BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi. Fluktuasi harga bahan bakar fosil yang mencapai nilai US$ 150/barel, spekulasi harga bahan pangan dan fluktuasi pendapatan rumah tangga turut memicu terjadinya krisis pangan. Pangan bukan hanya sekedar menjadi komoditas ekonomi tetapi telah menjadi komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang meluas. Di beberapa negara, seperti Maroko, Senegal, Meksiko, Uzbekistan, Etiopia, Pantai Gading, Papua Nugini, Mauritania, Yaman, Filipina dan Korea Utara, krisis pangan telah menyulut gejolak sosial. Di dalam World Food Summit pada tahun 1996, para pemimpin dunia bertekad untuk melawan kelaparan dengan agenda menghapus 400 juta warga miskin dan lapar, tetapi hingga tahun 2002, kecepatan pengentasan kemiskinan dan kelaparan hanya mencapai 6 juta/tahun dari target 22 juta/tahun (Wiroto, 2003). Di Indonesia, isu kelangkaan pangan dan malnutrisi di beberapa daerah telah banyak diberitakan dan sangat ironi sekali bahwa daerah rawan pangan dan terancam rawan pangan sebenarnya memiliki potensi sumber pangan dengan kandungan gizi yang cukup. Melihat kondisi pangan dunia
saat ini, sudah barang tentu bahwa setiap negara akan mencukupi kebutuhan negaranya masing-masing. Negara dengan surplus pangan pun tidak akan serta merta untuk melakukan eksport, karena surplus akan disimpan sebagai cadangan pangannya. Berbagai upaya dilakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman krisis global pangan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 menunjukkan bahwa sepertiga kecamatan di Indonesia yaitu berjumlah 5.570 kecamatan mengalami masalah gizi serius. Sedangkan dari hasil pemetaan status nutrisi terkini yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) dan AUSAID di 30 provinsi di Indonesia, diketahui bahwa persentase gizi buruk masih lebih dari 30%. Tingkat relevansi malnutrisi tertinggi di kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Timur, NTB, NTT dan Kalimantan Barat. Tingkat konsumsi kalori penduduk juga masih kurang yaitu 1.700 kkal/kapita/hari, jauh lebih rendah dari standar internasional kebutuhan kalori minimun orang dewasa yakni sebesar 2.100 kkal/kapita/hari. Pada tahun 2004, peta rawan pangan (Food Insecurity Atlas) dikelompokkan pada tiga dimensi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan penyerapan pangan. Hasil penyusunan tersebut adalah: 1) Kondisi sangat tahan pangan: Bali ; 2) Kondisi cukup
tahan pangan hingga sangat tahan pangan: Jawa; 3) Kondisi agak rawan pangan: NTB, NTT, sebagian kecil Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah; 4) Kondisi cukup rawan pangan hingga rawan pangan: Sumatera Utara; 5) Kondisi rawan pangan: sebagian besar Kalimantan Barat; 6) Kondisi agak rawan pangan hingga rawan pangan: sebagian besar Sulawesi Tenggara dan Gorontalo; 7) Kondisi agak rawan pangan hingga sangat rawan pangan : Maluku, Maluku Utara dan Papua (BKP, 2005). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau. Pembangunan pangan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Konsumsi pangan penduduk Indonesia masih belum memenuhi kecukupan gizi. Kuantitas, kualitas dan keragaman pangan belum memenuhi kaedah berimbang, karena masih didominasi oleh serealia khususnya beras, sebaliknya kontribusi jagung, umbi-umbian, kacangkacangan, pangan hewani, sayur-sayuran dan buah-buahan masih sangat kurang. Ketergantungan terhadap beras dapat diperlonggar dengan penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pangan pokok berbasis umbi-umbian yang diperkaya nutrisinya oleh kacang-kacangan.
Program peningkatan ketahanan pangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan pangan nasional (beras dan sumber bahan pangan lain), agar dapat dipenuhi dan diproduksi domestik sehingga mampu mengurangi ketergantungan akan impor. Sumatera Utara sebagai daerah agraris yang memprioritaskan pertanian sebagai sektor andalan pembangunan daerahnya, juga mengalami permasalahan kekurangan pangan khususnya beras setiap tahunnya. Maka untuk mengatasi hal tersebut pemerintah melakukan diversifikasi pangan. Dengan dilakukannya program diversifikasi pangan di Sumatera Utara membuat konsumsi beras di Sumatera Utara sejak beberapa tahun terakhir mengalami penurunan. Penurunan konsumsi beras rata-rata 1,89% per tahun diharapkan bisa meningkatkan ketahanan pangan di Sumatera Utara. Data konsumsi beras dapat dilihat pada tabel 1. Penurunan konsumsi beras ini dikarenakan pemerintah melakukan sosialisasi peningkatan konsumsi bahan pangan nonberas seperti umbi-umbian, kentang, sayuran dan bahan pangan lainnya (BKP, 2012). Tabel 1. Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara Tahun Konsumsi Beras (Kg/kapita) 2009 139,50 2010 136,85 2011 134,24 Sumber: BKP 2012
Satu diantaranya yaitu dengan membangkitkan kearifan lokal di Sumatera Utara, yakni mengkonsumsi ubi sebelum makan nasi terutama ubi jalar, dengan sebutan Manggadong (memakan ubi). Manggadong merupakan program dari Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara untuk mempercepat diversifikasi pangan berbasis sumber daya dan budaya lokal. Program manggadong merupakan budaya leluhur yang sudah ada sejak zaman orde baru dan merupakan kearifan lokal yang terdapat di daerah Tapanuli. Umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif (pengganti beras dan tepung terigu). Tanaman umbi-umbian yang dimaksud dalam kajian ini adalah ubi kayu dan ubi jalar. Ubi kayu dan ubi jalar merupakan tanaman yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari daerah penyebaran komoditas tersebut di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Sebagai bahan sumber karbohidrat, ubi kayu dan ubi jalar banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, bahan pakan serta bahan baku industri (pangan dan kimia). Di Indonesia luas panen ubi kayu pada tahun 1999 mencapai 1,34 juta hektar dan ubi jalar mencapai 0,167 juta hektar. Produksi ubi kayu dan ubi jalar segar masing-masing sebesar 16,3 juta ton dan 1,627 ton, bahkan produksi ubi kayu segar telah meningkat menjadi 20.313.082 juta ton pada
tahun 2008. Produksi umbi-umbian di Sumatera Utara hingga oktober 2011 meningkat. Peningkatan terjadi pada produksi ubi kayu yang telah mencapai 811.517 ton dan ubi jalar sebanyak 109.883 ton. Berdasarkan data produksi ubi kayu yang mencapai 811.517 ton ini diperoleh dari luas tanam 31.849 hektar dan panen 28.814 hektar. Sedangkan produksi ubi jalar sebanyak 109.833 ton dari luas tanam 10.351 hektar dan panen 9.009 hektar (BPS, 2012). Jumlah penduduk Sumatera Utara pada tahun 2010 yaitu 12.985.075 juta jiwa (BPS, 2011) dengan pertumbuhan yang masih tinggi mendorong Pemerintah untuk terus meningkatkan produksi ubi kayu sebagai bahan pangan alternatif mendukung ketahanan pangan Nasional. Ubi kayu banyak digunakan sebagai bahan pangan untuk dikonsumsi langsung maupun digunakan sebagai bahan baku industri yang diolah menjadi beranekaragam makanan dan maupun olahan setengah jadi yaitu tepung Mocaf yang saat ini diharapkan mampu menjadi barang subsitusi pengganti tepung terigu. Komoditi umbi-umbian sudah banyak dikembangkankan oleh petani. Ini didukung dengan tingginya harga jual dan permintaan pasar. Untuk peningkatan produksi ubi kayu, dibantu dari beberapa perusahaan seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II yang menyewakan lahannya hingga ribuan hektar ke petani di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai.
Seperti halnya ubi kayu, sebagian besar ubi jalar juga dimanfaatkan sebagai bahan pangan, baik secara langsung (direbus, digoreng, dioven) atau setelah melalui proses pengolahan (kue basah, kue kering, roti, mie, selai). Hanya sebagian yang digunakan untuk bahan pakan dan baku industri. Sejalan dengan Program Diversifikasi Pangan, ubi jalar yang banyak mengandung karbohidrat, mineral dan vitamin ubi jalar juga berpeluang dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif (non beras), bahkan dengan beberapa keunggulannya yaitu mengandung betakaroten, antosianin, senyawa fenol dan serat pangan, ubi jalar juga dapat dijadikan sebagai makanan untuk kesehatan. Dengan keunggulan dan pemenuhan kebutuhan gizi yang cukup, pengadaan ubi kayu dan ubi jalar sebagai pangan lokal alternatif yang bersumber daya lokal cukup menjanjikan. Sehingga sebagai sumber pangan alternatif yang digunakan oleh pemerintah Sumatera Utara untuk mendukung ketahanan pangan nasional maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana prospek produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar dimasa mendatang agar dapat digunakan sebagai input dalam menyusun perencanaan dalam hal mendukung ketahanan pangan nasional. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang didapat antara lain:
1. Bagaimana perkembangan produksi dan produktivitas ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara Tahun 1996-2010? 2. Bagaimana perkembangan konsumsi pangan ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara Tahun 1996-2010? 3. Bagaimana produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara dari Tahun 2015-2025? 4. Apakah alternatif kebijakan pangan yang dapat diambil pemerintah dalam upaya meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbiumbian di Sumatera Utara? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis produksi serta produktivitas ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara 1996-2010. 2. Untuk menganalisis perkembangan konsumsi pangan ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara tahun 1996-2010. 3. Untuk meramalkan produksi serta konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara Tahun 2015-2025. 4. Untuk dapat mengetahui alternatif kebijakan pangan dalam upaya meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian di Sumatera Utara.
1.4 Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Sebagai sumbangan pemikiran dalam kajian produksi dan konsumsi pangan terkait dengan upaya ketahanan pangan. 2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi policy maker dalam proyeksi kebutuhan pangan di masa mendatang serta dalam penyusunan kebijakan pemantapan dan diversifikasi pangan. 3. Sebagai bahan referensi dan studi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.