetapkan sebagai titik untuk menentukan garis dasar. 6

13) Garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah dengan daratan. Pasal 2: 1) Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti, baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan; 2) Penegasan batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik koordinat batas di atas peta. Pasal 10: 1. Penegasan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 diwujudkan melalui tahapan : a. penelitian dokumen; b. pelacakan batas; c. pemasangan pilar di titik acuan; d. penentuan titik awal dan garis dasar; e. pengukuran dan penentuan batas; dan f. pembuatan peta batas. 2. Tahapan penegasan batas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1) dilakukan dengan prinsip geodesi dan hidrografi. 3. Setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat 1) dituangkan dalam berita acara kesepakatan. Pasal 11: Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1) huruf a meliputi : a. Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan Daerah. b. Dokumen lainnya yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan. 7

Pasal 12: 1) Pelacakan batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1) huruf b dilakukan untuk menentukan titik acuan di lapangan 2) Penentuan titik acuan di lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1) didasarkan pada peta dasar. Pasal 13: Pemasangan pilar titik acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1) huruf c dijadikan acuan dalam penentuan titik awal dan titik batas. Pasal 14: 1) Penentuan titik awal dan garis dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1) huruf d diperoleh dari hasil survei hidrografi atau peta laut skala terbesar yang tersedia. 2) Penentuan garis dasar sebagaimana dimaksud pada ayat 1) diperoleh dari dua titik awal yang berdekatan. 3) Garis dasar sebagaimana dimaksud pada ayat 2) terdiri dari garis dasar lurus dengan jarak tidak lebih dari 12 mil laut dan garis dasar normal yang mengikuti bentuk garis pantai. Pasal 15: 1) Pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e menggunakan garis dasar. 2) Pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 1) meliputi : a. Batas antara dua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berdampingan, diukur mulai dari titik batas sekutu pada garis pantai antara kedua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota kearah laut yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak b. Batas antara dua daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 24 mil laut diukur berdasarkan prinsip garis tengah; 8

c. Batas antara dua daerah kabupaten dan daerah kota dalam satu daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 8 mil laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah; d. Batas wilayah laut pulau kecil yang berada dalam satu daerah provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut, diukur secara melingkar dengan lebar 12 mil laut; Hasil pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 2) dilengkapi dengan daftar koordinat titik batas daerah di wilayah laut. Pasal 16: Pembuatan peta batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1) huruf f, dilakukan berdasarkan metode: a. kompilasi dan atau penurunan dari peta laut yang telah tersedia; b. pemetaan terestris, atau; c. pemetaan fotogrametris. Pasal 17: a. Peta batas daerah mencakup batas daerah di darat dan di laut. b. Peta batas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan skala minimal 1. Provinsi 1 : 500.000; 2. Kabupaten 1 : 100.000; 3. Kota 1 : 50.000. II.3. Generalisasi Generalisasi merupakan salah satu proses abstraksi dalam kartografi. Generalisasi melakukan operasi pada komponen-komponen geografi agar sesuai dengan skala peta dan kebutuhan komunikasi yang efektif. Tujuan utama pada generalisasi adalah untuk meningkatkan fungsi komunikasi pada peta. Tiap-tiap komponen dan atributnya berkontribusi terhadap komunikasi informasi yang efektif, dan tiap komponen harus terlihat pada tempat yang seharusnya dalam desain hierarki visual. 9

Terdapat empat elemen utama dalam generalisasi. Keempat elemen tersebut memiliki fungsi masing-masing. Akan tetapi keempat elemen tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.elemen-elemen yang dimaksud adalah: 1. Klasifikasi: merupakan pengurutan, penyekalaan, dan pengelompokan komponenkomponen oleh atribut dan nilai atributnya. 2. Simplifikasi: menentukan komponen-komponen atribut yang penting dan membuang detail yang tidak diinginkan. 3. Pembesaran (exaggeration): memperbesar atau mengubah komponen geografis untuk mendapatkan intisarinya pada dunia-nyata. 4. Simbolisasi: proses penerjemahan komponen geografis menjadi tanda grafis pada peta. II.3.1 Generalisasi Berdasarkan Permendagri 1/2006 Konsep generalisasi pada Permendagri 1/2006 adalah penggunaan garis dasar lurus. Dari beberapa titik awal yang ada ditentukan garis dasar yang akan digunakan sebagai awal perhitungan 12 mil laut. Garis dasar tersebut dapat berupa garis dasar lurus yang berjarak tidak lebih dari 12 mil laut atau garis dasar normal yang berimpit dengan garis kontur nol yang biasanya berbentuk kurva. Contoh penentuan dapat dilihat pada gambar 2.1. 10

Laut Darat Keterangan: Gambar 2.1 Penerapan Garis Dasar Lurus = Garis pantai = Garis dasar lurus III.3.1 Generalisasi Berdasarkan Algoritma Douglas-Peucker Proses generalisasi yang akan dilakukan adalah garis pantai sehingga tidak semua elemen generalisasi digunakan. Untuk garis, elemen generalisasi yang digunakan adalah simplifikasi dengan kategori eliminasi titik. Ada dua alasan mengapa eliminasi digunakan: - Untuk mengiringi peta yang skalanya direduksi. - Untuk memberikan penekanan terhadap perubahan-perubahan yang sedikit terhadap skala yang tetap. Metode ini melakukan pendekatan terhadap simplifikasi garis dengan cara melihat seluruh garis pada satu waktu sebelum dilakukan generalisasi. Manipulasi yang digunakan untuk melakukan eliminasi adalah algoritma Douglas-Peucker. 11

Algoritma Douglas-Peucker dimulai dengan mendefinisikan toleransi maksimum dalam bentuk segmen garis: 1. Definisikan titik awal dan titik akhir dari suatu garis lurus yang dinamakan garis basis. Garis ini (AB) mengindikasikan perubahan dari garis asli. Garis Deviasi maksimum yaitu jarak antara garis basis dengan garis asli akan dihitung ( lihat gambar 2.2). Setiap deviasi maksimum akan dibandingkan dengan toleransi yang ditentukan. Gambar 2.2 Tahap 1 Algoritma Douglas-Peucker Keterangan: Batas toleransi ditentukan dari ketelitian pengeplotan (standar IHO) sebesar 0.4 mm. 2. Karena deviasi maksimum (FG) lebih besar daripada toleransi, maka dibuat dua garis basis baru (AG dan GB).Deviasi maksimum (HI dan JK) pada garis basis baru dihitung dan dibandingkan dengan toleransi (lihat gambar 2.3). Gambar 2.3 Tahap 2 Algoritma Douglas-Peucker 12

3. Pada contoh ini deviasi maksimum (HI) lebih kecil daripada toleransi, sehingga garis AG menggantikan garis asli dan deviasi maksimum (JK) dihitung (lihat gambar 2.4). Gambar 2.4 Tahap 3 Algoritma Douglas-Peucker 4. Panjang JK lebih besar daripada toleransi sehingga digambar dua garis basis baru (GJ dan JB) dan deviasi maksimumnya (CD dan MN) dihitung (lihat gambar 2.5). Gambar 2.5 Tahap 4 Algoritma Douglas-Peucker 5. Deviasi maksimum keduanya lebih kecil daripada toleransi, sehingga garis basis menggantikan garis aslinya. Gambar di bawah ini menunjukkan hasil dari algoritma Douglas-Peucker (lihat gambar 2.6). 13

Gambar 2.6 Tahap 5 Algoritma Douglas-Peucker II.4 Perhitungan Luas Wilayah Laut Wilayah laut suatu daerah akan dhitung luasnya. Persamaan yang digunakan untuk menghitung luas (L) suatu area adalah: L= YiXj- XiYj / 2 atau L= XiYj - YiXj /2 dimana: i = titik batas j = titik batas setelah titik i (berikutnya) Cara penerapan dalam hitungan: Susun koordinat titik batas dengan titik akhir harus sama dengan titik awal. Susunan titik batas dapat searah jarum jam ataupun berlawanan. Bila searah jarum jam, gunakan rumus kedua. 14