BAB II LANDASAN TEORI. terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan

dokumen-dokumen yang mirip
GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN ISTRI PADA PASANGAN COMMUTER MARRIAGE. Liza Marini1 dan Julinda2 Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap

BAB II KAJIAN TEORI. 1952; klemer, 1970, (Ardhianita & Andayani, 2004) diperoleh dari suatu hubungan dengan tingkat perbandingan.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanakkanak,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI. Menurut Willmot & Hocker (2001), konflik adalah suatu ekspresi. campur tangan dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan

PEDOMAN WAWANCARA. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB I PENDAHULUAN. bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Tahap yang paling panjang

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PASANGAN YANG BELUM MEMILIKI ANAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

BAB I PENDAHULUAN. dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kepuasan Perkawinan. Menurut Aqmalia dan Fakhrurrozi (2009) menjelaskan bahwa per kawinan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan mahluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam menjalani suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan impian setiap manusia, sebab perkawinan dapat membuat hidup

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. dengan proses pacaran dan proses ta aruf. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB II LANDASAN TEORI. Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson

BAB II LANDASAN TEORI

PENDAHULUAN. Seorang istri bertugas mendampingi suami dan merawat anak. yang bahagia dan mendapat kepuasan perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. rentang usia dewasa awal. Akan tetapi, hal ini juga tergantung pada kesiapan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkawinan oleh Fowers & Olson (1989) dan Subjective Well-being oleh. sesuai dengan fenomena penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif komparatif, yakni jenis

BAB 2. Tinjauan Pustaka

Bab 2. Landasan Teori

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB V HASIL PENELITIAN. 1. Rekap Tema dan Matriks Antar Tema

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rini Yuniati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran individu lain tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini termasuk penelitian korelasi yang melihat Hubungan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB II PERSPEKTIF TEORITIS. suami atau istri, dimana umumnya dalam keluarga yang baru tersebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB II LANDASAN TEORI. hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. Membangun dan mempertahankan hubungan dengan pasangan merupakan

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Perkawinan. menyeluruh.sejalan dengan itu Gullota, Adams dan Alexander (dalam

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

2016 HUBUNGAN ANTARA FAMILY RESILIENCE DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PNS WANITA DI KOTA BANDUNG

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996). dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Fitriana Rahayu Pratiwi, Dian Ratna Sawitri. Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto SH Tembalang Semarang 50275

Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa. mira asmirajanti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. KEPUASAN PERNIKAHAN 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan pernikahan itu sendiri. Kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan (Hendrick & Hendrick, 1992). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah penilaian suami dan istri yang bersifat subjektif dan dinamis mengenai kehidupan pernikahan. 2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan Menurut Hendrick & Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu: a. Premarital Factors 1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan pernikahan.

2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat penghasilan rendah. 3) Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap romantisme, pernikahan dan perceraian. b. Postmarital Factors 1) Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan pernikahan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984). Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stress pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak tersebut. 2) Lama Pernikahan, dimana dikemukakan oleh Duvall bahwa tingkat kepuasan pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak mandiri. Holahan dan Levenson (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa pria lebih puas dengan pernikahannya daripada wanita. Pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya. Bahkan dalam penelitian Burr, 1970; Komarovsky, 1967; Renne, 1970 (dalam

O Leary, Unger & Wallstone, 1985) menemukan bahwa suami menunjukkan kepuasaan pernikahan yang lebih besar dibandingkan dengan wanita. Cole menyatakan bahwa pasangan menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi pada awal tahun kehadiran anak dalam pernikahan, kepuasan pernikahan yang menurun sepanjang tahun-tahun mengasuh anak dan meningkat kembali pada tahun selanjutnya (dalam Lefrancois, 1993). Hal ini sejalan dengan Miller et al., 1997 (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) yang menyatakan bahwa kepuasan pernikahan yang paling tinggi pada awal pernikahan, menurun sampai anak mulai meninggalkan rumah dan meningkat kembali pada tahun selanjutnya. Tahun pertama pernikahan biasanya diisi dengan eksplorasi dan evaluasi. Pasangan akan mulai untuk menyesuaikan harapan-harapan dan fantasi-fantasi mereka mengenai pernikahan dan menghubungkannya dengan kenyataan. Pasangan yang baru menikah tidak hanya akan mengetahui peran-peran baru dalam pernikahan mereka, namun juga mengembangkan penyesuaian diri mereka ke dalam pekerjaan mereka (Belsky, 1997). 3. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fower (1989; 1993). Adapun aspek-aspek tersebut antara lain: a. Communication Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi dalam hubungan mereka sebagai suami istri. Aspek ini

berfokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif. Laswell (1991) membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill). b. Leisure Activity Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan yang dipilih untuk menghabiskan waktu senggang. Aspek ini merefleksikan aktivitas sosial versus aktivitas personal, pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan harapan dalam menghabiskan waktu senggang bersama pasangan. c. Religious Orientation Aspek ini mengukur makna kepercayaan agama dan prakteknya dalam pernikahan. Nilai yang tinggi menunjukan agama merupakan bagian yang penting dalam pernikahan. Agama secara langsung mempengaruhi kualitas pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan, norma dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya dalam pernikahan (Christiano, 2000; Wilcox, 2004 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008). Pengaruh tidak langsung dari agama yaitu kepercayaan terhadap suatu agama dan beribadah cenderung memberikan kesejahterahan secara

psikologis, norma prososial dan dukungan sosial diantara pasangan (Ellison, 1994; Gottman, 1998; Amato & Booth, 1997 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008). d. Conflict Resolution Aspek ini mengukur persepsi pasangan mengenai eksistensi dan resolusi terhadap konflik dalam hubungan mereka. Aspek ini berfokus pada keterbukaan pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan penyelesaian dan strategi-strategi yang digunakan untuk menghentikan argumen serta saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun kepercayaan satu sama lain. e. Financial Management Aspek ini berfokus pada sikap dan berhubungan dengan bagaimana cara pasangan mengelola keuangan mereka. Aspek ini mengukur pola bagaimana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian mereka terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

f. Sexual Orientation Aspek ini mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan hubungan seksual mereka. Aspek ini menunjukan sikap mengenai isu-isu seksual, perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. g. Family and Friends Aspek ini menunjukan perasaan-perasan dan berhubungan dengan hubungan dengan anggota keluarga dan keluarga dari pasangan, dan teman-teman. Aspek menunjukan harapan-harapan untuk dan kenyamanan dalam menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. h. Children and Parenting Aspek ini mengukur sikap-sikap dan perasaan-perasaan mengenai mempunyai dan membesarkan anak. Aspek ini berfokus pada keputusankeputusan yang berhubungan dengan disiplin, tujuan-tujuan untuk anakanak dan pengaruh anak-anak terhadap hubungan pasangan. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya

dalam pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud. i. Personality Issues Aspek ini mengukur persepsi individu mengenai pasangan mereka dalam menghargai perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap masalah-masalah itu. j. Equalitarian Role Aspek ini mengukur perasaan-perasaan dan sikap-sikap individu mengenai peran-peran pernikahan dan keluarga. Aspek ini berfokus pada pekerjaan, pekerjaan rumah, seks, dan peran sebagai orang tua. Semakin tinggi nilai ini menunjukan bahwa pasangan memilih peran-peran egalitarian. 4. Kriteria Kepuasan Pernikahan Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain: a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan, dimana dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga. b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga. Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dalam keluarga. c. Model parental role yang baik

Pola orangtua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Hal ini bisa memberntuk keharmonisan dalam keluarga. d. Penerimaan terhadap konflik-konflik Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga. e. Kepribadian yang sesuai Dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang satu dapat menutupi kekurangan yang lainnya sehingga pasangan dapat saling melengkapi satu sama lain. f. Mampu memecahkan konflik Levenson (dalam Lemme, 1995) mengatakan bahwa kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung kepuasan pernikahan pasangan tersebut. B. DEWASA AWAL 1. Pengertian Dewasa Awal Istilah adult berasal dari bentuk lampau kata kerja adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna, atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu, individu dewasa awal adalah individu yang telah

menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan individu dewasa lainnya (Hurlock, 1990). Rosdahl & Kowalski (2007) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada usia 20 sampai 40 tahun. Individu pada masa dewasa awal akan menghadapi berbagai pilihan dalam hidupnya, seperti pekerjaan, pendidikan, hubungan dengan pasangan, lingkungan tempat tinggal dan kemandirian. 2. Tugas-tugas Perkembangan pada Masa Dewasa Awal Rosdahl & Kowalski 2007 membagi tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal menjadi 2 yaitu: a. Individu pada usia 20-30 tahun Individu pada usia 20-30 tahun biasanya akan menghadapi berbagai pilihan seperti memilih tempat tinggal, karir, mengembangkan identifikasi diri, mengembangkan hubungan dengan orang lain dan mulai membentuk keluarga. Individu masa dewasa awal memilih untuk tetap tinggal dengan orang tua atau tidak. Beberapa individu mungkin mengalami kesulitan untuk ekonomi yang akhirnya memaksa mereka kembali ke rumah orang tua untuk sementara waktu. Keputusan lain yang harus dipilih adalah mengenai pemilihan karir yang berhubungan dengan pendidikan. Pendidikan dan karir berhubungan dengan situasi ekonomi, tujuan, kemampuan dan minat individu. Individu yang bekerja seharusnya dapat menikmati pekerjaan mereka, yakin akan

apa yang mereka lakukan dengan kemampuan mereka dan merasa bahwa mereka turut memberikan kontribusi kepada lingkungan Sheehy (dalam Rosdahl & Kowalski, 2007) menyebutkan bahwa individu yang berusia 20-30 tahun sebagai individu yang sedang mengembangkan akar. Individu dewasa awal sering merasa bahwa mereka harus melakukan beberapa hal untuk hidup mereka. Keluarga, teman dan perilaku budaya di sekitarnya mempengaruhi individu tersebut. Individu dewasa awal akan menghadapi dilema ketika mereka merasa bahwa pilihan mereka tidak dapat berubah di masa mendatang atau bahwa keputusan mereka akan menghasilkan keadaan yang akan berlangsung selamanya misalnya keputusan untuk menikah dan memilih pekerjaan. Individu dewasa awal ingin membangun struktur untuk masa depan dan memiliki komitmen dan keamanan, namun mereka juga ingin tetap mempunyai kesempatan untuk bereksplorasi, bereksperimen dan menjaga supaya struktur tersebut tetap fleksibel. Kemampuan individu untuk menjaga keseimbangan antara dua keinginan yang bertolak belakang mempengaruhi kecepatan dan kemudahan individu untuk melewati masa ini. Tugas perkembangan lainnya pada usia 20-30 tahun adalah mengembangkan hubungan dengan orang lain. Individu pada masa remaja akhir dan masa dewasa awal biasanya dikelilingi oleh teman-teman kampus yang mempunyai usia yang sama, namun setelah menyelesaikan pendidikan dan meninggalkan rumah orang tua, individu dewasa awal

akan merasakan kesepian dalam diri. Individu dewasa awal akan mulai membentuk persahabatan baru dan hubungan yang intim dengan orang lain yang mampu memberikan dukungan dan pengertian yang kemudian mengarahkan ke jenjang pernikahan. Pria umumnya menikah di usia akhir 20-an, namun wanita biasanya menikah di pertengahan usia 20-an. Tugas perkembangan terakhir adalah memulai keluarga. Lingkungan umumnya mengharapkan individu dewasa untuk menikah dan membentuk keluarga. Banyak individu dewasa yang menunda pernikahan dan kehadiran anak sampai usia 30-an. Individu pada usia 20-30 tahun biasanya lebih memilih untuk mengembangkan karir dan memperoleh keadaan ekonomi yang aman. Pada usia 28 sampai 32, individu dewasa awal umumnya membuat keputusan baru dan mempertimbangkan kembali keputusan-keputusan yang pernah diambil sebelumnya. Individu dewasa yang telah menikah mungkin akan mempertanyakan untuk tetap tinggal dengan pasangan atau tidak, mereka juga mungkin akan mempertanyakan diri mereka mengenai perubahan karir mereka. Pada masa inilah, individu dewasa awal menyadari bahwa mereka dapat membuat keputusan sesuai dengan keinginan dan perasaan mereka, bukan didasarkan atau kepercayaan akan hal lain. b. Usia 30-40 tahun

Pada awal usia 30-an, individu dewasa mulai menetapkan pilihan dalam hal mengembangkan karir, beberapa diantaranya memutuskan untuk membeli rumah dan merasa lebih nyaman dengan pasangan mereka. Kehidupan menjadi lebih rasional dan tersusun rapi. Topik topik mengenai karir menjadi topik yang penting. Pasangan pada usia 30-40 tahun mungkin bekerja dengan waktu yang berbeda satu sama lain yang akhirnya dapat mempengaruhi waktu interaksi dengan pasangan, waktu keluarga, dan tanggung jawab dalam merawat anak. Individu yang menginginkan peningkatan karir harus mengikuti peraturan-peraturan yang ada dalam dunia pekerjaannya. Perusahaanperusahaan mungkin saja menetapkan pekerja dari satu tempat ke tempat lain. Transfer dalam pekerjaan biasanya dapat menjadi konflik bagi pasangan dual-career, misalnya jika salah satu pasangan memperoleh pekerjaan yang lebih baik di daerah lain, pasangan lainnya harus memilih apakah tetap ingin tinggal bersama dengan pekerjaan sebelumnya, atau pasangan lainnya harus ikut pindah dan mencari pekerjaan baru di tempat lain atau pasangan dapat memilih untuk tinggal berjauhan namun tetap menjaga hubungan mereka. Beberapa topik yang berhubungan dengan karir adalah beberapa individu pada masa 30-40 tahun juga memutuskan untuk memulai jenjang karir yang baru atau kembali ke sekolah untuk meningkatkan pendidikan mereka. Perubahan dalam karir, baik atas keinginan sendiri maupun karena kebutuhan ekonomi dapat memberikan stress pada pasangan dan keluarga.

Reinke, et al. (dalam Granrose & Kaplan, 1996) menjelaskan bahwa wanita memulai periode transisi psikologis utama diantara usia 27 sampai 30-an. Masa transisi ini ditandai dengan perpecahan dalam diri, dilanjutkan dengan menilai ulang dan mencari perkembangan diri dan akhirnya mengembangkan konsep diri dan kesejahterahan psikologis. Untuk wanita yang bekerja dan mempunyai karir akan menghadapi pemikiran untuk mempunyai anak, dimana mengharuskan wanita untuk tinggal di dalam rumah ataupun tetap melanjutkan pekerjaan dan karir. Wanita pada usia 30-an harus membuat keputusan mengenai kelahiran anak. Mereka menyadari bahwa mereka harus melahirkan anak sekarang atau tidak ada kesempatan lagi nantinya. Tujuan karir dan menjadi orang tua dapat menjadi konflik bagi wanita pada usia 30-an. Wanita pada usia 30-an yang belum menikah merasakan tekanan yang lebih untuk mencari pasangan yang sesuai dengan mereka untuk membentuk keluarga. Adopsi dapat menjadi pilihan bagi wanita yang tidak menikah, namun wanita yang memilih untuk memiliki anak di luar hubungan dengan komitmen dapat menghadapi tanggung jawab dan tantangan menjadi orang tua tunggal. Wanita yang mempunyai pasangan dan menunda untuk memiliki anak mungkin akan menghadapi keputusan yang sulit mengenai pekerjaan, penempatan anak dan tanggung jawab. Individu pada usia 30-40 tahun juga akan menghadapi berbagai perubahan dalam hidup mereka, diantaranya pada anak-anak yang mulai dewasa dan meninggalkan rumah dan lebih tertarik untuk bersama teman-

teman sebaya dibandingkan bersama orang tua. Orang tua yang biasanya menjaga anak-anak akan merasakan kehilangan dan kesepian, sehingga orang tua perlu untuk mencari minat pada hal lain. Ketika anak-anak meninggalkan rumah, para orang tua mulai memperbaiki hubungan dengan pasangan mereka. Mereka dapat mengembangkan hubungan intim yang lebih mendalam atau dapat memutuskan untuk kehilangan keintiman mereka dengan pasangan mereka dan berakhir pada perceraian. Perubahan karir dan perpindahan ke kota lain dapat membuat kehidupan keluarga dan keintiman hubungan dengan pasangan menjadi kurang stabil. Perceraian dapat muncul dan individu perlu melakukan penyesuaian yang berhubungan dengan perceraian. Invidu dewasa yang bercerai akan menghadapi tantangan dalam mencari pasangan baru dan keadaan ekonomi yang tidak stabil, ataupun masih berusaha memahami hubungan mereka dengan mantan pasangan mereka. 3. Karakteristik Masa Dewasa Awal Menurut Hurlock (1990), karakteristik individu dewasa awal adalah: a. Masa pengaturan Individu dewasa awal mulai mencoba-coba untuk menemukan pekerjaan dan pasangan yang tepat. sekali individu menemukan pola hidup yang diyakininya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka individu tersebut akan mengembangkan pola-pola perilaku sikap dan

nilai-nilai yang akan cenderung akan menjadi kekhasan selama sisa hidupnya. b. Usia reproduktif Individu dewasa awal yang menikah akan berperan pada sebagai orang tua pada usia 20 atau 30-an. c. Masa bermasalah Masalah-masalah yang dihadapi individu masa dewasa awal berhubungan dengan penyesuaian diri dalam berbagai aspek utama kehidupan masa dewasa awal diantaranya penyesuaian diri dalam kehidupan perkawinan dan karir. d. Masa ketegangan emosional Sekitar awal atau pertengahan usia 30-an, kebanyakan individu dewasa awal telah mampu memecahkan masalah-masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional. Emosi yang menggelora yang merupakan ciri tahun-tahun awal kedewasaan masih tetap kuat pada usia 30-an, hal ini merupakan tanda bahwa penyesuaian diri pada kehidupan orang-orang dewasa belum terlaksana secara memuaskan. e. Masa keterasingan Masa keterasingan merupakan masa individu dewasa merasakan keterpencilan sosial atau yang disebut Erikson sebagai krisis keterasingan. Krisis keterasingan dapat terjadi karena pada masa sebelumnya, individu masih bergantung dengan persahabatan dan

orang tua, namun pada masa dewasa awal dihadapkan pada keadaan untuk bersaing dan hasrat yang kuat untuk mencapai karir. f. Masa komitmen Individu dewasa awal akan mengalami perubahan tanggung jawab dari remaja yang sepenuhnya bergantung pada orang tua menjadi invidu dewasa yang mandiri. Individu dewasa awal perlu menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmenkomitmen baru. Pola hidup, tanggung jawab dan komitmen-komitmen baru mungkin dapat berubah, namun pola-pola ini dapat menjadi landasan yang akan membentuk pola hidup, tanggung jawab dan komitmen baru di masa mendatang. g. Masa ketergantungan Beberapa individu pada masa dewasa awal yang sudah mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, namun beberapa diantaranya masih menemui kesulitan ekonomi sehingga harus bergantung pada orang tua atau bergantung pada beasiswa dari perguruan tinggi untuk dapat melanjutkan pendidikannya. h. Masa perubahan nilai Individu masa dewasa awal harus dapat menerima perubahan nilai yang terjadi di masyarakat supaya dapat diterima dalam kelompok orang dewasa termasuk perubahan nilai ketika mereka menjadi orang tua. i. Masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru

Individu masa dewasa awal dihadapkan pada tugas untuk menyesuaikan diri pada kehidupan pekerjaan dan kehidupan pernikahan. j. Masa kreatif Bentuk kreatifitas yang akan terlihat pada masa dewasa awal adalah kreatifitas yang bergantung pada minat dan kemampuan individual, kemampuan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya. Ada individu yang menyalurkan kreatifitas melalui hobi, ada yang menyalurkannya melalui pekerjaan yang memungkinkan untuk menyalurkan ekspresi kreatifitasnya. C. COMMUTER MARRIAGE 1. Pengertian Commuter Marriage Commuter marriage adalah kesepakatan yang dilakukan dengan sukarela oleh pasangan suami istri yang berada pada dua lokasi geografis yang berbeda dengan pekerjaan masing-masing dan dipisahkan setidaknya tiga malam dalam satu minggu selama sesedikitnya tiga bulan (Gerstel dan Gross, 1982). Istilah lain commuter marriage yang digunakan Stafford (2005) adalah dual career dual residence (DCDR), yang didefinisikan sebagai individuindividu yang menikah, dengan atau tanpa anak, yang secara sukarela mempertahankan kelangsungan hidup pada dua tempat tinggal yang berjauhan,

dengan maksud untuk mempertahankan pernikahan, dan keduanya berkomitmen terhadap karir mereka. Rhodes (2002) menyatakan bahwa dalam beberapa referensi, commuter marriage didefinisikan sebagai: a. pasangan yang melanjutkan karir dengan melibatkan pekerjaan yang membutuhkan komitmen yang tinggi dan pelatihan khusus dengan tanggung jawab yang besar (ini mencakup mahasiswa yang melanjutkan tingkat pendidikan lanjutan). b. pasangan memutuskan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan rumah tangga pada lokasi yang terpisah secara geografis dengan tujuan untuk meningkatkan karir pada pasangan tersebut. Rhodes (2002) juga menambahkan bahwa dengan demikian, sales, pekerja dengan pekerjaan yang berhubungan dengan perjalanan, personel militer, migran yang menjadi pekerja, pekerja konstruktif dan pramugari yang meninggalkan rumah untuk waktu tertentu bukan termasuk dalam definisi commuter marriage. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa commuter marriage adalah pasangan suami istri dengan atau tanpa anak yang tinggal terpisah secara geografis karena adanya komitmen yang tinggi terhadap karir dan mempertahankan pernikahan. 2. Karakteristik Commuter Marriage Beberapa karakteristik yang membedakan pasangan commuter marriage dengan pernikahan lainnya (Gerstel & Gross, 1982):

a. Lama pasangan tinggal di rumah yang berbeda bervariasi, mulai dari tiga bulan sampai 14 tahun. b. Jarak yang memisahkan pasangan tersebut antara 40-2.700 mil c. Jarak yang bervariasi dari rumah utama, kebanyakan pasangan tersebut menghabiskan waktu mereka di rumah yang berbeda (salah satu pasangan di rumah utama dan pasangan lain di rumah lain di tempat lain). d. Pasangan biasanya melakukan reuni dengan variasi periode waktu yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya melakukan reuni pada akhir pekan tanpa mempertanyakan kapan akan melakukan reuni selanjutnya. 3. Karakteristik Pernikahan dan Keluarga Rhodes (2002) menjelaskan karakteristik pernikahan dan keluarga commuter, antara lain: a. Adanya atau tidak-adanya kehadiran anak yang tinggal di rumah dalam keluarga. Rotter, Barnett, & Fawcett (dalam Rhodes, 2002) setuju bahwa pasangan commuter marriage akan mengalami pola hidup yang lebih menyulitkan dengan adanya kehadiran anak yang tinggal di rumah. b. Ketika pasangan setuju untuk melakukan tipe pernikahan seperti ini, salah satu orang tua biasanya tinggal di rumah bersama dengan anak-anak, sehingga akan mengemban tanggung jawab, stress, dan jumlah pekerjaan yang lebih besar, dan orang tua lainnya biasanya akan pindah ke lokasi yang lebih dekat dengan pekerjaannya (Anderson, 1992).

c. Orang tua yang melakukan perpisahan dengan keluarga dapat lebih fokus dengan pekerjaannya, namun orang tua yang tinggal dengan anak-anak biasanya mengambil peran sebagai orangtua tunggal (single parent). Biasanya orang tua yang tidak melakukan perpisahan akan merasa kecil hati dengan perubahan dalam tanggung jawab dan pengaturan hidup (Carter, 1992). d. Banyak orang tua yang melakukan perpisahan merasakan rasa bersalah telah berpisah dengan keluarga dan melewatkan bagian-bagian penting dalam perkembangan anak-anak mereka (Johnson, 1987, Rotter et al., 1998). e. Untuk menutupi rasa bersalah mereka, umumnya orang tua tersebut mengambil langkah-langkah seperti memberikan perhatian secara kualitas ketika menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka, memberikan model peran alternatif untuk anak-anak dan memberikan kesempatan pada anak-anak dalam memilih dua tempat tinggal yang berbeda (Jackson et al., 2000; Rotter et al., 1998). 4. Kelebihan dan Kelemahan pada Pasangan Commuter Marriage Scoot (2002) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa pasangan dengan dua karir memutuskan untuk memisahkan tempat tinggal mereka. Adapun kelebihan dari pernikahan dengan tipe ini adalah: a. Memiliki karir dan pernikahan dalam persamaan hak dalam pernikahan (Farris, 1978; Gerstel & Gross, 1983).

b. Memperkuat pernikahan. Beberapa pasangan percaya bahwa perpisahan dapat memperkuat pernikahan mereka karena perpisahan memberikan perasaaan akan kesuksesan (Rapoport et al., 1978; Gross, 1980, 1981). c. Ketika pasangan berpisah, mereka dapat belajar untuk mengadaptasikan jadwal mereka sesuai dengan kebutuhan mereka. d. Memberikan waktu kerja yang lebih panjang bagi pasangan. e. Selama perpisahan, masing-masing pasangan dapat memfokuskan diri pada pekerjaan mereka, namun pada saat melakukan reuni, mereka memfokuskan pada penguatan hubungannya dengan pasangan. f. Pola hidup seperti ini menghasilkan kemampuan baru dan meningkatkan rasa percaya diri mengenai kemampuan individu (Gerstel & Gross, 1982; Jackson et al, 2000; Winfield, 1985). Selain memberikan kelebihan, pola pernikahan ini juga memberikan beberapa kelemahan, antara lain: a. Pasangan jarak jauh mempunyai jadwal yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, yaitu jadwal yang sibuk, bahkan ketika pasangan saling menjenguk, mereka tetap tidak terlepas dari jadwal yang sibuk. Hal ini menyebabkan pasangan tidak mampu memperkuat hubungan mereka bahkan saat mereka sedang berkumpul. Jadwal yang sibuk menyebabkan rendahnya kepuasan hubungan dan kehidupan keluarga (Bunker, Zubek, Vanderslice, & Rice, 1992; Govaerts & Dixon, 1988). b. Biaya yang lebih tinggi yang harus dibayar oleh pasangan ini (Farris, 1978; Gerstel & Gross, 1984), misalnya rekening telepon yang lebih mahal

karena hubungan jarak jauh, biaya perjalanan ketika saling mengunjungi dan biaya-biaya kebutuhan kedua rumah yang ditempati masing-masing pasangan. c. Kurangnya kehadiran pasangan, terhambatnya kontak nonverbal mempengaruhi keintiman dalam hubungan pernikahan jarak jauh. d. Munculnya kecemasan dan kekhawatiran pada pasangan termasuk ketakutan untuk hidup terpisah, perceraian dan perselingkuhan (Farrris, 1978). Kekhawatiran ini umumnya muncul pada pasangan yang lebih muda, namun pada pasangan yang lebih tua lebih banyak mengalami pengalaman takut akan hidup terpisah dan sedikit cemas mengenai perceraian dan perselingkuhan (Gerstel & Gross, 1984). D. KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN COMMUTER MARRIAGE Layaknya pasangan suami istri umumnya, pasangan commuter marriage juga mengharapkan kepuasan dalam pernikahan dan mempunyai penilaian terhadap kepuasan pernikahan. Pasangan commuter marriage umumnya menganut peran gender yang lebih egalitarian dibandingkan yang tradisional dalam pernikahan. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan commuter marriage yang sukses dalam pernikahan adalah pasangan yang menganut peran gender yang sedikit tradisional dan lebih egalitarian, mereka umumnya mempunyai pendidikan yang baik, dan terikat dalam rencana dan keputusan bersama dalam membuat perpisahan (Anderson & Spruill, 1993; Fortysh & Gramling, 1987 dalam Stafford,

2005). Perilaku peran gender yang non-tradisional yang biasanya dianut oleh pasangan commuter marriage adalah suami maupun istri saling berbagi perhatian terhadap keluarga dan rumah, suami dan istri sepakat bahwa tidak ada pekerjaan mana yang lebih penting dari pekerjaan lainnya. Pasangan commuter marriage menyatakan bahwa perjalanan yang merupakan bagian dari pekerjaan dapat menciptakan stress tambahan untuk pasangan mereka, khususnya dengan adanya kehadiran anak dalam keluarga (Roehling & Bultman, 2002). Kehadiran anak mengurangi peran egalitarian yang biasanya dianut oleh pasangan commuter marriage (Stafford, 2005). Peran nontradisional ini tidak berlaku ketika salah satu pasangan melakukan perjalanan, pasangan yang melakukan perjalanan biasanya akan menyerahkan peran mereka yang berhubungan dengan keluarga kepada pasangan lain yang tinggal di rumah. Pasangan yang tidak tinggal bersama anak-anak dapat fokus pada karir, namun pasangan lain, biasanya istri yang tinggal dengan anak merasakan peran sebagai orang tua tunggal. Roehling dan Bultman (2002) menambahkan bahwa istri biasanya mengurangi perjalanan yang berhubungan dengan karir jika adanya kehadiran anak dalam keluarga. Kehadiran anak meningkatkan tanggung jawab dan pembagian kerja menurut gender di rumah sehingga membutuhkan peran dengan waktu yang intensif dari orang tua. Hal ini dapat menyebabkan peran yang berlebihan dan konflik peran (Barnett & Hyde, 2001 dalam Roehling & Bultman, 2002) serta dapat mempengaruhi performansi di tempat kerja dan di rumah pada pasangan yang tinggal di rumah (Roehling & Bultman, 2002).

Gerstel dan Gross (dalam Scoot, 2002) yang menyatakan bahwa usia pernikahan, kehadiran anak, dan durasi perpisahan dan pertemuan kembali karena pekerjaan memberikan pengaruh yang besar dalam pengalaman menghadapi perpisahan pada pasangan commuter marriage. Penelitian yang dilakukan oleh Gerstel dan Gross menunjukan bahwa pasangan yang baru menikah (tanpa menjelaskan usia pernikahan yang dimaksud), pasangan dengan anak-anak dan pasangan yang mengunjungi kurang dari dua kali dalam sebulan mengalami kesulitan menangani perpisahan mereka. Semakin lama usia suatu pernikahan, semakin besar kemampuan pasangan untuk menghadapi masalah yang muncul ketika pasangan tidak tinggal bersama (Gerstel dan Gross, 1981, 1982, 1984; Gross, 1980, 1981 dalam Scott, 2002). Pasangan commuter marriage yang lebih muda dengan anak yang masih muda dan pengalaman akan perpisahan yang tidak banyak merupakan pasangan yang paling rapuh, namun kebanyakan pasangan yang lebih tua dan mempunyai banyak pengalaman akan perpisahan dengan pasangan, dapat mencoba untuk beradaptasi terhadap perjalanan dinas karena pekerjaan dan bahkan merasakan periode yang berturut-turut antara perpisahan dan reuni kembali sebagai suatu hal yang sangat menarik (Espino et al., 2002; Morrice et al., 1985 dalam Gustafson, 2006). Jadwal pekerjaan yang lebih fleksibel dan sumber penghasilan yang lebih besar membuat pasangan commuter marriage merasakan kesulitan yang lebih sedikit (Anderson, 1992 dalam Stafford, 2005). Pasangan yang merasakan kesulitan dan tetap mencoba untuk melakukan dinas pekerjaan, semakin merasa

tidak puas dengan pola hidup seperti itu (Groves & Horm-Wingered, 1991 dalam Stafford 2005). E. PARADIGMA PENELITIAN

Dewasa Awal Mencari pekerjaan Membentuk keluarga Pasangan dual-career Kehadiran anak Suami atau istri yang bekerja di daerah yang sama Suami atau istri yang bekerja di daerah yang terpisah karena penempatan pekerjaan istri suami Istri tinggal dengan anak dan meniti karir Commuter Marriage Suami melakukan perjalanan karena pekerjaan (tinggal terpisah) Kelebihan Kelemahan Kepuasan pernikahan