1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian, Semester I 2014 Ekspor Impor Neraca

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

Kinerja Ekspor Nonmigas November 2010 Memperkuat Optimisme Pencapaian Target Ekspor 2010

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

BAB 7 PERDAGANGAN BEBAS

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komoditas penting yang diperdagangkan secara luas di dunia. Selama

V. ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS HALAL MIHAS

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan tidak sekedar di tunjukan oleh prestasi pertumbuhan ekonomi. perekonomian kearah yang lebih baik. (Mudrajad,2006:45)

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

BAB. I PENDAHULUAN. akan mengembangkan pasar dan perdagangan, menyebabkan penurunan harga

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. melimpah, menjadikan negara ini sebagai penghasil produk-produk dari alam

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

4. Membentuk komite negara-negara penghasil minyak bumi ASEAN. Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Perkembangan Ekspor Indonesia Biro Riset LMFEUI

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. anggota ASEAN pada ASEAN Summit di Singapura pada Juni Pertemuan tersebut mendeklarasikan pembentukan Asian Free Trade Area

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

Kinerja Ekspor Nonmigas Januari-April Lampui Target *Sinyal bahwa FTA/EPA Semakin Efektif dan Pentingnya Diversifikasi Pasar

Meningkatnya Impor Barang Modal Dukung Industri dan Adanya Peningkatan Ekspor ke Pasar Nontradisional

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Ekspor Nonmigas 2010 Mencapai Rekor Tertinggi

KOPI ANDALAN EKSPOR INDONESIA

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. negara yang saling membutuhkan satu sama lain. Kegiatan ini diperlukan oleh

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat dalam pertanian Indonesia. Jenis tanaman yang

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

PENDAHULUAN. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah

I PENDAHULUAN. (bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. cara yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Jumlah Unit Usaha Kota Bandung Tahun

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

BAHAN MASUKAN PAPARAN DIRJEN PDN PADA LOKAKARYA KAKAO 2013 SESI MATERI: RANTAI TATA NIAGA KAKAO. Jakarta, 18 September 2013

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal. ekonomi kawasan ASEAN yang tercermin dalam 4 (empat) hal:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara adalah perdagangan internasional. Perdagangan internasional

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan luar negeri yang mempunyai peranan penting bagi suatu negara,

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

2 masing-masing negara masih berhak untuk menentukan sendiri hambatan bagi negara non anggota. 1 Sebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara tentunya p

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pada dekade 80-an dan 90-an, ketika antar negara di berbagai belahan dunia melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan. Pada KTT ke-5 di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani Framewok Agreement Enchanching ASEAN Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Efective Prefential Tariff (CEPT). Sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan implementasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi. tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitas pedagangan. Dalam perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi perdagangan barang, tetapi juga perdagangan, jasa dan investasi. Pada tahun 1997, para Kepala negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020 yaitu mewujudkan kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan membangun ekonomi yang merata yang ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi (ASEAN Summit, Kuala lumpur, Desember 1997). Kemudian pada tahun 2003, kembali pada pertemuan Kepala Negara ASEAN disepakati 3 (tiga) pilar untuk mewujudkan ASEAN Vision 2020 yaitu: (1) ASEAN Economic Comunnity, (2) ASEAN Security Community, (3) ASEAN Socio-Cultural Community. Komunitas ini pada awalnya akan diterapkan secara penuh pada tahun 2020, namun dipercepat menjadi tahun 2015 sesuai dengan kesepakatan dari pemimpin negara-negara anggota ASEAN. Hal ini pun juga disesuaikan dengan perkembangan globalisasi internasional yang menuntut ASEAN untuk lebih kompetitif lagi (Triansyah 2007) ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu bentuk Free Trade Area (FTA) dan berlokasi di kawasan Asia Tenggara. ASEAN Economic Community yang dibentuk dengan misi menjadikan perekonomian di ASEAN menjadi lebih baik serta mampu bersaing dengan negara-negara yang perekonomiannya lebih maju dibandingkan dengan kondisi negara ASEAN saat ini. Selain itu juga dengan terwujudnya ASEAN Economic Community, dapat menjadikan posisi ASEAN menjadi lebih strategis di kancah Internasional. ASEAN Economic Community ini terintegrasi lewat kerja sama ekonomi regional yang diharapkan mampu memberikan akses yang lebih mudah, tidak terkecuali perdagangan luar negeri. Indonesia adalah market yang cukup besar bagi produsen-produsen suatu produk untuk menawarkan barangnya. Banyak produsen luar negeri beranggapan Indonesia menjadi salah satu sasaran pemasaran yang paling menguntungkan dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Dengan diterapkannya blueprint perdagangan tanpa batas yang diramal terjadi di tahun 2015 mendatang, tentunya Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan dalam hal perdagangan internasional. Tarif yang hampir 80 % menggunakan zero percent tentunya akan mempermudah Indonesia memasuki pangsa pasar bahan baku dari negara tetangga, mengingat tidak semua bahan baku ada di Indonesia. Keadaan ini akan memicu persaingan yang lebih kompetitif baik dalam lingkup domestik maupun internasional. Di samping itu, nama Indonesia yang dikenal sebagai market potensial dengan jumlah penduduk yang besar diharapkan mampu menarik para investor luar negeri yang ingin menanamkan modalnya di

2 Indonesia. Tentu saja di sini pemerintah mempunyai peranan penting dalam mengatur kebijakan terhadap para investor agar tidak saja mencari keuntungan, tetapi mampu meningkatkan tingkat perekonomian Indonesia. Jika pemerintah tidak melakukan analisis terhadap permasalahan tesebut, beberapa sektor industri akan mengalami titik kelemahan ketika FTA benar-benar diimplementasikan. Salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh Indonesia saat menghadapi perdagangan bebas adalah Sektor-sektor yang mengalami peningkatan impor relatif besar umumnya sektor-sektor yang mengalami penurunan tarif secara signifikan. Sementara sektor-sektor yang mengalami peningkatan ekspor yang relatif besar umumnya adalah sektorsektor yang mengalami penurunan tarif relatif besar di negara tujuan. Dampak terhadap output adalah terjadi penurunan output pada hampir seluruh sektor yang diperdagangkan Indonesia ke ASEAN Plus Three. Kecuali pada sektor tanaman pangan; peternakan, kehutanan, perikanan; produk kimia, karet, plastik; peralatan elektronik; serta mesin dan peralatannya (Firdaus 2011). Indonesia merupakan salah satu negara pemasok di pasar dunia. Daya saing komoditas perkebunan Indonesia kalah dibandingkan daya saing komoditas perkebunan yang dihasilkan oleh negara-negara pesaing. Posisi ekspor Indonesia dengan adanya perdagangan bebas kalah dibandingkan dengan negara-negara pesaing (Dradjat 2003). Tidak kurang dari 140 negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia. Dari data statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS), hampir 5.000 macam produk dari Indonesia masuk ke pasar negara-negara tersebut. Ekspor Indonesia dalam periode 2008 2012 berfluktuasi seperti yang dilihat pada Gambar 1, tahun 2008 nilai ekspor Indonesia ke hampir 250 negara senilai US$ 107,89 milyar. Namun, tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 10,67% menjadi US$ 97,49 milyar. Setahun kemudian naik kembali sebesar 24,86% menjadi US$ 129,74 milyar. Dan, tahun 2011 kembali naik 6,17% menjadi US$ 162.02 milyar, tapi di tahun 2012 turun 5,54% menjadi US$ 153,04 milyar. Dari sekian banyak negara tujuan ekspor Indonesia, ada juga yang selalu mengalami kenaikan dalam periode 2008 2012, antara lain ekspor ke Philipina, Kamboja, Kenya, Haiti, Senegal, Gambia, Albania, Laos, dan Nauru (Kementerian Perdagangan 2013). Gambar 1 Total ekspor Indonesia ke dunia periode 2008-2012 Salah satu industri yang mengalami penurunan ekspor pasca krisis global tahun 2008 adalah industri makanan dan minuman. Penurunan ekspor ini terutama terjadi pada ekspor ke negara-negara tujuan utama, seperti Amerika Serikat, Singapura, Jepang dan Eropa. Terjadinya penurunan ekspor di negara tujuan utama tersebut disebabkan oleh imbas krisis

3 ekonomi global yang belum secara keseluruhan pulih dari keempat negara tersebut. Selain itu, penurunan ekspor makanan dan minuman olahan Indonesia juga terjadi hampir di semua negara tujuan ekspor hingga akhir tahun 2009. Berdasarkan perolehan data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), ekspor makanan dan minuman olahan Indonesia menurun di tahun 2009 yang mencapai nilai US$ 2,5 miliar dibandingkan dengan tahun 2008 yang mencapai nilai US$ 2,99 miliar. Namun, pada tahun 2010 ekspor makanan dan minuman olahan Indonesia mengalami peningkatan dengan nilai sebesar US$ 3,5 miliar. Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa nilai ekspor makanan olahan yang meningkat di tahun 2010 sudah terlihat dari periode Januari hingga April yang mencapai US$ 111,15 juta dibandingkan periode yang sama pada tahun 2009 yang mencapai US$ 70,31 juta. Sedangkan ekspor minuman olahan selama Januari hingga April 2010 mencapai US$ 18,55 juta dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2009 yang mencapai US$ 17,85 juta. Peningkatan ekspor minuman olahan tidak sebesar peningkatan ekspor pada makanan olahan, dikarenakan produk minuman memiliki daya tahan yang lebih rendah dan kemasan minuman Indonesia yang terbuat dari botol dan cup plastik sangat rentan mengalami kerusakan saat pendistribusian. Peningkatan yang terjadi pada tahun 2010, yakni selama pasca krisis ekonomi global terhadap industri makanan dan minuman dari sektor industri yang berkontribusi besar terhadap ekspor non migas disebabkan oleh kondisi perekonomian yang baik dari negara-negara yang sedang tumbuh dan berkembang (pasar non-tradisional). Selama pasca krisis ekonomi global, perekonomian dunia secara bertahap kembali pulih dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda diantara negara maju dan negara berkembang dimana kinerja ekonomi dari negara-negara yang sedang tumbuh dan berkembang (emerging market economies) mengalami pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan negara-negara maju yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Adanya perubahan lingkungan strategi, seperti globalisasi ekonomi, otonomi daerah, serta tuntutan masyarakat dunia terhadap keamanan pangan dan kelestarian lingkungan, menjadi beberapa faktor yang mendorog adanya perubahan dalam sistem agribisnis di Indonesia (Taufik 2012). Dilihat dari ekspor Indonesia secara keseluruhan ke dunia, tidak selalu menurun. Namun, ada sejumlah negara yang pembeliannya terhadap produk Indonesia selalu naik. Inilah 10 negara utama tujuan ekspor Indonesia seperti yamng terlihat pada gambar 1.2, yakni China dengan pangsa pasar 20,86 %, Jepang (17,23 %), Amerika Serikat (14,59 %), India (12,45 %), Singapura (10,55 %), Malaysia (8,47 %), Korea (6,68 %), Thailand (5,49 %), Belanda (4,59 %), dan Philipina (3,69 %) (Kementerian Perdagangan 2012). Gambar 2 Negara tujuan ekspor Indonesia tahun 2012

4 Negara-negara di ASEAN yang dikenal sebagai komoditi ekspor berbasis sumber daya alam terbesar di Asia juga menjadikan peluang dalam persaingan pasar produksi dengan surplus pada neraca transaksi. Salah satu komoditas unggulan dari Indonesia yang diekspor adalah Kakao. Kakao merupakan salah satu produk unggulan bagi agroindustri di Indonesia karena memiliki beberapa keunggulan seperti : produksi kakao yang terus meningkat, potensi pasar yang besar, dan melimpahnya bahan baku (Setiawati 2004). Indonesia sebagai negara produsen utama kakao dunia. Secara umum terdapat sekitar 50 negara produsen kakao, yang terbagi dalam 3 benua yaitu Afrika yang menguasai sekitar 65 persen kakao dunia, Asia sekitar 20 persen dan Amerika latin sekitar 15 persen. Sedangkan dari sisi industri (world cocoa brinding), Indonesia berada di nomor tujuh dunia dibawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Produksi biji kakao tahun 2012 mencapai nilai US$ 10 milyar, dengan nilai retail penjualan cokelat sebesar US$ 107 milyar, lebih dari 50% (US$ 59,9 milyar) dikuasai oleh 6 (enam) pemain besar dunia yaitu Mars Inc. USA (US$ 16.800 juta), Mondelez International Inc. USA (US$ 15.480 juta), Nestle Switzerland (US$ 12.808 juta), Hershey Foods USA (US$ 6.460 juta), Ferrero Italy (US$ 5.627 juta), Chocoladerfabriken Lindt & Springli AG Switzerland (US$ 2.791 juta). Produksi kakao dunia tahun 2012 sebesar 3,946 juta ton, Afrika sebagai penghasil terbesar (72% atau 2,8 juta ton), Amerika Latin menghasilkan 15% (605 ribu ton), Asia dan Oceania 13% (510 ribu ton). Dari jumlah tersebut Indonesia menduduki peringkat 3 dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Tercatat 12 (dua belas) negara produsen kakao utama yaitu Pantai Gading (1.460.000 ton), Ghana (850.000 ton), Indonesia (425.000 ton), Nigeria (225.000 ton), Cameroon (225.000 ton), Brazil (185.000 ton), Equador (185.000 ton), Peru (65.000 ton), Dominican Republic (60.000 ton), Columbia (46.000 ton), Papua New Guinea (45.000 ton), dan Mexico (25.000 ton). Grinding kakao dunia tahun 2012/2013 mencapai 4,010 juta ton, didominasi oleh negara-negara Eropa dan Rusia sebesar 39% (1,561 juta ton), Amerika 21% (858.000 ton), Asia dan Oceania 21% (856.000 ton), dan Afrika 18% (735,000 ton). Negara-negara penghasil produk kakao olahan utama tersebut adalah Nederland (530 ribu ton), Pantai Gading (450 ribu ton), Amerika (405 ribu ton), Jerman (395 ribu ton), Malaysia (290 ribu ton), Indonesia (270 ribu ton), Brazil (235 ribu ton), Ghana (215 ribu ton), Perancis (138 ribu ton), Spanyol (90 ribu ton), dan Singapore (78 ribu ton). Konsumsi kakao terbesar dunia adalah Eropa (EU 37%, di luar EU 10%), Amerika (Amerika Utara 24%, Amerika Latin 10%), Asia dan Oceania (10%), dan Afrika (4%). Konsumsi per kapita (kg/kapita/th) terbesar adalah Switzerland sebesar 5,74; diikuti Belgia 5,56; Jerman 4,03; UK 3,52; Perancis 3,43; Amerika 2,45; Rusia 1,43; Jepang 1,25; Brazil 1,03; Ghana 0,55; Pantai Gading 0,48; Nigeria 0,12; Indonesia 0,08; China 0,04; dan India 0,04. Kebutuhan kakao dunia diproyeksikan semakin meningkat, tahun 2014/2015 diperkirakan mencapai 4 juta ton dan akan meningkat terus sampai tahun 2017/2018 menjadi 4,4 juta ton (Kementerian Perdagangan 2013). Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat sepanjang 5 tahun terakhir. Dengan demikian peluang peningkatan produksi terbuka luas termasuk penambahan nilai tambah produk-produk dari kakao. Biji kakao maupun produk olahan kakao merupakan komoditi yang diperdagangkan secara internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan biji kakao, sebagai negara produsen utama kakao dunia Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tinggi dalam memproduksi biji kakao, begitu pula dengan negara pengekspor biji kakao lainnya seperti Pantai Gading, Ghana dan Nigeria (Rifin 2013). Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya, ekspor Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Perdagangan luar negeri komoditi tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Menurut Arsyad et al (2011) relatif kecilnya perubahan volume ekspor

kakao dunia akibat perubahan volume ekspor Indonesia memiliki kontribusi ekspor yang masih sangat kecil dalam perdagangan kakao dunia. Permasalahan yang dihadapi komoditas kakao, antara lain masih rendahnya produktivitas dan mutu kakao yang rendah sehingga harga biji kakao Indonesia di pasar internasional terkena diskon USD 200/ton atau 10%-15% dari harga pasar, hambatan lain adalah tingginya beban pajak ekspor kakao sampai 15%, dan naiknya harga pupuk bersubsidi hingga mencapai rata-rata 35% (Aji et al. 2011). Pada tahun 2009 terjadi penolakan kakao Indonesia ke Jepang dengan alasan karena biji kakao Indonesia yang teracuni herbisida. Dinas Perkebunan sudah melakukan pengecekan di Laboratorium Universifas Gajah Mada dan hasilnya adalah negatif. Eksportir Indonesia secara ilmiah harus dapat membuktikan bahwa biji kakao Indonesia tidak mengandung herbisida. Hal ini perlu kerjasama semua pihak terutama eksportir, pemerintah, maupun akademisi/peneliti. Selain itu permasalahan ini dapat dijembatani dengan adanya inisiasi kerjasama harmonisasi mutu dan standar dengan negara tujuan ekspor. Pemerintah mempunyai kemampuan negosiasi untuk melakukan fasilitasi mengenai persyaratan mutu dan standar yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor melalui kerjasama harmonisasi mutu dan standar produk ekspor. Untuk pengembangan dan peningkatan daya saing produk kakao, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing dengan meningkatkan produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di Indonesia hingga saat ini belum mampu mengolah biji kakao menjadi produk lanjutan, bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai, seperti Malaysia. Pengembangan daya saing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya produksi dan pemasaran, peningkatan mutu dan konsistensi standar mutu. Menurut Bustami dan Paidi (2013) daya saing telah menjadi kunci bagi perusahaan, negara maupun wilayah untuk dapat berhasil dalam berpartisipasi di perdagangan bebas dunia. Negara berkembang perlu meningkatkan daya saing serta terus mendesak negara maju agar segera menghapus semua hambatan perdagangan, sembari tetap mempertahankan perlakuan khusus bagi produk-produk tertentu sesuai dengan ketentuan WTO (Haryadi 2008). Secara umum daya saing produk ekspor Indonesia semakin membaik. Hal ini dapat dilihat dari penurunan kasus penolakan ekspor Indonesia (Kementerian Perdagangan 2012). Dengan adanya standar mutu yang baik, industri kakao Indonesia akan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Cara pandang positif yang harus dibangun adalah bahwa standar sebagai salah satu pilar mutu merupakan instrumen utama untuk meningkatkan daya saing produk suatu bangsa. Dengan memiliki standar dan mutu yang disyaratkan oleh negara tujuan ekspor maka akan membuka peluang peningkatan ekspor yang sangat besar karena berkembangnya interdepensi antar kawasan-kawasan ekonomi di dunia, seperti antara Amerika Utara dengan negaranegara di Asia Pasifik, antara negara negara di Eropa dengan negara-negara di Amerika Utara, begitu pula antara negara-negara di Eropa dengan negara-negara di Asia, utamanya ASEAN, RRC dan Jepang. Perdagangan bebas memaksa produsen menghadapai persaingan yang semakin ketat, yang mau atau tidak, produsen harus meningkatkan efisiensi dan menghasilkan produk yang memenuhi standar secara konsisten agar dapat bertahan dan memenangkan persaingan baik dalam menghadapi pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Standar melalui pengukuran dan pengujian akan menghasilkan sertifikasi yang disyahkan oleh lembaga akreditasi yang memiliki kompetensi teknis akan menghasilkan produk yang siap untuk masuk ke pasar internasional dan bersaing dengan produk negara 5

6 lain. Untuk menghindari penggunaan standarisasi sebagai hambatan dalam perdagangan internasional, didalam berbagai forum internasional seperti ASEAN atau APEC telah ada kesepakatan untuk menyelaraskan standar nasional masing masing anggota dengan standar internasional, termasuk cara asesmen terhadap penerapan standar untuk memudahkan tercapainya saling pengakuan kegiatan standardisasi. Pada tingkat dunia, Tokyo Round 1973-1979 dan Uruguay Round of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 menghasilkan WTO Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) untuk menangani khususnya isu standar internasional untuk mempromosikan perdagangan bebas diantara penandatangan perjanjian tersebut. Selain itu juga menghasilkan SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures) untuk keamanan pertanian. Perjanjian WTO ini telah dirartifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Dalam Agreement on Technical barriers to Trade atau perjanjian TBT yang dapat menjadi hambatan teknis dalam perdagangan adalah standar dan peraturan teknis. Oleh karena itu bagi negara angota WTO, apabila ingin menetapkan suatu standar atau peraturan teknis harus transparan, yaitu sebelum standar dan peraturan teknis diberlakukan harus dinotifikasikan kepada negara-negara anggota untuk mendapatkan tanggapan/masukan. Sebagai gambaran jumlah produk Indonesia yang telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) dan dinotifikasi oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hal ini menyebabkan Indonesia cukup sulit untuk melakukan penetrasi ke pasar internasional (Pusat Kerjasama Standardisasi Badan Standardisasi Nasional, 2012). Saat ini Indonesia telah memiliki 97 SNI wajib dan 4250 daftar seluruh SNI. Apabila dibandingkan dengan Thailand dan Singapura, produk Indonesia yang memiliki SNI ternotifikasi di WTO lebih sedikit. Permasalahan standar dan mutu akan terkait dengan banyak faktor antara lain masih lemahnya kinerja lembaga pengujian mutu barang produk ekspor, kapasitas dan kelembagaan laboratorium uji produk ekspor dan impor yang masih rendah (infrastruktur dan laboratorium yang terbatas). Perumusan Masalah Dalam rangka pembentukan ASEAN Economic Community (AEC), terdapat 4 prioritas yang telah ditetapkan yaitu arus barang dan jasa yang bebas, ekonomi regional yang kompetitif, perkembangan ekuitas ekonomi dan integrasi memasuki ekonomi global. Untuk menunjang AEC tersebut, dibentuklah program dimana salah satunya adalah harmonisasi standar ASEAN yang tujuannya menghilangkan hambatan perdagangan non-tarif. Terkait dengan penghapusan hambatan perdagangan non tarif (perbedaan regulasi dan standar), pada Oktober 1992 para Menteri ASEAN sepakat membentuk forum konsultasi di bidang standar yang mengacu pada perjanjian-perjanjian di WTO (Agreement on Technical Barriers to trade-wto TBT). Indonesia yang masih tertinggal dengan masalah kualitas akan menghadapi kesulitan dalam penerapannya. Dalam menghadapi harmonisasi standar ditingkat ASEAN, Indonesia harus mempersiapkan diri secara komprehensif baik dari segi kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berada dalam perusahaan, serta dalam sarana dan prasarana pendukungnya. Kualitas produk Indonesia yang selama ini dikenal oleh pelaku perdagangan internasional adalah kualitas yang tidak baik. Keadaan tersebut membuat citra industri kakao Indonesia di perdagangan internasional menjadi buruk sehingga pelaku industri di pasar internasional lebih memilih kerjasama dengan negara Malaysia atau Singapura yang memiliki citra yang baik di perdagangan internasional. Pada tahun 2012/2013 Indonesia mengalami penurunan peringkat daya saing di kawasan ASEAN, peringkat daya saing tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

7 Tabel 1 Peringkat daya saing Indonesia pada tahun 2012-2013 Negara Ranking Subindexes Ranking 2012/2013 2011/ 2012 2012/ 2013 Basic Requirements Efficiency Enhancers Innovation and sophistication factors Singapura 2 2 1 1 11 Malaysia 25 21 27 23 23 Brunai 28 28 21 68 62 Darussalam Thailand 38 39 45 47 55 Indonesia 50 46 58 58 40 Philipina 65 75 80 61 64 Vietnam 75 65 91 70 90 Kamboja 85 97 97 85 72 Dalam era liberalisasi perdagangan seperti saat ini, aspek citra suatu negara memegang peranan penting. Tidak terkecuali dalam perdagangan internasional. Citra suatu bangsa atau negara menjadi salah satu faktor dalam pengambilan keputusan dalam melakukan pembelian suatu barang atau jasa dari negara tersebut. Apabila citra suatu negara dipandang jelek oleh negara lain maka akan mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan tidak hanya secara psikologis namun juga dapat berdampak secara ekonomi. Produk-produk Indonesia dikenal sebagai produk yang memiliki kualitas rendah begitu pula dengan produk kakao bubuk yang berasal dari Indonesia. Kakao bubuk yang beredar di Indonesia diduga masih banyak kakao bubuk palsu. Kakao bubuk palsu adalah kakao bubuk yang dibuat dari kulit ari biji kakao. Kulit kakao merupakan limbah dari industri kakao yang sudah bercampur dengan kotoran, bakteri dan residu dari bahan fumigasi. Hal tersebut membuat citra industri Indonesia menjadi buruk di perdagangan internasional. Salah satu cara untuk meningkatkan citra Indonesia di perdagangan internasional adalah dengan cara menerapkan SNI Wajib untuk produk kakao bubuk. Standarisasi dan pengawasan mutu merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan daya saing produk baik dalam maupun luar negeri. Pengawasan mutu ini juga bertujuan untuk mencegah produk-produk dalam negeri maupun ekspor berada dibawah mutu standar dan hal ini juga terkait dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan. Pelaksanaan standarisasi dan pengawasan mutu dilakukan melalui kegiatan pengujian di laboratorium penguji, untuk mengetahui produk telah memenuhi persyaratan atau standar yang diacu. Untuk itu kompetensi laboratorium penguji sangat diperlukan bahkan sangat menentukan terhadap kebenaran hasil uji produk. Penerapan standar pada dasarnya bersifat sukarela. Namun untuk keperluan melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dapat memberlakukan standar tertentu secara wajib. Pemberlakuan standar secara wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk menghindari hambatan persaingan yang sehat, hambatan inovasi,dan hambatan pengembangan UKM. Pada tahun 2009 Departemen Perindustrian mengeluarkan Peraturan Menteri tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib bagi produk kakao (cokelat) bubuk. Peraturan tersebut mulai berlaku setelah 6 bulan dari keluarnya Peraturan Menteri Kementerian Perindustrian.. Ketentuan ini tercantum dalam peraturan perindustrian No 45/M-IND/PER/5/2009 yang merupakan revisi dan penerapan SNI kakao bubuk sebelumnya. Dalam ketentuan SNI wajib tersebut perusahaan yang memproduksi atau mengimpor kakao bubuk wajib menerapkan SNI dan memiliki SPPT-SNI kakao dan wajib membubuhkan tanda SNI kakao bubuk pada setiap kemasan. Adanya peraturan ini menimbulkan dampak negatif dan dampak positif. Salah satu contoh dampak negatif yang ditimbulakan dari penerapan SNI Wajib seperti mahalnya biaya

8 yang dibutuhkan dalam proses mendapatkan sertifikasi sehingga hanya perusahaan dengan modal yang besar yang dapat bertahan, dibutuhkan waktu yang cukup lama dalam proses pengeluaran sertifikasi yaitu kurang lebih 3 bulan, dan proses sertifikasi ini terbilang cukup rumit karena perlu melalui beberapa tahap yang cukup panjang dan dinilai tidak praktis dalam penerapannya. Sedangkan untuk dampak positif yang dapat ditimbulkan dari adanya pemberlakukan SNI wajib adalah citra Indonesia di perdagangan internasional akan meningkat, mutu atau kualitas dari kakao bubuk yang berasal dari Indonesia seragam Dengan meningkatnya kesadaran pelaku industri akan pentingnya standar yang berkualitas, serta meningkatnya kesadaran konsumen akan kesehatan pemerintah harus memperbaiki serta memberikan sarana dan prasarana yang memadai dalam menerapkan peraturan tersebut agar pelaku usaha serta pemerintah Indonesia sama-sama mencapai tujuan. Pada dasarnya pemberlakuan SNI secara wajib menjadikan ketentuan teknis yang ada dalam standar tersebut sebagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku pasar. Oleh karean SNI dihasilkan melalui proses konsesus, maka diharapkan pemberlakuannya secara wajib juga dapat diterima oleh pelaku pasar. Walaupun demikian, pemberlakuan SNI wajib harus dilaksanakan secara berhati-hati dengan memperhatikan kemampuan produsen, kepentingan konsumen, serta kesiapan sarana penunjang untuk menegakkan persyaratan pasar tersebut agar perkembangan persaingan pasar yang sehat dapat dijamin. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana posisi daya saing kakao bubuk Indonesia di pasar ASEAN? 2. Faktor-faktor apa yang menentukan keunggulan daya saing kakao bubuk di pasar ASEAN? 3. Alternatif-alternatif strategi apa yang dapat diambil untuk meningkatkan daya saing dan memperbaiki citra industri kakao bubuk Indonesia saat Asean Economic Community (AEC) 2015? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka secara spesifik tujuan penelitian ini sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi posisi daya saing kakao bubuk Indonesia di pasar ASEAN 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan keunggulan daya saing kakao Indonesia di pasar ASEAN 3. Menentukan prioritas strategi untuk industri kakao Indonesia dalam menghadapi persaingan saat ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna di dalam di dalam pengembangan ilmu pengetahuan baik bagi penulis sendiri maupun bagi kepentingan orang lain. 2. Dapat dijadikan sebagai referensi dalam mengkaji dampak AEC 2015 terhadap beberapa sektor pertanian 3. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keunggulan daya saing kakao di pasar ASEAN