II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak penghasil susu yang kita kenal umum di indonesia adalah sapi perah. Lebih dari 95% susu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sapi perah. Hanya sebagian kecil saja susu yang diproduksi oleh ternak lain, seperti kerbau dan kambing perah. (Siregar, dkk,. 1996 dalam Djaja, dkk,. 2009). Sapi perah yang umum dipelihara di Indonesia adalah sapi perah jenis Fries Holland, sapi jenis ini memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan dan telah tersebar di seluruh belahan dunia baik di negara yang beriklim subtropis seperti negara asalnya atau pun negara yang beriklim tropis seperti Indonesia (Akoso, 2011). Sapi perah jenis Fries Holland memiliki kemampuan produksi susu dan jumlah produksi lemak serta protein per laktasi tertinggi diantara jenis sapi perah lainnya (Wendorff dan Paulus, 2011). Sapi perah jenis Fries Holland atau bisa disebut juga sapi Holstein Friesian berasal dari provinsi Friesland Barat dan Hollandia Utara di Belanda dan diperkirakan merupakan bangsa sapi perah tertua didunia (Akoso, 2011). Adapun ciri-ciri sapi perah Fries Holland menurut Muljana (1982) dalam Firman (2010) dan adalah berwarna bulu hitam dan bercak putih, atau berwarna bulu coklat/ merah dengan belang putih (Brown FH), pada kaki bagian bawah (carpus) dan
8 ekornya berwarna putih, terkadang pada dahinya terdapat belang warna putih berbentuk segitiga. Sapi Fries Holland lebih diminati oleh peternak di Indonesia karena sifatnya yang jinak (Firman, 2010). Sapi FH betina bersifat tenang dan jinak sehingga mudah dalam penanganan baik saat pemeliharaan, pemerahan maupun perawatan kesehatan(akoso, 2011). Sapi perah FH termasuk bangsa sapi berbadan besar, berat badan sapi perah FH betina berkisar antara 570-730 kg atau rata-rata 675 kg dan jantan berkisar antara 800-900 kg dan bahkan ada yang dapat mencapai berat lebih dari 1 ton (Akoso, 2011). Produksi susu rata-rata per tahun di daerah asalnya (Belanda) dapat mencapai 4.500-5.500 liter per laktasi (305 hari) dan kadar lemak rata-rata 3-7% (Akoso, 2011). Sapi FH mempunyai sifat reproduksi yang baik, sapi FH betina dara mencapai dewasa kelamin relatif lebih cepat dapat mulai dikawinkan pada umur 14-18 bulan dengan bobot badan pada kisaran 300 kg (Djaja, dkk., 2009). Karena pada umur tersebut sapi perah telah mencapai pubertas dan mulai mengalami birahi sehingga sudah dapat mulai dikawinkan dan diharapkan beranak serta mulai berproduksi susu pada umur 24-27 bulan (Akoso, 2011). 2.2. Efisiensi Reproduksi Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Semakin efisien atau tidaknya performa reproduksi setiap ekor induk berpengaruh langsung dalam keuntungan yang akan diperoleh perusahaan (Gröhn dan Rajala-Schultz, 2000). Proses reproduksi pada usaha sangat penting untuk mempertahankan produksi susu yang konsisten dan menghasilkan ternak pengganti (APHIS, 2009).
9 Performa sifat-sifat reproduksi yang optimum dan konsisten selama waktu pemeliharaannya menunjang tercapainya efisiensi reproduksi dari ternak yang dipelihara. Angka keberulangan dari sifat-sifat reproduksi ideal yang tinggi dan berkontinuitas dari hewan ternak setiap tahunnya dapat memberikan dampak yang baik bagi jalannya usaha. (Rasad, 2009). Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium sebelum atau sesudah permulaan siklus reproduksi (Rasad, 2009). Kegagalan reproduksi adalah tidak tercapainya efisiensi reproduksi pada seekor ternak atau kelompok ternak secara optimal (Triwulaningsih, dkk., 2009). Faktor-faktor internal yang dapat mengganggu proses reproduksi dan dapat menyebabkan kegagalan reproduksi pada berbagai kondisi diantaranya adalah hormonal, genetik dan infeksi penyakit (Triwulaningsih, dkk., 2009) serta kondisi fisiologis organ reproduksi setelah beranak (Salisbury dan Vandemark, 1985). Faktor eksternal yang dapat mengganggu proses reproduksi dan mempengaruhi performa reproduksi sehingga harus diperhatikan dengan baik di dalam pengelolaan sapi perah diantaranya adalah lingkungan, nutrisi dan manajemen (Triwulaningsih, dkk,. 2009; Firman, 2010). Efisiensi reproduksi, hanya dapat diraih melalui suatu manajemen yang baik dan pengambilan kebijakan yang tepat dalam tata laksana kegiatan sehari-harinya. Sistem tata laksana reproduksi yang tepat memegang peranan penting dalam menentukan tingkat keberhasilan produksi suatu usaha peternakan sapi perah (Rasad, 2009). Untuk mencapai target reproduksi, program manajemen reproduksi harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya pertumbuhan, kesehatan dan reproduksi itu sendiri. Induk sapi perah harus dimonitor untuk pertumbuhan dan perkawinan pada usia yang sesuai serta kemungkinan timbulnya penyakit setelah
10 beranak harus diminimalisasi (APHIS, 2009). Untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam usaha peternakan, perlu diketahui prinsip-prinsip reproduksi, penyebab menurunnya efisiensi reproduksi, serta cara-cara untuk meningkatkannya. Beberapa sifat reproduksi yang dapat mencerminkan performa reproduksi ternak sapi meliputi kawin pertama setelah beranak, siklus estrus, service per conception (S/C), lama kosong (days open) dan selang beranak (calving interval) (Triwulanningsih, dkk., 2009). 2.2.1. Kawin Pertama Setelah Beranak Kawin pertama setelah beranak (first mating post partus) adalah interval waktu sejak sapi beranak hingga dikawinkan kembali untuk pertama kalinya setelah beranak (Poock, dkk., 2009). Waktu kawin pertama setelah beranak dilaksanakan dipengaruhi oleh kembali normalnya siklus ovarium setelah beranak, timbulnya berahi dan deteksi berahi serta kebijakan manajemen yang menentukan waktu mulai dapat dikawinkan kembali setelah beranak (Ball dan Peters, 2004). Panjang pendeknya kawin pertama setelah beranak juga dipengaruhi oleh berahi pertama kali seekor ternak setelah beranak yang penting untuk segera diketahui sebagai salah satu faktor penentu mulai dilaksanakannya kawin pertama setelah beranak (Ya niz, dkk., 2006 dalam Triwulaningsih, dkk., 2009). Kesehatan organ reproduksi seekor induk ditentukan oleh kecepatan pemulihan kembali kondisi uterus setelah melahirkan ke keadaan normal. Kondisi uterus yang telah siap untuk bunting kembali ditandai dengan berjalannya lagi siklus berahi dari induk tersebut. Involusi uterus dan siklus ovari yang kembali berjalan merupakan proses penting selama periode setelah beranak (Morton, 2004).
11 Pada sapi proses involusi uterus berkisar antara 20-42 hari setelah beranak. Prosesnya meliputi pembersihan material dan bakteri yang berhubungan dengan kebuntingan dan kelahiran serta proses kembalinya uterus ke ukuran dan posisi semula untuk kebuntingan selanjutnya (Hafez, 2000; APHIS, 2009). Involusi uterus sempurna biasanya tercapai menjelang periode berahi pertama sesudah partus (Toelihere, 1985). Pada sapi dengan genetik tinggi dan sistem pemeliharaan yang modern dan intensif, sapi perah sudah dapat mulai dikawinkan pada 40-60 hari setelah beranak yaitu pada berahi pertama setelah beranak (Varner, dkk., 2009). Inseminasi buatan pertama kali pada sapi setelah beranak yang ideal adalah dalam interval waktu 50-85 hari setelah sapi tersebut beranak apabila terjadi berahi (Siregar, 1996; dalam Triwulaningsih, dkk., 2009). Kawin pertama setelah beranak yang ideal dilaksanakan paling sedikit 60-80 hari setelah melahirkan agar kemungkinan konsepsi tinggi dan gangguan reproduksi yang lebih kecil (Salisbury dan Vandemark, 1985). Adapun waktu pelaksanaan kawin pertama setelah beranak dan hubungannya dengan status reproduksi sapi perah yang dipelihara adalah sebagai berikut : Tabel 1. Hubungan Pelaksanaan Kawin Pertama dan Status Reproduksi Sapi Perah Kawin Pertama Setelah Beranak (Hari) Nebel, (2009) Sistem Reproduksi 60-75 Baik 76-82 Efisien 83-90 Cukup Efisien 91-100 Sedikit Bermasalah 100 Gangguan Reproduksi
12 2.2.2. Jumlah Kawin Per Kebuntingan Jumlah kawin per kebuntingan/service per conception (S/C) adalah jumlah perkawinan yang dilakukan sampai menghasilkan kebuntingan dari setiap individu (Toelihere, 1993). Jumlah ini untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi diantara individu-individu sapi betina yang subur. Nilai jumlah kawin per kebuntingan yang normal berkisar antara 1,6-2,0 kali. Semakin kecil nilai tersebut maka semakin tinggi kesuburan sapi yang dipelihara. Sebaliknya semakin besar nilai jumlah kawin perkebuntingan, maka semakin rendah kesuburan sapi tersebut (Toelihere, 1993). Nilai jumlah kawin perkebuntingan melalui IB dipengaruhi oleh kondisi induk saat dikawinkan, kualitas semen yang digunakan, faktor manajemen meliputi deteksi berahi dan catatan reproduksi serta keterampilan petugas saat pelaksanaan inseminasi (Nurhayati, dkk 2009). Nilai jumlah kawin per kebuntingan merupakan ukuran fertilitas sapi perah yang reproduksinya sukses dan berhasil menjadi bunting. Adapun hubungan jumlah kawin perkebuntingan dan fertilitas sapi perah yang baik adalah sebagi berikut : Tabel 2. Hubungan Jumlah Kawin Perkebuntingan dan Fertilitas Sapi Perah Jumlah perkawinan per kebuntingan (kali) Fertililtas 1,75 Baik 1,78-2,00 Cukup baik 2,01-2,30 Sedikit bermasalah 2,30 Gangguan reproduksi (Varner, dkk., 2009) Beberapa penelitian melaporkan bahwa konsepsi rendah apabila perkawinan terlalu cepat dilaksanakan sebelum 60 hari setelah beranak,
13 sebaliknya konsepsi akan semakin tinggi terjadi pada 60 hari setelah beranak (Morton, 2004). Adapun kemungkinan terjadinya gangguan reproduksi dapat didiagnosis dengan cara palvasi reaktal sebelum dikawinkan (Varner, dkk., 2009). Dalam rangka mencapai efisiensi reproduksi yang baik perlu untuk memaksimalkan kesuksesan terjadinya kebuntingan pada servis atau inseminasi yang dilakukan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memaksimalkan tingkat fertilisasi dan tingkat kebuntingan serta kemampuan untuk mendeteksi sapi yang tidak bunting secepatnya (Ball dan Peters, 2004). Fertilitas maksimum pada sapi terjadi pada hari ke 69-90 hari setelah beranak (Siregar, 1996 ; Hafez, 2000; dalam Triwulanningsih, dkk., 2009). 2.2.3. Service Period Service period adalah periode dari kawin pertama setelah beranak hingga kawin terakhir yang menghasilkan kebuntingan. Service period berkaitan dengan nilai jumlah kawin perkebuntingan(s/c) karena semakin banyak jumlah perkawinan yang dibutuhkan untuk bunting maka akan semakin lama service period berlangsung. Menurut Cilek (2009) waktu service period ideal pada sapi perah berada pada 60-90 hari setelah beranak. Siklus berahi normal pada sapi berkisar antara 17-25 hari (Salisbury dan Vandemark, 1985) dengan rata-rata 21 hari pada umumnya (Ball dan Peters, 2004). Siklus berahi pada sapi kembali berjalan pada hari ke 50 hingga ke 60 setelah beranak (Toelihere, 1985). Perkawinan yang dilakukan terlalu dini sesudah kelahiran akan berpengaruh terhadap konsepsi, karena berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan (involusi) uterus pada keadaan normal (Triwulaningsih, dkk., 2009).
14 Keberhasilan kebuntingan bergantung pada kemampuan induk untuk bunting dan mempertahankan kebuntingan setelah dikawinkan, kesinambungan siklus ovari dan ketepatan dalam deteksi berahi terhadap sapi-sapi yang tidak bunting pada kawin pertama setelah beranak (Ball dan Peters, 2004). Ketepatan deteksi berahi merupakan suatu faktor penting dalam keberhasilan inseminasi dan berdampak positif dalam mengontrol selang beranak serta meningkatkan angka konsepsi (Anggraeni, 2008). Sapi yang telah dikawinkan tetapi tidak menghasilkan kebuntingan harus menunggu hingga siklus berahi selanjutnya untuk dapat dikawinkan kembali. Perkawinan berulang terhadap sapi perah akan memperpanjang service period dan lama laktasi yang pada akhirnya memperpanjang selang beranak dari sapi tersebut (Hastono dan Adiati, 2008). 2.2.4. Lama Kosong Lama kosong atau days open adalah interval sapi dari beranak sampai kawin yang menghasilkan kebuntingan (Poock, dkk., 2009). Lama kosong merupakan faktor yang penting dalam tatalaksana sapi perah dalam hal waktu menentukan kebuntingan, panjang masa kosong akan berbeda pada tiap ternak (Payne, 1970). Lama kosong bergantung dari cepat lambatnya sapi perah mempersiapkan diri untuk kembali bunting setelah beranak serta kebijakan manajemen yang dilakukan oleh peternak atau manager sapi perah (Rasad, 2009). Lama kosong dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dari organ reproduksi induk yang terus menjalankan proses involusi uterus sampai mencapai sempurna setelah proses kelahiran (Stevenson, 2001; dalam Anggraeni, 2008).
15 Panjangnya lama kosong dapat disebabkan oleh kesulitan terjadinya kebuntingan setelah beberapa kali sapi perah dikawinkan (Rasad, 2009). Lama kosong ideal berada pada 85 hari setelah beranak untuk sapi perah dalam rangka mencapai selang beranak 365 hari (Ball dan Peters, 2004). Untuk mencapai selang beranak 365-395 hari lama kosong harus berada pada kisaran 95-105 hari atau rata-rata 100 hari (Meadows, dkk., 2005; dalam Rasad, 2009). Lama kosong bergantung pada kawin pertama dilakukan setelah beranak serta keberhasilan bunting tidaknya sapi tersebut setelah dikawinkan. Adapun lama kosong untuk sapi perah dalam hubungannya dengan efisiensi reproduksi adalah sebagai berikut: Tabel 3. Hubungan Lama Kosong dan Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Nebel, 2009) Lama Kosong (Hari) Reproduksi 85-110 Baik 111-117 Efisien 118-130 Cukup efisien 131-145 Sedikit bermasalah 145 Gangguan reproduksi 2.2.5. Selang Beranak Selang Beranak/calving interval adalah waktu yang dibutuhkan seekor induk dari beranak hingga beranak selanjutnya (Poock, dkk., 2009). Selang beranak pada usaha sapi perah merupakan komponen utama yang harus diperhatikan dalam manajemen induk agar efisiensi reproduksi dan ekonomi dapat tercapai (Sturman, dkk., 2000; dalam Anggraeni, 2008). Frekuensi beranak dapat mempengaruhi produksi susu selama hidupnya sehingga perlu untuk diketahui selang beranak yang tepat sehingga frekuensi
16 beranak yang optimal dapat tercapai (Salisbury dan Vandemark, 1985). Pada sistem pemeliharaan intensif dan sapi perah dengan genetik tinggi selang beranak 365 hari harus dicapai apabila sapi dikawinkan secepat mungkin 60 hari setelah beranak dan tidak ada gangguan penyakit (Ball dan Peters, 2004). Untuk menilai keberhasilan reproduksi sapi perah dapat dilihat dari panjang atau pendeknya selang beranak yang dicapai (Hardjosubroto, 1994; dalam Anggraeni, 2008). Adapun panjang pendeknya selang beranak dan hubungan dengan efisensi reproduksi dari sapi perah adalah sebagai berikut: Tabel 4. Hubungan Selang Beranak dan Efisensi Reproduksi Sapi Perah Selang Beranak (Hari) Reproduksi 355 Terlalu Cepat 356-395 Efisien 396-405 Cukup Efisien 406-425 Sedikit Bermasalah 426 Gangguan Reproduksi (Varner, dkk., 2009) Selang beranak lebih dari 455 hari tidak akan berpengaruh terhadap produksi susu, dari beberapa penelitian selang beranak berkisar antara 365-455 hari (Salisbury dan Vandemark, 1985). Sapi yang bunting lebih dari 85 hari setelah beranak akan menyebabkan selang beranak yang lebih panjang dan berdampak pada keuntungan ekonomi usaha (Ball dan Peters, 2004). Selang beranak 365-395 hari akan meningkatkan produksi susu dan menghasilkan anak lebih banyak selama hidupnya (APHIS, 2009). Peningkatan produksi susu disebabkan oleh seringnya sapi beranak dan periode kering lebih
17 banyak, sapi akan menghasilkan anak yang lebih banyak selama hidupnya apabila selang beranak 365 hari dipertahankan (Salisbury dan Vandemark, 1985). Beberapa faktor yang mempengaruhi panjang pendeknya selang beranak antara lain kegagalan deteksi berahi pertama setelah beranak, S/C lebih dari dua kali perkawinan, infertilitas dan sterilitas, ketidakahlian inseminator dalam pelaksanaan IB dan kegagalan kawin pertama setelah beranak (Firman, 2010).