LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

KEBIJAKAN MENYANGGA ANJLOKNYA HARGA GABAH PADA PANEN RAYA BULAN FEBRUARI S/D APRIL 2007

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia, dimana sektor

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

KAJIAN PENURUNAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS PENDAHULUAN

ANALISIS TATANIAGA BERAS

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS

I. PENDAHULUAN. umumnya, khususnya sebagai sumber penyediaan energi dan protein. Neraca

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

KAJIAN PENINGKATAN KINERJA PERDAGANGAN ANTAR PULAU DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS PERTANIAN. Reni Kustiari

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007

BAB I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan ketahanan pangan adalah beras. Hal ini karena beras

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

KAJIAN KEBIJAKAN PERBERASAN

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

III KERANGKA PEMIKIRAN

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. A. Kontribusi Pangan Terhadap Laju Inflasi Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

Adreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MANAJEMEN KETAHANAN PANGAN ERA OTONOMI DAERAH DAN PERUM BULOG 1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

SURVEI LUAS PANEN DAN LUAS LAHAN TANAMAN PANGAN 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA KETAHANAN PANGAN NASIONAL

rice in the North. GKP affect transmission rates by Government Purchase Price (HPP). Keywords: Availability of Food, Government Purchasing Price

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

KAJIAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH-BERAS : Kasus Propinsi Jawa Barat

TINJAUAN DISTRIBUSI PANGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

KEBERADAAN BULOG DI MASA KRISIS

EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang ada. Penelitian tentang tata niaga gabah/ beras ini berusaha menggambarkan

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

TINJAUAN PUSTAKA Situasi Penawaran dan permintaan Beras di Indonesia. Kondisi penawaran dan permintaan beras di Indonesia dapat diidentifikasi

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

4 PEMBANGUNAN MODEL. Gambar 13. Diagram sebab-akibat (causal loop) antar faktor sediaan beras. Bulog Jumlah penduduk. Pedagang pengumpul

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

RINGKASAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah bersama masyarakat. Dalam hal ini pemerintah menyelenggarakan pengaturan,

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Boks 2. Pembentukan Harga dan Rantai Distribusi Beras di Kota Palangka Raya

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

ANALISIS PEMASARAN KEDELAI

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Kebijakan publik adalah keputusan pemerintah yang berpengaruh terhadap

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH-BERAS TAHUN 2010 : Efektivitas dan Implikasinya Terhadap Kualitas dan Pengadaan oleh Dolog

Transkripsi:

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH Oleh : Erizal Jamal Khairina M. Noekman Hendiarto Ening Ariningsih Andi Askin PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2006

RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan 1. Persoalan klasik pada komoditas beras berpangkal pada adanya dua tujuan yang harus dicapai sekaligus dan terkadang keduanya cenderung bertolak belakang, yaitu mempertahankan harga yang baik di tingkat produsen namun pada saat yang sama juga tidak terlalu memberatkan konsumen. Pangkal dari semua persoalan itu adalah masih tingginya ketergantungan terhadap beras, sementara karena penguasaan lahan yang sempit, usahatani padi tidak memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Persoalan bertambah rumit karena kurang baiknya transmisi harga antar berbagai tingkatan pedagang ditambah masih belum baiknya sistem pendataan kita 2. Untuk menanggulangi masalah di atas, pemerintah telah mengeluarkan beberapa instrumen kebijakan jangka pendek yang pada intinya dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gejolak harga. Kebijakan tersebut antara lain: (1) Menetapkan semacam harga dasar yaitu Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk komoditas padi/beras dan (2) Mengenakan tarif, kuota dan pengaturan waktu impor serta operasi pasar (OP) untuk komoditas tersebut. 3. Berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kebijakan semacam harga dasar untuk beras telah ada sejak musim tanam 1969/1970, dan secara konsisten pemerintah mempertahankannya sampai tahun 1997. Sejak akhir tahun 1998, karena berbagai kesulitan yang dihadapi pemerintah, unsur-unsur penopang kebjakan harga dasar terpaksa dihapuskan, sehingga efektivitas dari HPP banyak dipertanyakan orang. Tujuan dan Luaran Penelitian 4. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis dampak HPP Gabah/Beras terhadap tingkat dan stabilitas harga gabah di tingkat produsen, (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi stabilisasi harga gabah di tingkat produsen, (3) Menganalisis penyebab disparitas harga gabah dan beras serta proses transmisi harga pada berbagai tingkatan pedagang dan petani, (4) Merumuskan saran penetapan HPP gabah/beras wilayah, serta (5) Mengidentifikasi faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam penetapan HPP gabah/beras. 5. Berdasarkan tujuan di atas luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Hasil analisis dampak HPP Gabah/Beras terhadap tingkat dan stabilitas harga gabah di tingkat produsen, (2) Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi stabilisasi harga gabah di tingkat produsen, (3) Hasil analisis tentang penyebab disparitas harga gabah dan beras serta proses transmisi harga pada berbagai tingkatan pedagang dan petani, dan (4) Rumusan saran penetapan HPP gabah/beras wilayah, dan (5) Hasil i

identifikasi tentang faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam penetapan HPP gabah/beras. Metode Penelitian 6. Untuk menjawab tujuan nomor satu digunakan regresi linear sederhana, dengan menggunakan data Harga Pembelian Pemerintah, harga GKP, dan harga beras. Menjawab tujuan kedua didekati dengan analisis deskriptif, dengan menggunakan data manajemen stok, kebijakan pemerintah dalam hal stok dan data penunjang lainnya. Analisis penyebab disparitas harga gabah dan beras didekati dengan menggunakan analisis korelasi dan index of market connection. Sementara untuk melihat kemungkinan penerapan HPP yang berbeda antar wilayah digunakan data Harga Break Even Point di tingkat usahatani serta perhitungan share profit pada tingkat usahatani. Untuk menjawab tujuan nomor lima didekati dengan menggunakan persamaan simultan (econometric approach), sementara data yang dipakai adalah data input/output usahatani dan data series yang terkait dengan perilaku harga GKP petani. Hasil dan Pembahasan Analisis Dampak HPP Gabah/Beras Terhadap Tingkat dan Stabilitas Harga Gabah di Tingkat Produsen 7. Berdasarkan temuan dari penelitian ini terlihat bahwa harga pembelian gabah yang ditetapkan pemerintah (HPP) berpengaruh nyata terhadap harga GKP di tingkat petani parameternya bernilai 0,83255 (sangat nyata) dengan intersep 1,28814 (sangat nyata). Akan tetapi, dalam kurun waktu tersebut stabilitas harganya kurang baik karena nilai koefisien variasinya cukup tinggi, yakni sebesar 7,26 persen. 8. Dalam kurun waktu tersebut di atas, pemerintah telah menerapkan beberapa atau tepatnya 4 (empat) buah kebijakan mengenai perberasan. Satu diantara keempat dan merupakan yang terbaik terutama pengaruhnya terhadap harga dan kestabilan harga gabah di tingkat produsen adalah kebijakan pembatasan impor beras sekaligus pengenaan tarif bea masuk sebesar Rp 430 per kg (periode tahun 200-2004). 9. Dengan ditetapkannya harga pembelian pemerintah (HPP) terhadap gabah sebesar Rp 1.730 dan beras sebesar Rp 3.550 per kilogram serta ditutupnya keran impor beras, maka harga gabah dan beras di tingkat produsen (petani dan penggilingan) cukup tinggi, hanya pada waktu tertentu berada di bawah harga yang ditetapkan pemerintah. Kasus ini tidak hanya terjadi di lokasi penelitian di Jawa (Jawa Barat dan DIY), tetapi juga di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat. 10. Kondisi spesifik wilayah sangat mewarnai efektivitas dari HPP, selain itu perilaku pedagang serta berbedanya kualitas gabah (GKP) antar wilayah sangat berpengaruh terhadap harga yang diterima petani. Hal lain yang ii

ditemukan dalam penelitian ini adalah berbagai kelembagaan yang terkait dengan panen juga mempengaruhi tingkat harga yang diterima petani. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Harga Gabah di Tingkat Produsen 11. Secara mikro di tingkat pedagang desa dan kecamatan, pada saat musim hujan biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan GKP sampai menjadi beras untuk setiap kilogram gabah yang mereka beli, lebih besar dari GKG. Selisih biaya ini, kecuali untuk Sumatera Barat, relatif besar antara GKP dan GKG. Pada saat musim kemarau, biaya yang dikeluarkan relatif sama perbedaannya hanya untuk biaya jemur dan itu jumlahnya relatif kecil. Keadaan ini membawa konsekuensi besar bagi marjin keuntungan yang diperoleh pedagang, pada saat musim hujan rata-rata marjin keuntungan dari GKG sekitar 30% sampai tiga kali lipat dari keuntungan GKP. Inilah juga yang menyebabkan kenapa harga jual GKP semakin terpuruk pada saat musim hujan, selain jumlah produksi melimpah, pedagang kurang mempunyai insentif untuk membeli dalam bentuk GKP. 12. Keadaan sebaliknya pada saat musim kemarau, pedagang mempunyai insentif untuk membeli dalam bentuk GKP karena selain perbedaan biaya yang dikeluarkan dengan pembelian GKG relatif kecil, pedagang mendapatkan nilai tambah yang menarik dari rendemen GKP-GKG. Sehingga secara rata-rata tingkat keuntungan yang diperoleh pedagang pada saat musim kemarau lebih besar pada pembelian dalam bentuk GKP. Inilah yang mendorong ketatnya persaingan antar pedagang tingkat desa, terutama di Jawa Barat, dalam mendapatkan GKP di saat musim kemarau. Beberapa pedagang di sekitar kota Sukabumi harus bersaing dengan pedagang dari Karawang, Subang, dan Indramayu untuk mendapatkan GKP di wilayah Kecamatan Surade, Sukabumi Selatan, dan fenomena ini hanya terjadi pada saat musim kemarau. Uraian di atas mempertegas betapa makin lemahnya posisi petani padi, terutama pada saat musim hujan. 13. Hal lain yang perlu dicermati dari hasil penelitian ini adalah berbedanya kualitas GKP antar wilayah. GKP di Sumatera Barat umumnya mempunyai rendemen yang lebih baik dari daerah lain karena GKP di daerah ini umumnya sudah bersih atau sudah di-blower, sementara GKP di daerah lain masih bercampur dengan kotoran, sehingga perlu kehati-hatian dalam melakukan perbandingan harga GKP antar wilayah. Hal lain yang menyebabkan rendahnya harga gabah di tingkat petani adalah masih dominannya sistem pembelian secara tebasan, terutama untuk lokasi D. I. Yogyakarta. 14. Masih dominannya sistem pembelian gabah dalam bentuk tebasan ini, menyebabkan harga yang diterima petani jauh di bawah harga yang ditetapkan pemerintah. Perhitungan sederhana yang dilakukan pada beberapa responden yang menjual secara tebasan dan datanya dikonfirmasikan pada para penebas, didapat perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang diterima penebas sekitar 8 persen. Upaya iii

berbagai kalangan untuk menghapus pola panen tebasan ini belum sepenuhnya berhasil karena antara penebas dan petani telah lama terikat dalam berbagai kegiatan. 15. Sementara itu, untuk menjamin stabilisasi harga di tingkat petani, berbagai inisiatif lokal yang ada (Pokja Pasca Panen Bantul dan Kemitraan Sidrap) ternyata lebih efektif ketimbang lembaga bentukan dari pusat (LUEP dan BULOG). Dalam jangka panjang, sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka kemampuan pemerintah daerah dalam menjamin stabilisasi harga produk pertanian di wilayahnya, serta kecukupan pangan bagi masyarakatnya merupakan salah satu kriteria utama yang dijadikan acuan dalam menilai kinerja pemerintah daerah. Analisis Penyebab Disparitas Harga Gabah dan Beras serta Proses Transmisi Harga pada Berbagai Tingkatan Pedagang dan Petani 16. Disparitas harga gabah dan harga beras yang semakin melebar sejak kejatuhan Presiden Soeharto disebabkan karena beberapa hal, diantaranya: (1) lemahnya posisi tawar petani dalam perdagangan gabah karena surplus jual umumnya rendah, kemampuan menyimpan gabah yang rendah, dan tingginya desakan kebutuhan akan likuiditas, (2) nilai tambah pengolahan dan perdagangan beras tidak dinikmati petani atau konsumen, tetapi lebih banyak oleh pedagang, pihak penggilingan padi, dan pelaku lain, termasuk Perum Bulog yang memperoleh penugasan pemerintah untuk menjaga stok pangan nasional, (3) struktur pasar beras semakin tidak sehat dan masih jauh dari tingkat persaingan sempurna, dan (4) sistem pascapanen dan distribusi beras di dalam negeri tidak efisien dan menyisakan fenomena asimetri pasar yang menjadi kendala serius pembangunan ekonomi. 17. Hasil analisis korelasi harga menunjukkan bahwa di tingkat nasional terdapat keterkaitan yang relatif kuat antara harga gabah di tingkat produsen dengan harga beras di tingkat konsumen/eceran (koef. korelasi: 0,72836). Nilai koefisien korelasi juga menunjukkan bahwa keterkaitan harga grosir dengan eceran jauh lebih kuat dibandingkan keterkaitan harga produsen dengan grosir, baik di tingkat nasional maupun provinsi contoh. Keterkaitan harga produsen dengan harga eceran di semua provinsi contoh berkisar dari sangat lemah (Jabar: 0,25021) hingga relatif lemah (DIY: 0,53689). Sementara itu, keterkaitan harga produsen GKP di masingmasing provinsi dengan harga grosir beras di Pasar Induk Cipinang sangat lemah, bahkan di Provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Barat terdapat kecenderungan bahwa kedua harga tersebut kurang sejalan. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasinya yang bertanda negatif. 18. Hasil analisis integrasi pasar menunjukkan bahwa dalam jangka pendek di tingkat nasional pasar produsen kurang terpadu dengan pasar konsumen, demikian pula pasar produsen dengan pasar grosir, serta pasar grosir dengan pasar konsumen. Namun demikian, dalam jangka panjang terdapat integrasi yang relatif kuat diantara berbagai tingkatan pasar tersebut. iv

19. Dalam jangka pendek, koefisien integrasi menunjukkan bahwa selain di Yogyakarta, tingkat integrasi antara pasar produsen dan pasar konsumen di provinsi-provinsi contoh juga relatif lemah. Dalam jangka panjang, tingkat integrasi yang cukup kuat antara pasar produsen dan pasar konsumen terjadi di Jawa Barat, sementara tingkat integrasi antara pasar produsen dan pasar konsumen di Sulawesi Selatan sangat lemah. 20. Sejalan dengan hasil analisis korelasi harga, koefisien integrasi jangka pendek maupun jangka panjang antara pasar produsen di masing-masing provinsi dengan pasar grosir di Pasar Induk Cipinang secara umum menunjukkan bahwa tingkat integrasi di antara pasar-pasar tersebut relatif lemah. Saran Penetapan HPP Gabah/Beras Wilayah 21. Sementara itu kajian terhadap kemungkinan penetapan HPP yang berbeda antar wilayah, tentunya dengan mempertimbangkan kesanggupan daerah dalam melakukan penjaminan stabilitas harga, sangat layak untuk diujicobakan pada wilayah yang terbatas. Dari hasil pengamatan selama penelitian ini, yang dilakukan di wilayah surplus beras, terlihat bahwa break even point untuk usahatani padi sangat bervariasi antar daerah dan berkisar pada harga Rp 1.025,6 1.338,7 per kilogram GKP. Marjin keuntungan yang didapat petani dengan memperhitungkan biaya lahan dan tenaga kerja keluarga berkisar 18,33-34,58% dari total produksi, dimana marjin tertinggi pada petani di Sumatera Barat. Dari gambaran di atas terlihat bahwa secara alamiah memang terdapat perbedaan dalam struktur ongkos usahatani antar wilayah, sehingga kemungkinan penerapan HPP yang berbeda antar wilayah sangat direkomendasikan. Faktor-faktor yang Perlu Dipertimbangkan Pemerintah dalam Penetapan HPP Gabah/Beras 22. Pendugaan model pasar gabah/beras menunjukkan tidak nyatanya pengaruh harga GKP terhadap luas areal panen di tigkat petani. Ini menunjukkan dalam jangka pendek kebijakan harga tidak berpengaruh terhadap performa usahatani, sehingga berbagai argumen yang menyatakan bahwa peningkatan harga GKP akan merangsang peningkatan luas areal panen nampaknya perlu dilihat lebih cermat lagi. 23. Sementara jumlah impor berpengaruh secara nyata terhadap harga gabah di tingkat petani. Ini membuktikan bahwa pengaruh psikologis dari impor jauh lebih besar dibandingkan variabel lainnya dalam pembentukan harga beras dan gabah di dalam negeri. Sehingga komponen impor dapat dipergunakan dalam mengontrol tingkat harga beras dan gabah yang ada. Stok bulog tidak berpengaruh terhadap harga GKP, hal ini nampaknya terkait dengan makin melemahnya peran BULOG akhir-akhir ini. 24. Hasil dari model di atas juga memperlihatkan bahwa dalam jangka pendek sangat terbatas komponen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk v

menolong petani dari jatuhnya harga pada saat panen raya. Sehingga bila kita tetap hanya berkutat pada masalah harga ini, maka upaya perbaikan kehidupan petani tidak akan banyak mengalami perubahan. Diperlukan suatu upaya yang sistematis dalam jangka menengah dan jangka panjang untuk memperbaiki keragaan uahatani, terutama yang terkait dengan luas penguasaan lahan dan produktivitas usahatani. Refleksi Kebijakan Pangan ke Depan 25. Berdasarkan pendalaman yang dilakukan terhadap masalah perberasan secara umum, ada empat persoalan pokok yang harus mendapat penanganan segera, hal itu berkaitan dengan: (1) rendahnya akurasi datadata yang kita miliki, (2) miskinnya petani yang mengusahakan usahatani padi, (3) masih tingginya ketegantungan terhadap beras sebagai bahan konsumsi masyarakat, serta (4) berbagai persoalan dalam perdagangan dan distribusi beras. Rekomendasi Kebijakan 26. Berkaitan dengan berbagai persoalan di atas, ke depan diperlukan suatu penyusunan formulasi kebijakan dalam jangka pendek, menengah dan panjang yang komprehensif, sehingga kita tidak lagi terjebak untuk kepentingan jangka pendek. 27. Dalam jangka pendek untuk meningkatkan kesejahteraan petani padi, mereka seharusnya didorong untuk menjual beras, bukan gabah. Oleh karena itu, perlu dikembangkan industri penggilingan padi modern skala kecil di pedesaan, sehingga diharapkan dapat mendorong petani untuk menjual beras, bukan gabah. Dengan menjual beras, maka nilai tambah pengolahan padi akan menjadi milik petani, selain memperpendek rantai pemasaran sekaligus mempersempit disparitas antara harga gabah dan harga beras. 28. Berkaitan dengan beragamnya efektivitas dari HPP antar wilayah, maka penentuan kebijakan HPP yang seragam secara nasional sangat tidak dianjurkan. Sudah saatnya pemerintah memikirkan kemungkinan mendelegasikan semua persoalan berkaitan dengan kecukupan pangan, utamanya beras pada pemerintah daerah, dalam hal ini kabupaten. Pemerintah pusat hanya perlu membuat rambu-rambu dan pedoman dalam menetapkan HPP. Sementara itu kabupaten berdasarkan kondisi spesifik yang ada bisa membuat kebijakan yang sesuai didaerahnya. 29. Hal yang mendesak untuk dilihat dan dikaji dalam jangka pendek ini adalah masalah data kita, untuk itu perlu koordinasi lintas sektor untuk memperbaiki sistem pengumpulan data, pencatatan dan pelaporannya. Dalam jangka panjang perlu dilakukan suatu pendugaan konfigurasi ruang dan lahan yang ada, sehingga dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang serta upaya yang diperlukan sebagai langkah antisipasinya. vi

30. Upaya peningkatan produktivitas merupakan persoalan jangka panjang, karena pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa peningkatan produktvitas banyak berhubungan dengan kondisi infrastruktur yang terkait dengan pertanian (perbaikan saluran irigasi, ketersedian berbagi input usahatani dan lainnya). Sehingga perlu perencanaan yang sitematis dalam peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani. 31. Berkaitan dengan manajemen stok, kebijakan dalam jangka pendek lebih difokuskan pada desentralisasi penanganannya pada level kabupaten atau provinsi, sementara itu pada level rumah tangga diupayakan peningkatan jumlah stok yang disimpan minimal 20% dari produksi. Untuk kepentingan jangka panjang sangat mendesak untuk diawali oleh suatu proyeksi tentang konfigurasi lahan dan ruang serta kebutuhan terhadap bahan pangan serta bahan lain yang terkait dengan penggunaan lahan. Hasil dari kedua proyeksi inilah basis bagi perencanaan dalam berbagai program. 32. Untuk jangka panjang upaya pengurangan ketergantungan terhadap beras haruslah diawali dengan penetapan komoditas alternatif secara jelas, sehingga kebijakan pengembangan komoditas alternatif dapat dilakukan secara proporsional. Sejalan dengan upaya ini, maka diversifikasi produksi merupakan jalan bagi peningkatan pendapatan rumah tangga. Kebijakan harga yang diambil harus dapat mendukung ke arah diversifikasi konsumsi dan produksi ini. Penetapan komoditas alternatif, bisa pada level provinsi atau kabupaten, sedapat mungkin yang bisa mendukung pengembangan agroindustri di pedesaan. 33. Sementara itu berkaitan dengan harga, bila kita sepakat, dalam jangka pendek ini bisa dijadikan sinyal untuk berbagai kebijakan jangka pendek tanpa harus dipolitisir. Penetapan HPP masih diperlukan, dan bersifat lokal, dan ini sebagai basis untuk menentukan intervensi yang diperlukan pemerintah daerah. Sementara itu, pada batas atas (ceiling price) bisa disepakati kapan impor bisa dilakukan. Ini akan otomatis dilakukan pemerintah dengan sejumlah pengaturan. vii