TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BAHAN BAKU

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PERSEDIAAN BAHAN BAKU UNTUK PRODUKSI JUS BUAH PADA PT AMANAH PRIMA INDONESIA SKRIPSI WIDYA AMERYNA F

3 BAB III LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP PERSEDIAAN DAN EOQ. menghasilkan barang akhir, termasuk barang akhirnya sendiri yang akan di jual

BAB II ECONOMIC ORDER QUANTITY

Berupa persediaan barang berwujud yang digunakan dalam proses produksi. Diperoleh dari sumber alam atau dibeli dari supplier

Bab 2 LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 6 MANAJEMEN PERSEDIAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bagian bab ini memuat teori-teori dari para ahli yang dijadikan sebagai

BAB II LANDASAN TEORI

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan perusahaan adalah untuk mendapat keuntungan dengan biaya

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Arti dan Peranan Pengendalian Persediaan Produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

MANAJEMEN PERSEDIAAN (INVENTORY)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan setiap waktu.

BAB III METODE ECONOMIC ORDER QUANTITY DAN PERIOD ORDER QUANTITY

Manajemen Keuangan. Pengelolaan Persediaan. Basharat Ahmad, SE, MM. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi Manajemen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebelum penggunaan MRP biaya yang dikeluarkan Rp ,55,- dan. MRP biaya menjadi Rp ,-.

MANAJEMEN PERSEDIAAN

Pertemuan 7 MANAJEMEN PERSEDIAAN (INVENTORY MANAGEMENT)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan suatu sistem. Menurut Jogiyanto (1991:1), Sistem adalah

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada Perusahaan Roti Roterdam Malang. Berdasarkan hasil analisis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI. Universitas Sumatera Utara

Manajemen Persediaan (Inventory Management)

MANAJEMEN PERSEDIAAN (INVENTORY)

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia saat ini ditandai dengan menjamurnya

III. METODE PENELITIAN 3.1 KERANGKA PEMIKIRAN

PENGENDALIAN PERSEDIAN : INDEPENDEN & DEPENDEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dan menurut Rangkuti (2007) Persediaan bahan baku adalah:

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Persediaan

ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU DENGAN METODE EOQ. Hanna Lestari, M.Eng

Pengelolaan Persediaan

BAB II BAHAN RUJUKAN. dagang maupun manufaktur. Bagi perusahaan manufaktur, persediaan menjadi. berpengaruh pada kegiatan produksi dan penjualan.

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN, UNIVERSITAS ANDALAS BAHAN AJAR. : Manajemen Operasional Agribisnis

ANALISIS EFISIENSI PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN SETENGAH JADI DENGAN METODE ECONOMIC ORDER QUANTITIY

BAB 2 LANDASAN TEORI

MANAJEMEN PERSEDIAAN

Metode Pengendalian Persediaan Tradisional L/O/G/O

BAB I PENDAHULUAN. dengan pesat di indonesia, pengusaha dituntut untuk bekerja dengan lebih efisien

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Arti dan Peranan Pengendalian Persediaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MANAJEMEN PRODUKSI- OPERASI

INVESTASI DALAM PERSEDIAAN

1. Profil Sistem Grenda Bakery Lianli merupakan salah satu jenis UMKM yang bergerak di bidang agribisnis, yang kegiatan utamanya adalah memproduksi

Proudly present. Manajemen Persediaan. Budi W. Mahardhika Dosen Pengampu MK.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ristono (2009) persediaan adalah barang-barang yang disimpan

ANALISIS PERSEDIAAN BAHAN BAKU KAIN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ECONOMIC ORDER QUANTITY (EOQ) PADA WAROENG JEANS CABANG P. ANTASARI SAMARINDA

INVENTORY. (Manajemen Persediaan)

PENTINGNYA INVENTORY CONTROL BAHAN BAKU UNTUK MEMPERLANCAR PROSES PRODUKSI PADA PERUSAHAAN

Industrial Management ANALISIS PERSEDIAAN BAHAN BAKU BUAH KELAPA SAWIT PADA PT. BAHARI DWIKENCANA LESTARI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. Berdasarkan jenis operasi perusahaan, persediaan dapat diklasifikasikan

Pengendalian Persediaan Bahan Baku untuk Waste Water Treatment Plant (WWTP) dengan

BAB II KAJIAN LITERATUR. dengan tahun 2016 yang berkaitan tentang pengendalian bahan baku.

MANAJEMEN KEUANGAN. Kemampuan Dalam Mengelola Persediaan Perusahaan. Dosen Pengampu : Mochammad Rosul, Ph.D., M.Ec.Dev., SE. Ekonomi dan Bisnis

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Persediaan adalah barang yang sudah dimiliki oleh perusahaan tetapi belum digunakan

MANAJEMEN PERSEDIAAN. Heizer & Rander

BAB V ASPEK TEKNIS / OPERASI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. berkembang pesat. Setiap perusahaan berlomba-lomba untuk menemukan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap usaha yang dijalankan perusahaan bertujuan mencari laba atau

BAB I PENDAHULUAN. optimal sesuai dengan pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. bahan baku sangat besar sehingga tidak mungkin suatu perusahaan akan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tujuan yang diinginkan perusahaan tidak akan dapat tercapai.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Setiap perusahaan mempunyai perencanaan yang ditetapkan bersama. Suatu

BAB I PENDAHULUAN. produk dapat berakibat terhentinya proses produksi dan suatu ketika bisa

(2004) dengan penelitian yang diiakukan oleh penulis adalah metode pemecahan

PENGOPTIMALAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU TEPUNG KETELA MENGGUNAKAN METODE EOQ (ECONOMIC ORDER QUANTITY)

LANDASAN TEORI. persediaan jika ada permintaan timbul.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MANAJEMEN PERSEDIAAN

Bab 8 Manajemen Persediaan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. jadi yang disimpan untuk dijual maupun diproses. Persediaan diterjemahkan dari kata inventory yang merupakan jenis

BAB IV METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya cukup besar dalam suatu perusahaan. Jenis sediaan yang ada dalam

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BAHAN BAKU Bahan baku merupakan bahan mentah yang akan diolah menjadi barang jadi sebagai hasil utama dari perusahaan yang bersangkutan (Indrajit dan Djokopranoto, 2003). Menurut Mulyadi (1981), bahan baku merupakan bahan yang membentuk bagian utama dari produk jadi. Menurut Assauri (1998), bahan baku merupakan bahan yang harus diperhitungkan dalam kelangsungan proses produksi. Banyaknya bahan baku yang tersedia akan menentukan besarnya penggunaan sumber-sumber di dalam perusahaan dan kelancarannya. Hal ini menunjukkan bahwa bahan baku merupakan salah satu faktor penting yang dapat memperlancar suatu proses produksi. Bahan baku berupa komoditi hasil pertanian seperti buah-buahan, tentunya harus turut memperhitungkan karakteristiknya yang mudah rusak, ketersediaannya yang berdasarkan musim dan bersifat kamba, dalam melakukan usaha pengendalian persediaan. Untuk karakteristiknya yang mudah rusak, menurut Satuhu (2004), buah mudah sekali mengalami perubahan fisiologis, kimia dan fisik jika tidak ditangani secara tepat. Akibatnya, mutu buah akan turun drastis dan tingkat kesegaran pun menurun dalam waktu singkat. Seperti yang dikutip Maflahah (2010) dalam Winarno dan Wikartakusuma (1981), pada pengolahan buah segar, sifat klimaterik atau non klimaterik dari buah yang bersangkutan merupakan salah satu faktor yang penting. Berdasarkan pola produksi dan jumlah gas CO 2 yang dihasilkan, buah dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu: a. Buah Klimaterik Buah klimaterik adalah buah yang ditandai dengan produksi CO 2 yang tinggi dan meningkat tajam pada akhir pertumbuhan dan perkembangan buah serta diikuti dengan perubahan yang nyata atas komposisi dan teksturnya. Contoh buah klimaterik adalah apel, pisang, mangga, alpukat, sirsak dan tomat. b. Buah Non Klimaterik Buah non klimaterik ditandai dengan tingkat produksi CO 2 yang rendah dan relatif terus menurun serta tidak diikuti dengan perubahan komposisi buah yang nyata selama proses perkembangan berlangsung. Buah yang termasuk jenis ini antara lain: semangka, nanas, anggur dan arbei. Beberapa perubahan mutu buah akan terjadi selama proses pematangan buah segar. Perubahan yang umumnya terjadi dapat secara fisik maupun kimiawi. Secara fisik, perubahan yang terjadi berupa perubahan pada warna dan tekstur. Sedangkan perubahan secara kimiawi dapat berupa perubahan pada kadar air, kandungan gula, kandungan vitamin C dan asam-asam organik. Menurut Winarno dan Wirakartakusuma (1981), perubahan warna merupakan salah satu perubahan yang sangat menonjol pada proses pematangan buah. Perubahan warna pada buahbuahan tersebut merupakan proses sintesis dari suatu pigmen tertentu, seperti karotenoid dan flavonoid, selain juga terjadi perombakan klorofil. Warna pada buah segar dikelompokkan ke dalam empat kelompok besar, yaitu: klorofil, antosianin, flavonoid dan karotenoid. Perubahan tekstur buah-buahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: adanya tekanan turgor, perubahan ukuran dan bentuk sel, adanya jaringan penunjang dan susunan

jaringan. Tekanan turgor adalah tekanan dari isi sel terhadap dinding sel sehingga sel ada pada volume normal, namun tetap dapat terjadi pertukaran senyawa (Pantastico, 1986). Perubahan kimiawi pada buah segar yang umum terjadi selama pematangan adalah perubahan kadar gula, kadar asam dan kadar vitamin C. Buah-buahan mentah mengandung kadar vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah-buahan yang sudah tua. Kadar vitamin C pada buah akan meningkat sampai buah masak, dan akan menurun pada saat tingkat kemasakan telah terlampaui. Oleh karenanya, kandungan vitamin C pada buah segar dapat dijadikan sebagai indikator kematangan buah. Kadar vitamin C pada buah segar dipengaruhi oleh jenis buah, kondisi pertumbuhan, tingkat kematangan saat panen dan penanganan pasca panen (Winarno dan Wirakartakusuma, 1981). Untuk meminimumkan kerusakan buah segar pasca panen, maka penanganannya harus dilakukan dengan tepat. Menurut Pantastico (1986), penanganan pasca panen yang umum dilakukan meliputi: 1. Sortasi dan Grading Sortasi merupakan kegiatan untuk memisahkan komoditas atas dasar perbedaan faktor mutunya sehingga diperoleh komoditas yang baik dan seragam. Prinsip pemisahan antara lain didasarkan pada: perbedaan ukuran, perbedaan bentuk, perbedaan warna, dan lain-lain. Grading adalah kegiatan untuk menyatukan komoditas berdasarkan keseragaman ukuran, bentuk, warna, dan lain-lain. 2. Pengemasan Pengemasan adalah proses menempatkan komoditas pada suatu wadah dengan tujuan untuk melindungi komoditas dari berbagai penyebab kerusakan. 3. Pengangkutan Sistem proses pengangkutan produk hasil pertanian harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti : waktu dan jarak dari pasar, kondisi produk yang diangkut, perlakuan sebelum pengangkutan, harga komoditas dan biaya transportasi. Karena sifat buah-buahan yang mudah rusak dan kamba, maka buah-buahan diolah lebih lanjut menjadi puree sebagai bahan baku lanjutan untuk proses produksi produk akhir. Menurut Prabawati (2004), buah sirsak, jambu biji dan berbagai jenis buah di Indonesia, dapat ditingkatkan nilai ekonominya melalui pengolahan menjadi puree. Puree adalah bubur buah yang merupakan bahan setengah jadi, dapat diolah menjadi jus atau minuman sari buah (Yuniarti, 2003). Puree merupakan produk antara dari pengolahan buahbuahan dan merupakan bahan baku untuk industri jus, sirup serta industri pangan lain. Produk berbentuk puree akan memudahkan dalam transportasi, mutu produk lebih konsisten dan daya simpan lebih lama sehingga kontinuitas bahan baku untuk industri lanjutan dapat terjamin (Anonymous, 2007). Pengolahan puree diawali dengan pemeraman buah, pencucian, pemilihan, pengecilan ukuran dan pembuangan biji, pembuburan, dan penyaringan. Selanjutnya dilakukan pasteurisasi dan pengemasan (Prabawati, 2004). Pasteurisasi dilakukan untuk mengatasi penurunan kualitas puree. Menurut Umme et al. (1997), misalnya untuk puree sirsak yang tidak dipasteurisasi, hanya akan tahan selama dua hari pada suhu kamar dan akan terbentuk gas setelah dua hari. Perubahan kenampakan adalah tanda bahwa telah terjadi fermentasi yang dilakukan oleh mikroba yang ada di dalam puree. 4

2.2 PRODUK HASIL Jus merupakan produk hasil proses produksi dalam suatu industri minuman dengan bahan baku buah segar. Menurut Varnam dan Sutherland (1994), jus dapat didefinisikan sebagai cairan yang diperas dengan tekanan atau alat mekanis lain dari bagian yang dapat dimakan dari buah. Jus seringkali keruh, mengandung komponen-komponen seluler dalam suspensi koloid dengan beberapa jumlah jaringan yang terpecah dengan baik. Jus juga mengandung material berminyak dan berlilin, pigmen karotenoid yang berasal dari kulit atau daging buah. Tahap-tahap pengolahan jus buah secara umum adalah pemilihan dan penentuan kematangan buah, pencucian dan sortasi, ekstraksi, homogenisasi, penyaringan, deaerasi, pengawetan dan pembotolan atau pengalengan. Untuk buah-buahan tertentu, dapat dilakukan modifikasi terhadap pengolahan tersebut, tergantung pada sifat buah dan jus yang diinginkan. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan jus buah antara lain: buah yang digunakan haruslah segar, banyak tersedia dan mengandung kadar air yang tinggi, tidak hambar serta tidak rusak dan tidak busuk (Arhurst, 1995). Cara penyimpanan bahan atau produk pangan adalah dengan cara penyimpanan dingin (chilling storage) di bawah 15 0 C dan di atas titik beku bahan atau produk. Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat turunnya mutu jus buah, di samping penambahan zat-zat pengawet kimia dan konsentrasi gula yang tinggi. Pendinginan akan menurunkan laju pertumbuhan mikroba pada bahan produk yang disimpan. Menurut Pollard dan Timberlake (1974), suhu penyimpanan yang ideal bagi jus buah adalah 5,4-14,4 0 C. Suhu rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 15 0 C dapat mengurangi laju metabolisme. Dengan menyimpan bahan pangan pada suhu sekitar -2 0 C sampai 10 0 C, diharapkan dapat memperpanjang masa simpan produk pangan. Suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. 2.3 MANAJEMEN PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU 2.3.1 Persediaan 2.3.1.1 Pengertian persediaan Persediaan merupakan segala sesuatu atau sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan. Keberadaan persediaan berkaitan dengan faktor waktu, faktor ketidakpastian, faktor diskontinuitas, dan faktor ekonomi (Handoko, 2000). Menurut Bedworth dan Bailey (1982), persediaan memiliki fungsi penting yang dapat meningkatkan efisiensi operasional suatu perusahaan. Dengan adanya persediaan maka proses produksi tidak terhambat oleh kekurangan bahan baku. Selain itu, prosedur untuk memperoleh dan menyimpan bahan baku yang dibutuhkan dapat dilaksanakan dengan biaya minimum. Persediaan adalah aktiva lancar yang terdapat pada perusahaan dalam bentuk persediaan bahan mentah (bahan baku, bahan setengah jadi dan barang jadi) (Prawirosentono, 2001). Menurut Gitosudarmo (2002), persediaan adalah bagian utama dari modal kerja, merupakan aktiva yang pada setiap saat mengalami perubahan. Sedangkan menurut Soemarsono (1999), persediaan diartikan barang-barang yang dimiliki perusahaan untuk dijual kembali atau digunakan dalam kegiatan perusahaan. 5

Pengendalian persediaan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penentuan kebutuhan material sedemikian rupa sehingga di satu pihak kebutuhan operasi dapat dipenuhi pada waktunya dan di lain pihak investasi persediaan material dapat ditekan secara optimal (Indrajit dan Djokopranoto, 2003). 2.3.1.2 Tujuan dan Fungsi Persediaan Tujuan dari persediaan adalah untuk mencapai efisiensi dan efektifitas optimal dalam penyimpanan material (Indrajit dan Djokopranoto, 2003). Menurut Johns dan Harding (1996), tujuan pengendalian persediaan adalah meminimalkan investasi dalam sediaan, namun tetap konsisten dengan penyediaan tingkat pelayanan yang diminta. Menurut Assauri (1998), fungsi persediaan yang diadakan mulai dari persediaan yang berbentuk bahan mentah sampai dengan barang jadi, antara lain: a. Menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang atau bahan-bahan yang dibutuhkan oleh perusahaan b. Menghilangkan resiko dari material yang dipesan tidak memenuhi kualifikasi, sehingga harus dikembalikan c. Menumpuk bahan-bahan yang dihasilkan secara musiman sehingga dapat digunakan jika bahan itu tidak ada di pasaran d. Mempertahankan stabilitas operasi perusahaan atau menjamin kelancaran arus produksi e. Mencapai penggunaan mesin yang optimal 2.3.1.3 Jenis-Jenis Persediaan Menurut Rangkuti (2002), setiap jenis persediaan memiliki karakteristik tersendiri dan cara pengolahan yang berbeda. Persediaan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis di antaranya sebagai berikut: a. Persediaan bahan mentah (raw material) yaitu persediaan barang-barang berwujud serta komponen lain yang digunakan dalam proses produksi b. Persediaan komponen rakitan (purchased parts/components) yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen yang diperoleh dari perusahaan lain yang secara langsung dapat dirakit menjadi suatu produk c. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies) yaitu persediaan barangbarang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi bukan merupakan bagian atau komponen barang jadi d. Persediaan barang dalam proses (work in process) yaitu persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi e. Persediaan barang jadi (finished goods) yaitu persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap dijual atau dikirim kepada pelanggan 6

2.3.1.4 Biaya-Biaya Persediaan Menurut Ahyari (2003), biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sehubungan dengan penyelenggaraan persediaan di dalam suatu persediaan terdiri dari tiga macam biaya. Biayabiaya tersebut antara lain: a. Biaya Pemesanan Biaya pemesanan merupakan biaya-biaya yang terkait langsung dengann kegiatan pemesanan yang dilakukan oleh perusahaan. Hal yang diperhitungkan dalam biaya pemesanan adalah frekuensi pemesanan dilakukan, berapa pun jumlah unit yang dipesan pada setiap kali pemesanan tersebut. Biaya pemesanan disebut juga ordering cost jika biaya tersebut dikeluarkan untuk pengadaan barang yang berasal dari pembelian. Biaya ini terdiri dari biaya persiapan pembelian, biaya pembuatan faktur, biaya ekspedisi dan administrasi serta biaya untuk dokumen lain yang menjamin lancarnya arus barang. Biaya pemesanan disebut set up cost jika biaya tersebut dikeluarkan untuk pengadaan barang yang berasal dari produksi sendiri. Biaya ini meliputi biaya yang diperlukan untuk perbaikan mesin, pengadaan bahan baku dan tenaga kerja. Pada prinsipnya biaya pemesanan ini akan diperhitungkan atas dasar frekuensi pembelian yang dilakukan oleh perusahaan. Semakin besar frekuensi pembelian maka semakin besar pula biaya persediaannya. b. Biaya Penyimpanan Biaya penyimpanan merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan akibat adanya sejumlah bahan baku yang disimpan di gudang/tempat penyimpanan. Biaya ini juga sering disebut carrying cost atau holding cost. Beberapa contoh dari biaya penyimpanan ini antara lain: biaya simpan bahan, biaya asuransi bahan, biaya kerusakan dalam penyimpanan, biaya pemeliharaan bahan, biaya sewa gudang, dan lainnya. c. Biaya Tetap Persediaan Biaya tetap persediaan (fixed inventory cost) adalah seluruh biaya yang timbul akibat adanya persediaan bahan yang tidak terkait langsung baik dengan frekuensi pembelian maupun jumlah unit yang disimpan dalam tempat penyimpanan bahan baku. Beberapa contoh dari biaya ini antara lain: biaya bongkar bahan, biaya sewa beban, dan lainnya. 2.3.2 Pengendalian Persediaan Bahan Baku 2.3.2.1 Pengertian Pengendalian Persediaan Bahan Baku Pengendalian persediaan merupakan fungsi manajerial yang sangat penting bagi perusahaan. Hal ini dikarenakan persediaan fisik pada perusahaan akan melibatkan investasi yang sangat besar. Pelaksanaan fungsi ini akan berhubungan dengan seluruh bagian dengan tujuan agar usaha penjualan dapat berjalan efektif serta produk dan penggunaan sumber daya dapat berjalan secara maksimal. Istilah pengendalian merupakan penggabungan dari dua pengertian yang sangat erat kaitannya, tetapi dari masing-masing pengertian tersebut dapat diartikan sendiri-sendiri yaitu perencanaan dan pengawasan. Pengawasan tidak akan memiliki arti tanpa adanya 7

perencanaan terlebih dahulu, dan juga sebaliknya, perencanaan tidak akan menghasilkan sesuatu tanpa ada pengawasan. Perencanaan adalah proses untuk memutuskan tindakan apa yang akan diambil pada masa yang akan datang (Widjaja, 1996). Menurut Horngren (1992), perencanaan kebutuhan bahan adalah suatu sistem perencanaan yang mulanya berfokus pada jumlah dan besar permintaan produk jadi, yang selanjutnya menentukan besar kebutuhan untuk bahan baku, komponen dan sub perakitan saat proses produksi. Pengawasan bahan adalah suatu fungsi terkoordinasi di dalam organisasi yang terus menerus disempurnakan untuk mengelola bahan baku dan persediaan pada umumnya, serta melakukan pengendalian internal yang menjamin adanya dokumen sah suatu transaksi yang berhubungan dengan pengawasan bahan, meliputi pengawasan fisik dan pengawasan nilai atau rupiah bahan (Supriyono, 1999). Kegiatan pengawasan persediaan tidak terbatas pada penentuan atas tingkat dan komposisi persediaan, tetapi juga termasuk pengaturan dan pengawasan atau pelaksanaan pengadaan bahan-bahan yang diperlukan sesuai dengan jumlah dan waktu yang ditentukan dan dengan tingkat biaya serendah-rendahnya. Menurut Widjaja (1996), pengendalian adalah proses manajemen yang memastikan bahwa kegiatan yang dijalankan oleh anggota dan suatu organisasi sesuai dengan rencana dan kebijakannya. Pengendalian berkisar pada kegiatan memberikan pengamatan, pemantauan, penyelidikan dan pengevaluasian ke seluruh bagian manajemen agar tujuan yang ditetapkan dapat tercapai. 2.3.2.2 Tujuan Pengendalian Bahan Baku Menurut Assauri (1998), tujuan pengawasan persediaan dapat diartikan sebagai usaha untuk: 1. Menjamin agar ketersediaan persediaan tetap terjaga sehingga proses produksi tidak terhenti 2. Menjaga agar penentuan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar sehingga biaya yang berkaitan dengan persediaan dapat ditekan 3. Menjaga agar frekuensi pembelian bahan baku lebih efektif Tujuan dasar dari pengendalian bahan adalah kemampuan untuk melakukan pemesanan pada saat yang tepat ke pemasok terbaik untuk memperoleh kualitas dan kuantitas pada harga yang tepat (Matz, 1994). Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka perencanaan dan pengendalian persediaan yang tepat dibutuhkan agar kelangsungan proses produksi tetap terjaga. 2.3.2.3 Prinsip-Prinsip Pengendalian Menurut Matz (1994), sistem dan teknik pengendalian persediaan harus didasarkan pada prinsip-prinsip berikut: 1. Persediaan diciptakan dari pembelian : (a) bahan dan suku cadang, dan (b) tambahan biaya pekerja dan overhead untuk mengelola bahan menjadi barang jadi. 2. Persediaan berkurang melalui penjualan dan perusakan. 3. Perkiraan yang tepat atas jadwal penjualan dan produksi merupakan hal yang penting bagi pembelian, penanganan, dan investasi bahan yang efisien. 4. Kebijakan manajemen yang berupaya menciptakan keseimbangan antara keragaman dan kuantitas persediaan bagi operasi yang efisien dengan biaya pemilikan 8

persediaan tersebut merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan investasi persediaan. 5. Pemesanan bahan merupakan tanggapan terhadap perkiraan dan penyusunan rencana pengendalian produksi. 6. Pencatatan persediaan saja tidak akan mencapai pengendalian atas persediaan. 7. Pengendalian bersifat komparatif dan relatif, tidak mutlak. 2.3.2.4 Model Pengendalian Persediaan Pada dasarnya kebijakan pengendalian persediaan meliputi dua aspek yaitu (1) pada saat kapan atau pada tingkat persediaan berapa harus dilakukan pemesanan atau pengadaan persediaan; dan (2) berapa banyak yang harus dipesan, diadakan atau diproduksi. Konsekuensi dari kedua aspek tersebut akan menentukan tingkat persediaan pada waktu tertentu dan rata-rata tingkat persediaan. Menurut Assauri (1998), kebijakan persediaan berkaitan dengan penentuan pemesanan dan tingkat persediaan yang optimum, berapa jumlah yang dipesan agar pemesanan tersebut ekonomis, dan kapan pemesanan itu dilakukan. Berdasarkan sifat permintaan dan waktu tunggu, model persediaaan dapat bersifat deterministik (diketahui dengan pasti) atau probabilistik (dijabarkan dengan sebuah fungsi probabilitas): 1. Model Persediaan Deterministik dan Probabilistik a. Model Persediaan Deterministik Menurut Taha (1997), permintaan deterministik dapat bersifat statis dalam arti bahwa laju pemakaian tetap konstan sepanjang waktu dan diketahui dengan pasti; permintaan deterministik dapat bersifat dinamis yaitu permintaan diketahui dengan pasti tetapi bervariasi dari satu periode ke periode berikutnya. Model deterministik merupakan model yang didasarkan pada asumsi bahwa laju permintaan diketahui untuk suatu selang periode. Asumsi-asumsi yang digunakan pada umumnya yaitu bahan yang dipesan satu macam, kebutuhan per periode diketahui, dan bahan yang dibutuhkan segera dapat tersedia (Love, 1979). b. Model Persediaan Probabilistik Model probabilistik merupakan model yang melibatkan distribusi peluang permintaan maupun peluang waktu tunggu. Menurut Waters (1992), model probabilistik dibedakan menjadi dua, yaitu model untuk permintaan diskrit dan model untuk permintaan kontinu. Model untuk permintaan diskrit digunakan untuk barang-barang yang sifat permintaannya tidak kontinu; sedangkan model permintaan kontinu digunakan untuk barang-barang dengan permintaan berkesinambungan atau terus menerus. Model untuk tingkatan seperti model permintaan kontinu adalah model service level atau model tingkat pelayanan. 2. Model Material Requirements Planning (MRP) Material Requirements Planning (MRP) adalah suatu sistem perencanaan dan penjadwalan kebutuhan material untuk produksi yang memerlukan beberapa tahapan proses/fase. Dengan kata lain, MRP merupakan suatu rencana produksi untuk sejumlah produk jadi yang diterjemahkan ke bahan mentah (komponen) yang dibutuhkan dengan menggunakan waktu tenggang sehingga dapat ditentukan kapan dan berapa banyak yang 9

dipesan untuk masing-masing komponen suatu produk yang akan dibuat (Rangkuti, 2004). Sistem MRP merencanakan ukuran lot sehingga barang-barang tersebut tersedia pada saat dibutuhkan. Ukuran lot adalah kuantitas yang akan dipesan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan dengan kuantitas yang dapat meminimalkan biaya persediaan sehingga perusahaan akan memperoleh keuntungan. 2.4 METODE EOQ (ECONOMIC ORDER QUANTITY) 2.4.1 Pengertian EOQ (Economic Order Quantity) EOQ merupakan volume atau jumlah pembelian yang paling ekonomis untuk dilakukan pada setiap kali pembelian. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka dapat diperhitungkan pemenuhan kebutuhan (pembelian) yang paling ekonomis yaitu sejumlah barang yang akan dapat diperoleh melalui pembelian dengan menggunakan biaya yang minimal (Gitosudarmo, 2002). Menurut Yamit (1999), EOQ adalah jumlah pesanan yang dapat meminimumkan total biaya persediaan atau dengan kata lain pembelian yang paling optimal. EOQ diperhitungkan untuk menetapkan berapa total tetap bahan yang harus dibeli dalam setiap kali pembelian untuk menutup kebutuhan selama satu periode. 2.4.2 Kebijakan-Kebijakan EOQ (Economic Order Quantity) 2.4.2.1 Menentukan Jumlah Bahan Baku yang Ekonomis Adanya pembelian bahan baku dalam jumlah yang optimal dapat menghasilkan total biaya persediaan yang paling minimal. Unsur-unsur yang mempengaruhi Economic Order Quantity (EOQ) antara lain : biaya penyimpanan per unit, biaya pemesanan tiap kali pesan, kebutuhan bahan baku untuk suatu periode tertentu, dan harga pembelian (Ahyari, 2003). Menurut Supriyono (1999), terdapat beberapa anggapan dasar yang perlu diperhatikan dalam perhitungan EOQ yaitu: 1. Selama saat akan dilakukan pembelian, dana selalu tersedia 2. Pemakaian bahan relatif stabil dari waktu ke waktu selama periode tertentu 3. Bahan tersebut selalu tersedia setiap saat akan dilakukan pembelian 4. Fasilitas penyimpanan selalu tersedia berapa kali pun pembelian dilakukan 5. Bahan yang bersangkutan tidak mudah rusak dalam penyimpanan 2.4.2.2 Menentukan Persediaan Pengaman (Safety Stock) Persediaan pengaman merupakan suatu persediaan yang dicadangkan sebagai pengaman dari kelangsungan proses produksi. Persediaan pengaman diperlukan karena dalam kenyataannya jumlah bahan baku yang diperlukan untuk proses produksi tidak selalu tepat seperti yang direncanakan (Ahyari, 2003). Meskipun EOQ sudah ditentukan, masih ada kemungkinan terjadi out of stock dalam proses produksi. Menurut Gitosudarmo (2002), kemungkinan out of stock tersebut akan timbul jika penggunaan bahan baku dalam proses produksi lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini akan menimbulkan terjadinya kekurangan persediaan karena persediaan 10

sudah habis sebelum pembelian atau pemesanan yang berikutnya datang ke gudang bahan baku, sehingga terjadi out of stock. 2.4.2.3 Menentukan Titik Pemesanan Kembali (Reorder Point) Jika besarnya persediaan pengaman telah diketahui, maka perusahaan dapat melakukan pemesanan kembali. Saat pemesanan kembali bahan baku ini disebut juga dengan istilah Reorder Point. Reorder Point adalah saat atau waktu tertentu perusahaan harus mengadakan pemesanan bahan baku kembali agar pesanan yang sudah dilakukan sebelumnya dapat datang tepat waktu (Gitosudarmo, 2002). Menurut Supriyono (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan Reorder Point antara lain: 1. Waktu Tunggu (Lead Time) Waktu tunggu merupakan waktu yang diperlukan dari saat pemesanan sampai bahan yang dipesan tersebut datang ke gudang. Semakin lama lead time maka semakin besar pula jumlah beban yang diperlukan dalam pemakaian. 2. Rata-Rata Pemakain Bahan Baku Besarnya bahan yang diperlukan selama lead time adalah jumlah lead time (hari/bulan) dikalikan tingkat rata-rata pemakaian bahan baku. 3. Besarnya Persediaan Pengaman (Safety Stock) Persediaan pengaman merupakan jumlah persediaan bahan baku yang minimum harus ada untuk menjaga kemungkinan keterlambatan datangnya bahan yang sudah dipesan sehingga perusahaan tidak mengalami stock out atau mengalami gangguan kelancaran proses produksi. Reorder point ditentukan dari penjumlahan besar penggunaan bahan baku selama lead time dengan besar safety stock. 2.5 PENELITIAN TERDAHULU Pujihastuti (2008) melakukan analisis persediaan bahan baku di PT X dengan menggunakan metode EOQ (Economic Order Quantity). Yanto (2008) melakukan analisis persediaan bahan baku berupa tomat segar (studi kasus di Bandung). Metode yang digunakan yaitu EOQ dengan pendekatan berdasarkan tingkat pelayanan. Penelitian lain dilakukan oleh Elisabeth (2004) yang melakukan analisis persediaan bahan baku ikan dalam usaha kerupuk udang di PT Mitra Marin Manunggal Sidoarjo, Jawa Timur. Hasil analisis dari penelitianpenelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode EOQ, terjadi sejumlah penghematan terhadap biaya persediaan yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Penelitian-penelitian terdahulu tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang penulis lakukan. Keterkaitan tersebut berupa informasi adanya jumlah permintaan bahan baku, biayabiaya persediaan, lead time, frekuensi dan kuantitas pemesanan, jumlah persediaan, jumlah pemesanan bahan baku dan persediaan pengaman (safety stock). Dalam penelitian ini, metode yang memiliki total biaya persediaan paling minimum dan ketepatan saat dan jumlah pemesanan bahan baku akan diusulkan sebagai metode pengendalian persediaan bahan baku yang lebih optimal untuk perusahaan. Analisis persediaan bahan baku yang bersifat mudah rusak juga telah pernah dilakukan antara lain oleh Berk dan Gurler (2008), Broekmeulen dan van Donselaar (2007), serta William dan Patuwo (1999). Penelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa model persediaan yang turut mempertimbangkan faktor kerusakan dari bahan baku. 11