BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali berasal dari banteng ( bibos banteng) yang telah didomestikasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA. dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sapi potong merupakan salah

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. ternak dalam suatu usahatani atau dalam suatu wilayah. Adapun ciri keterkaitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

TINJAUAN PUSTAKA. atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL?

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ternak sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINS! KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)

BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Potong Tropis Bangsa sapi potong tropis adalah merupakan bangsa sapi potong yang berasal

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bovidae didomestikasi dari leluhurnya yang masih liar yaitu Bos javamicus/bibos banteng atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

Implikasi Pengetahuan Ayat Tentang Pemotongan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Terhadap Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan dewasa kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL )

EKTERIOR, PENENTUAN UMUR, PENANDAAN, PENDUGAAN BOBOT BADAN DAN EVALUASI TERNAK POTONG. Oleh: Suhardi, S.Pt.,MP

I PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Keadaan ini disebabkan oleh

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

5 KINERJA REPRODUKSI

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini

Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti dgn Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

BAB I PENDAHULUAN. ke tahun. Berdasarkan data yang didapat dari Badan Pusat Statistik D.I

Bibit sapi Bali SNI 7355:2008

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

MODEL PEMBIBITAN SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU PROPINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi asli dan murni

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Chen et al., 2005). Bukti arkeologi menemukan bahwa kambing merupakan

WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH TINGKAT II YOGYAKARTA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng ( bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi bali termasuk Famili Bovidae, Genus Bos dan Subgenus Bibovine (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Dari Pulau Bali yang dipandang sebagai pusat perkembangan sekaligus pusat bibit, sapi bali menyebar dan berkembang hampir ke seluruh pelosok nusantara. Oleh sebab itu kemurnian genetikanya telah dilindungi dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 Tahun 2004 dan Perda No 2/2003 yang melarang bibit sapi bali betina keluar dari wilayah Provinsi Bali. Secara fisik sapi bali memiliki ciri yang khas yang membedakan dari sapisapi yang lain yang ada di nusantara. Sapi bali memiliki ukuran tubuh yang sedang, dadanya dalam, tidak berpunuk dan kaki-kakinya ramping. Kulitnya berwarna merah bata, cermin hidung, kaki dan bulu ekor berwarna hitam. Kaki dibawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih ( white stocking). Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam, kulit berwarna putih tersebut tampak berbentuk oval (white mirror). Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam yang membentuk garis (garis belut) yang memanjang dari gumba sampai pangkal ekor (Batan, 2006). Sapi bali jantan dan betina terdapat beberapa perbedaan antara lain, sapi bali jantan berwarna lebih gelap di banding sapi bali betina. Warna bulu sapi bali 7

8 jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi cokelat tua atau hitam legam setelah sapi bali mencapai dewasa kelamin yaitu pada usia 1,5 tahun (Batan, 2006). Warna kehitaman bulu sapi bali jantan disebabkan oleh hormon testosteron, sehingga pada sapi bali jantan yang dikebiri warna bulunya akan berubah kembali menjadi coklat kemerah-merahan (darmadja, 1990). Sapi bali memiliki beberapa keunggulan, antara lain mudah beradaptasi terhadap lingkungan. Sapi bali memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan baru, baik terhadap suhu, udara, kelembaban dan angin, maupun terhadap kondisi lahan, pakan, dan penyakit. Fertilitas tinggi merupakan keungulan sapi bali, dimana faktor lingkungan tidak berpengaruh terhadap tingkat fertilitas sapi bali, yang mencapai 83%, yang artinya setiap sapi bali melakukan perkawinan maka peluang terjadinya kebuntingan adalah 83%, dan diikuti dengan siklus birahi yang panjang dengan rata-rata 21 hari, dengan lama birahi 18-48 jam. Keunggulan lainnya sapi bali memiliki persentase karkas yang lebih tinggi dibanding jenis sapi tropis lainnya yaitu mencapai 56% dari berat hidupnya (Pane, 1991). Di samping memiliki kelebihan tentunya sapi bali juga memiliki kelemahan, antara lain birahi kembali setelah melahirkan sangat panjang yaitu mencapai 182 hari, interval beranak atau jangka waktu kelahiran anak berikutnya yaitu rata-rata 555 hari. Kerentanan terhadap penyakit tertentu juga merupakan kelemahan sapi bali seperti penyakit Jembrana, Bali Ziekte dan MCF (Guntoro, 2002). Sistem pemeliharaan sapi bali dikatagorikan dalam tiga cara, antara lain : sistem pemeliharaan intensif yaitu ternak dikandangkan, sistem pemeliharaan

9 semi intensif yaitu ternak dikandangkan pada malam hari dan dilepas di ladang penggembalaan pada pagi hari dan sistem pemeliharaan ekstensif yaitu ternak dilepas di padang penggembalaan (Hernowo, 2006). 2.2. Pemeriksaan Ante-Mortem Pemeriksaan ante-mortem adalah pemeriksaan ternak dan unggas potong sebelum disembelih. Pemeriksaan ante-mortem dilakukan dengan mengamati dan mencatat ternak sapi sebelum disembelih yang meliputi jumlah ternak yang dipotong, perkiraan umur, kesehatan, kelainan atau cedera. Adapun maksud pemeriksaan ante-mortem adalah agar ternak yang akan disembelih hanyalah ternak yang sehat, normal dan memenuhi syarat. Sebaliknya, ternak yang sakit hendaknya ditolak untuk dipotong. Tujuan dari pemeriksaan ante-mortem adalah agar daging yang akan dikonsumsi masyarakat adalah daging yang benar-benar sehat dan bermutu (Suardana dan Swacita, 2008). Khusus untuk pemotongan ternak sapi, selain kondisinya harus sehat dan normal juga harus memenuhi syarat agar ternak sapi yang akan dipotong tidak melanggar peraturan yang telah ditentukan pemerintah. Peraturan yang mengatur tentang pemotongan ternak antara lain yaitu : (1) Staatsblad Nomor 614 tahun 1936 tentang Pemotongan Ternak Besar Betina Bertanduk. Inti dari peraturan ini adalah ternak betina bertanduk, yaitu sapi dan kerbau betina dilarang dipotong, (2) Instruksi Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 18/1979 dan Nomor 05/Ins/Um/3/1979 tentang Pelanggaran Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan Sapi/Kerbau Betina Bibit, (3) Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali tanggal 1 Oktober 1980 tentang Pelarangan dan

10 Pencegahan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan Sapi/Kerbau Betina Bibit (Suardana dan Swacita, 2008). Petugas yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan ante-mortem adalah dokter hewan atau pemeriksa daging dibawah petugas berwenang dari pemerintah (Dinas Peternakan). Pemeriksaan dilakukan pada hari pemotongan atau sehari sebelumnya. Para dokter dan petugas inilah yang berhak menentukan apakah hewan dapat dipotong atau tidak (Suardana dan Swacita, 2008). Menurut Direktorat Kesmavet (1993 ), tujuan dari pemeriksaan antemortem adalah: a. Mencegah pemotongan hewan yang secara nyata menunjukan gejala klinis penyakit hewan menular dan zoonosis atau tanda-tanda yang menyimpang. b. Mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya untuk keperluan pemeriksaan post-mortem dan penelusuran penyakit di daerah asal ternak. c. Mencegah kontaminasi dari hewan atau bagian dari hewan yang menderita penyakit kepada petugas, peralatan RPH dan lingkungan. d. Menetukan status hewan dapat dipotong, ditunda atau tidak boleh dipotong. e. Mencegah pemotongan ternak betina produktif. Hasil akhir pemeriksaan ini dapat dibagi tiga kelompok : 1. Ternak yang dipotong secara reguler adalah ternak yang memenuhi syarat normal. 2. Ternak yang ditolak yaitu ternak yang menderita suatu penyakit menular, masih produktif dan betina bunting.

11 3. Ternak yang menderita kelainan lokal seperti fraktur, abses, neoplasma dan ternak yang kondisinya meragukan perlu pemeriksaan lebih lanjut (Arka dkk., 1992). 2.3 Rumah Pemotongan Hewan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) selain untuk kendali penyakit hewan yang bersifat zoonosis, juga memudahkan distribusi daging hasil pemotongan dan kendali lingkungan yang baik dari limbah pemotongan, sebenarnya juga merupakan tempat pengendali tidak dipotongnya sapi-sapi betina produktif. Tetapi pada kenyataannya masih sering terjadi kasus pemotongan sapi-sapi betina produktif. Sapi potong pada umur produktif boleh dipotong dengan syarat antara lain, cacat fisik dan tidak dapat difungsikan dengan baik seperti patah tulang kaki dan disfunsional organ reproduksi (Soejosopoetro, 2008). Pelanggaran pemotongan sapi betinan produktif adalah pelanggaran peraturan-peraturan yang telah digariskan, hal ini disebabkan etor kera yang kurang benar, baik oleh petugas pemegang hak dan pemilik ternak. Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan usaha pemotongan. Rumah

12 Pemotongan Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat (Manual Kesmavet, 1993). Rumah Pemotongan Hewan merupakan unit atau sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat mempunyai fungsi sebagai: 1. Tempat dilaksankannya pemotongan hewan secara benar. 2. Tempat dilaksanakannya pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-motem) dan pemeriksaan daging (post -mortem) untuk mencegah penularan penyakit hewan ke manusia. 3. Tempat untuk mendeteksi dan memonitoring penyakit hewan yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna mencegah dan pemberantasan penyakit hewan menular di daerah asal ternak. 4. Melaksanakan seleksi dan pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif (Lestari, 1994). 2.4 Perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang pemotongan ternak Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang pemotongan ternak dalam negeri merupakan landaan hukum bagi pelaksana kegiatan tersebut dalam kehidupan masyarakat, disamping juga metupakan pedoman. Semua penduduk haus taat dan tunduk terhadap semua pasal yang tertera dalam peraturan tersebut. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut diberikan sanksi-sanksi hukuman yang setimpal.

13 1. Staatsblads Nomor 614 Tahun 1936 Tentang Pemotongan Ternak Besar Betina Bertanduk. 2. Peraturan Daerah Bali Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemotongan Ternak Potong. 3. Intruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 18/1979 dan Nomor 5/1979 Tentang Pencegahan dan Larangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit. 4. Intruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Tanggal 1 Oktober 1980 Tentang Pencegahan dan Larangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bibit atau Sapi/Kerbau Betina yang masih Produktif (Suardana dan Swacita, 2008). 2.5 Produktivitas Ada tiga faktor yang saling berinteraksi sebagai penentu produktivitas yaitu : ternak, lingkungan dan tatalaksana. Gambaran peternakan sapi bali di Indonesia terjadinya penurunan populasi dan kualitas, terlepas dari semua spekulasi tersebut, ada tiga parameter yang mengidentifikasi sebagai penyebab rendahnya produktivitas ternak sapi bali yang diperlihara pada sistem ekstensif yaitu (1) angka kelahiran rendah, (2) angka kematian pedet tinggi, dan (3) net growth rate rendah. Ketiga aspek ini akan menjadi faktor penyebab dan strategi mengatasinya untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi bali ( Muhlik, 2009 ). Di samping itu, besarnya pemotongan sapi betina produktif yang dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan bukti yang akurat terjadinya pemot ongan sapi betina bunting. Keadaan ini apabila dibiarkan maka peningkatan populasi

14 sapi yang kita inginkan tidak akan terwujud, sebaliknya ternak sapi yang ada lama kelamaan akan habis. Di pihak lain permintaan akan daging temak besar (sapi dan kerbau) semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat (Hafid dan Syam, 2000). 2.5.1 Perkiraan umur Pencatatan data kelahiran, bobot badan, umur sapi, dan data lainnya menjadi sangat penting. Data-data ini digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam pemotongan ternak di Rumah Pemotongan Hewan. Sebagai contoh umur sapi, bisa digunakan dalam menentukan ternak yang dipotong apakah masih bibit atau produktif. Oleh karenanya, dalam hal ini perlu dilakukan perkiraan umur sapi (Poespo, 1965). Perkiraan umur pada sapi bisa dilakukan dengan beberapa cara : 1.Perkiraan umur berdasarkan lepasnya tali pusar Perkiraan lepasnya tali pusar hanya bisa digunakan pada pedet yang baru lahir. Umumnya tali pusar akan lepas dari tubuh pedet setelah kira-kira 7 hari dari saat kelahiran. Pada waktu dilahirkan pusar masih tampak basah dan tidak berbulu, setelah umur 3 hari tali pusar terasa lunak bila diraba, pada umur 4-5 hari tali pusar mulai mengering, sementara pada umur 7 hari tali pusar mulai lepas serta bulu sudah mulai tumbuh (Edy dan Endang, 2009). 2. Perkiraan umur sapi berdasarkan cincin tanduk Perkiraan umur sapi juga bisa dilihat dari jumlah cincin pada tanduknya. Namun demikian cara pendugaan ini kurang akurat karena didasarkan dari pengaruh pakan atau musim. Pada musim hujan pakan akan melimpah sehingga

15 sapi mendapatkan pakan dalam jumlah yang cukup dan bergizi, dengan demikian pertumbuhan tanduknya akan berlangsung optimal, sedangkan pada musim kemarau sapi akan mendapatkan pakan dengan jumlah yang sedikit dan kurang bergizi, sehingga pertumbuhan tanduk juga akan terhambat yang ditandai dengan mengecilnya diameter tanduk. Pengecilan diameter tanduk ini akan membentuk cincin pada tanduk, dengan demikian tiap tahun akan terbentuk satu cincin pada tanduk. Adanya cincin pada tanduk juga bisa dikaitkan dengan kebuntingan, sapi betina yang sedang bunting akan membutuhkan zat pakan yang lebih tinggi, sementara pada saat kemarau kebutuhan nutrisi yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya bisa diperoleh untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi janinnya, induk sapi akan membongkar cadangan lemak dan protein tubuh, protein tersebut juga dipergunakan untuk pertumbuhan tanduk, sehingga pertumbuhan tanduk akan terhambat sehingga terbentuklah cincin pada tanduk. Adapun pedoman penentuan umur berdasarkan kondisi tanduk dan cincin pada tanduk sbb: a) Jika bakal tanduk terasa agak menyembul dan keras saat diraba, umur pedet diperkirakan sekitar 1 bulan. b) Jika tanduk sudah mulai tumbuh sekitar 3 cm, diperkirakan umur pedet sekitar 5 bulan. c) Jika tanduk sapi tumbuh sekitar 10 cm diperkirakan umur sapi sekitar 1 tahun.

16 d) Jika tanduk tumbuh sekitar 15 cm, diperkirakan umur sapi sekitar 1,5 tahun e) Jika muncul 1 cincin pada tanduk diperkirakan umur sapi sekitar 3 tahun. f) Diatas usia 3 tahun akan terbentuk satu cincin setiap tahunnya, misalnya sapi dengan 6 cincin pada tanduk diperkirakan berumur 8 tahun (Frandson, 1993). 3. Perkiraan umur sapi berdasarkan kondisi gigi Perkiraan umur melihat kondisi gigi adalah cara yang paling akurat. Jumlah gigi pada sapi adalah sebanyak 32 buah (12 pada rahan atas dan 20 pada rahang bawah), rahang atas terdiri atas 6 gigi geraham tetap ( dentis molaris) dan 6 gigi geraham berganti ( dentis premolaris). Sedangkan rahang bawah terdiri atas 6 buah gigi geraham tetap, 6 buah geraham berganti, dan 8 buah gigi seri (Edy dan Endang, 2009). Gambar 1. Bagan Gigi dan Tengkorak Sapi

17 Perkiraan umur sapi melalui kondisi gigi dilihat dari pergantian antara gigi susu dengan gigi tetap, atau istilah umumnya adalah gigi poel, akan tetapi pengaruh dewasa lebih dini atau lebih lambat juga perlu diperhatikan. Sapi-sapi Bos taurus biasanya lebih cepat dewasa bila dibandingkan dengan Bos indicus sehingga pergantian gigi seri susu menjadi gigi seri tetap lebih cepat. Berikut panduan perkiraan umur sapi dilihat dari kondisi dan pergantian gigi (Edy dan Endang, 2009) : Gambar 2. Panduan Umur Sapi Dilhat dari Kondisi Gigi 2.5.2 Betina produktif Peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Pembangunan subsektor peternakan memiliki andil yang cukup besar dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan subsektor peternakan di Indonesia adalah upaya untuk mencukupi

18 kebutuhan protein hewani. Pada gilirannya, upaya ini akan berpengaruh terhadap peningkatan kecerdasan bangsa. Salah satu kebijakan pembangunan pemerintah adalah pengembangan sumber daya ternak yang meliputi peningkatan populasi ternak dengan program sebagai berikut : (1) peningkatan kelahiran, (2) peningkatan produksi dan produktivitas, (3) pengendalian pemotongan temak betina produktif, (4) pengendalian penyakit hewan dan (5) penyediaan bibit ternak bermutu. Sampai saat ini program-program tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan. Di samping itu, besarnya pemotongan sapi betina produktif yang dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) menyimpulkan tingginya intensitas pemotongan sapi betina bunting dengan indikator ditemukannya embrio (janin) pada betina yang disembelih (Hafid dan Syam, 2000), merupakan bukti yang akurat terjadinya pemotongan sapi betina bunting. Keadaan ini apabila dibiarkan maka peningkatan populasi sapi yang diinginkan tidak akan terwujud, sebaliknya ternak sapi yang ada lama-kelamaan akan habis. Di pihak lain permintaan akan daging ternak besar (sapi dan kerbau) semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Beberapa faktor yang mendorong tingginya intensitas pemotongan sapi betina produktif, antara lain : (1) para peternak membutuhkan uang cash sehingga dengan terpaksa harus menjual sapi betinanya yang masih produktif. Pembeli yang siap membeli sapi mereka utamanya para penjagal, (2) para pedagang pengepul (jagal) lebih ekonomis membeli ternak betina untuk dipotong mengingat harganya relatif murah (Hapid,2008).

19 Alternatif pencegahan pemotongan betina produktif dapat dilakukan dengan cara : 1. Dari pihak pemerintah, agar mengeluarkan peraturan yang lebih ketat yang mengatur tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif dan mengatur mekanisme pengiriman sapi-sapi antar pulau. Peraturan tersebut dapat memuat mengenai sanksi-sanksi yang dapat dikenakan bagi siapa saja yang telah terbukti melanggar aturan tersebut. Selama ini telah tersedia peraturan tentang pemotongan sapi betina produktif namun tidak diindahkan dalam penerapannya karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelakunya. 2. Perlu kiranya dibentuk sebuah lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan dari peraturan pemerintah tersebut diatas. Lembaga ini dapat berupa pehak swasta atau murni hasil bentukan pemerintah sendiri. 3. Perlu dibentuk suatu lembaga sejenis koperasi yang bekerja sama dengan pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH), lembaga ini dimaksudkan untuk membeli sapi-sapi betina yang positif bunting atau tergolong masih produktif. Dengan demikian sapi betina tersebut bisa diselamatkan. 4. Pemerintah daerah perlu membuka area peternakan guna memelihara dan mengembangkan ternak-ternak betina, dengan merekrut tenaga handal di bidang peternakan. 5. Menggalakan program atau usaha penggemukan sapi potong sebab sapi gemuk mempunyai produksi daging tinggi sehingga dapat membantu dalam hal menyediakan daging bagi konsumsi masyarakat( Fedd Indonesia, 2008 )

20 2.5.3 Pemeriksaan kebuntingan Kebuntingan adalah keadaan dimana anak sedang berkembang di dalam uterus seekor hewan betina. Suatu interval waktu yang disebut periode kebuntingan terentang dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai lahirnya anak. Hal ini mencakup fertilisasi atau persatuan antara ovum dan sperma (Imron, 2008). Salah satu cara mendiagnosis kebuntingan ternak sapi adalah dengan metode palpasi perektal. Cara diagnosis kebuntingan ini ternyata lebih praktis dan mudah prosedurnya juga mempunyai akurasi yang tinggi. Sebelum perlakuan diagnosis kebuntingan dilaksanakan, dibutuhkan dahulu tentang sejarah IB (inseminasi buatan), tanggal melahirkan terakhir, tanggal dan jumlah inseminasi serta informasi terhadap setiap kondisi patologi dan penyakit yang pernah dialami atau terjadi pada saluran alat kelamin ternak sapi yang bersangkutan. Catatan IB dan reproduksi yang lengkap atau masing-masing individu bersangkutan sangat bermanfaat untuk penentuan kebuntingan secara cepat dan tepat (Toelihere, 1981). Menurut Hardjopranjoto, (1995) hewan yang mengalami masa kebuntingan akan menunjukan perubahan bagian-bagian tertentu sebagai berikut: 1.Vulva dan vagina Setelah kebuntingan berumur 6 sampai 7 bulan pada sapi dara akan terlihat adanya edema pada vulvanya. Semakin tua kebuntingan semakin jelas edema vulvanya. 2. Serviks Segera setelah terjadi fertilisasi perubahan terjadi pada kelenjar-kelenjar serviks. Semakin tua umur kebuntingan maka semakin kental lendir tersebut.

21 3. Uterus Perubahan pada uterus yang pertama terjadinya vaskularisasi pada endometrium, terbentuk lebih banyak kelenjar endometrium. 4.Cairan amnion dan allantois Volume cairan amnion dan allantois selama kebuntingan juga mengalami perubahan. Perubahan yang pertama adalah volumenya dari sedikit menjadi banyak. 5.Perubahan pada ovarium Setelah ovulasi, terjadilah kawah bekas folikel. Kawah ini segera dipenuhi oleh darah yang dengan cepat membeku yang disebut corpus hemorrhagicum. Pada hari ke-5 sampai ke-6 korpus luteum telah terbentuk. 2.6 Pemeriksaan kesehatan Pemeriksaan kesehatan ternak sangatlah penting karena untuk suatu prediksi maupun identifikasi ternak tersebut sehat atau sakit (Akoso 1996). Beberapa faktor yang menyebabkan hewan ternak sakit antara lain faktor mekanis, termis, kekurangan nutrisi, zat kimia dan faktor lingkungan. Suhu tubuh sapi dipengaruhi oleh jenis, bangsa, umur, jenis kelamin, kondisi dan aktivitasnya. Kisaran tubuh normal pada sapi adalah 38,5-39,5 0 C dengan suhu kritis 40 0 C (Subronto, 1985). Pemeriksaan kesehatan ini dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga terlatih di bawah pengawasan dokter hewan. Tahapan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penularan penyakit dari hewan ke manusia. Proses ini juga bermanfaat untuk menjamin tersedianya daging dan produk ikutannya dengan mutu yang baik dan sehat. Dua tahap proses pemeriksaan

22 kesehatan hewan yaitu pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan postmortem. Pemeriksaan ante-mortem dilakukan sebelum hewan dipotong atau saat hewan masih hidup. Sebaiknya pemeriksaan ante-mortem dilakukan sore atau malam hari menjelang pemotongan keesokan harinya. Pemeriksaan postmortem dilakukan setelah hewan dipotong (Hayati dan Choliq, 2009). Pemeriksaan ante-mortem meliputi pemeriksaan perilaku dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan perilaku dilakukan pengamatan dan mencari informasi dari orang yang merawat hewan tersebut. Hewan yang sehat nafsu makannya baik, hewan yang sakit nafsu makannya berkurang atau bahkan tidak mau makan. Cara bernafas hewan sehat nafasnya teratur bergantian (Hayati dan Choliq, 2009). Pincang, loyo dan tidak bisa berjalan menunjukkan hewan sedang sakit. Cara buang kotoran dan kencingnya lancar tanpa menunjukkan gejala kesakitan, konsistensi kotoran (feses) padat. Pemeriksaan fisik dilakukan terhadap suhu tubuh (temperatur), menggunakan termometer, suhu tubuh normal sapi berkisar antara 38,5 C 39,2 C (Rosenberger, 1979). Bola mata bersih, bening, dan cerah. Kelopak mata bagian dalam berwarna kemerahan (pink) dan tidak ada luka. Kelainan yang biasa dijumpai pada mata yaitu adanya kotoran berlebih sehingga mata tertutup, kelopak mata bengkak, warna merah, kekuningan atau cenderung putih (pucat). Mulut dan bibir, bagian luar bersih, mulus dan agak lembab. Bibir dapat menutup dengan baik. Selaput lendir rongga mulut warnanya merata kemerahan (pink), tidak ada luka. Air liur cukup membasahi rongga mulut. Lidah warna kemerahan merata, tidak ada luka dan dapat bergerak

23 bebas. Adanya keropeng di bagian bibir, air liur berlebih atau perubahan warna selaput lendir (merah, kekuningan atau pucat) me nunjukkan hewan sakit. Hidung agak lembab dan cenderung basah, tidak ada luka, kotoran, leleran atau sumbatan. Pencet bagian hidung, apabila keluar cairan berarti terjadi peradangan pada hidung. Cairan hidung bisa bening, keputihan, kehijauan, kemerahan, kehitaman atau kekuningan. Kulit dan bulu, bulu teratur, bersih, rapi, dan mengkilat. Kulit mulus, tidak ada luka dan keropeng. Bulu kusam tampak kering dan acak-acakan menunjukkan hewan kurang sehat (Akoso, 1996). Kelenjar getah bening, yang mudah diamati adalah yang berada di daerah bawah telinga, daerah ketiak dan selangkangan kiri dan kanan. Apabila ada peradangan kemudian membengkak tanpa diraba akan terlihat jelas pembesaran di daerah dimana kelenjar getah bening berada. Daerah anus, bersih tanpa ada kotoran, darah dan luka. Apabila hewan diare, kotoran akan menempel pada daerah sekitar anus (Hayati dan Choliq, 2009).