BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Kredit Mikro Kredit usaha mikro di negara-negara berkembang merupakan salah satu instrumen pengentasan kemiskinan yang akhir-akhir ini perkembangannya cukup signifikan. Meskipun sistem keuangan di Indonesia telah berkembang dengan pesat, tetapi sistem keuangan di Indonesia tidak pernah berubah dari sistem keuangan berbasis bank. Sistem perbankan mendominasi sistem keuangan dalam hal total aset (85 persen ) dan kredit (70 persen) (Mustika et al., 2013; Mustika, 2004). Akan tetapi, bank seperti enggan memfasilitasi kredit mikro. Keengganan institusi besar seperti bank untuk memberikan pinjaman bagi usaha mikro didasari pada tingginya risiko akan kredit macet. Hal ini memunculkan berbagai usaha untuk menyalurkan kredit mikro ini seperti yang dipioneri oleh Opportunity International, Grameen Bank, Finca, dan Acción International. Dari hasil evaluasi, peminjam yang berasal dari kalangan masyarakat miskin secara mengejutkan mampu membayar pinjaman walaupun yang diterapkan ialah bunga pasar. Dengan demikian organisasi penyedia mikro kredit tersebut mampu menutup biaya operasionalnya dan bahkan tetap menghasilkan profit karena sebanyak 95 persen sampai 98 persen pinjaman mampu dibayar kembali (Dokmo dan Reed, 1998). Sebenarnya contoh usaha untuk memfasilitasi agar usaha mikro bisa dialokasikan oleh bank telah dilakukan di antaranya di Perancis. Namun seperti 1
yang diteliti oleh Ashta et al. (2013), upaya pemerintah Perancis yaitu dengan pembuatan peraturan pembatasan bunga bagi kredit mikro justru tidak membuahkan hasil yang signifikan. Salah satu alasannya adalah bank disimpulkan merupakan institusi yang terlalu kompleks, sehingga tidak efektif jika melayani kredit mikro yang jumlahnya banyak. Bank lebih baik memberikan sedikit kredit berjumlah besar, daripada banyak memberikan kredit kecil. Hal ini berkaitan dengan adanya biaya tetap. Alhasil, walaupun pemerintah Perancis sudah menerapkan batas atas bunga untuk kredit mikro, namun tidak ada peningkatan kredit yang berarti. Artinya memang ada keengganan tersendiri bagi institusi seperti bank untuk memfasilitasi kredit mikro. Hasil penelusuran Ashta et al. (2013) tersebut sedikit banyak sejalan dengan temuan Ahmad (2012). Kredit mikro sangat dibutuhkan bagi usaha khususnya usaha mikro dan kecil untuk berkembang. Kesulitan usaha mikro dalam mendapatkan dukungan keuangan, birokrasi, kurangnya pilihan kredit, dan lingkungan bisnis yang tidak bersahabat adalah masalah utama yang dihadapi oleh usaha mikro (Ahmad, 2012). Alasan -alasan tersebut menjadi sebab kenapa di negara berkembang lembaga keuangan mikro banyak bermunculan. Karena tidak mungkin mendapatkan akses ke pasar modal, maka usaha kecil (dan mikro) sangat tergantung dari pendanaan pihak ketiga. Hal ini menyebabkan usaha mikro cukup tergantung jika ada guncangan pada perbankan, di mana bank akan mengurangi suplai kreditnya (Berger dan Udell, 2002). Itulah mengap a ketersediaan kredit mikro begitu besar manfaatnya. Berger dan Udell (2002), menambahkan bahwa semakin besar bank maka 2
semakin sulit menyalurkan kredit mikro serta menyarankan bank lebih baik mempunyai struktur yang kecil dengan banyak manajer. Di Indonesia model struktur bank kecil, banyak cabang, dan banyak manajer bisa dilihat pada Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kesulitan akan besarnya ukuran bank juga terjadi di negara maju. Oleh sebab itu, kredit usaha mikro juga tumbuh di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, misalnya model kredit Community Development Credit Union (CDCU). Nembhard (2013), berkesimpulan model dana pinjaman seperti CDCU sangat bermanfaat karena mampu membantu anggotanya agar dapat mempertahankan nilai aset. Hampir semua CDCU mampu memberikan deviden yang lebih tinggi sehingga anggotanya mampu menabung dan bahkan mengembangkan aset. Selain itu, anggota CDCU ini juga diberi edukasi agar menghindari rentenir yang menerapkan bunga harian. 1.1.2 Kredit Mikro di Indonesia dan Dana Bergulir Simpan Pinjam Perempuan (SPP) PNPM Mandiri Pedesaan Di Indonesia, upaya pengentasan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah, baik yang berupa bantuan langsung maupun bantuan usaha produktif. Berbagai program telah dilakukan pemerintah yang makin diintensifkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan dibentuknya Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Sejak dibentuk TNP2K telah banyak program-program yang dijalankan guna mempercepat pengentasan kemiskinan. Program-program tersebut di antaranya Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin), 3
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan juga Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Berbagai bantuan dan program tersebut dinilai belum mampu mengatasi permasalahan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya saja program KUR. Menurut penelitian Astuti (2014), yang meneliti pelaksanaan KUR di BRI Yogyakarta, pelaksanaan program KUR masih belum efektif karena KUR hanya mampu memenuhi tujuan program, yaitu memberikan kemudahan akses kredit kepada UMKM. Sementara di lapangan KUR masih belum sepenuhnya tepat sasaran karena bisa diakses oleh pihak-pihak yang seharusnya sudah dianggap bankable dan tidak layak untuk mendapatkan KUR. Program lainnya seperti raskin sebenarnya dalam pembagiannya sudah tepat administrasi, namun seringkali kualitas berasnya tidak baik (Sanjaya, 2014). Di sisi lain jika kualitasnya sudah cukup baik, namun sasaran pembagian raskinnya yang tidak tepat (Mandati, 2014). Menurut website TNP2K, PNPM adalah program nasional dalam wujud kerangka sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri Perdesaan merupakan bagian dari PNPM inti yang ditujukan bagi pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Program ini dikembangkan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah dilaksanakan sejak 1998. Tahun 2007 Presiden SBY mengubah nama program ini menjadi PNPM yang bertahan sampai sekarang. PNPM merupakan program yang dinilai berhasil dan diakui oleh dunia internasional, 4
namun pergantian pemerintahan baru memutuskan menghentikan program PNPM berkaitan dengan pengimplementasian UU Desa. Pemberhentian sementara ini dimanfaatkan untuk mendata ulang aset PNPM. Salah satu jenis dari PNPM adalah Dana Bergulir Simpan Pinjam Perempuan (SPP) PNPM Mandiri Pedesaan (PNPM-MPd) yang ditujukan untuk memberikan pinjaman kepada khususnya perempuan. Program pinjaman bergulir Simpan Pinjam khusus Perempuan merupakan salah satu kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang bergerak di bidang pengembangan ekonomi. Program SPP dianggap sebagai tindakan khusus yang dilakukan pemerintah sebagai alternatif solusi dengan memberikan fasilitas pinjaman yang mudah dan tanpa agunan. Dana bergulir ini bisa dikatakan sebagai hibah bergulir di mana bantuan dana/modal tersebut bagi anggota kelompok merupakan dana pinjaman yang harus dikembalikan kepada kelompok. Dana tersebut dapat dipinjam kembali oleh anggota atau dipinjam oleh kelompok lain yang belum pernah memperoleh kesempatan mendapatkan dana bergulir PNPM- MP ini (Hayati, 2011). Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang dikembangkan, maka dalam PNPM-MPd lebih ditekankan mengenai pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Dengan adanya PNPM-MPd nantinya diharapkan masyarakat dapat menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui PPK (Naim, 2010). Dana bergulir SPP PNPM-MPd ini dapat digunakan sebagai alternatif 5
sumber dana bagi usaha mikro yang kesulitan memperoleh modal untuk usaha. Menurut Setyobudi (2007), ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). 1. Permasalahan mendasar misalnya modal, bentuk badan hukum yang non formal, SDM, pengembangan produk, dan akses pemasaran. 2. Permasalahan lanjutan misalnya penetrasi pasar ekspor yang belum optimal, kurang pemahaman terhadap desain produk yang sesuai dengan karakter pasar, permasalahan hukum tentang hak paten. 3. Permasalahan antara misalnya dalam hal manajemen keuangan dan agunan serta keterbatasan dalam kewirausahaan. Biasanya para pelaku UMKM tersebut kesulitan untuk memenuhi persyaratan yang diberikan oleh bank. Jika dikaji lebih jauh, jumlah UMKM di Indonesia sangat besar namun kurang memiliki akses kredit (Retnadi, 2008 dalam Astuti, 2014). Dana bergulir PNPM Mandiri baik perkotaan maupun perdesaan sebenarnya telah banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat khususnya penduduk miskin (Maulidyah, 2014; Putra, 2015; Surya, 2011). Manfaat yang dirasakan di antaranya meningkatnya pendapatan dan taraf hidup penerima program. Namun disebutkan pula bahwa program ini kurang dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara keseluruhan (Putra, 2015). Demikian juga besarnya kredit tidak terlalu mempengaruhi selisih beda pendapatan sebelum dan setelah mendapat kredit (Maulidyah, 2014). Manfaat yang dirasakan terutama pada penambahan jumlah kas lancar dari penerima pinjaman dan peningkatan rasio profitabilitas karena 6
adanya pinjaman dapat digunakan untuk pengembangan usaha (Surya, 2011). Di dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Cilacap, berbagai macam program yang terdiri dari banyak kelompok urusan dan klaster menunjukkan bahwa telah banyak aksi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan di Kabupaten Cilacap. Program-program ini terdiri dari berbagai macam bidang seperti pendidikan (BOS, BSM), kesehatan (Jamkesda, Peningkatan kesehatan ibu), infrastruktur (pembangunan jaringan irigasi), dan pemberdayaan masyarakat. Secara umum, PNPM-MPd merupakan salah satu dari sekian banyak program penanggulangan kemiskinan yang dimiliki Pemda Kabupaten Cilacap seperti yang tercantum di dalam RAD. PNPM-MPd masuk di dalam kelompok urusan/program pemberdayaan masyarakat dan desa bersama dengan beberapa program lain seperti Pelatihan dan Bantuan Alat TTG, Pembinaan dan Pengembangan Lumbung Desa, Pembinaan Paguyuban TKI, dan Manajemen Usaha bagi perempuan dalam Mengelola Usaha. Sementara dalam kaitannya dengan pengembangan ekonomi di pedesaan dan masyarakat miskin, PNPM-MPd ini berdampingan dengan beberapa program seperti fasilitasi pembentukan dan pemberian bantuan permodalan BUMDes, pembinaan dan pengembangan Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM), kegiatan bantuan modal kelompok UPPKS. Dana bergulir SPP PNPM-MPd memiliki beberapa karakteristik khusus yaitu bahwa program ini mempunyai sumber dana yang berasal dari pusat kemudian dikelola oleh Unit Pengelola Kegiatan (UPK). Program ini juga ditujukan khusus untuk peminjam perempuan dengan tujuan untuk lebih 7
membedayakan kaum perempuan. Di desa khususnya kaum perempuan memang lebih banyak yang menganggur karena faktor pendidikan dan kesempatan. Di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, program Dana Bergulir PNPM- MPd telah berlangsung sejak tahun 2009. Sampai bulan Juli 2015, dari 17 desa yang ada di Kecamatan Kroya, sebanyak 13 desa mampu mencatatkan tingkat pengembalian di atas 99 persen (atau hanya ada non performing loan (NPL) kurang dari 1 persen) dari total alokasi pinjaman. Untuk tingkat pengembalian terendah ada di angka 97,77 persen. Berdasarkan tingkat pengembalian pinjaman yang tinggi, Kecamatan Kroya dapat dikatakan berhasil dalam pengelolaan dana bergulir SPP PNPM-MPd karena jauh di bawah ambang batas NPL yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu 5 persen. Tabel 1.1 Angsuran Jasa SPP Dana Bergulir PNPM-MPd di Kab. Cilacap, Per 31 April 2015 No Kecamatan Angsuran Jasa SPP (Rp.) No Kecamatan Angsuran Jasa SPP (Rp.) 1 Kroya* 514.314.500,00 12 Sidareja 466.503.500,00 2 Nusawungu 293.541.000,00 13 Kedungreja 224.842.500,00 3 Binangun 299.433.600,00 14 Patimuan 111.915.000,00 4 Adipala 437.930.000,00 15 Cipari 269.637.500,00 5 Sampang 174.875.500,00 16 Karangpucung 531.579.000,00 6 Maos 275.148.000,00 17 Cimanggu 553.354.000,00 7 Kesugihan 241.085.000,00 18 Majenang 342.613.000,00 8 Jeruklegi 275.468.750,00 19 Wanareja 129.423.000,00 9 Kawunganten 336.319.500,00 20 Dayeuhluhur 247.080.000,00 10 Bantarsari 279.963.000,00 21 Kampunglaut 250.530.000,00 11 Gandrungmangu 314.208.000,00 Sumber: Bapermas Kab. Cilacap, 2015 (diolah) Seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1, Kecamatan Kroya termasuk tinggi dalam angsuran jasa SPP. Kroya menempati urutan ketiga yang menunjukkan bahwa kinerja UPK dalam mendorong masyarakat untuk meminjam dan mengembalikan dana SPP sudah baik. Hal ini seperti yang disebutkan sebelumnya juga didukung oleh kondisi masyarakat dan geografis dari Kecamatan Kroya yang 8
cenderung maju dan letaknya dekat dengan akses strategis. Aset dana bergulir SPP untuk UPK Kecamatan Kroya ada di urutan ke-7 dari 21 kecamatan kategori pedesaan. Hal ini cukup besar mengingat di Kecamatan Kroya tidak mendapatkan dana Usaha Ekonomi Produktif (UEP) seperti yang didapat kecamatan peringkat 1 sampai 6. Aset yang besar ini mengindikasikan beberapa hal seperti pengelolaan dana yang baik dan rendahnya tunggakan. Dalam hal pendapatan, UPK Kecamatan Kroya juga termasuk tinggi yaitu berada di peringkat keempat. Data tersebut disajikan dalam Tabel 1.2 dan Tabel 1.3. Tabel 1.2 Total Aktiva Dana Bergulir UPK Kab. Cilacap, Per 31 April 2015 No Kecamatan Total Aktiva (Rp.) No Kecamatan Total Aktiva (Rp.) 1 Kroya* 5.610.012.359,00 12 Sidareja 7.441.626.522,00 2 Nusawungu 4.273.934.929,00 13 Kedungreja 3.475.893.707,00 3 Binangun 3.719.568.717,00 14 Patimuan 5.823.332.781,00 4 Adipala 4.925.228.099,00 15 Cipari 4.661.332.470,00 5 Sampang 2.539.105.731,00 16 Karangpucung 7.240.955.704,00 6 Maos 3.015.866.457,00 17 Cimanggu 8.197.998.740,00 7 Kesugihan 5.056.156.389,00 18 Majenang 4.826.518.446,00 8 Jeruklegi 6.590.677.326,00 19 Wanareja 3.226.584.559,00 9 Kawunganten 4.933.706.404,00 20 Dayeuhluhur 3.134.772.980,00 10 Bantarsari 4.640.964.107,00 21 Kampunglaut 2.611.087.216,00 11 Gandrungmangu 7.501.972.522,00 Sumber: Bapermas Kab. Cilacap, 2015 (diolah) Tabel 1.3 Total Pendapatan Dana Bergulir UPK Kab. Cilacap, Per 31 April 2015 No Kecamatan Total Pendapatan (Rp.) No Kecamatan Total Pendapatan (Rp.) 1 Kroya* 536.986.412,00 12 Sidareja 577.433.072,00 2 Nusawungu 299.140.311,00 13 Kedungreja 243.999.470,00 3 Binangun 318.011.791,00 14 Patimuan 131.989.108,00 4 Adipala 446.318.422,00 15 Cipari 322.980.225,00 5 Sampang 185.157.290,00 16 Karangpucung 578.690.513,00 6 Maos 277.482.208,00 17 Cimanggu 703.259.515,00 7 Kesugihan 428.916.063,00 18 Majenang 351.874.148,00 8 Jeruklegi 475. 793.918,00 19 Wanareja 139.707.235,00 9 Kawunganten 436.400.122,00 20 Dayeuhluhur 288.280.321,00 10 Bantarsari 295.186.210,00 21 Kampunglaut 268.130.632,00 11 Gandrungmangu 398.359.373,00 Sumber: Bapermas Kab. Cilacap, 2015 (diolah) 9
Keberhasilan dana bergulir SPP PNPM-MPd di Kabupaten Cilacap khususnya di Kecamatan Kroya tersebut belum pernah diteliti. Padahal keberhasilan tersebut merupakan sesuatu yang baik dan tentunya harus dapat dilanjutkan. Untuk itu diperlukan suatu penelitian yang nantinya dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi berbagai pemangku kepentingan agar keberhasilan ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian tentang Dana Bergulir PNPM Mandiri Pedesaan telah beberapa kali dilakukan, namun belum ada penelitian yang berlokasi di Kabupaten Cilacap. Berikut disajikan beberapa penelitian sejenis yang telah ada. 1. Wibowo (2009), meneliti dana bergulir ekonomi produktif pada program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di Desa Hargomulyo Kec. Gedangsari, Kab. Gunungkidul. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitiannya di antaranya belum tepatnya antara kebutuhan kebutuhan dengan hasil program dana bergulir. Pengurus BKM diharapkan lebih aktif dalam mendengarkan usulan dan masukan masyarakat agar pinjaman yang diberikan lebih merata dan sesuai dengan peta kemiskinan yang sudah dibuat. 2. Naim (2010), meneliti Dana Bergulir PNPM-MP di Kecamatan Tomia dengan berfokus pada tunggakan dana bergulir. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Teknik analisis yang digunakan adalah Struktur Lege Teknik (SLT). Hasil penelitiannya menemukan masih adanya persepsi yang keliru mengenai dana bergulir sebagai dana hibah. Kemudian 10
ketidaktepatan penerima bantuan, kesalahan penggunaan dana, dan kurangnya monev menjadi faktor yang memicu terjadinya tunggakan pinjaman dana bergulir. 3. Hayati (2011), meneliti Dana Bergulir UEP PNPM-MPd di Desa Bangunsari Kec. Pageruyung Kab. Kendal dengan berfokus pada persepsi penerima dananya. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini menemukan bahwa kelompok penerima telah mempersepsikan dana bergulir tersebut sebagai dana yang dipinjamkan oleh pemerintah. Karena itu etos kerja penerima dana tetap tinggi. 4. Pateda ( 2013), meneliti efektivitas pelaksanaan PNPM dan mengetahui pengaruh bantuan modal usaha PNPM terhadap pendapatan masyarakat di Kec. Tibawa Kab. Gorontalo. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan uji beda dua rata-rata. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pelaksanaan PNPM sudah berjalan efektif dan secara statistik terdapat perbedaan pendapatan rata-rata per bulan yang lebih tinggi dan signifikan pada derajat kepercayaan 95 persen antara sebelum dan setelah menerima bantuan. Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap dengan metode penelitian deskriptif kualitatif dan menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Penelitian ini berfokus pada pencarian faktor-faktor pendorong keberhasilan program dana bergulir SPP PNPM-MPd. 11
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian ini adalah masih terbatasnya penelitian tentang faktor-faktor keberhasilan Dana Bergulir SPP PNPM-MPd yang dilakukan di Kabupaten Cilacap khususnya di Kec. Kroya, padahal keberhasilan tersebut perlu diteliti untuk dapat dijadikan pelajaran dan dapat dijadikan bahan evaluasi. 1.4 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan terkait penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengapa dapat terjadi keberhasilan pada suatu kelompok penerima program Dana Bergulir SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap dan apa saja faktor-faktor pendorongnya? 2. Bagaimana cara untuk mempertahankan keberhasilan yang sudah dicapai? 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk menganalisis faktor-faktor pendorong keberhasilan pada suatu kelompok penerima program Dana Bergulir SPP PNPM Mandiri Perdesaan di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap. 2. Untuk menentukan strategi terbaik guna mempertahankan keberhasilan yang sudah dicapai. 12
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat peneltian ini adalah sebagai berikut. 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mempertahankan keberhasilan dana bergulir SPP PNPM-MPd atau program sejenis khususnya di wilayah Kecamatan Kroya. 2. Sebagai acuan dan saran bagi pemerintah untuk mengevaluasi performa Program Dana bergulir SPP PNPM atau penyusunan program sejenis baik perbaikan dari sisi pemerintah maupun dari sisi masyarakat/kelompok penerimanya khususnya di wilayah Kecamatan Kroya. 3. Sebagai saran bagi UPK, kelompok simpan pinjam, dan masyarakat pada umumnya untuk dapat mengelola dan melaksanakan kegiatan dana bergulir SPP PNPM-MPd atau yang sejenis dengan lebih baik khususnya di wilayah Kecamatan Kroya. 1.7 Lingkup Penelitian Lingkup atau batasan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penelitian ini terbatas pada lingkup wilayah di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. 2. Penelitian ini meneliti mengenai penyebab keberhasilan program dana bergulir SPP PNPM-MPd. 3. Keberhasilan suatu kelompok simpan pinjam adalah ketepatan waktu dalam pembayaran pinjaman sehingga tidak ada tunggakan. 13
1.8 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini terdiri dari empat bab. Bab I merupakan Pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan tesis ini, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan, dan manfaat penelitian. Bab II berisi tentang Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori yang menjadi dasar keilmuan yang digunakan, serta membahas alat analisis yang digunakan. Bab III membahas tentang Metode Penelitian, yang berisi langkah-langkah bagaimana penelitian ini dilaksanakan. Bab IV mencakup Analisis Data dan Pembahasan, yang menjelaskan bagaimana pengolahan dan analisis data serta pembahasan untuk menghasilkan kesimpulan. Bab V berisi Kesimpulan, Implikasi, Keterbatasan dan Saran penelitian. 14