BAB III SIFAT AKTA PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH YANG DIBUAT OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II JENIS PERBUATAN HUKUM ATAS TANAH YANG TIDAK DIBUKTIKAN DENGAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan akta pemberian hak tanggungan atas tanah. 3 Dalam pengelolaan bidang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH. 1. Jual Beli Hak Atas Tanah

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

PEROLEHAN TANAH DALAM PENGADAAN TANAH BERSKALA KECIL

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017

KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM PROSES JUAL BELI TANAH

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) menentukan secara tegas bahwa negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tanah.tanah sendiri merupakan modal utama bagi pelaksanaan pembangunan

BAB 2 PEMBAHASAN. 2.1 Pendaftaran Tanah

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, 2010.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MISSARIYANI / D ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. dilihat atau diketahui saja, melainkan hukum dilaksanakan atau ditaati. Hukum

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Upik Hamidah. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

BAB II. AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

BAB II BENTUK KUASA YANG TIMBUL DALAM JUAL BELI TANAH. sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 47

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

BAB II PEMBUATAN AKTA JUAL BELI YANG TIDAK SESUAI KETENTUAN DALAM PROSEDUR PEMBUATAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia

Pendayagunaan tanah secara berlebihan serta ditambah pengaruh-pengaruh alam akan menyebabkan instabilitas kemampuan tanah. 1 Jumlah tanah yang statis

mudah dapat membuktikan hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasainya,

JUAL-BELI TANAH HAK MILIK YANG BERTANDA BUKTI PETUK PAJAK BUMI (KUTIPAN LETTER C)

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017

Lex et Societatis, Vol. III/No. 8/Sep/2015

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

DAFTAR PUSTAKA. Ash-shofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, cetakan keempat, PT Rineka Cipta, Jakarta.

KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH MEMPEROLEH LEGALITAS DARI NOTARIS. Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1

KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PROSES JUAL BELI TANAH

BAB I PENDAHULUAN. yang satu ke orang lain.tanah sebagai benda yang bersifat permanen tetap, banyak

BAB II KEDUDUKAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM KEPUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PEMBAHASAN

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DAN CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

BAB III KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat (Margono Slamet, 1985:15). Sedangkan W.J.S Poerwadarminta

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN PENERAPAN ASAS PUBLISITAS DALAM PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KEPAHIANG.

8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah, lebih dari itu tanah juga

: AKIBAT HUKUM PENUNDAAN PROSES BALIK NAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tanah, padahal luas wilayah negara adalah tetap atau terbatas 1.

MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 5 TAHUN 1996 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Tanah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia

Transkripsi:

BAB III SIFAT AKTA PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH YANG DIBUAT OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH 1. Jenis Akta Pemindahan Hak Atas Tanah Yang Dibuat Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam rangka mencapai kepastian dan perlindungan hukum di bidang pertanahan, pemerintah beserta pemegang hak atas tanah menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah. Dari hasil pendaftaran tanah, maka diterbitkanlah sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat. Proses pendaftaran tanah hingga penerbitan sertipikat ini tidak dapat dilepaskan dari peranan PPAT di bidang pertanahan. PPAT adalah pejabat pelaksana sebagian dari kegiatan pendaftaran tanah, terutama pemeliharaan data pendaftaran tanah. Peran PPAT dalam pendaftaran tanah terkait dengan wewenangnya dalam membuat akta di bidang pertanahan. Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Makna bukti di sini adalah akta PPAT hanya membuktikan ada tidaknya suatu perbuatan hukum atas tanah, bukan sah tidaknya suatu perbuatan hukum atas tanah. Dari ketentuan di atas, maka setiap ada perubahan data akibat peralihan atau pemindahan hak maka harus dibuktikan dengan akta PPAT agar dapat didaftarkan. Namun apabila tidak dibuktikan dengan akta PPAT, peralihan hak tersebut tetap sah sepanjang memenuhi syarat tunai dan terang dalam hukum adat. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 UUPA

yang menyatakan bahwa hukum agraria di Indonesia didasarkan pada hukum adat. Menurut Effendi Perangin, sifat tunai berarti pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Sedangkan sifat terang berarti dilakukan di muka Kepala adat. 47 Jadi, suatu peralihan hak dapat dibuat dengan akta PPAT maupun akta di bawah tangan. Peralihan hak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tetap sah asalkan memenuhi syarat tunai dan terang, namun tidak dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Dengan demikian, akta PPAT memiliki peranan penting karena berfungsi sebagai bukti adanya suatu perbuatan hukum dan syarat utama pemeliharaan data pendaftaran tanah sehingga sertipikat dapat diterbitkan. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai akta PPAT beserta jenis-jenisnya, maka terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai konsep dasar akta supaya mendapat pemahaman secara menyeluruh. Pada prinsipnya, konsep akta berkaitan erat dengan konsep pembuktian. Yang dimaksud dengan pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 48 Jadi, dalam hukum acara perdata, suatu alat bukti memegang peranan penting karena dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam suatu persidangan. Mengenai jenis-jenis alat bukti telah diatur di dalam Buku IV Burgerlijk Wetboek (BW). Berdasarkan Pasal 1866 BW, alat-alat bukti dalam hukum perdata terdiri atas bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. 49 Alat bukti tulisan merupakan alat bukti utama di dalam hukum perdata. Mengenai jenis jenis dari alat bukti tulisan ada beberapa pendapat dari para ahli. Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat 47 Effendi Perangin (Selanjutnya disebut Effendi Perangin I), Hukum Agraria Di Indonesia (Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h. 16. 48 Subekti - I, Op.cit., h. 1. 49 Subekti II, Op.cit., h. 475.

lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. 50 Jadi, menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti tertulis atau surat dapat dibagi menjadi dua yaitu akta dan bukan akta. Sedangkan menurut Retnowulan, alat bukti tertulis terbagi menjadi tiga, antara lain surat biasa, akta otentik dan akta di bawah tangan. Berikut adalah penjabarannya : Menurut Retnowulan Sutantio, hukum acara perdata mengenal 3 macam surat yaitu surat biasa, akta otentik dan akta di bawah tangan. Perbedaan dari ketiga macam surat ini, yaitu dalam kelompok mana suatu tulisan termasuk itu tergantung dari cara pembuatannya. Surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan bukti. Apabila kemudian surat itu dijadikan bukti, maka hal itu merupakan suatu kebetulan saja. Dalam kelompok ini termasuk surat-surat cinta, surat-surat sehubungan dengan korespondensi dagang dan sebagainya. 51 Surat biasa ini dalam hukum pembuktian mempunyai nilai pembuktian sebagai bukti bebas, yang dalam prakteknya surat-surat semacam ini sering dipergunakan untuk menyusun suatu persangkaan. 52 Sedangkan akta dibuat dengan sengaja, untuk dijadikan bukti. Suatu akta merupakan bukti bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan. 53 Yang membedakan antara surat biasa dengan akta adalah tujuan pembuatannya. Surat biasa tidak dibuat dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai alat bukti, sedangkan akta dibuat dengan sengaja untuk dijadikan sebagai bukti telah dilakukannya suatu perbuatan hukum. Jadi, pembuatan akta memang sejak awal dimaksudkan sebagai pembuktian adanya hubungan hukum antara seseorang yang satu dengan yang lainnya. Dengan memegang suatu akta sebagai bukti, maka seseorang dapat dengan mudah membuktikan adanya hubungan hukum tersebut apabila kelak ada pihak yang wanprestasi. Pengertian akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 54 Mengenai jenis-jenis akta maka dapat diketahui dari Pasal 1867 BW yang menyebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan- 50 Sudikno Mertokusumo I, Op.cit., h.158. 51 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, h.64. 52 Ibid., h. 69. 53 Ibid., h. 64. 54 Sudikno Mertokusumo - I, Op.cit., h. 158.

tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. 55 Pasal tersebut merupakan dasar hukum yang membagi akta menjadi dua jenis yakni : 1) Akta bawah tangan Yang dimaksud dengan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan. 56 Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1874 BW, akta di bawah tangan dapat berupa surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain yang dibuat tanpa perantaraan pegawai umum. Suatu akta bawah tangan tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna seperti halnya akta otentik, sehingga penilaian kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim jika menjadi obyek gugatan di pengadilan negeri. 57 Jadi, hakim bebas menentukan apakah akta tersebut layak dipercaya atau tidak. Sedangkan menurut Urip Santoso, akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang tidak sempurna yaitu tidak mempunyai kekuatan pembuktian, kecuali para pihak tidak menyangkal isi dari akta yang dibuatnya. 58 Dengan demikian, akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang tidak sempurna karena selain digantungkan pada putusan hakim, akta di bawah tangan juga bergantung pada pengakuan para pihak yang terkait. Hal ini sejalan dengan Pasal 1869 BW yang menyebutkan bahwa suatu surat dapat dikategorikan sebagai akta di bawah tangan apabila ditandatangani oleh para pihak. Dan apabila akta bawah tangan tersebut diakui isi dan tanda tangannya oleh para pihak maka memiliki kekuatan pembuktian yang hampir sama dengan akta otentik. 59 Akta di bawah tangan memiliki bentuk yang bebas sesuai dengan kesepakatan para pihak. Walaupun akta di bawah tangan ini hanya dibuat oleh para pihak saja, namun tujuan 55 Subekti II, Loc.cit. 56 Sudikno Mertokusumo - I, Op.cit., h. 167. 57 Habib Adjie - I, Op.cit., h. 275. 58 Urip Santoso II, Op.cit., h. 155. 59 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.cit., h. 69.

pembuatannya tetap diperuntukkan sebagai alat bukti. Itulah yang membedakannya dengan surat (tulisan) biasa. Mengenai jenis dari akta di bawah tangan, akta di bawah tangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu akta di bawah tangan yang terdaftar dan akta di bawah tangan yang tidak terdaftar. Dan akta di bawah tangan yang terdaftar dibagi lagi menjadi dua, yakni akta di bawah tangan yang dilegalisasi dan akta di bawah tangan yang diwaarmerking. 60 Baik legalisasi maupun waarmerking sama-sama didaftar di hadapan notaris, namun notaris tetap tidak bertanggung jawab terhadap isi akta tersebut. Pada legalisasi, notaris bertanggung jawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya akta, sedangkan pada waarmerking notaris hanya bertanggung jawab terhadap kepastian tanggalnya saja. 2) Akta Otentik Berdasarkan Pasal 1868 BW, yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. 61 Dari aturan tersebut, terdapat 3 persyaratan agar suatu akta dapat digolongkan sebagai akta otentik, yakni : 1. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. 2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum. 3. Pejabat umum yang membuat akta harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta. Mengenai kekuatan pembuktiannya, Pasal 1870 BW menentukan bahwa akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Makna dari kekuatan pembuktian yang sempurna ini adalah isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar, kecuali apabila diajukan bukti lawan yang kuat, hal mana berarti bahwa hakim harus mempercayai apa yang tertulis 60 Urip Santoso II, Op.Cit., h. 152. 61 Subekti - II, Loc.cit.

dalam akta tersebut, dengan perkataan lain yang termuat dalam akta itu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. 62 Jadi, apa yang tercantum dalam suatu akta otentik harus diterima sebagai sesuatu yang benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam hal beban pembuktian, Pasal 163 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) menyatakan, barangsiapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. 63 Dalam Pasal 163 HIR terkandung asas, siapa yang mendalilkan sesuatu dia yang harus membuktikannya. Pada prinsipnya, hakim harus melihat bahwa akta otentik tersebut benar, dan apabila ada pihak lain yang keberatan atas isi akta tersebut, maka pihak itulah yang harus membuktikan. Berbeda halnya dengan akta bawah tangan, apabila terhadap suatu akta di bawah tangan disangkal oleh pihak lawan, maka pihak yang menggunakan akta tersebut yang harus membuktikan kebenaran aktanya dan membuktikan ketidakbenaran sangkalan dari pihak lawan. 64 Jadi, terdapat perbedaan dalam hal beban pembuktian antara akta otentik dengan akta di bawah tangan, Pada akta otentik beban pembuktian ada pada si penggugat akta, sedangkan pada akta di bawah tangan beban pembuktian ada pada si pemilik akta atau pihak yang menggunakan akta. Akta otentik dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu akta relaas dan akta partij. Yang dimaksud dengan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten) adalah akta yang dibuat oleh (door) pejabat yang berwenang. Dalam akta ini, pejabat menerangkan/memberikan dalam jabatannya kesaksian dari semua apa yang dilihat, h. 269. 62 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.cit., h. 66. 63 R. Soesilo, RIB / HIR Dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1995, h. 119. 64 Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2011,

disaksikan dan dialaminya, yang dilakukan oleh pihak lain. 65 Jadi akta relaas ini memuat uraian dari pejabat yang berwenang atas suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan sendiri oleh pejabat tersebut. Pejabat hanyalah mengkonstantir apa yang dilihat dan didengarnya dan kemudian menuangkannya ke dalam akta. Contoh akta relaas adalah akta berita acara rapat. Sedangkan akta partij atau akta pihak (partij-akten) adalah akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) pejabat yang berwenang. Dalam akta ini, dicantumkan secara otentik keterangan-keterangan dari para pihak, di samping relaas dari pejabat itu sendiri, yang menyatakan bahwa orang-orang yang hadir itu telah menyatakan kehendaknya sebagaimana dicantumkan dalam akta. 66 Jadi, akta pihak memuat uraian dari apa yang diceritakan atau diterangkan oleh para pihak yang menghadap pejabat. Contoh akta pihak adalah akta jual beli, akta hibah, perjanjian kredit dan sebagainya. Secara umum, akta otentik memiliki tiga macam kekuatan pembuktian, antara lain: 67 a) Kekuatan pembuktian lahir Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai) kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya. b) Kekuatan pembuktian formil Kekuasaan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan: Benarkah bahwa ada pernyataan?. Jadi kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. c) Kekuatan pembuktian materiil. Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut pertanyaan: Benarkah isi pernyataan di dalam akta itu. Jadi kekuatan pembuktian materiil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta. 65 G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 51. 66 Ibid. 67 Sudikno Mertokusumo - I, Op.cit., h. 169.

Demikianlah konsep dasar mengenai akta. Jadi, akta PPAT itu dibuat dengan tujuan utama yakni sebagai alat bukti atas suatu perbuatan hukum peralihan atau pemindahan hak atas tanah. Karena akta PPAT merupakan alat bukti, maka dibuatnya akta PPAT ini tidak dimaksudkan untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan hukum atas tanah, namun untuk menentukan ada tidaknya suatu perbuatan hukum atas tanah. Jenis-jenis perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT telah diatur di dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997. Pada dasarnya konsep perbuatan hukum, peralihan ataupun pemindahan hak atas tanah itu saling terkait antara satu sama lain. Menurut Boedi Harsono, peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak. 68 Sedangkan menurut Urip Santoso, secara rinci dua bentuk peralihan hak atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut : 69 a. Beralih Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain disebabkan karena peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah meninggal dunianya pemilik tanah. Dengan meninggal dunianya pemilik tanah, maka hak atas tanah secara yuridis berpindah kepada ahli warisnya. b. Dialihkan Dialihkan artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain disebabkan oleh perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Contoh perbuatan hukum adalah jual beli, tukarmenukar, hibah, pemasukan dalam modal perusahaan (inbreng), lelang. Jadi, secara umum konsep peralihan hak itu dibagi menjadi dua, yaitu beralih dan dapat dialihkan. Beralih adalah suatu perpindahan hak yang sifatnya pasif dan tidak disengaja, karena terjadi akibat adanya peristiwa hukum seperti meninggalnya seseorang, yang mana menyebabkan terjadinya pewarisan kepada ahli warisnya. Sedangkan dapat dialihkan adalah suatu perpindahan hak yang sifatnya aktif dan disengaja, yakni terjadi 68 Boedi Harsono, Op.cit., h. 329. 69 Urip Santoso (Selanjutnya disebut Urip Santoso III), Perolehan Hak Atas Tanah, Revka Petra Media, Surabaya, 2011, h. 26.

karena adanya perbuatan hukum yang dilakukan dengan sengaja oleh para pihak. Apabila dikaitkan dengan pendapat Boedi Harsono, maka konsep beralih disebut juga pewarisan, sedangkan konsep dapat dialihkan disebut juga perbuatan hukum pemindahan hak. Peralihan hak berupa dapat dialihkan terjadi akibat adanya suatu perbuatan hukum. Dalam suatu perbuatan hukum, ada unsur kesengajaan dan kehendak dari para pihak. Secara umum, yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Apabila dikaitkan dengan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh para pihak mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang menimbulkan akibat hukum bagi para pihak tersebut. Akibat hukum dari perbuatan tersebut dapat berupa pemindahan hak, pembebanan hak dan pemberian hak. 70 Untuk lebih mudahnya, salah satu contoh perbuatan hukum adalah jual beli. Jual beli menimbulkan akibat hukum berupa terjadinya pemindahan hak kepada pihak lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka jenis perbuatan hukum yang dapat dibuktikan dengan akta PPAT beserta akibat hukumnya antara lain jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan, dan pembagian hak bersama memiliki akibat hukum berupa terjadinya pemindahan hak, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik memiliki akibat hukum berupa terjadinya pemberian hak, pemberian Hak Tanggungan memiliki akibat hukum berupa terjadinya pembebanan hak serta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menimbulkan akibat hukum berupa pemberian kuasa. Berdasarkan uraian di atas, maka berikut ini akan dijabarkan secara rinci mengenai jenis akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT : 70 Urip Santoso I, Op.cit., h. 340.

1. Jual Beli Istilah jual beli telah disebutkan di dalam beberapa peraturan perundangundangan, yakni UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan sebagainya. Namun aturan-aturan tersebut tidak menjelaskan mengenai pengertian dari jual beli. Akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria di Indonesia berlandaskan hukum adat, maka kiranya pengertian jual beli juga harus didasarkan pada hukum adat. Jual beli yang dibahas adalah jual beli hak atas tanah, atau biasa disebut jual beli tanah. Menurut Effendi Perangin, jual beli tanah menurut hukum adat memiliki sifat tunai dan terang. Sifat tunai berarti pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Sedangkan sifat terang berarti jual beli dilakukan di muka Kepala Adat. Jadi, pengertian jual beli menurut hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. 71 Dalam jual beli adat, dengan dilakukannya jual beli maka telah terjadi penyerahan hak. Dengan kata lain, jual beli dan penyerahan hak terjadi pada saat yang bersamaan, yakni ketika pembuatan akta jual beli di hadapan pejabat yang berwenang. Berbeda halnya dengan konsep jual beli tanah menurut BW, berdasarkan Pasal 1457 BW, yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. 72 Dan Pasal 1458 jo. 1459 BW menyatakan bahwa jual beli dianggap telah lahir apabila para pihak telah sepakat. Namun hak baru berpindah apabila telah dilakukan penyerahan atau levering, sebagaimana tercantum pada Pasal 612, 613 dan 616 BW. Dalam jual beli tanah 71 Effendi Perangin I, Loc.cit. 72 Subekti II, Op.cit., h. 366.

menurut BW, walau sudah terjadi jual beli, penyerahan hak belum tentu sudah beralih. Harus ada penyerahan hak terlebih dahulu agar haknya bisa beralih, yang berupa penyerahan yuridis (juridische levering) yakni yang diselenggarakan dengan pembuatan akta di muka dan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah selaku overschrijvings ambtenaar. 73 Jadi, dalam jual beli tanah menurut BW jual beli dan penyerahan hak tidak terjadi pada saat yang bersamaan. Sedangkan dalam jual beli adat, jual beli dan penyerahan hak terjadi pada saat yang bersamaan. Selain itu apabila dilihat dari pengertiannya, jual beli menurut BW merupakan perjanjian, sedangkan jual beli menurut hukum adat adalah suatu perbuatan hukum. Maka konsep jual beli menurut hukum adat dan BW merupakan sesuatu yang berbeda. Sehubungan dengan hal tersebut, maka konsep jual beli tanah yang digunakan adalah jual beli menurut hukum adat, karena bagaimanapun juga hukum agraria nasional kita berlandaskan pada hukum adat. Namun dalam pelaksanaannya tetap harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa jual beli tanah dalam hukum adat harus memenuhi sifat tunai dan terang. Sifat tunai apabila telah dilakukan pembayaran harga. Sedangkan sifat terang apabila jual beli dilakukan di muka Kepala Adat. Jadi, dalam jual beli harus ada pembayaran harga dan pembuatan akta di muka Kepala Adat. Dengan dibuatnya akta jual beli tanah maka terpenuhilah sifat tunai dan terang sehingga terjadi pemindahan hak. Apabila konsep dasar ini dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan maka berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang 73 Effendi Perangin I, Op.cit., h. 14.

hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari aturan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa akta PPAT bukanlah syarat sah terjadinya jual beli atau syarat mutlak terjadinya pemindahan hak atas tanah. Akta PPAT hanya berfungsi sebagai bukti bahwa benar telah terjadi suatu perbuatan hukum dan sebagai syarat agar pendaftaran tanah bisa dilakukan. Jadi, apabila jual beli tidak dibuat dengan akta PPAT, dengan kata lain hanya dibuat dengan akta di bawah tangan, maka jual beli tersebut tetap sah dan haknya dapat berpindah, namun tidak bisa didaftarkan ke kantor pertanahan. Dengan dibuatnya akta jual beli, maka pada saat itu telah terjadi pemindahan hak dari pemegang hak sebagai penjual kepada pihak lain sebagai pembeli. 74 Akta jual beli itu dapat berupa akta PPAT maupun akta di bawah tangan. Dalam praktiknya, jual beli dengan akta di bawah tangan itu dibuat oleh para pihak yang disaksikan oleh Kepala Desa/Kepala Kelurahan setempat di atas kertas bermaterai secukupnya. 75 Apabila ingin melakukan pendaftaran, maka suatu jual beli hak atas tanah wajib dibuat dengan akta PPAT. Sebaliknya, apabila tidak ada maksud untuk melakukan pendaftaran, maka suatu jual beli hak atas tanah dapat dibuat hanya dengan akta di bawah tangan saja. Jadi, jual beli dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat tunai dan terang dalam hukum adat. Syarat tunai berupa telah dilakukannya pembayaran harga. Sedangkan syarat terang berupa pembuatan akta di hadapan pihak ketiga, yakni Kepala Adat ataupun PPAT. Dengan sahnya jual beli maka secara otomatis haknya ikut berpindah. Pada prinsipnya, pendaftaran tanah merupakan kegiatan yang sangat penting karena fungsi pendaftaran tanah ialah untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat. 74 Urip Santoso I, Op.cit., h. 370. 75 Ibid.

Namun hal ini bukanlah suatu kewajiban karena tidak ada sanksi apabila tidak melaksanakannya. Hanya saja, apabila suatu jual beli tidak didaftarkan, maka sertipikat sebagai alat bukti yang kuat tidak dapat diterbitkan sehingga tidak terjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi para pemegang haknya. Itu adalah konsekuensi yang harus diterima. Berkenaan dengan pendaftaran tanah, berikut adalah pendapat dari Boedi Harsono : 76 Dengan dibuatnya akta PPAT maka dipenuhi syarat terang. Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata dan riil perbuatan jual beli. Dengan demikian ketiga sifat jual beli, yaitu tunai, terang dan riil dipenuhi. Namun administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum. Untuk memperoleh surat tanda bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya, maka pemindahan hak haknya didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Karena administrasi pendaftaran tanah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya mempunyai sifat terbuka bagi umum, maka dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada buku-buku haknya, bukan hanya memindahkan hak dan ahli warisnya, tetapi pihak ketiga pun dianggap mengetahui, bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru. Jadi, dengan dibuatnya Akta Jual Beli (AJB) oleh PPAT maka terpenuhilah sifat tunai dan terang, karena AJB tidak dapat dibuat apabila harga belum lunas. AJB tersebut menandakan telah terjadinya jual beli dan pemindahan hak. Namun tidak cukup dengan pembuatan AJB saja. AJB tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat. Dari hasil pendaftaran tanah, diterbitkanlah sertipikat sebagai surat tanda bukti hak. Sertipikat berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat bagi pemegang haknya. Selain itu, dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka peralihan hak tersebut dapat diketahui oleh pihak ketiga sehingga memenuhi asas publisitas. Adanya keterbukaan informasi ini menyebabkan pihak ketiga dapat dengan mudahnya memperoleh informasi mengenai data atas tanah sehingga si pemegang hak baru mendapatkan pengakuan dari masyarakat luas. Dengan demikian maka kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang haknya dapat terjamin. 2. Tukar-menukar 76 Boedi Harsono, Op.cit., h. 331.

Sama halnya dengan jual beli, istilah tukar-menukar telah termuat di dalam beberapa peraturan, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Namun, dalam aturan tersebut tidak dijumpai pengertian dari tukar-menukar. Pada prinsipnya, konsep tukar-menukar ini tidak dapat didasarkan pada BW karena tukar-menukar dalam hukum pertanahan diartikan sebagai perbuatan hukum. Sedangkan dalam BW, tukar-menukar merupakan suatu perjanjian. Selain itu pengertian tukar-menukar dalam BW cakupannya lebih luas karena tidak hanya meliputi tukar menukar tanah selaku benda tidak bergerak namun juga tukar-menukar benda bergerak. Menurut Andi Prajitno, yang dimaksud dengan tukar-menukar adalah perbuatan hukum barter hak atas tanah yang dimiliki oleh para pihak dengan ketentuan yang telah disepakati bersama. 77 Dalam konsep tukar-menukar tanah, selain hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun juga dapat dipertukarkan. Terdapat dua cara tukarmenukar tanah, yakni tukar-menukar murni tanpa syarat dan tukar-menukar dengan salah satu pihak memberikan tambahan, baik berupa uang ataupun benda (bangunan dan tumbuh-tumbuhan) yang telah disepakati bersama. 78 Pada dasarnya, walaupun berbeda jenisnya, barang yang ditukarkan harus senilai. Apabila tidak maka salah satu pihak dapat memberi tambahan biaya kepeda pihak lain sesuai kesepakatan bersama. Jadi, obyek tukar-menukar harus sesuai dengan kesepakatan para pihak. Sedangkan mengenai subyeknya, para pihak yang melaksanakan perbuatan hukum tukar-menukar haruslah memenuhi syarat sebagai subyek hukum hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang dipertukarkan tersebut. Dalam pelaksanaannya, perbuatan hukum tukar-menukar tanah dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT agar dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Dengan 77 A.A. Andi Prajitno, Op.cit., h. 109. 78 Ibid.

diselenggarakannya pendaftaran tanah maka sertipikat sebagai tanda bukti hak dapat diterbitkan. 3. Hibah Istilah hibah dimuat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, namun tidak dijumpai pengertian hibah. Sama halnya dengan jual beli dan tukar-menukar, hibah tanah adalah perbuatan hukum dan bukan perjanjian. Menurut Urip Santoso, yang dimaksud dengan hibah adalah perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun untuk selama-lamanya oleh pemegang hak atas tanah atau pemilik satuan rumah susun sebagai pemberi hibah kepada pihak lain sebagai penerima hibah tanpa pembayaran sejumlah uang oleh pihak penerima hibah kepada pemberi hibah. 79 Jadi, hibah dilakukan oleh pemberi hibah secara sukarela dan dengan cuma-cuma tanpa mengharapkan penggantian atau imbalan. Hibah dilaksanakan ketika si pemberi hibah masih hidup. Hal ini berbeda dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan pada saat si pemberi wasiat sudah meninggal dunia. Hibah dibuktikan dengan akta hibah yang dibuat oleh PPAT agar bisa didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Pada prinsipnya, pemberian hibah itu tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan, namun dalam praktiknya, apabila suatu hibah dinilai telah merugikan hak-hak ahli waris si penghibah, maka kemungkinan hibah tersebut dapat ditarik kembali. Mengenai subyek hibah, si penerima hibah haruslah memenuhi syarat sebagai subyek hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang dihibahkan kepadanya oleh pemberi hibah. 4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) 79 Urip Santoso II, Op.cit., h. 138.

Inbreng dilatarbelakangi karena terdapat perusahaan yang membutuhkan penambahan modal untuk kegiatan usahanya, baik itu bentuk tunai maupun bentuk lainnya. Secara umum, yang dimaksud dengan inbreng adalah suatu bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan. Ada bermacam-macam bentuk inbreng, antara lain uang, benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Untuk inbreng benda tidak bergerak, yakni yang berupa tanah maka harus dibuktikan dengan Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (Inbreng) yang dibuat oleh PPAT. Yang dimaksud dengan pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) berupa tanah adalah perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun untuk selama-lamanya oleh pemegang hak atas tanah atau pemilik satuan rumah susun kepada perusahaan yang akan difungsikan sebagai modal perusahaan. 80 Inbreng yang berupa tanah ini biasanya didahului dengan penilaian atas harga tanah yang diinbrengkan tersebut oleh appraisal. Kemudian, proses tersebut diumumkan di surat kabar. Setelah proses tersebut dijalani, maka akan dilanjutkan dengan pembayaran Pph dan BPHTB nya. Setelah itu, baru dilanjutkan dengan pembuatan akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (Inbreng) di hadapan PPAT setempat. Dan yang terakhir mendaftarkan peralihan haknya pada Kantor Pertanahan setempat. 5. Pembagian hak bersama Yang dimaksud dengan pembagian hak bersama adalah perbuatan hukum dari para pihak untuk mengakhiri hak kepemilikan bersama (mede eigendom) atas tanah yang diperoleh karena perbuatan hukum, membeli bersama, perkawinan, atau peristiwa hukum waris. 81 Dalam pembagian hak bersama karena pewarisan, pada awalnya di sertipikat hak atas tanahnya telah dicantumkan nama-nama ahli waris, namun karena ahli waris tersebut sepakat untuk menyerahkan hak bagiannya kepada salah satu pihak 80 Ibid. 81 A.A. Andi Prajitno, Op.cit., h. 110.

atau beberapa pihak saja, maka harus dibuatkan Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) oleh PPAT supaya hak kepemilikan bersama karena pewarisan tadi berakhir dan dapat diberikan kepada salah satu pihak atau beberapa pihak dengan ganti rugi atau tanpa ganti rugi. Dengan adanya APHB, maka pendaftaran tanah dapat diselenggarakan sehingga diterbitkanlah sertipikat atas nama salah satu atau beberapa pihak yang telah diserahi hak tersebut. Demikianlah beberapa jenis perbuatan hukum pemindahan hak yang dapat dibuktikan dengan akta PPAT. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dibahas pula mengenai prosedur pembuatan akta PPAT, terutama yang berkaitan dengan pemindahan hak. Secara umum, tahapan pembuatan akta PPAT telah diatur di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah uraian singkat mengenai prosedur pembuatan akta PPAT hingga penerbitan sertipikat : 1. Tahap persiapan pembuatan akta Sebelum membuat akta, PPAT wajib melakukan proses check in ke Kantor Pertanahan guna memeriksa kesesuaian antara sertipikat yang bersangkutan dengan data yang ada di Kantor Pertanahan. Proses ini dilakukan dengan menunjukkan sertipikat asli. Kepala Kantor Pertanahan akan membubuhkan cap atau tulisan pada sertipikat mengenai sesuai tidaknya data yang ada pada sertipikat tersebut dengan data yang yang ada di Kantor Pertanahan. Sertipikat yang sudah diperiksa kemudian dikembalikan kepada PPAT pada hari yang sama dengan hari pengecekan. Dan sebelum akta dibuat, calon penerima hak harus membuat surat pernyataan terlebih dahulu. 2. Tahap pelaksanaan pembuatan akta Pembuatan akta PPAT harus dihadiri para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau bisa juga dikuasakan. Para pihak tersebut wajib menyerahkan

dokumen-dokumen sebagai prasyarat pembuatan akta, seperti fotokopi Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, surat nikah, bukti pembayaran pajak dan sebagainya. Pembuatan akta tersebut minimal harus disaksikan oleh dua orang saksi dan PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak. Akta PPAT dibuat sebanyak dua lembar asli, yakni untuk disimpan oleh PPAT sendiri dan untuk disampaikan ke Kantor Pertanahan. Sedangkan para pihak diberi salinannya. 3. Tahap pendaftaran pemindahan hak PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen yang terkait kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak akta ditandatangani. Kantor Pertanahan memberikan tanda penerimaan atas penyerahan dokumen-dokumen tersebut. 4. Tahap penyerahan sertipikat Sertipikat yang telah dialihkan atau diubah nama pemegang haknya tersebut oleh Kantor Pertanahan lalu diserahkan kepada pemegang hak baru atau kuasanya. Jadi dalam membuat akta, PPAT harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Berbagai persyaratan itu pada dasarnya untuk melindungi PPAT dan para pihak serta untuk menghindari adanya sengketa di kemudian hari. 2. Keotentikan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Sejak diundangkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012, maka PPAT dapat menyiapkan dan membuat sendiri blanko akta PPAT. Peraturan ini mengubah Pasal 96 Peraturan Menteri Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa pembuatan akta PPAT harus dilakukan dengan menggunakan formulir atau blanko yang bentuk dan isinya telah ditentukan oleh BPN. Jadi, berdasarkan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, PPAT tidak boleh menyiapkan dan membuat sendiri blanko akta PPAT. PPAT hanya berwenang mengisi blanko yang sudah disediakan oleh BPN. Dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 telah terlampir bentuk akta dan cara pengisian akta PPAT, sehingga pembuatan akta PPAT harus sesuai dengan lampiran tersebut. Apabila tidak sesuai, maka Kantor Pertanahan setempat akan menolak mendaftarkan akta PPAT tersebut. Bentuk akta PPAT yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 mencakup cover akta dan formulir akta, yang terdiri dari awal akta, isi akta dan akhir akta. PPAT masih dapat menggunakan blanko akta PPAT yang disediakan oleh BPN sepanjang stok blanko PPAT di Kantor Pertanahan masih ada. Jika sejak berlakunya aturan ini PPAT tidak lagi menggunakan blanko akta BPN, maka PPAT wajib mengembalikan blanko akta tersebut ke Kantor Pertanahan. Dengan adanya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012, maka masalah kelangkaan blanko akta PPAT yang sering dialami oleh PPAT dapat teratasi serta dapat mengurangi beban negara karena selama ini blanko PPAT dibebankan pada APBN. Selain itu hal ini juga dapat mengembalikan wewenang mandiri yang dimiliki oleh PPAT. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan bahwa PPAT berwenang membuat akta di bidang pertanahan. Pasal 96 Peraturan Menteri Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 membuat rancu wewenang PPAT karena PPAT hanya berwenang mengisi formulir atau blanko yang disediakan oleh BPN, bukannya membuat akta. Hal ini juga menunjukkan bahwa wewenang PPAT tidak lagi mandiri karena harus tergantung pada blanko BPN. Jadi, dengan disahkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012, PPAT benar-benar memiliki kewenangan mandiri, yakni membuat sendiri akta di bidang pertanahan.

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Dari pengertian di atas, maka akta PPAT digolongkan sebagai akta otentik. Namun keotentikan akta PPAT sampai sekarang masih sering dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Ada juga yang berpendapat bahwa akta PPAT tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik. Apabila membahas mengenai akta otentik, maka Pasal 1868 BW adalah rujukan utamanya. Berdasarkan Pasal 1868 BW, suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Pasal ini mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu akta dapat digolongkan sebagai akta otentik. Berdasarkan aturan tersebut, terdapat beberapa pendapat dari para ahli hukum agraria mengenai sifat keotentikan akta PPAT, yakni sebagai berikut : 1. Irawan Soerodjo Hakekat akta PPAT sebagai akta otentik jika ditinjau dari Pasal 1868 BW adalah suatu akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk iu di tempat di mana akta dibuatnya. Adapun yang dimaksud dengan undang-undang dalam pasal ini adalah peraturan perundangundangan. 82 2. Habib Adjie Akta pejabat umum PPAT tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1868 BW, khususnya akta PPAT tidak dibuat berdasarkan undng-undang, tetapi 82 Irawan Soerodjo, Op.cit., h. 148.

hanya berupa aturan hukum setingkat peraturan pemerintah atau peraturan menteri. Dengan demikian, akta PPAT bukan sebagai akta otentik, melainkan sebagai perjanjian biasa setingkat dengan akta di bawah tangan. 83 3. A.A. Andi Prajitno Akta PPAT merupakan akta otentik yang berisikan tentang peralihan dan pebebanan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai alat bukti tertulis yang langsung berhubungan dengan hukum pembuktian dan merupakan bagian dari hukum keperdataan. 84 4. Boedi Harsono Akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik, yang hanya dialah yang berhak membuatnya. 85 5. Effendi Perangin Akta PPAT dibuat menurut bentuk yang ditetapkan oleh pemerintah berdasar Pasal 19 PP no. 10/1961; PP mana ditetapkan berdasarkan UUPA. Jadi akta PPAT : dibuat oleh pejabat umum, di wilayah kerja pejabat umum itu, menurut bentuk yang ditentukan berdasarkan UU. Maka akta PPAT memenuhi unsur-unsur akta otentik menurut pengertian yang dimuat dalam Pasal 1868 BW. 86 6. Husni Thamrin Apabila diikuti pendapat Philipus M Hadjon yang mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah tidak boleh membentuk suatu jabatan umum tanpa delegasi dari undangundang. Keberadaan PPAT hanya dikukuhkan dalam suatu peraturan pemerintah (PP No. 37 Tahun 1998) yang kedudukannya berada di bawah undang-undang. Karena PPAT tidak diatur di dalam undang-undang khusus seperti notaris, maka PPAT bukan 83 Habib Adjie - I, Op.cit., h. 274. 84 A.A. Andi Prajitno, Op.cit., h. 72. 85 Boedi Harsono, Op.cit., h. 485. 86 Effendi Perangin (Selanjutnya disebut Effendi Perangin II), Praktek Jual Beli Tanah, Rajawali, Jakarta, 1987, h. 26.

pejabat umum sebagaimana dimaksud Pasal 1868 BW. Konsekuensinya, menurut Pasal 1868 BW, jika suatu akta dibuat bukan oleh atau di hadapan pejabat umum atau dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang menurut undang-undang, maka akta itu bukan akta otentik. 87 7. A.P. Parlindungan PPAT adalah pejabat umum, dan konsekuensinya akta-akta yang dibuatnya adalah akta otentik. Dimaksud dengan akta otentik, bahwa jika terjadi suatu masalah atas akta PPAT tersebut pengadilan tidak perlu memeriksa kebenaran isi dari akta PPAT tersebut, ataupun tanggal ditandatanganinya dan demikian pula keabsahan dari tanda tangan dari pihak-pihak, asal saja tidak dapat dibuktikan dengan adanya pemalsuan, penipuan maupun lain-lain kemungkinan akta tanah tersebut dapat dinyatakan batal ataupun harus dinyatakan batal. 88 Demikianlah beberapa pendapat mengenai sifat akta PPAT. Ada yang berpendapat bahwa akta PPAT termasuk akta otentik dan ada pula yang berpendapat sebaliknya. Masing-masing memiliki argumen dan pandangan yang berbeda-beda. Memang, secara normatif, Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 menyatakan bahwa akta PPAT adalah akta otentik. Namun akan lebih baik apabila permasalahan ini dianalisis kembali dengan menggunakan aturan-aturan serta konsep-konsep yang terkait supaya memperoleh pemahaman secara lebih mendalam. Dalam mengkaji keotentikan akta PPAT, maka terlebih dahulu akan dijabarkan mengenai Pasal 1868 BW. Sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bunyi teks asli dari Pasal 1868 BW yaitu, Eene authentieke acte is de zoodanige welke in den wettelijke vorm is verleden, door of ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe 87 Husni Thamrin, Op.cit., h. 63-64. 88 A.P. Parlindungan, Op.cit., h. 175.

bevoegd zijn ter plaatse alwaar zulks is geschied. Oleh Subekti, Pasal 1868 BW diterjemahkan sebagai berikut : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. 89 Maka berdasarkan Pasal 1868 BW, suatu akta dapat digolongkan sebagai akta otentik apabila memenuhi 3 (tiga) syarat secara kumulatif, antara lain : 1. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang (wettelijke). 2. Akta dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) pejabat umum (openbare ambtenaren). 3. Pejabat umum tersebut haruslah memiliki wewenang (bevoegd) di tempat di mana akta itu dibuat. Mengenai persyaratan yang pertama, bahwa suatu akta otentik harus ditentukan oleh undang-undang. Subekti menerjemahkan kata wettelijk sebagai undang-undang. Menurut Maria Farida Indrati, kata wettelijk berarti sesuai dengan wet atau berdasarkan wet. Kata wet pada umumnya diterjemahkan dengan undang-undang. 90 Hal ini sesuai dengan arti kata wet di Belanda, yakni aturan yang dibentuk oleh Regering dan Staten Generaal. 91 Jadi, wet itu dibentuk oleh Regering/Pemerintah (lembaga eksekutif negara) serta Staten Generaal/Parlemen (lembaga legislatif negara). Apabila dilihat dari segi pembuatnya, maka wet memiliki kesamaan dengan undang-undang di Indonesia. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, undang-undang dibuat oleh Presiden selaku pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif. 89 Subekti - II, Op.cit., h. 475. 90 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, 2007, h. 81. 91 Ibid., h. 52.

Jadi, kata wet di Indonesia diartikan sebagai undang-undang, yang sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 7 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011, hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian maka kata wettelijk yag ada dalam Pasal 1868 BW ini seyogianya diartikan sebagai Undang-Undang. Sehingga suatu akta dapat digolongkan sebagai akta otentik apabila diatur oleh Undang- Undang. Pada dasarnya, bentuk akta PPAT hanya diatur di dalam peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri (PMA) dan peraturan kepala badan pertanahan nasional (PERKABAN), yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 serta Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012. Jadi, bentuk akta PPAT tidak diatur di dalam undang-undang, tetapi hanya diatur di dalam peraturan-peraturan di bawah undangundang. Apabila hal ini dikaitkan dengan terjemahan Pasal 1868 BW yang menyebutkan bahwa akta otentik itu bentuknya harus ditetapkan undang-undang, maka akta PPAT tidak dapat memenuhi syarat tersebut. Syarat kedua dalam Pasal 1868 BW yaitu akta dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) pejabat umum (openbare ambtenaren). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa akta yang dibuat oleh pejabat itu disebut akta relaas, yakni uraian dari pejabat yang berwenang atas suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan sendiri oleh pejabat tersebut. Sedangkan akta yang dibuat di hadapan pejabat disebut sebagai akta partij, yaitu uraian dari apa yang diceritakan atau diterangkan oleh para pihak yang

menghadap pejabat. Sehubungan dengan hal tersebut maka akta PPAT termasuk ke dalam jenis akta partij (akta pihak), yaitu akta yang dibuat di hadapan pejabat. Akta PPAT itu merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan PPAT. Para pihak yang hadir ke PPAT menyatakan kehendaknya, lalu PPAT menuangkan apa saja yang dijelaskan dan diakui oleh para pihak tersebut ke dalam akta. Jadi, PPAT hanya menerima dan mengkonstantir keterangan-keterangan yang diberikan oleh para pihak ke dalam sebuah akta. Maka dari itu akta PPAT disebut sebagai akta partij atau akta pihak. Karena PPAT hanya membuat akta berdasarkan apa yang disampaikan oleh para pihak, maka kebenaran akta tersebut merupakan tanggung jawab dari para pihak itu sendiri. PPAT bukanlah termasuk pihak dalam akta tersebut. Berkenaan dengan pejabat umum, Boedi Harsono memberi pengertian tentang pejabat umum, yaitu orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu. 92 Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo. Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, PPAT diangkat dan diberhentikan Menteri. Menteri yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sedangkan berkaitan dengan kewenangannya, Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyebutkan bahwa PPAT memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Jadi, PPAT merupakan pejabat umum, karena PPAT adalah orang yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri serta memiliki wewenang utama dalam membuat akta guna pelayanan terhadap masyarakat di bidang pertanahan. Berdasarkan uraian tersebut, maka akta PPAT 92 Boedi Harsono, Op.cit., h. 483.

telah memenuhi syarat keotentikan akta pada Pasal 1868 BW, yaitu akta PPAT dibuat di hadapan PPAT selaku pejabat umum. PPAT memiliki kewenangan dalam membuat akta di bidang pertanahan. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 mengatur tugas pokok PPAT dalam membuat akta beserta jenis-jenis akta yang dapat dibuat oleh PPAT. Namun PPAT hanya berwenang membuat akta di daerah kerjanya. Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Dari penjabaran di atas maka akta PPAT memenuhi syarat keotentikan akta pada Pasal 1868 BW berupa akta otentik dibuat oleh pejabat umum yang memiliki wewenang (bevoegd) di tempat di mana akta itu dibuat. Dalam hal ini, PPAT selaku pejabat umum memiliki wewenang membuat akta di bidang pertanahan sesuai dengan daerah kerjanya. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akta PPAT bukan merupakan akta otentik, karena akta PPAT tidak memenuhi syarat-syarat keotentikan akta pada Pasal 1868 BW secara kumulatif, yakni syarat yang pertama berupa bentuk akta yang harus ditetapkan oleh Undang-Undang. Dalam hal ini bentuk akta PPAT hanya diatur di dalam peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang.