BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola hubungan dokter dan pasien telah mengalami pergeseran dari zaman ke zaman. Hubungan antara dokter dan pasien yang dulunya menganut pola paternalistik berubah menjadi hubungan yang bersifat kontraktual. Kondisi dan situasi saat ini telah menempatkan dokter dalam peran sebagai pelaku ekonomi, yakni sebagai penyedia layanan jasa. Apabila jasa yang diberikan tidak memuaskan pasien, maka pasien pun berhak untuk menyampaikan keluhan bahkan sampai pada tuntutan hukum ke pengadilan (Subijanto, 2009). Meningkatnya sarana pelayanan kesehatan non-medis yang evidence basednya tidak diketahui, ternyata diserbu oleh masyarakat awam misalnya pengobatan alternatif di berbagai tempat di Indonesia, hal ini menunjukkan indikasi adanya fenomena penurunan minat orang sakit untuk memeriksakan dirinya ke dokter. Fenomena tersebut dipengaruhi oleh tingginya biaya kesehatan maupun berkurangnya kepercayaan masyarakat pada pelayanan tenaga kesehatan. Saat ini semakin banyak pula masyarakat Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk berobat karena sudah tidak lagi percaya akan kompetensi tenaga kesehatan di Indonesia. Sebuah kajian menyimpulkan bahwa kepercayaan pada pelayanan kesehatan ternyata sangat dipengaruhi oleh mutu hubungan dokter dengan pasien (Calnan et.al, 2004).
Akhmadi (2008), mengungkapkan fenomena rendahnya pemanfaatan unit pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap tercapainya hidup sehat. Berdasarkan Data Singapore Medicine yang dikutip oleh Akhmadi (2008), mengungkapkan dari 374.000 pasien manca negara, sekitar 90 % pasiennya dari Indonesia khusus untuk berobat ke Rumah Sakit Mount Elizabeth. Nadesul (2008) mengungkapkan pilihan masyarakat untuk berobat ke luar negeri karena kurangnya sarana medik, rendahnya tingkat kepercayaan pasien, komunikasi yang belum efektif antara dokter dengan pasien, pelayanan yang kurang ramah dan minimnya teknologi dan sumber daya. Komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien adalah terciptanya rasa nyaman dengan terapi medis yang diberikan dokter pada pasien. Faktor perilaku dokter terhadap pasiennya, kemampuan dokter untuk mendapatkan dan menghormati perhatian pasien, tersedianya informasi yang tepat dan timbulnya empati serta membangun kepercayaan pasien ternyata merupakan kunci yang menentukan dalam kenyamanan yang baik dengan terapi medis pada pasien dalam pelayanan kesehatan. Hasil penelitian (Stewart, 1999; Stewart, 2000) mengungkapkan bahwa komunikasi yang lebih baik antara dokter dan pasien di rumah sakit menunjukkan hubungan emosional dan kesehatan fisik yang lebih baik, penurunan gejala yang lebih bermakna dan kontrol yang lebih baik pada berbagai penyakit kronis. Salah satu institusi penyelenggara pelayanan kesehatan untuk mendukung peningkatan status kesehatan adalah rumah sakit. Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit menyatakan bahwa rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan yang bertujuan menyelenggarakan pelayanan kesehatan per orangan secara paripurna, lebih difokuskan pada upaya promosi kesehatan (promotif) dan
pencegahan (preventif) dengan tidak mengabaikan upaya kuratif-rehabilitatif yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Pemerintah bertanggungjawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat (UU No.44, 2009). Jacobalis (2000); Dawud (1999), menyatakan saat ini pola pengelolaan rumah sakit telah mengalami perubahan, terutama berkaitan dengan peningkatan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Salah satu perubahan tersebut adalah adanya pergeseran paradigma rumah sakit sebagai lembaga usaha not for profit menjadi lembaga usaha sosio-economic (suatu lembaga yang selain memperhatikan faktor keuangan juga harus tetap memperhatikan pelayanan pada pasien miskin sebagai fungsi sosial), sehingga memaksa manajemen rumah sakit harus menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Sumber daya manusia dalam organisasi pelayanan kesehatan adalah tenaga medis dan paramedis. Salah satu tenaga medis yang sangat berperan besar dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pada sarana pelayanan kesehatan seperti rumah sakit adalah dokter. Peran dokter dalam kondisi dan situasi saat ini lebih berperan sebagai pelaku ekonomi, yakni sebagai penyedia layanan jasa. Ketika jasa yang diberikan tidak sesuai dengan harapan pasien, maka pasien berhak untuk menyampaikan keluhan bahkan sampai pada tuntutan hukum ke pengadilan. Hal ini terkait dengan maraknya tuntutan malpraktik di masyarakat yang menunjukkan salah satu gambaran komunikasi yang kurang efektif antara masyarakat
dengan profesi kesehatan atau tenaga kesehatan, lebih spesifik lagi antara pasien dengan dokter (Subijanto, 2009). Peran pasien telah berubah dari pasif menjadi asertif dalam upaya memperoleh informasi medis dan pembuatan keputusan medis. Kondisi seperti ini membutuhkan penguasaan komunikasi bagi seorang komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan kepada komunikannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Mantra (1990); Effendy (2003) dan Widjaya (2000), yang menyimpulkan bahwa terjadinya proses komunikasi ditunjukkan oleh beberapa unsur yang terdiri dari komunikator, pesan, media, komunikan, efek dan umpan balik. Dengan adanya umpan balik dapat diketahui apakah proses komunikasi berjalan efektif atau tidak Demikian juga pendapat Komalawati (2000), yang menyimpulkan bahwa pada hakekatnya hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa melalui komunikasi, dalam hal ini termasuk hubungan antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medis. Komunikasi menjadikan tujuan atau pesan sebagai milik bersama, sehingga terjadi saling pengertian antar pihak dalam suatu kegiatan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan komunikasi. Kegiatan komunikasi antara dokter dengan pasien dapat disimpulkan sebagai interaksi dalam komunikasi. Interaksi dalam komunikasi dapat dibedakan atas tiga kategori, yaitu komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok kecil dan komunikasi publik. Muhammad (2005), menyatakan bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya yang menggambarkan efektif atau tidaknya komunikasi.
Devito (1997) dalam (Effendy, 2003), menyatakan efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan, yaitu keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berlangsungnya komunikasi interpersonal yang baik sangat terkait dengan faktor personal dan faktor situasional komunikan dengan komunikator, dalam hal ini antara pasien dengan dokter. Hubungan dokter dan pasien telah disadari merupakan bagian penting dalam aspek mutu pelayanan kesehatan. Komunikasi dokter dan pasien telah terbukti membawa pengaruh pada kepatuhan pengobatan, meningkatkan kepuasan pasien dan akhirnya akan membawa manfaat bagi keluaran pengobatan (Roberts, 2002; Lee et al., 2008; Thorne et al., 2008). Rumah Sakit. Umum Pusat H. Adam Malik Medan (RSUP.HAM Medan) merupakan Rumah Sakit Kelas A sesuai dengan SK Menkes No.335/Menkes/SK/VIII/1990. Rumah sakit ini menghadapi persaingan dengan pelayanan kesehatan lainnya yang jumlahnya semakin meningkat seperti praktek dokter, klinik 24 jam, praktek bidan dan rumah sakit swasta. Berdasarkan catatan rekam medik dan marketing RSUP.HAM Medan, konsumen utama rumah sakit adalah masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah, karyawan perusahaan besar, menengah dan kecil, peserta asuransi kesehatan: Jamsostek, Askes dan asuransi lainnya. Kegiatan kunjungan pasien rawat jalan tahun 2009 sampai dengan tahun 2010, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Kunjungan Rawat Jalan di RSUP. HAM Medan Tahun 2009-2010 No Kunjungan Pasien Tahun Keterangan 2009 2010 (%) 1 SMF. Penyakit dalam 7.853 7.504 (4.65) 2 SMF. Anak 7.941 7.140 (11.22) 3 SMF. Obstetri dan Ginekologi 973 950 (2.42) 4 SMF. Bedah 2.345 2.373 1.18 5 SMF. THT 1.835 1.656 (10.81) 6 SMF. Mata 6.799 6.699 (1.49) 7 SMF. Syaraf 1.392 1.397 0.36 8 SMF: Jiwa 2.650 2.911 8.97 9 SMF: Gigi dan Mulut 2.296 2.193 (4.70) 10 SMF: Kulit dan Kelamin 2.549 2.072 (23.02) 11 SMF: Kardiologi 3.288 3.143 (4.61) 12 SMF: Paru 3.243 4.482 27.64 13 SMF: Bedah Syaraf 227 238 4.62 Sumber : Data Bagian Rekam Medis RSUP.HAM Medan Tahun 2011 Data di atas menunjukkan kunjungan pasien rawat jalan dari tahun 2009 sampai tahun 2010 per tahunnya berfluktuasi naik dan turun. Kunjungan pasien rawat jalan yang mengalami peningkatan berdasarkan poli, yaitu Staf Medis Fungsional (SMF) bedah, syaraf, jiwa, paru dan bedah syaraf dan selebihnya mengalami penurunan pada seluruh unit SMF. Salah satu peneyebab menurunnya jumlah kunjungan pasien rawat jalan diduga terkait dengan belum efektifnya komunikasi antara dokter dengan pasien. Survei pendahuluan di RSUP H. Adam Malik Medan diperoleh informasi melalui kotak saran tentang keluhan pasien rawat jalan sehubungan dengan pelayanan dokter di instalasi rawat jalan. Keluhan pasien pada instalasi rawat jalan yang masuk ke kotak saran berjumlah 69 surat pada periode bulan Januari hingga Maret 2011, terdiri atas: 80% menyatakan tidak puas pelayanan dokter baik dokter umum maupun spesialis di poliklinik rawat jalan, karena dokter terlambat datang, sehingga pasien harus menunggu lebih 1 jam, 78% menyatakan kehadiran dokter tidak sesuai jadwal
praktek yang ada, 65% menyatakan dokter kurang ramah, dan 95% menyatakan waktu komunikasi dan konsultasi dengan dokter sangat minim. Hasil rekapitulasi surat keluhan pasien ini juga menunjukkan indikasi bahwa komunikasi interpersonal antara dokter dengan pasien belum efektif dalam melayani pasien di RSUP. HAM Medan. Hal ini sejalan dengan pendapat Gibson, et.al. (1996), menyatakan bahwa beberapa alat komunikasi paling umum dan biasa digunakan dalam perusahaan adalah kotak saran, pertemuan kelompok, dan prosedur penyampaian keluhan atau pertimbangan. Hasil penelitian Karyati (2006), mengungkapkan bahwa berdasarkan mutu pelayanan medik dokter di RSI Sultan Agung Semarang menyimpulkan ada hubungan interpersonal dokter dengan minat kunjungan ulang. Demikian juga penelitian Rinaldy (2005), mengungkapkan bahwa komunikasi interpersoanal antara perawat dengan pasien di puskesmas berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pasien. Mengingat dokter sebagai sumber daya manusia terpenting dalam menjalankan operasional suatu rumah sakit dan kontribusi yang diberikan dokter sangat menentukan kualitas pelayanan di rumah sakit, maka dokter dituntut untuk memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, kemampuan teknis dan moral. Oleh karena itu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan di rumah sakit. Fenomena belum efektifnya komunikasi interpersonal antara dokter dengan pasien dan didukung oleh teori dan beberapa penelitian terdahulu perlu dikaji lebih mendalam tentang Pengaruh Faktor Personal dan Faktor Situasional terhadap
Efektivitas Komunikasi Dokter dengan Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan 1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah ada pengaruh faktor personal dan faktor situasional terhadap efektivitas komunikasi dokter dengan pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan?. 1.3 Tujuan Penelitian Menganalisis pengaruh faktor personal dan faktor situasional terhadap efektivitas komunikasi dokter dengan pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan. 1.4 Hipotesis Ada pengaruh faktor personal dan faktor situasional terhadap efektivitas komunikasi dokter dengan pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan. 1.5 Manfaat Penelitian 1) Penelitian ini sebagai bahan masukan bagi manajemen Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan dalam pengambilan kebijakan tentang komunikasi interpersonal antara dokter dengan pasien. 2) Penelitian ini menambah khasanah ilmu pengetahuan yang terkait dengan efektivitas komunikasi dokter dengan pasien di rumah sakit.