BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. kesadaran (Rampengan, 2007). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella

BAB 1 PENDAHULUAN. kuman Salmonella Typhi (Zulkoni, 2011). Demam tifoid banyak ditemukan. mendukung untuk hidup sehat (Nani dan Muzakir, 2014).

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada iklim, tetapi lebih banyak di jumpai pada negara-negara berkembang di

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian penyakit Tifoid (Thypus) di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TERAPI DEMAM TYPHOID PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSUD Dr. M.M DUNDA LIMBOTO

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tiap tahunnya. Insiden tertinggi demam thypoid terdapat pada anakanak. kelompok umur 5 tahun (Handini, 2009).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi

MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol.1 No.2 Mei 2014

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK. sakit umum terbesar di daerah Pekanbaru, Riau. Rumah Sakit ini berada di Jalan

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau

BAB I PENDAHULUAN. Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun ini telah banyak menarik

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang menyerang seperti typhoid fever. Typhoid fever ( typhus abdominalis, enteric fever ) adalah infeksi

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Infeksi merupakan masalah terbanyak yang dihinggapi oleh negara yang

BAB I PENDAHULUAN ). Penyakit Typhoid Abdominalis juga merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh kuman Salmonella

BAB I PENDAHULUAN. atraumatic care atau asuhan yang terapeutik. 500/ penduduk dengan angka kematian antara 0,6 5 %.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan sub tropis terutama di daerah dengan sumber air yang tidak memadai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP PENDERITA DEMAM TIFOID DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE 2008 SKRIPSI

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak. Pemberian antibiotik merupakan pengobatan yang utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh Salmonella typhi (Soedarmo, dkk., 2003). Demam typhoid masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari berbagai macam segi kehidupan, kesehatan merupakan harta terindah bagi setiap

ABSTRAK PROFIL PEMBERIAN ANTIBIOTIK DAN PERBAIKAN KLINIS DEMAM PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Demam Typhoid (typhoid fever) merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

PEMERIKSAAN WIDAL SLIDE UNTUK DIAGNOSA DEMAM TIFOID. Agnes Sri Harti 1, Saptorini 2

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN DEMAM TIFOID DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK PADA TERAPI DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS BANCAK KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014

Laporan Pendahuluan Typhoid

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD dr. SAYIDIMAN MAGETAN TAHUN 2014 NASKAH PUBLIKASI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella Typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN. menular melalui makanan atau air yang terkontaminasi. 2 Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang

BAB I. PENDAHULUAN. lainnya termasuk di Indonesia (Gasem et al., 2002; Vollaard et al., 2005; Prajapati

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. WHO memperkirakan jumlah kasus demam thypoid di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD SOEWONDO PATI PERIODE JANUARI-JUNI 2016 ARTIKEL

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah

ANALISIS KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK GOLONGAN SEFALOSPORIN DI RUMAH SAKIT X KUPANG

BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang banyak menyebabkan kematian. Masalah tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia demam tifoid sering disebut dengan penyakit tifus. Penyakit ini biasa dijumpai di daerah sub tropis terutama di daerah dengan sumber mata air yang tidak mencukupi. Demam tifoid merupakan insiden yang paling sering muncul di daerah endemik dan berkembang seperti di Indonesia. Sumber penularannya terutama berasal dari makanan yang tercemari kuman Salmonella Thypi (Mansjoer, 2001). Menurut data World Health Organization (WHO) diperkirakan terdapat 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri kasus ini tersebar merata diseluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 385/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dari 1,5 juta kasus per tahun (Prawito dkk, 2002). Tifoid klinis tersebar di seluruh kelompok umur dan merata pada umur dewasa. Prevalensi tifoid klinis banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah (5 14 tahun), dan relatif lebih tinggi di wilayah pedesaan dibandingkan perkotaan. Prevalensi tifoid ditemukan cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan rendah dan tingkat pengeluaran RT per kapita rendah (Depkes RI, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rampengan tahun 2013 menyebutkan pilihan antibiotik lini pertama untuk pengobatan demam tifoid pada negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan tiga aspek tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid anak. Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama pengobatan demam tifoid karena efektif, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai permasalahan seperti timbulnya kegagalan terapi dan berbagai masalah lain seperti ketidaksembuhan penyakit, meningkatkan resiko efek samping obat, resistensi, supra infeksi, dan biaya pengobatan (Sastramiharja, 2001). 1

2 Penggunaan obat pada anak-anak tidak seperti pada orang dewasa pada umumnya, mengingat anak-anak berbeda dengan orang dewasa (Prest, 2003). Anggapan anak-anak sama dengan orang dewasa dalam ukuran kecil tidaklah tepat. Hal ini dikarenakan penggunaan obat haruslah disesuaikan dengan perkembangan organ, sistem tubuh dan enzim bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat. Oleh sebab itu dosis obat, dalam formulasi, hasil pengobatan dan efek samping obat yang timbul sangat beragam sepanjang masa anak-anak. Selain itu, kurangnya penelitian yang meluas tentang penggunaan obat secara luas pada anak-anak juga menyebabkan hanya sebagian kecil obat yang diberikan ijin untuk digunakan pada anak-anak. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan antibiotik pada anak-anak dengan mengedepankan konsep 4T dan 1W. Tepat obat, tepat dosis, tepat indikasi, tepat pasien dan waspada efek samping obat. RSUD dr. Sayidiman Magetan merupakan rumah sakit terbesar di Kabupaten Magetan dan merupakan rumah sakit rujukan untuk pasien demam tifoid. Menurut data dari RSUD dr. Sayidiman Magetan pada tahun 2013, terdapat 828 kasus demam tifoid dan 228 kasus diantaranya terjadi pada anak-anak. Demam tifoid juga termasuk kedalam 5 besar penyakit yang sering terjadi. Mengingat cukup banyaknya kasus demam tifoid yang terjadi pada anak-anak serta kurangnya penelitian tentang penggunaan obat pada anak-anak maka perlu dilakukan evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik pada kasus demam tifoid di RSUD dr. Sayidiman untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotik untuk terapi demam tifoid. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah penggunaan antibiotik pada pasien anak demam tifoid di RSUD dr. Sayidiman Magetan telah memenuhi syarat rasional yang meliputi tepat pasien, tepat dosis, tepat obat, dan tepat indikasi menurut standar pelayanan medik (SPM) RSUD dr.sayidiman Magetan tahun 2011?

3 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan antibiotik pada pasien anak demam tifoid di RSUD dr. Sayidiman Magetan telah memenuhi syarat rasional yang meliputi tepat pasien, tepat dosis, tepat obat, dan tepat indikasi menurut standar pelayanan medik (SPM) RSUD dr.sayidiman Magetan tahun 2011. D. Tinjauan Pustaka 1. Demam Tifoid a. Definisi Menurut Soedarmono (2002) demam tifoid adalah penyakit infeksi yang bersifat akut disebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditambah dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan infeksi bakteri sekaligus multiplasi kedalam sel fagosit mononuclear dari hati, limfa, kelenjar limfe usus dan Payer s patch. Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau Thypus, tetapi dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever atau Thypus abdominalis karena berhubungan dengan usus di dalam perut. Penyakit tifoid perut (Thypus abdominalis) merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella Typhi (food and water disease). Seseorang yang sering menderita penyakit tifoid menandakan bahwa ia sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini (Zulkoni, 2010). b. Patofisiologi Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang tercemar dengan feses manusia. Setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus dan inflasi ke jaringan limfoid (plak peyer) yang merupakan tempat predileksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesenterik kuman masuk aliran darah sistemik (bakterimia 1) dan mencapai sel-sel retikulo endothelial dari hati dan

4 limfa. Fase ini dianggap fase inkubasi (7-14 hari). Kemudian dari jaringan ini kuman dilepas ke sirkulasi sistemik (bakterimia 2) melalui duktus torasikus dan mencapai organ-organ tubuh seperti limfa, usus halus dan kandung empedu (Kemenkes RI, 2006). Kemudian kuman berkembang biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi masuk ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubungan makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi (Widodo, 2007). c. Diagnosis Diagnosis ditetapkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Keluhan utama adalah badan panas sudah 1 minggu atau lebih. Panas makin hari makin bertambah, terutama paa sore/malam hari, bisa disertai menggigau, dan kejang. Anak mungkin mengeluh sakit perut disertai diare, muntah, dan pada umur > 5 tahun biasanya terdapat konstipasi. Anak juga mengeluh sakit kepala, tidak mau makan, dan badan lemas (Widagdo, 2012). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti dapat ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Prosedur ini sangat invasive sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Maka dari itu perlu dilakukan pemeriksaan serologis. Uji serologis widal suatu metode serologic yang memeriksa antibody agutinasi terhadap antigen somatic (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Pengambilan angka titer O agglutinin 1/40 menunjukkan nilai ramal positif. Apabila titer O aglutinasi 1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan (Soedarmono, 2002).

5 d. Gejala Menurut Keputusan Menteri Kesehatan no 364 pada tahun 2006 mengenai pedoman pengendalian demam tifoid, gejala klinis demam tifoid meliputi: 1) Demam atau panas 2) Gangguan saluran pencernaan 3) Gangguan kesadaran 4) Hepatosplenomegali 5) Bradikardi relative e. Pengobatan dan Perawatan Menurut WHO (2003) pengobatan penderita demam tifoid dapat mengunakan 2 cara umum yaitu : 1) Pengobatan Umum Pengobatan yang paling utama dilakukan ketika ada pasien tifoid adalah terapi supportif, seperti penggunaan antipiretika untuk demam, memberikan cairan secara oral ataupun intravena jika ada indikasi dehidrasi serta dapat pula ditambah pemberian nutrisi dan transfer darah jika diperlukan. Jika pasien sudah menunjukkan tanda-tanda tifoid yang berat seperti terjadi muntah diare, serta kejang perut maka pasien dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit serta diberi pengobatan dengan menggunakan antibiotik. 2) Pengobatan menggunakan antibiotika Pada pengobatan menggunakan antibiotika harus dipertimbangkan tentang efikasi, ketersediaan serta harga terutama di negara yang berkembang. Pada negara berkembang umumnya diresepkan antibiotika kloramfenikol untuk pengobatan demam tifoid. Hal ini didasarkan atas ketersediaan obat tersebut, harga yang terjangkau serta efikasi yang masih cukup baik. Selain kloramfenikol, beberapa antibiotik juga dapat digunakan seperti ciprofloksasin, ampisilin, amoxicillin, azitromicin serta golongan sefalosporin. f. Penggunaan antibiotik Menurut Kemenkes RI no 364 tahun 2006 untuk penggunaan antibiotik harus mempertimbangkan : 1) Telah dikenal sensitif dan potensial untuk tifoid.

6 2) Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan baik ke jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran. 3) Berspektrum sempit. 4) Cara pemberian yang mudah. 5) Efek samping yang minimal. 6) Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier. Menurut standar pelayanan medik (SPM) RSUD dr.sayidiman Magetan tahun 2011 yang berlaku untuk pasien demam tifoid secara umum tata laksana penggunaan antibiotik pada demam tifoid meliputi : 1) Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari. 2) Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau IV selama 10 hari. 3) Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral selama 10 hari. 4) Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuscular, sekali sehari, selama 5 hari. 5) Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari. 2. Pencegahan Demam Tifoid Demam tifoid sangat erat hubungannya dengan kebersihan. Kebersihan tersebut bisa meliputi kebersihan diri sendiri maupun lingkungan. Makanan dan minuman yang di jajakan di pinggir jalan yang sudah tercemar bakteri Salmonella thypi merupakan penyebab dari demam tifoid. Menurut Kemenkes RI No 364 tahun 2006, pencegahan lebih baik dari pada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik berarti melaksanakan pencegahan yang baik pula. Kedua ungkapan ini juga berlaku untuk tifoid karena kegiatan pencegahan lebih efisien dan tanpa resiko yang membahayakan. Bila pengobatan tifoid terlaksana dengan sempurna maka, dapat mencegah karier yang merupakan sumber penularan di masyarakat. Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak tertular oleh Salmonella thypi. Ada tiga pilar strategis yang menjadi pilar pencegahan yaitu : a. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid.

7 b. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan. c. Perlindungan dini agar tidak tertular. Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam aspek pencegahan dan pengendalian tifoid, diantaranya : (1) langkah-langkah pencegahan strategis, relaps dan resistensi tifoid, (2) perbaikan sanitasi lingkungan, (3) peningkatan hygiene makan dan lingkungan, (4) peningkatan hygiene perorangan, (5) pencegahan dengan imunisasi, (6) surveilans, (7) definisi kasus, (8) sistem pencatatan dan pelaporan, (9) penanggulangan kejadian luar biasa (KLB). 3. Penggunaan Antibiotik Rasional Kerasionalan dalam penggunaan antibiotik perlu terjadi dalam proses penyembuhan. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional menimbulkan berbagai masalah negatif, antara lain menimbulkan efek toksisitas yang tidak perlu, resisten, terjadi kegagalan terapi, serta meningkatnya biaya dalam pengobatan. Kriteria penggunaan antibiotik yang rasional dapat dilihat dari indikasi yang tepat, pemilihan obat yang tepat, dosis dan cara pemakaian yang tepat (Munaf, 2009). Penggunaan antibiotik yang irrasional akan memberikan dampak negatif, salah satunya adalah meningkatnya kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik. Untuk itu penggunaan antibiotik yang rasional diharapkan dapat memberikan dampak positif antara lain mengurangi morbiditas, mortalitas, kerugian ekonomi, dan mengurangi kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik (Ozkurt et al, 2005) E. Keterangan Empiris Tingginya angka kejadian demam tifoid di daerah Kabupaten Magetan menimbulkan banyaknya peresepan dengan menggunakan antibiotik. Seperti yang dijelaskan di awal penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menimbulkan beberapa masalah. Oleh karena itu diharapkan pada penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang penggunaan antibiotik yang rasional di RSUD dr. Sayidiman Magetan tahun 2014 meliputi tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, dan tepat indikasi.