pendengarannya sehingga hal ini berpengaruh pada kemampuan bahasanya. Karena

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI. orang lain. Rasa percaya diri merupakan keyakinan pada kemampuan-kemampuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)

BAB I PENDAHULUAN. Pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB II TINJAUAN TEORI

PERAN KELUARGA STRATEGIS DAN KRUSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan

POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH. Abstrak

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua adalah komponen keluarga yang di dalamnya terdiri dari ayah dan ibu, dan

PENGASUHAN POSITIF. Hj. Fitriani F. S., MSi. Psikolog. Disampaikan pada Parenting TKIT Teratai Hijau Kota Depok, 17 Desember 2016

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II DAMPAK POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL YANG BAIK PADA ANAK TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PEMBAHASAN. A. Prestasi Belajar Siswa dengan Pola Asuh Otoriter. Berdasarkan hasil penelitian terhadap siswa yang mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

PERAN PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN SIKAP SOSIAL DAN KEMANDIRIAN ANAK. Dwi Retno Setiati Program Pascasarjana PIPS Universitas PGRI Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BAB I PENDAHULUAN. Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK. Pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas intelektual berbasis keluarga

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. dengan hukuman menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila anak

BAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA

BIMBINGAN PADA SISWA DENGAN HAMBATAN. Sosialisasi KTSP

II. TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB I PENDAHULUAN. individu untuk menuju kedewasaan atau kematangan adalah masa remaja

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self regulated learning. (Najah, 2012) mendefinisikan self regulated learning adalah proses aktif dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan. maupun karyawan (Menurut Sukmadinata, 2005).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS. Konsep diri merupakan terjemahan dari kata self-concept. William D.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. intelektualnya (IQ), namun juga ditentukan oleh bagaimana seseorang dapat

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas perkembangan yang sangat penting yaitu mencapai status

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB I PENDAHULUAN. mandiri, disiplin dalam mengatur waktu, dan melaksanakan kegiatan belajar yang

BAB I PENDAHULUAN. membentuk perilaku sosial anak menjadi lebih baik dan berakhlak.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu kunci utama dalam perkembangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang sempurna. Ada sebuah. ungkapan yang mengatakan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan

BAB I PENDAHULUAN. kemudikan oleh orangtua. Kartini Kartono menyebutkan bahwa keluarga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putri Permatasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. datang, jika suatu bangsa memiliki sumber daya manusia yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan kesatuan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak (Bahri Djamarah, 2004:16). Orang tua dan anak memiliki keterikatan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Di dalam keluarga, orang tua memegang peranan penting dalam pengasuhan anak sebagaimana yang dikemukakan oleh Surbakti (2012:25) bahwa Orang tua merupakan tokoh utama (paling penting) yang membentuk karakter, kepribadian, dan temperamen anak-anak. Hal ini bisa terjadi, karena hampir seluruh waktu orang tua berada dekat dengan anak anak. Sebagai pengasuh dan pendidik anak-anak, orang tua dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga orang tualah yang paling mengetahui perubahan yang paling saksama pada diri anak. Namun demikian, untuk menerapkan dan memberikan pola asuh yang baik kepada anak diasumsikan oleh kebanyakan orang sebagai sesuatu yang relatif berat. Namun demikian, orangtua harus berupaya sedemikian rupa untuk benar-benar dapat menerapkan pola asuh yang baik kepada anak. Pola pengasuhan (parenting style) orang tua kepada anak erat kaitannya dengan penerapan fungsi-fungsi keluarga, antara lain fungsi edukasi, fungsi perlindungan, fungsi afeksi, maupun fungsi ekonomi, (Tim Mitra guru, 2005:58-60). Pengukuhan dan pengabaian fungsi-fungsi tersebut akan berpengaruh pada pelaksanaan peran masingmasing anggota keluarga secara kesatuan maupun secara individual oleh masing-masing anggota keluarga yang bersangkutan. Hal ini berpengaruh pada situasi atau suasana kehidupan keluarga yang akan melahirkan iklim tertentu pada keluarga yang pada gilirannya merupakan kondisi bagi lahirnya tingkah laku orang-orang dalam keluarga tersebut. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak akan berpengaruh pada perkembangan anak yang sedang dalam masa pembekalan diri bagi kehidupannya, salah satunya adalah pengaruh pada kepercayaan diri atau percaya diri (Self Confidence) anak. terutama bagi anak tunarungu yang notabenenya adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengakses informasi melalui indra 1 pendengarannya sehingga hal ini berpengaruh pada kemampuan bahasanya. Karena

masalah bahasa yang dialami tunarungu ini maka berpengaruh pada perkembangan sosial, emosional, maupun intelektualnya (Somantri, 2006:96). Tentunya proses anak tunarungu untuk menjadi percaya diri tidak berlangsung secara instan. Melainkan sudah dimulai secara perlahan sejak usia sebelumnya. Ciri anak yang memiliki kepercayaan diri rendah, seperti berpikir buruk dan menilai rendah tentang dirinya. Selain itu ada kecendrungan anak menganggap bodoh, tidak berguna, dan labellabel negatif lainnya tentang dirinya. Apabila dihadapkan pada masalah dan tantangan, dia akan menganggapnya sebagai sumber utama kecemasan dan frustasi, karena dia mengalami kesulitan dalam menemukan solusi atas suatu masalah. Percaya diri bukanlah bawaan anak dari sejak lahir, melainkan nilai yang tumbuh bertahun-tahun sejalan dengan pengalaman hidup, hingga anak kelak akan memandang positif dan cenderung memiliki harapan realistis terhadap dirinya. Percaya diri merupakan kumpulan kepercayaan atau perasaan yang dimilki anak tentang dirinya, yang mempengaruhi motivasi, perilaku, sikap, dan penyesuaian emosinya. (Bachtiar, 2012:137-138). Kepercayaan diri bagi anak dan khususnya bagi anak tunarungu sangat penting karena ada hubungan yang kuat antara perasaan seseorang terutama anak tunarungu terhadap dirinya sendiri dan bagaimana dia berperilaku, Dwi (Somantri, 2006:99). Maka dari itu agar anak tunarungu percaya diri dalam hidupnya maka diperlukan pola asuh yang baik, yang konsisten, dan berkesinambungan dari orang tua kepada anaknya. Sebaliknya pola asuh yang kurang baik, tidak akan mendukung peningkatan perkembangan kepercayaan diri anak. Namun bagaimanakah bentuk pola asuh yang orang tua terapkan kepada anak tunarungu yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah sehingga anak tunarungu tersebut tidak mampu memenuhi tuntutan dalam hidupnya dan cendrung memiliki konsep terhadap diri sendiri yang kurang baik, bahkan anak selalu menganggap dirinya tidak mampu, tidak berguna dan lemah. Dari uraian singkat mengenai latar belakang ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk memperoleh gambaran mengenai Pola Asuh Orangtua Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan Diri Rendah. B. Fokus Penelitian Fokus masalah pada penelitian ini adalah Pola Asuh Orang Tua Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan Diri Rendah. Dari fokus permasalahan tersebut peneliti merincinya menjadi beberapa pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian ini merupakan aspek-aspek dari pola asuh yang nantinya akan menggambarkan pola asuh

yang diterapakan oleh orang tua kepada anak. Adapun pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Gambaran tuntutan (Demandingness) orang tua kepada anak tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah. 2. Gambaran perlakuan orang tua dalam mengontrol (Controlling) anak tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah. 3. Gambaran penerimaan (Accepting) orang tua kepada tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah. 4. Gambaran respon (Responsiveness) orang tua kepada tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pola Asuh Orang Tua Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan Diri Rendah. Namun secara khusus tujuan penelitian ini untuk mengetahui : a. Gambaran tuntutan (Demandingness) orang tua kepada anak tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah. b. Gambaran perlakuan orang tua dalam mengontrol (Controlling) anak tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah. c. Gambaran penerimaan (Accepting) orang tua kepada tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah. d. Gambaran respon (Responsiveness) orang tua kepada tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah. 2. Manfaat Penelitian Bila tujuan penelitian dapat dicapai, maka hasil penelitian ini akan memiliki manfaat baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis. a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan titik tolak untuk mengembangkan lebih lanjut ilmu pengetahuan profesi guru pendidikan khusus terhadap keluarga yang memiliki anak tunarungu. b. Manfaat Praktis Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan evaluasi bagi keluarga yang diteliti agar menjadi keluarga

terutama orang tua yang lebih baik lagi terutama dalam menerapkan pola pengasuhan terhadap anaknya yang tunarungu. D. Definisi Konsep 1. Pola Asuh Orang Tua Bahri Djamarah, S (2004:27) menyebutkan bahwa, Pola asuh adalah model kepemimpinan orang tua dalam mendidik anaknya. Model yang digunakan bermacam-macam seperti model demokratis, laisez feir ataupun otoriter. Danny I. Yatim-Irwanto (1991:94) mengemukakan bahwa, Pola asuh berarti pendidikan, sadangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, peneliti memandang bahwa pola asuh adalah sebagai pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif. Teori yang digunakan untuk menentukan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua pada anak tunarungu ini adalah merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Baumrind, D (Surbakti, 2012:7-8) menyampaikan hasil penelitiannya bahwa ada empat jenis pola asuh yaitu, pola asuh otoriter, demokratis, permisif, dan neglecful (tidak peduli). a. Pola Asuh Otoriter (Authoritarian) Tipe pengasuhan ini memiliki tuntutan yang tinggi, tidak fleksibel atau kaku, tidak responsif, mendesak anak mengikuti arahan-arahan orang tua, penerapan hukuman dan menghargai kerja keras. Orang tua pada tipe ini menempatkan kontrol-kontrol yang tegas pada anak, sangat menekankan pada kepatuhan dan mengharapkan aturan-aturan mereka dipatuhi tanpa adanya penjelasan. Biasanya mereka hanya sedikit terlibat dalam komunikasi dengan anak, tidak adanya negosiasi dan kompromi dengan anak serta tidak banyak memberikan penjelasan mengenai aturan atau tindakan orang tua. Desmita (2010:56-57) menjelaskan mengenai pola asuh otoriter ini. Meurut beliau, Pola pengasuhan otoriter adalah suatu pola pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah perintah orang tua. Orang tua yang otoriter menetapkan batasan batasan yang tegas dan tidak memberikan peluang yang besar bagi anak untuk mengemukakan

pendapat. Orang tua yang otoriter juga bersikap sewenang-wenang dan tidak bersikap demokratis dalam membuat keputusan, memaksakan peranperan atau pandangan kepada anak atas dasar kemampuan dan kekuasaan sendiri, serta kurang menghargai pemikiran dan perasaan mereka. Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada masa awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibanding dengan anak-anak yang lain. Indikator-indikator pola asuh otoriter ini antara lain : 1) Tuntutan yang tinggi dalam aspek sosial, intelektual, emosi dan kemandirian. 2) Adanya batasan yang tegas dan tidak memberikan peluang yang besar bagi anak untuk mengemukakan pendapatnya. 3) Orang tua bersikap sewenang-wenang dalam membuat keputusan, memaksakan peran-peran dan kehendak kepada anak tanpa mempertimbangkan kemampuan anak. 4) Orang tua tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat keputusan sendiri. 5) Aspek respon dan menerima orang tua yang rendah kepada anak namun kontrol tinggi 6) Orang tua mudah untuk memberikan hukuman baik secara verbal atau non verbal. 7) Orang tua kurang menghargai pemikiran dan perasaan anak. b. Pola Asuh Permisif (Permisive) Pada pola asuh permisif ini, orang tua justru merasa tidak peduli cendrung memberi kesempatan serta kebebasan secara luas kepada anaknya. Orangtua seringkali menyetujui terhadap semua dengan tuntutan dan kehendak anaknya. Semua kehidupan keluarga seolah-olah ditentukan oleh kemauan dan keinginan anak. Jadi anak disini merupakan sentral dari segala aturan dalam keluarga. Dengan demikian orang tua tidak mempunyai kewibawaan. Akibatnya segala pemikiran, pendapat maupun pertimbangan orang tua cendrung tidak pernah diperhatikan oleh anak. Razak Noe man, R, (2012:35) memperjelas pengertian dari pola asuh permisif ini. Menurut beliau, Pola asuh permisif adalah pengasuhan yang lebih mengedepankan kasih sayang, tetapi tidak memberikan batasan berupa tuntutan. Orang tua yang permisif, biasanya toleran, lembut, dan tidak menuntut anak untuk beperilaku matang, mandiri atau bertanggung jawab. Mereka lebih suka menghindari dan

konfrontasi dengan anak dan membiarkan anak melakukan semua hal yang disukainya. Indikator-indikator pola asuh permisif adalah : 1) Kasih sayang yang berlebihan sehingga orang tua mengikuti segala keinginan dan kemauan anak tanpa ada batasan. 2) Aspek respon dan menerima tinggi kepada anak. 3) Tuntutan dan kontrol yang rendah dari orang tua kepada anak. 4) Orang tua sangat toleran kepada anak. 5) Tidak menuntut anak untuk berperilaku matang, mandiri dan bertanggung jawab. c. Pola Asuh Demokratis (Authoritative) Pola demokratis yaitu setiap aturan dan tindakan orang tua selalu disertai penjelasan dan respons yang baik terhadap pendapat anak. Orang tua juga terlibat dalam pemecahan masalah anak. Dalam menerapkan kedisiplinan, orang tua yang demokratis akan bersikap suportif, artinya ketika anak tidak mematuhi aturan orang tua dan mampu menjelaskan alasannya, orang tua bersedia mendengar dan memahami. Kendati demikian, aturan tetap dilaksanakan secara konsisten. Orang tua demokratis menyadari bahwa mengembangkan sikap tanggung jawab, kemandirian dan respek merupakan sebuah proses yang harus dilalui secara bertahap. Selain itu, orang tua tipe ini juga menghargai emosi dan membantu anak untuk mengekspresikan emosinya secara tepat. Mereka juga membatu anak untuk mengembangkan keyakinan-keyakinan dirinya yang positif. Razak Noe man, R, (2012:34) menyatakan bahwa, Pola asuh demokratis adalah pengasuhan yang memberikan tuntutan kepada anak sekaligus responsif terhadap kemauan dan kehendak anak. Orang yang demokratis akan bersikap asertif, yaitu membiarkan anak untuk memilih apa yang menurutnya baik, mendorong anak untuk bertanggung jawab atas pilihannya, tetapi masih menetapkan standar dan batasan yang jelas pada anak serta selalu mengawasinya. Mereka pun terlibat dalam komunikasi yang intensif dan dan hangat serta responsif terhadap kebutuhan anak. Komunikasi yang hangat dan terbuka memungkinkan adanya diskusi. Indikator-indikator pola asuh demokratis berdasarkan teori yang telah dikemukakan sebelumnya antara lain sebagai berikut : 1) Orang tua memberikan tuntutan kepada anak sekaligus responsive terhadap kemauan dan kehendak anak.

2) Orang tua bersikap asertif yaitu membiarka anak untuk memilih apa yang menurutnya baik, mendorong anak untuk bertanggung jawab atas pilihannya, tetapi menetapkan stnadar dan batasan yang jelas serta selalu mengawasinya. 3) Terjalinnya komunikasi yang intensif dan hangat bersama anak. 4) Komunikasi yang terbuka dan memungkinkan adanya diskusi antara orang tua dengan anak. 5) Orang tua bersikap responsive terhadap kebutuhan anak. 6) Orang tua menghargai emosi dan membantu anak untuk mengekspresikan emosinya secara tepat. 7) Orang tua membantu anak untuk mengembangkan keyakinan dirinya yang positif. d. Pola Asuh Neglecful Dalam pola asuh ini, anak-anak pun tumbuh tanpa bimbingan orang tua. Bahkan, pada kasus ekstrim, ada orang tua yang cenderung mengabaikan anak karena sibuk mengurusi kepentingan sendiri. Biasanya orang tua seperti ini sudah merasa puas dengan melimpahi materi kepada anak atau memasukkan anak ke sekolah-sekolah mahal. Akibatnya, anak akan merasa dirinya tidak berharga.. mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kompetensi sosial, kurang dapat mengontrol diri, serta tidak mandiri. Razak Noe man, R, (2012:36) menjelaskan bahwa, Pola asuh ini juga disebut dengan pola asuh abai atau tidak peduli. Dalam pengasuhannya pola asuh ini menerapkan kasih sayang dan tuntutan yang sangat rendah terhadap anak. Kemungkinan cara pengasuhan ini diakibatkan oleh kurangnya waktu. Banyak orang tua yang bekerja dari pagi sampai malam, sementara anak diasuh oleh baby sitter. Indikator pola asuh neglectful jika ditinjau dari teori yang telah dikemukakan sebelumnya antara lain sebgai berikut : 1) Orang tua memilki tuntutan dan kasih sayang yang sangat rendah kepada anak. 2) Seringkali anak tumbuh tanpa bimbingan orang tua karena minimnya waktu yang dimiliki bersama anak. 3) Orang tua cendrung mencukupi kebutuhan fisik anak dan mengabaikan kebutuhan yang berupa non fisik seperti kasih sayang kepada anak. Untuk menentukannya kecendrungan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak, maka harus ditentukan dahulu aspek aspek yang terdapat pada prilakuperilakuyang diterapkan oleh orang tua kepada setiap anak. Salah satu pendekatan

yang sering dipilih merujuk pada pendapat ahli yang dikemukakan oleh Diana Beumrind (Surbakti, 2010:3-6) yang mengemukakan empat aspek atau dimensi perilaku orang tua terhadap anak-anaknya. Dari keempat dimensi ini nantinya dapat dilihat kecendrungan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Apakah termasuk pola asuh otoriter, demokratis, permisif ataupun neglecful. Empat aspek atau dimensi perilaku tersebut yaitu : a) Aspek Tuntutan (Demandingness) Dimensi ini menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua kepada anak. Apakah orang tua menuntut terlalu tinggi di atas kemampuan anak ataukah justru orang tua tidak menetapkan bagaimana anaknya harus berperilaku. Masing-masing orang tua memiliki tuntutan yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. b) Aspek Control (Controll) Dimensi ini menunjukkan pada tinggi atau rendahnya upaya orang tua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan tingkah laku yang telah dibuat sebelumnya. Tindakan yang bersifat mengontrol adalah tindakan dimana orang tua merubah ekspresi anak yang dependent, agresif, dan senang bermain atau membuat anak mengikuti standar orang tua yang telah ditetapkan. c) Aspek Respon (Responsiveness) Dimensi ini mengukur bagaimana orang tua merespon pada anaknya. Orang tua menggunakan penalaran untuk mencapai sesuatu dari anak dan berusaha memecahkan masalah anak melalui musyawarah. Orang tua dapat menunjukan kasih sayang dengan tindakan dan sikapnya yang memperhatikan kesejahteraan fisik dan mental emosional anak dan dapat menunjukkan kebanggaan serta kebahagiaan atas keberhasilan anak. Rentang perhatian yang diberikan orang tua berkisar antara : orang tua yang sangat sehingga orang tua tidak tahu kebutuhan anaknya secara pasti. d) Aspek Penerimaan (Accepting) tanggap terhadap kebutuhan anak, Dimensi ini ditujukan untuk mengukur kesadaran orang tua untuk mendengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak apabila diperlukan. Dari keempat perlakuan dari perlakuan orang tua kepada anak di atas, ternyata memiliki kaitannya dengan keempat jenis pola asuh.

Surbakti (2010:8) menyimpulkan bahwa, Jika dimensi menuntut, mengontrol, menerima, dan merespon yang kadarnya tinggi dipadukan maka akan terbentuk pola asuh authoritative. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya tinggi sementara penerimaan dan respon kadarnya rendah maka akan terbentuk pola asuh authoritarian. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya rendah maka akan terbentuk pola asuh permissive-indulgent atau memanjakan. Dan jika dimensi menuntut dan mengontrol, menerima dan meresponnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh permissive-indifferent atau pola asuh tidak peduli. 2. Anak Tunarungu Beberapa ahli telah menjelaskan pengertian tunarungu diantaranya Istilah tunarungu diambil dari kata Tuna dan Rungu tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara (Somad dan Hernawati, 1995:26) Hallahan dan Kaufman (Somad dan Hernawati, 1995:26) mengemukakan tentang tunarungu yaitu : Hearing impairment a generic term indicating a hearing disability that may in severity fro mild to profound it includes the subsets of deaf and hard hearing. A deaf person in one whose hearing disability precludes successful processing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing is one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable successful processing of linguistic information through audition. Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar, yang meliputi keseluruhan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam bagian tuli dan kurang dengar. Orang tuli( deaf) adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Orang kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang yang pada umunya dengan menggunakan alat bantu dengar cukup memungkinkan keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengarannya. Sementara itu Sadja ah (2004:43) membedakan pengetian anak tunarungu menjadi tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah keadaan seseorang yang indra pendengarannya tidak dapat digunakan untuk tujuan hidup sehari-hari. Kurang dengar yaitu seseorang yang organ pendengarannya yang sekalipun rusak tapi masih berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan maupun tidak menggunakan alat bantu dengar. Andreas (Somantri, 2006:93) memberikan pengertian tuli dan kurang dengar, yaitu :

Tuli adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids). Boothroyd (Bunawan dan Yuwati, 2006:6) memberikan batasan untuk tiga istilah tunarungu berdasarkan seberapa jauh seseorang dapat memanfaatkan (sisa) pendengarannya dengan atau tanpa bantuan amplifikasi/ pengerasan oleh alat bantu mendengar (ABM), yaitu : Kurang dengar (hard of hearing) adalah mereka yang mengalami gangguan dengar, namun masih dapat menggunakan sebagai sarana/modalitas utama untuk menyimak suara percakapan cakapan seseorang dalam mengembangkan kemampuan bicaranya. Tuli (deaf) adalah mereka yang pendengarannya sudah tidak dapat digunakan sebagai sarana utama guna mengembangkan kemampuan bicara, namun masih dapat difungsikan sebagai suplemen (bantuan) pada penglihatan dan perabaan. Tuli total (totally deaf) adalah mereka yang sudah sama sekali tidak memiliki pendengaran sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimak/mempersepsi dan mengembangkan bicara. Dari beberapa pengertian mengenai anak tunarungu yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Anak tunarungu adalah seorang anak atau individu yang mengalami kekurangan dan kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian (hard of hearing) atau seluruhnya(deaf) yang disebabkan oleh kerusakan atau ketidakberfungsian indra pendengaran sehingga berakibat pada kemampuan dan perkembangan bahasanya dan nilai fungsional dalam kehidupan sehari-hari. 3. Kepercayaan Diri Rendah Dariyo (2006:206) menyatakan bahwa Kepercayaan diri (self confidence) ialah kemampuan individu untuk dapat memahami dan meyakini seluruh potensinya agar dapat dipergunakan dalam menghadapi penyesuaian diri dengan lingkungan hidupnya. Hal senada juga disampaikan Iswidharmanjaya, D(2004:13) mengenai percaya diri. Beliau mengatakan bahwa Percaya diri adalah kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta dapat memanfaatkannya secara tepat. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri merupakan adanya sikap individu yakin akan kemampuannya sendiri untuk bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkannya sebagai suatu perasaan yang yakin pada tindakannya, bertanggung jawab terhadap tindakannya dan tidak terpengaruh

oleh orang lain. Percaya diri merupakan kumpulan kepercayaan atau perasaan yang dimiliki anak tentang dirinya yang nantinya akan mempengaruhi motivasi, perilaku, sikap dan penyesuaian emosinya. Untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat kepercayaan diri seorang lebih khusus lagi pada anak tunarungu dapat dilihat dari indikator atau aspek-aspek dari kepercayaan diri itu sendiri. Teori yang digunakan untuk menentukan tingkat keprcayaan diri seseorang dalam penelitian ini merujuk pada jurnal psikologi oleh Afiatin dan Martaniah (1998) merumuskan beberapa aspek dari Lauster dan Guilford yang menjadi ciri maupun indikator dari kepercayaan diri anak tunarungu yaitu : a. Individu merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki. Ia merasa optimis, cukup ambisius, tidak selalu memerlukan bantuan orang lain, sanggup bekerja keras, mampu menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif serta bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya. b. Individu merasa diterima oleh kelompoknya. Hal ini dilandasi oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya dalam berhubungan sosial. Ia merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya, aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan kehendak atau ide idenya secara bertanggung jawab dan tidak mementingkan diri sendiri. c. Individu memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Ia bersikap tenang, tidak mudah gugup, cukup toleran terhadap berbagai macam situasi.