KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

Evaluasi Penampilan Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus Di Perusahaan Peternakan Sapi Perah KUD Sinarjaya)

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode yaitu periode pemerintahan

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL. Oleh: Sohibul Himam Haqiqi FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. menonjol di dunia karena jumlahnya cukup banyak. Sapi FH berasal dari negeri

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli

Moch. Makin, dan Dwi Suharwanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini menggunakan catatan reproduksi sapi FH impor

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Sapi Perah Menurut Sudono et al. (2003), sapi Fries Holland (FH) berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

Evaluasi Atas Keberhasilan Pelaksanaan Kawin... Afghan Arif Arandi

Efisiensi reproduksi sapi perah PFH pada berbagai umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Sapi Perah Produksi Susu Sapi Perah

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Saat ini, produksi susu di Indonesia masih sangat rendah baru

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN DI KELOMPOK TERNAK KUD MOJOSONGO BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. Masalah utama peternakan kita sampai saat ini bertumpu pada

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

REPRODUCTION PERFORMANCE OF LIMOUSIN CROSSBREED IN TANGGUNGGUNUNG DISTRICT TULUNGAGUNG REGENCY

TINJAUAN PUSTAKA. dan dikenal sebagai Holstein di Amerika dan di Eropa terkenal dengan

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIES HOLLAND (PFH) PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD SUMBER MAKMUR KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

COMPARISON REPRODUCTION PERFORMANCE OF IMPORTED HOLSTEIN

PERFORMA REPRODUKSI SAPI DARA FRIESIAN-HOLSTEIN PADAPETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT SP CIKOLE DI LEMBANG

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

Transkripsi:

II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak penghasil susu yang kita kenal umum di indonesia adalah sapi perah. Lebih dari 95% susu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sapi perah. Hanya sebagian kecil saja susu yang diproduksi oleh ternak lain, seperti kerbau dan kambing perah. (Siregar, dkk,. 1996 dalam Djaja, dkk,. 2009). Sapi perah yang umum dipelihara di Indonesia adalah sapi perah jenis Fries Holland, sapi jenis ini memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan dan telah tersebar di seluruh belahan dunia baik di negara yang beriklim subtropis seperti negara asalnya atau pun negara yang beriklim tropis seperti Indonesia (Akoso, 2011). Sapi perah jenis Fries Holland memiliki kemampuan produksi susu dan jumlah produksi lemak serta protein per laktasi tertinggi diantara jenis sapi perah lainnya (Wendorff dan Paulus, 2011). Sapi perah jenis Fries Holland atau bisa disebut juga sapi Holstein Friesian berasal dari provinsi Friesland Barat dan Hollandia Utara di Belanda dan diperkirakan merupakan bangsa sapi perah tertua didunia (Akoso, 2011). Adapun ciri-ciri sapi perah Fries Holland menurut Muljana (1982) dalam Firman (2010) dan adalah berwarna bulu hitam dan bercak putih, atau berwarna bulu coklat/ merah dengan belang putih (Brown FH), pada kaki bagian bawah (carpus) dan

8 ekornya berwarna putih, terkadang pada dahinya terdapat belang warna putih berbentuk segitiga. Sapi Fries Holland lebih diminati oleh peternak di Indonesia karena sifatnya yang jinak (Firman, 2010). Sapi FH betina bersifat tenang dan jinak sehingga mudah dalam penanganan baik saat pemeliharaan, pemerahan maupun perawatan kesehatan(akoso, 2011). Sapi perah FH termasuk bangsa sapi berbadan besar, berat badan sapi perah FH betina berkisar antara 570-730 kg atau rata-rata 675 kg dan jantan berkisar antara 800-900 kg dan bahkan ada yang dapat mencapai berat lebih dari 1 ton (Akoso, 2011). Produksi susu rata-rata per tahun di daerah asalnya (Belanda) dapat mencapai 4.500-5.500 liter per laktasi (305 hari) dan kadar lemak rata-rata 3-7% (Akoso, 2011). Sapi FH mempunyai sifat reproduksi yang baik, sapi FH betina dara mencapai dewasa kelamin relatif lebih cepat dapat mulai dikawinkan pada umur 14-18 bulan dengan bobot badan pada kisaran 300 kg (Djaja, dkk., 2009). Karena pada umur tersebut sapi perah telah mencapai pubertas dan mulai mengalami birahi sehingga sudah dapat mulai dikawinkan dan diharapkan beranak serta mulai berproduksi susu pada umur 24-27 bulan (Akoso, 2011). 2.2. Efisiensi Reproduksi Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Semakin efisien atau tidaknya performa reproduksi setiap ekor induk berpengaruh langsung dalam keuntungan yang akan diperoleh perusahaan (Gröhn dan Rajala-Schultz, 2000). Proses reproduksi pada usaha sangat penting untuk mempertahankan produksi susu yang konsisten dan menghasilkan ternak pengganti (APHIS, 2009).

9 Performa sifat-sifat reproduksi yang optimum dan konsisten selama waktu pemeliharaannya menunjang tercapainya efisiensi reproduksi dari ternak yang dipelihara. Angka keberulangan dari sifat-sifat reproduksi ideal yang tinggi dan berkontinuitas dari hewan ternak setiap tahunnya dapat memberikan dampak yang baik bagi jalannya usaha. (Rasad, 2009). Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium sebelum atau sesudah permulaan siklus reproduksi (Rasad, 2009). Kegagalan reproduksi adalah tidak tercapainya efisiensi reproduksi pada seekor ternak atau kelompok ternak secara optimal (Triwulaningsih, dkk., 2009). Faktor-faktor internal yang dapat mengganggu proses reproduksi dan dapat menyebabkan kegagalan reproduksi pada berbagai kondisi diantaranya adalah hormonal, genetik dan infeksi penyakit (Triwulaningsih, dkk., 2009) serta kondisi fisiologis organ reproduksi setelah beranak (Salisbury dan Vandemark, 1985). Faktor eksternal yang dapat mengganggu proses reproduksi dan mempengaruhi performa reproduksi sehingga harus diperhatikan dengan baik di dalam pengelolaan sapi perah diantaranya adalah lingkungan, nutrisi dan manajemen (Triwulaningsih, dkk,. 2009; Firman, 2010). Efisiensi reproduksi, hanya dapat diraih melalui suatu manajemen yang baik dan pengambilan kebijakan yang tepat dalam tata laksana kegiatan sehari-harinya. Sistem tata laksana reproduksi yang tepat memegang peranan penting dalam menentukan tingkat keberhasilan produksi suatu usaha peternakan sapi perah (Rasad, 2009). Untuk mencapai target reproduksi, program manajemen reproduksi harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya pertumbuhan, kesehatan dan reproduksi itu sendiri. Induk sapi perah harus dimonitor untuk pertumbuhan dan perkawinan pada usia yang sesuai serta kemungkinan timbulnya penyakit setelah

10 beranak harus diminimalisasi (APHIS, 2009). Untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam usaha peternakan, perlu diketahui prinsip-prinsip reproduksi, penyebab menurunnya efisiensi reproduksi, serta cara-cara untuk meningkatkannya. Beberapa sifat reproduksi yang dapat mencerminkan performa reproduksi ternak sapi meliputi kawin pertama setelah beranak, siklus estrus, service per conception (S/C), lama kosong (days open) dan selang beranak (calving interval) (Triwulanningsih, dkk., 2009). 2.2.1. Kawin Pertama Setelah Beranak Kawin pertama setelah beranak (first mating post partus) adalah interval waktu sejak sapi beranak hingga dikawinkan kembali untuk pertama kalinya setelah beranak (Poock, dkk., 2009). Waktu kawin pertama setelah beranak dilaksanakan dipengaruhi oleh kembali normalnya siklus ovarium setelah beranak, timbulnya berahi dan deteksi berahi serta kebijakan manajemen yang menentukan waktu mulai dapat dikawinkan kembali setelah beranak (Ball dan Peters, 2004). Panjang pendeknya kawin pertama setelah beranak juga dipengaruhi oleh berahi pertama kali seekor ternak setelah beranak yang penting untuk segera diketahui sebagai salah satu faktor penentu mulai dilaksanakannya kawin pertama setelah beranak (Ya niz, dkk., 2006 dalam Triwulaningsih, dkk., 2009). Kesehatan organ reproduksi seekor induk ditentukan oleh kecepatan pemulihan kembali kondisi uterus setelah melahirkan ke keadaan normal. Kondisi uterus yang telah siap untuk bunting kembali ditandai dengan berjalannya lagi siklus berahi dari induk tersebut. Involusi uterus dan siklus ovari yang kembali berjalan merupakan proses penting selama periode setelah beranak (Morton, 2004).

11 Pada sapi proses involusi uterus berkisar antara 20-42 hari setelah beranak. Prosesnya meliputi pembersihan material dan bakteri yang berhubungan dengan kebuntingan dan kelahiran serta proses kembalinya uterus ke ukuran dan posisi semula untuk kebuntingan selanjutnya (Hafez, 2000; APHIS, 2009). Involusi uterus sempurna biasanya tercapai menjelang periode berahi pertama sesudah partus (Toelihere, 1985). Pada sapi dengan genetik tinggi dan sistem pemeliharaan yang modern dan intensif, sapi perah sudah dapat mulai dikawinkan pada 40-60 hari setelah beranak yaitu pada berahi pertama setelah beranak (Varner, dkk., 2009). Inseminasi buatan pertama kali pada sapi setelah beranak yang ideal adalah dalam interval waktu 50-85 hari setelah sapi tersebut beranak apabila terjadi berahi (Siregar, 1996; dalam Triwulaningsih, dkk., 2009). Kawin pertama setelah beranak yang ideal dilaksanakan paling sedikit 60-80 hari setelah melahirkan agar kemungkinan konsepsi tinggi dan gangguan reproduksi yang lebih kecil (Salisbury dan Vandemark, 1985). Adapun waktu pelaksanaan kawin pertama setelah beranak dan hubungannya dengan status reproduksi sapi perah yang dipelihara adalah sebagai berikut : Tabel 1. Hubungan Pelaksanaan Kawin Pertama dan Status Reproduksi Sapi Perah Kawin Pertama Setelah Beranak (Hari) Nebel, (2009) Sistem Reproduksi 60-75 Baik 76-82 Efisien 83-90 Cukup Efisien 91-100 Sedikit Bermasalah 100 Gangguan Reproduksi

12 2.2.2. Jumlah Kawin Per Kebuntingan Jumlah kawin per kebuntingan/service per conception (S/C) adalah jumlah perkawinan yang dilakukan sampai menghasilkan kebuntingan dari setiap individu (Toelihere, 1993). Jumlah ini untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi diantara individu-individu sapi betina yang subur. Nilai jumlah kawin per kebuntingan yang normal berkisar antara 1,6-2,0 kali. Semakin kecil nilai tersebut maka semakin tinggi kesuburan sapi yang dipelihara. Sebaliknya semakin besar nilai jumlah kawin perkebuntingan, maka semakin rendah kesuburan sapi tersebut (Toelihere, 1993). Nilai jumlah kawin perkebuntingan melalui IB dipengaruhi oleh kondisi induk saat dikawinkan, kualitas semen yang digunakan, faktor manajemen meliputi deteksi berahi dan catatan reproduksi serta keterampilan petugas saat pelaksanaan inseminasi (Nurhayati, dkk 2009). Nilai jumlah kawin per kebuntingan merupakan ukuran fertilitas sapi perah yang reproduksinya sukses dan berhasil menjadi bunting. Adapun hubungan jumlah kawin perkebuntingan dan fertilitas sapi perah yang baik adalah sebagi berikut : Tabel 2. Hubungan Jumlah Kawin Perkebuntingan dan Fertilitas Sapi Perah Jumlah perkawinan per kebuntingan (kali) Fertililtas 1,75 Baik 1,78-2,00 Cukup baik 2,01-2,30 Sedikit bermasalah 2,30 Gangguan reproduksi (Varner, dkk., 2009) Beberapa penelitian melaporkan bahwa konsepsi rendah apabila perkawinan terlalu cepat dilaksanakan sebelum 60 hari setelah beranak,

13 sebaliknya konsepsi akan semakin tinggi terjadi pada 60 hari setelah beranak (Morton, 2004). Adapun kemungkinan terjadinya gangguan reproduksi dapat didiagnosis dengan cara palvasi reaktal sebelum dikawinkan (Varner, dkk., 2009). Dalam rangka mencapai efisiensi reproduksi yang baik perlu untuk memaksimalkan kesuksesan terjadinya kebuntingan pada servis atau inseminasi yang dilakukan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memaksimalkan tingkat fertilisasi dan tingkat kebuntingan serta kemampuan untuk mendeteksi sapi yang tidak bunting secepatnya (Ball dan Peters, 2004). Fertilitas maksimum pada sapi terjadi pada hari ke 69-90 hari setelah beranak (Siregar, 1996 ; Hafez, 2000; dalam Triwulanningsih, dkk., 2009). 2.2.3. Service Period Service period adalah periode dari kawin pertama setelah beranak hingga kawin terakhir yang menghasilkan kebuntingan. Service period berkaitan dengan nilai jumlah kawin perkebuntingan(s/c) karena semakin banyak jumlah perkawinan yang dibutuhkan untuk bunting maka akan semakin lama service period berlangsung. Menurut Cilek (2009) waktu service period ideal pada sapi perah berada pada 60-90 hari setelah beranak. Siklus berahi normal pada sapi berkisar antara 17-25 hari (Salisbury dan Vandemark, 1985) dengan rata-rata 21 hari pada umumnya (Ball dan Peters, 2004). Siklus berahi pada sapi kembali berjalan pada hari ke 50 hingga ke 60 setelah beranak (Toelihere, 1985). Perkawinan yang dilakukan terlalu dini sesudah kelahiran akan berpengaruh terhadap konsepsi, karena berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan (involusi) uterus pada keadaan normal (Triwulaningsih, dkk., 2009).

14 Keberhasilan kebuntingan bergantung pada kemampuan induk untuk bunting dan mempertahankan kebuntingan setelah dikawinkan, kesinambungan siklus ovari dan ketepatan dalam deteksi berahi terhadap sapi-sapi yang tidak bunting pada kawin pertama setelah beranak (Ball dan Peters, 2004). Ketepatan deteksi berahi merupakan suatu faktor penting dalam keberhasilan inseminasi dan berdampak positif dalam mengontrol selang beranak serta meningkatkan angka konsepsi (Anggraeni, 2008). Sapi yang telah dikawinkan tetapi tidak menghasilkan kebuntingan harus menunggu hingga siklus berahi selanjutnya untuk dapat dikawinkan kembali. Perkawinan berulang terhadap sapi perah akan memperpanjang service period dan lama laktasi yang pada akhirnya memperpanjang selang beranak dari sapi tersebut (Hastono dan Adiati, 2008). 2.2.4. Lama Kosong Lama kosong atau days open adalah interval sapi dari beranak sampai kawin yang menghasilkan kebuntingan (Poock, dkk., 2009). Lama kosong merupakan faktor yang penting dalam tatalaksana sapi perah dalam hal waktu menentukan kebuntingan, panjang masa kosong akan berbeda pada tiap ternak (Payne, 1970). Lama kosong bergantung dari cepat lambatnya sapi perah mempersiapkan diri untuk kembali bunting setelah beranak serta kebijakan manajemen yang dilakukan oleh peternak atau manager sapi perah (Rasad, 2009). Lama kosong dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dari organ reproduksi induk yang terus menjalankan proses involusi uterus sampai mencapai sempurna setelah proses kelahiran (Stevenson, 2001; dalam Anggraeni, 2008).

15 Panjangnya lama kosong dapat disebabkan oleh kesulitan terjadinya kebuntingan setelah beberapa kali sapi perah dikawinkan (Rasad, 2009). Lama kosong ideal berada pada 85 hari setelah beranak untuk sapi perah dalam rangka mencapai selang beranak 365 hari (Ball dan Peters, 2004). Untuk mencapai selang beranak 365-395 hari lama kosong harus berada pada kisaran 95-105 hari atau rata-rata 100 hari (Meadows, dkk., 2005; dalam Rasad, 2009). Lama kosong bergantung pada kawin pertama dilakukan setelah beranak serta keberhasilan bunting tidaknya sapi tersebut setelah dikawinkan. Adapun lama kosong untuk sapi perah dalam hubungannya dengan efisiensi reproduksi adalah sebagai berikut: Tabel 3. Hubungan Lama Kosong dan Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Nebel, 2009) Lama Kosong (Hari) Reproduksi 85-110 Baik 111-117 Efisien 118-130 Cukup efisien 131-145 Sedikit bermasalah 145 Gangguan reproduksi 2.2.5. Selang Beranak Selang Beranak/calving interval adalah waktu yang dibutuhkan seekor induk dari beranak hingga beranak selanjutnya (Poock, dkk., 2009). Selang beranak pada usaha sapi perah merupakan komponen utama yang harus diperhatikan dalam manajemen induk agar efisiensi reproduksi dan ekonomi dapat tercapai (Sturman, dkk., 2000; dalam Anggraeni, 2008). Frekuensi beranak dapat mempengaruhi produksi susu selama hidupnya sehingga perlu untuk diketahui selang beranak yang tepat sehingga frekuensi

16 beranak yang optimal dapat tercapai (Salisbury dan Vandemark, 1985). Pada sistem pemeliharaan intensif dan sapi perah dengan genetik tinggi selang beranak 365 hari harus dicapai apabila sapi dikawinkan secepat mungkin 60 hari setelah beranak dan tidak ada gangguan penyakit (Ball dan Peters, 2004). Untuk menilai keberhasilan reproduksi sapi perah dapat dilihat dari panjang atau pendeknya selang beranak yang dicapai (Hardjosubroto, 1994; dalam Anggraeni, 2008). Adapun panjang pendeknya selang beranak dan hubungan dengan efisensi reproduksi dari sapi perah adalah sebagai berikut: Tabel 4. Hubungan Selang Beranak dan Efisensi Reproduksi Sapi Perah Selang Beranak (Hari) Reproduksi 355 Terlalu Cepat 356-395 Efisien 396-405 Cukup Efisien 406-425 Sedikit Bermasalah 426 Gangguan Reproduksi (Varner, dkk., 2009) Selang beranak lebih dari 455 hari tidak akan berpengaruh terhadap produksi susu, dari beberapa penelitian selang beranak berkisar antara 365-455 hari (Salisbury dan Vandemark, 1985). Sapi yang bunting lebih dari 85 hari setelah beranak akan menyebabkan selang beranak yang lebih panjang dan berdampak pada keuntungan ekonomi usaha (Ball dan Peters, 2004). Selang beranak 365-395 hari akan meningkatkan produksi susu dan menghasilkan anak lebih banyak selama hidupnya (APHIS, 2009). Peningkatan produksi susu disebabkan oleh seringnya sapi beranak dan periode kering lebih

17 banyak, sapi akan menghasilkan anak yang lebih banyak selama hidupnya apabila selang beranak 365 hari dipertahankan (Salisbury dan Vandemark, 1985). Beberapa faktor yang mempengaruhi panjang pendeknya selang beranak antara lain kegagalan deteksi berahi pertama setelah beranak, S/C lebih dari dua kali perkawinan, infertilitas dan sterilitas, ketidakahlian inseminator dalam pelaksanaan IB dan kegagalan kawin pertama setelah beranak (Firman, 2010).