BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan problem klinis yang sangat penting pada saat sekarang ini, karena akan menambah masa perawatan pasien di rumah sakit sekaligus akan memperberat biaya perawatan di rumah sakit. Infeksi nosokomial telah lama dikenal, tetapi baru mendapat perhatian serius pada 20 tahun terakhir. Pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit merupakan salah satu upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit kepada masyarakat dengan menggunakan angka kejadian infeksi nosokomial sebagai indikator (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial banyak terjadi di negara miskin dan negara yang sedang berkembang. Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO (2003) menunjukkan bahwa kejadian infeksi nosokomial di Asia Tenggara sebanyak 10%, sedangkan kejadian infeksi nosokomial di negara berkembang sebanyak 9%. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang angka infeksi nosokomialnya masih cukup tinggi. Angka infeksi nosokomial di 10 rumah sakit umum pendidikan utama berkisar antara, 6-16% dengan rata-rata 9,8%. Hasil penelitian di RSUP Dr.Sardjito infeksi nosokomial sebesar 7,94%. Rumah sakit dr.sutomo sebesar 14,60%, rumah sakit Bekasi sebesar 5,06%, rumah sakit Hasan Sadikin 1
2 Bandung 4,60%, rumah sakit cipto mangunkusumo Jakarta 4,60%. (Marwoto, dkk 2007) Infeksi nosokomial dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada di dalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang disebut dengan self infection atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya. Hal ini disebabkan karena rumah sakit atau tenaga kesehatan belum menerapkan teknik steril dalam melakukan tindakan keperawatan kepada pasien. faktor iatrogenik menandakan infeksi yang disebabkan oleh karena prosedur diagnostik maupun terapi seperti pemasangan kateter urin ataupun kateter intra vena (Sudoyo, 2006). Depkes telah menerbitkan aturan mengenai pedoman manajerial program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit (PPI RS) dan fasilitas pelayanan kesehatan lain melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270 Tahun 2007. Depkes juga menetapkan lima rumah sakit sebagai pusat pelatihan regional pencegahan dan pengendalian infeksi, yaitu RS Umum Pusat Adam Malik Medan, RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung, RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, RSUD Dr Soetomo Surabaya, dan RSUP Sanglah Denpasar.
3 Pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta, juga meluncurkan program No Infection Campaign and Education (NICE). Program ini dirancang untuk mengubah perilaku petugas kesehatan di seratus rumah sakit mulai Juni 2008 hingga Oktober 2009. Diharapkan, dari hal sederhana seperti menjaga kebersihan tangan, infeksi di rumah sakit yang bisa menyebabkan kematian pasien bisa dicegah. Perlu adanya upaya untuk meningkatkan kepatuhan petugas kesehatan dalam menjalankan standar praktik kebersihan tangan. Menurut hasil survei di RSPI Sulianti Saroso, (2004) meski sarana dan prasarana untuk cuci tangan tersedia, petugas tidak mencuci tangan saat akan melakukan tindakan dan baru cuci tangan setelah tindakan medis. Penggunaan alat pelindung juga tidak sesuai peraturan, seperti tidak memakai sarung tangan, petugas masih sering tidak menyarungkan kembali jarum suntik, dan tidak mengembalikan ke tempatnya dalam pengelolaan alat tajam. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai sering melebihi waktu yang ditentukan, dalam pengolahan limbah juga masih terjadi pencampuran antara limbah medis dan nonmedis. Manajemen higienitas yang ketat merupakan cara terbaik untuk mengurangi resiko infeksi yang diperoleh dari rumah sakit. Amerika Serikat, program Sistem Pengawasan Infeksi Nosokomial Nasional (NNIS) yang telah dikembangkan sejak awal tahun 1970 untuk
4 memerangi infeksi di rumah sakit telah diikuti sekitar 300 rumah sakit menengah dan besar di 42 negara bagian secara sukarela. Saat ini sistem itu telah ditetapkan sebagai jaringan pusat pengetahuan dan basis data. Infeksi bukanlah yang harus dilawan, tetapi terjangkitnya infeksi itulah yang harus dihindari. Lingkungan tidak akan pernah bebas dari patogen, tetapi jalur kebersihan dalam pengobatan seperti mencuci tangan harus jadi fokus utama untuk mencegah infeksi. Kebersihan tangan sebagai standar praktik di pelayanan kesehatan adalah dengan produk berbasis alkohol dan cuci tangan diperlukan pada situasi tertentu karena tangan merupakan media transmisi patogen tersering di rumah sakit. Petugas harus menjaga kukunya agar pendek-bersih, menghindari pemakaian perhiasan saat betugas. Selain itu kebersihan tangan juga harus dijaga untuk memutus rantai penularan infeksi. Staf rumah sakit harus mencuci tangan mereka dengan cermat sebelum dan sesudah kontak fisik dengan pasien. Hai ini dilakukan dengan menggunakan sabun atau larutan aktif antibakteri secara teratur (WHO,2006). Salah satu cara pencegahan infeksi yang diperoleh di rumah sakit adalah mengisolasi pasien yang terinfeksi dan menjalankan peraturan pengisolasian ketat antara staf dan pengunjung. Hal ini meliputi pemisahan kereta, pakaian petugas, dan pembersihan alat dengan diberi kode warna. Ruangan dibersihkan dengan desinfektan
5 setelah pasien selesai dirawat. Selain itu, pemberian resep antibiotik oleh semua dokter di rumah sakit perlu dibatasi secara ketat. Masalah ini harus selalu dipantau dan dicegah sedapat mungkin, hal ini untuk mengurangi penderitaan pasien dan keluarga, mengurangi biaya rumah sakit yang dikeluarkan dan bertambahnya hari rawat inap pasien di rumah sakit, sehingga biaya rumah sakit yang dikeluarkan pasen dapat ditekan, dan mengurangi bertambahnya angka mortalitas (Handono,dkk 2007). Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala K3 bagian penanganan infeksi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, persentase angka infeksi nosokomial tahun 2009 RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta sekitar 10,0% hingga 15,0%. Tindakan keperawatan yang menyebabkan timbulnya infeksi nosokomial yaitu pada pemasangan kateter, pemasangan infus, melakukan injeksi, dengan ditandai dengan gejala panas, nyeri, menggigil, kemerahan, dan angka leukosit turun. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang Gambaran Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Bansal Kelas Tiga (Arofah & marwa) Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Yogyakarta B. Rumusan Masalah Bardasakan latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat di rumuskan masalah penelitian yaitu Bagaimanakah gambaran
6 pencegahan infeksi nosokomial di Bansal Kelas Tiga (Arofah & Marwa) Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran pencegahan Infeksi Nosokomial Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus Diketahuinya upaya pencegahan infeksi nosokomial yang ada di bangsal kelas tiga (Arofah & Marwa) Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Memberikan informasi mengenai gambaran tentang pencegahan infeksi nosokomial yang dihubungkan dengan faktor yang dianggap mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial, sehingga dapat memberikan masukan mengenai pencegahan infeksi nosokomial yang diharapkan dapat menurunkan kejadian Infeksi nosokomial. 1. Bagi Instansi Rumah Sakit Terkait: Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan terhadap mutu pelayanan dan asuhan keperawatan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, khususnya tentang pencegahan infeksi nosokomial.
7 2. Bagi Masyarakat; Dapat memberikan tambahan pengetahuan khususnya tentang pencegahan infeksi nosokomial 3. Bagi Profesi Perawat Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam mengembangkan mutu pelayanan, dan sebagai bahan evaluasi bagi profesi perawat. 4. Bagi peneliti Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti khususnya menyangkut pencegahan infeksi nosokomial. F. Penelitian Terkait Penelitian infeksi nosokomial sudah pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, antara lain: 1. Deby Zulkarnain, R.S (2009) Gambaran Perilaku Cuci Tangan Perawat di Ruang Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian ini untuk mengetahui tindakan cuci tangan yang dilakukan perawat sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan di ruang gawat darurat. Metode penelitian non eksperimental atau disebut juga studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan cross sectional study dan pengambilan sample menggunakan total sampling. Hasil observasi menunjukkan ketaatan perawat dalam melakukan prosedur cuci tangan sebelum pelaksanaan tindakan keperawatan,
8 sebagian besar sudah melakukan dengan kriteria baik, yaitu 9 orang dengan persentase 52,9%.