II. TINJAUAN PUSTAKA. Itik lokal Indonesia dikenal sebagai keturunan itik Indian Runner yang banyak

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam arab (Gallus turcicus) adalah ayam kelas mediterain, hasil persilangan

I. PENDAHULUAN. Peningkatan populasi penduduk di Indonesia menyebabkan perkembangan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. potensial di Indonesia. Ayam kampung dijumpai di semua propinsi dan di

I. PENDAHULUAN. peternakan seperti telur dan daging dari tahun ke tahun semakin meningkat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

TINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis unggas air ( water fowls) yang termasuk dalam

PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan sumber protein. Di Indonesia terdapat bermacam-macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

II. TINJAUN PUSTAKA. Kalkun (turkey) adalah jenis unggas darat yang berasal dari kalkun liar yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arab dengan ayam buras. Ayam arab mulai dikenal oleh masyarakat kira-kira

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. banyaknya telur yang menetas dibagi dengan banyaknya telur yang fertil.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut tetas

I. PENDAHULUAN. serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat. Akan

PENDAHULUAN. penyediaan daging itik secara kontinu. Kendala yang dihadapi adalah kurang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 28 Mei--28 Juni 2012,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

BAB II LANDASAN TEORI

Penyiapan Mesin Tetas

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, sub famili Anatinae, tribus Anatinae

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. membentuk beberapa variasi dalam besar tubuh, konformasi, dan warna bulu.

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan metode-metode mengajar lainnya. Metode ini lebih sesuai untuk mengajarkan

Pengaruh Umur dan Pengelapan Telur terhadap Fertilitas dan Daya Tetas

TINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis ungags air ( water fawls) yang termasuk dalam

III. BAHAN DAN MATERI. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 minggu pada Desember 2014 Januari 2015,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada1 Maret--12 April 2013 bertempat di Peternakan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten

PENDAHULUAN. semakin pesat termasuk itik lokal. Perkembangan ini ditandai dengan

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan. bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari.

Sumber pemenuhan kebutuhan protein asal hewani yang cukup dikenal. masyarakat Indonesia selain ayam ialah itik. Usaha beternak itik dinilai

PERBANDINGAN FERTILITAS SERTA SUSUT, DAYA DAN BOBOT TETAS AYAM KAMPUNG PADA PENETASAN KOMBINASI

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis

Gambar 1. Itik Alabio

I. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

Pengaruh Umur Telur Tetas Itik Mojosari dengan Penetasan Kombinasi terhadap Fertilitas dan Daya Tetas

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kampung Teras Toyib Desa Kamaruton

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam)

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan telur yang tidak mengenal musim, keunggulan gizi dari telur dan

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Kualitas Eksterior Telur Tetas Ayam Arab

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret--5 April 2013

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan

I. PENDAHULUAN. dengan susunan asam amino lengkap. Secara umum telur ayam ras merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal

TATALAKSANA PENETASAN TELUR ITIK

PENGARUH UMUR TELUR TETAS PERSILANGAN ITIK TEGAL DAN MOJOSARI DENGAN PENETASAN KOMBINASI TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA

Kata kunci: penetasan, telur itik Tegal, dan mesin tetas

Struktur Telur. Suhardi, S.Pt.,MP Universitas Mulawarman

I. PENDAHULUAN. unggas di Sumatera Barat, salah satunya adalah peternakan Itik. Di Nagari Pitalah,

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April November 2016 di Desa

Tilatang Kamang Kabupaten Agam meliputi Nagari Koto Tangah sebanyak , Gadut dan Kapau dengan total keseluruhan sebanyak 36.

I. PENDAHULUAN. Secara umum, ternak dikenal sebagai penghasil bahan pangan sumber protein

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

I. PENDAHULUAN. Broiler merupakan salah satu sumber protein hewani yang dapat memenuhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012).

DAFTAR PUSTAKA. Bambang, A.M Mengelola Itik. Cetakan Pertama. Kanisius. Jakarta

HASIL DAN PEMBAHASAN. morfologi. Penilaian dilakukan pada DOD yang baru menetas untuk melihat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan salah satu jenis unggas air (Waterfolws) dan dikenal dengan nama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia berasal dari Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto Propinsi Jawa

I. PENDAHULUAN. unggas yang lain. Itik mampu mempertahankan produksi telur lebih lama

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya kebutuhan masyarakat akan daging ayam membuat proses

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2

TEKNOLOGI BUDIDAYA ITIK DI LAHAN PEKARANGAN Oleh Ermidias Penyuluh Pertanian Madya I.PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Ternak itik yang berkembang sekarang merupakan keturunan dari Wild

TINJAUAN PUSTAKA. gizi yang lengkap bagi pertumbuhan makhluk hidup baru. Menurut Whitaker and

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

I. PENDAHULUAN. juga mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memilki daya adaptasi yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS DAN BOBOT TETAS TELUR AYAM ARAB

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Puyuh

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

1. PENDAHULUAN. Telur itik adalah salah satu pilihan sumber protein hewani yang memiliki rasa

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki

Irawati Bachari, Iskandar Sembiring, dan Dedi Suranta Tarigan. Departemen Perternakan Fakultas Pertanian USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk menyeleksi pejantan dan betina yang memiliki kualitas tinggi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dengan bangsa serta jenis yang beragam. Setiap bangsa dan jenis itik memiliki

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

Lampiran 1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 360/Kpts/PK.040/6/2015 TENTANG PELEPASAN GALUR ITIK ALABIMASTER-1 AGRINAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. tercapainya kecukupan gizi masyarakat (Sudaryani, 2003). Telur sebagai sumber

1. Pendahuluan. 2. Kajian Pustaka RANCANG BANGUN ALAT PENETAS TELUR SEDERHANA MENGGUNAKAN SENSOR SUHU DAN PENGGERAK RAK OTOMATIS

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Itik Mojosari Itik lokal Indonesia dikenal sebagai keturunan itik Indian Runner yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Beberapa bangsa itik lokal antara lain: itik alabio (Anas platyrhyncos borneo) di Kalimantan Selatan, itik bali (Anas sp) di pulau Bali, itik tegal (Anas javanica) di Jawa Tengah dan itik mojosari di Jawa Timur (Sarengat, 1989). Menurut Suharno dan Amri (2003), salah satu itik lokal di Indonesia yang terkenal adalah itik mojosari. Itik mojosari berasal dari Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Itik mojosari memiliki bentuk tubuh tinggi langsing menyerupai bentuk botol, dan dapat berdiri tegak, tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil dari itik tegal. Warna bulu itik jantan dan betina hampir sama yaitu berwarna kemerahan dengan variasi warna cokelat, hitam, dan putih dengan paruh dan kaki berwarna hitam, meskipun warna bulunya sama, tetapi dengan mudah dapat dibedakan antara itik jantan dan itik betina yaitu dengan melihat bulu ekornya. Umumnya itik jantan memiliki satu sampai dua lembar bulu ekor yang melengkung ke atas (Suharno dan Amri, 2003). Itik mojosari dapat dilihat pada Gambar 1.

9 Sumber: Suharno dan Amri (2003) Gambar 1. Itik mojosari Menurut Whendrato dan Madya (1998), berat badan itik mojosari dewasa rata-rata adalah 1,7 kg, konsumsi ransum rata-rata 130--170 g per hari, umur dewasa kelamin rata-rata 175 hari, dan masa produksi rata-rata 11 bulan per tahun. Menurut Purna (1999), rata-rata umur dewasa kelamin itik mojosari dan itik tegal berturut-turut dicapai pada umur 201,19 ± 20,65 hari dan 207,50 ± 20,58 hari dengan kisaran 161--238 hari. Selanjutnya Wahyuni (1989) menyatakan bahwa rata-rata umur itik mojosari saat memasuki masa produksi adalah 156,17 ± 4,19--161,42 ± 0,03 hari. Hal ini lebih lambat dari yang dilaporkan oleh Hardjosworo, et al., (1980) yang menyatakan bahwa umur itik mojosari saat memasuki masa produksi yaitu sekitar 145 hari. Itik mojosari mulai bertelur pertama kali pada umur 6 bulan dan biasanya produksinya belum stabil. Itik ini mampu menghasilkan telur dengan rata-rata 200 butir per ekor per tahun bila digembalakan di areal sawah yang subur,

10 jika dipelihara secara intensif dengan sistem kandang tanpa air produksinya bisa mencapai 265 butir per ekor per tahun dengan perbandingan jantan dan betina (sex ratio) yaitu 1 : 10 dan dipilih itik yang berproduksi tinggi. Perawatan yang baik serta pemberian pakan yang cukup, sekitar 80% dari jumlah itik yang dipelihara akan berproduksi. Itik mojosari juga memiliki keunggulan dengan masa produksi yang lebih lama, jika dibandingkan dengan itik lokal yang lain (Suharno dan Amri, 2003). B. Manajemen Penetasan Menurut Setiadi, et al., (1992), penetasan telur merupakan suatu proses biologis yang kompleks untuk menghasilkan generasi baru dalam usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup ternak unggas yang berkesinambungan. Metode penetasan telur merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh para peternak pembibit agar dapat mencapai hasil tetasan semaksimal mungkin baik kualitas maupun kuantitas. Menurut Sudaryani (2003), dalam menetaskan telur perlu diperhatikan hal-hal yang menunjang keberhasilan dalam menetaskan. Telur yang baik jika ditetaskan akan menghasilkan anak itik yang baik pula, untuk itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini: 1. telur, harus dari induk yang dikawini; 2. bentuk telur, yang baik adalah bulat telur (oval) artinya lonjong ada bagian yang runcing dan ada bagian yang tumpul, rongga udara ada di bagian yang tumpul;

11 3. kulit telur, permukaan kulit telur rata, tidak ada cacat, tidak terlalu tebal maupun tipis dan tidak boleh retak sedikitpun; 4. umur telur, telur yang akan ditetaskan harus masih segar sebaiknya berumur kurang dari 7 hari. Apabila telur terlalu lama disimpan dapat mengakibatkan kematian pada embrio. Umur telur yang akan ditetaskan sebaiknya mempunyai umur yang seragam, bila tidak seragam maka hasil tetasnya tidak serempak; 5. bobot telur, bobot telur itik yang baik untuk ditetaskan berkisar antara 60--65 g, bobot telur yang seragam akan menghasilkan anak itik yang seragam besarnya; 6. kebersihan telur tetas, telur yang akan ditetaskan hendaknya dalam kondisi bersih, telur yang kotor dan terkontaminasi bakteri dapat mengakibatkan telur busuk dan akan menggagalkan penetasan. Hampir semua bangsa itik domestikasi yang dikenal sekarang, tidak lagi memiliki sifat mengeram. Hilangnya sifat mengeram ini disebabkan oleh proses domestikasi dan terjadinya mutasi-mutasi alamiah dari sifat-sifat mengeram (Setioko, 1992). Ranto dan Sitanggang (2007) mengungkapkan bahwa itik tidak memiliki sifat mengeram sehingga waktunya habis digunakan untuk memproduksi telur. Oleh sebab itu, untuk pengembangan itik perlu campur tangan manusia baik dengan bantuan unggas lain, mesin tetas maupun alat incubator lain misalnya sekam padi (Setioko, 1992).

12 1. Penetasan alamiah (menggunakan entok) Entok (Cairina moschata) merupakan salah satu unggas air yang dibudidayakan pada tingkat petani tradisional. Entok sebagai salah satu ternak itik domestikasi yang tidak hanya menghasilkan telur dan bulu namun juga dikenal sebagai mesin penetas alami. Entok berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang sekarang dikenal berasal dari upaya seleksi yang dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Dari seleksi ini dihasilkan entok jantan dengan berat badan sekitar 5--5,5 kg dan entok betina dengan berat badan ekitar 2,5--3 kg. Entok betina mulai bertelur pada usia 6--7 bulan. Produksi telurnya sekitar 90--120 butir/tahun. Dalam satu periode bertelur, entok betina bisa menghasilkan telur sekitar 15--18 butir (Simanjuntak, 2002). Menurut penelitian Kusmidi (2000) produksi telur entok yang dipelihara secara tradisional di Kabupaten Cianjur sebanyak 10,30--10,52 butir/ekor/periode. Wibowo, et al., (1995) melaporkan di Kabupaten Kerawang, produksi telur induk entok yang dipelihara secara semi intensif/periode produksi, rata-rata 10 butir dengan variasi 8--13 butir dan jarak bertelur kembali setelah penetasan pada induk yang dipisahkan dengan anaknya yaitu 22,4--22,7 hari sedangkan pada induk yang mengasuh anaknya yaitu 50,8--51,8 hari. Entok memiliki ciri-ciri yaitu kepala besar dan kasar, di atas kepala terdapat bulu yang dapat berdiri tegak jika itik ini di serang, memiliki paruh dengan ukuran kecil dan pendek, leher dan tubuh tidak berbentuk sudut lancip, punggung panjang, dadanya lebar dan tidak menonjol, memiliki sayap yang panjang dan kuat (Samosir, 1983).

13 Entok dikenal sebagai mesin tetas alami karena induk entok lokal betina mempunyai sifat keibuan yang sangat baik. Induk ini mampu merawat anak-anak entok dengan penuh kasih sayang, walaupun yang dirawat bukan anaknya sendiri atau anak titipan dari induk entok lain. Induk betina entok juga memiliki sifat mengeram yang cukup baik. Ia mampu mengeram selama berturut-turut sampai 3 periode. Artinya setiap telur yang dierami menetas, bisa langsung diganti dengan telur entok baru sampai 2 periode. Bahkan pernah terjadi, entok mengeram hingga 5 periode sampai akhirnya entok tersebut mati ketika sedang mengeram karena kelelahan (Simanjuntak, 2002). Entok mempunyai kemampuan untuk menetaskan 20 butir telur itik dalam sekali penetasan (Suharno dan Amri, 2003). Lasmini, et al., (1992) juga menyatakan bahwa entok dapat mengerami telur itik sebanyak 20--30 butir/ekor/periode pengeraman. Keberhasilan penetasan dengan cara ini berkisar 80--90 % (Suharno dan Amri, 2003). Lasmini, et al., (1992) menyatakan bahwa penetasan alami dengan menggunakan entok sebagai pengeram mendapatkan hasil yang lebih baik daripada penetasan buatan. Hal ini sesuai dengan kondisi alamiah entok yang dapat mengatur sendiri kebutuhan suhu, kelembapan, pemutaran telur, dan sebagainya melalui tingkah laku entok selama penetasan. Namun, kelemahannya adalah jumlah telur yang dapat ditetaskan sangat terbatas dan harus bersamaan dengan waktu mengeram entok (Bambang, 1988). 2. Penetasan buatan (menggunakan mesin tetas) Pada prinsipnya penetasan telur dengan alat tetas buatan merupakan tiruan dari sifat-sifat alamiah unggas saat mengeram. Dalam membuat alat penetasan,

14 prinsip kerja dari alat dan proses penetasannya benar-benar ditiru dari keadaan aslinya di alam (Zumrotun, 2006). Keuntungan jika menggunakan mesin penetas yaitu telur yang ditetaskan lebih banyak dan dapat dilakukan setiap saat. Namun kelemahannya, biaya untuk membeli mesin penetas cukup besar dan membutuhkan keterampilan dalam pelaksanaan penetasan (Purba, 1981). Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses penetasan buatan adalah suhu, kelembapan, ventilasi dari inkubator, pemutaran telur di dalam inkubator, serta peneropongan telur (candling) (Rasyaf, 1998). a. Suhu Suhu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur itik yaitu sekitar 100--101,1 o F (Rasyaf, 1998). Menurut Suharno dan Amri (2003), suhu mesin tetas pada minggu pertama sebesar 101,5 o F (38,6 o C), pada minggu kedua sebesar 102 o F (38,9 o C), pada minggu ketiga sebesar 102,5 o F (38,6 o C), dan pada minggu keempat 103 o F (39,4 o C). Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gangguan syaraf, jantung, pernafasan, dan ginjal serta akan menyebabkan membran embrio mengering sehingga membunuh embrio, sedangkan suhu yang rendah pada penetasan menyebabkan pertumbuhan yang tidak proporsional. Suhu rendah juga dapat menyebabkan gangguan jantung, pernafasan, dan gizi yang tidak dapat diserap oleh embrio (Lyons, 1998).

15 b. Kelembapan Kelembapan yang dibutuhkan pada penetasan umur 1--25 hari adalah yang ideal antara 60--70%, sedangkan pada hari ke-26 sampai menetas membutuhkan lebih tinggi yaitu 75%. Kelembapan yang terlalu rendah cenderung menyebabkan terlambatnya saat penetasan karena penguapan telur berlangsung lebih cepat sehingga mengurangi suhu telur. Kelembapan mesin tetas yang terlalu tinggi mengakibatkan terhambatnya penguapan air di dalam telur (Paimin, 2003). c. Ventilasi dari inkubator Ventilasi berperan dalam pengaturan pergerakan udara selama penetasan. Pergerakan udara sangat penting bagi embrio yang sedang berkembang untuk mendapatkan suplai oksigen yang tetap melalui udara segar. Pergerakan udara tidak boleh terlalu kencang karena karbon dioksida (CO 2 ) diperlukan untuk pergerakan kalsium dari cangkang ke dalam embrio. Apabila pergerakan udara tinggi maka CO 2 tidak ada yang terbentuk (Blakely dan Bade, 1998). Pengukuran O 2 secara akurat sangat sulit dilakukan, jadi CO 2 menjadi ukuran dalam mesin. CO 2 yang tinggi menunjukkan rendahnya O 2. Direkomendasikan CO 2 di dalam setter maksimum 0,3--0,4%. Jika ditemui lebih dari 0,5% menandakan buruknya sistem ventilasi dan berdampak negatif terhadap daya tetas. Embrio muda memiliki tingkat toleransi CO 2 yang lebih rendah dibandingkan dengan embrio tua. Selama 4 hari pertama di setter, tingkat toleransi CO 2 adalah 0,3% (North dan Bell, 1990).

16 d. Pemutaran telur (turning) Pemutaran telur mempunyai tujuan untuk memberikan panas secara merata pada permukaan telur. Selain itu, untuk mencegah agar embrio tidak menempel pada salah satu sisi kerabang telur. Pemutaran telur dilakukan dengan mengubah posisi telur dari kiri ke kanan atau sebaliknya, untuk telur dengan posisi mendatar yang bawah diputar menjadi di atas, apabila telur diberdirikan bagian yang tumpul harus di atas. Posisi normal badan embrio terletak mengikuti sumbu panjang sebutir telur dengan paruh berada di bawah sayap kanan. Ujung paruh menghadap ke rongga udara telur yang terletak di ujung tumpul telur (Srigandono, 1998). Setioko (1992) menyatakan bahwa pemutaran telur itik dilakukan 3 atau 5 kali sehari dengan interval waktu yang sama. Bila mesin inkubator mempunyai alat pemutar telur otomatis, maka pemutaran dapat dilakukan setiap 1 atau 2 jam sekali. Menurut Simanjuntak (2002), pemutaran telur sebaiknya 4 kali sehari sampai hari ke 28 sebab kegagalan penetasan sering terjadi akibat malposition. Besarnya sudut dan frekuensi pemutaran telur dapat memengaruhi perkembangan embrio telur tetas. Pemutaran telur yang benar berperan positif terhadap volume cairan subembrionik dan pembentukan rongga udara telur, sekaligus pemanfaatan protein oleh embrio (Bogenfurst, 1995). e. Peneropongan telur (candling) Peneropongan dilakukan untuk mengetahui keberadaan atau perkembangan embrio secara dini. Peneropongan biasanya dilakukan sebanyak 3 kali selama

17 penetasan berlangsung yaitu pada hari ke-1, ke-7 dan hari ke-25 (Rasyaf, 1998). Menurut Suharno dan Amri (2003), peneropongan (candling) dilakukan 3 kali pada har ke-7, 14, dan 21 selama masa penetasan untuk mengetahui perkembangan embrio. Peneropongan pada minggu pertama, ciri telur yang fertil dapat diketahui dengan mengamati perkembangan pembuluh darah yang memencar dari sentrumnya. Pada peneropongan minggu ke-2, telur yang fertil menunjukkan gambaran gelap. Pada peneropongan minggu terakhir, terdapat bayangan gelap kecuali rongga udara yang telah menempati ¼ bagian (Srigandono, 1998). 3. Penetasan kombinasi Metode penetasan kombinasi adalah metode penetasan campuran antara mesin tetas dan cara alamiah (pengeraman dengan entok). Bisa juga kombinasi antara mesin tetas dan cara sekam padi seperti pada penelitian yang dilaporkan oleh Setioko dan Rohaeni (2002). Brahmantiyo dan Prasetyo (2002) menyatakan bahwa untuk itik alabio yang ditetaskan dengan menggunakan mesin tetas rata-rata daya tunas dan daya tetasnya yaitu 79,18% dan 48,98%. Pada penelitian yang dilaporkan oleh Setioko dan Rohaeni (2002), rata-rata daya tunas dan tetas dari itik alabio yang ditetaskan dengan menggunakan sekam padi masing-masing 88,08% dan 67,16%. Daya tunas/fertilitas yang dihasilkan rata-rata tinggi karena peternak sudah berpengalaman dalam hal memelihara dan memilih telur, sedangkan penetasan yang dilakukan dengan cara modifikasi antara mesin tetas dan balai-balai penetasan (sekam) daya tetas yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan

18 cara sekam padi yaitu sekitar 5--10%. Namun, berdasarkan pengamatan untuk perbedaan daya tunasnya yaitu antara 1--3%. C. Fertilitas Fertillitas adalah persentase telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio dari sejumlah telur yang dieramkan tanpa memperhatikan apakah telur itu dapat atau tidak dapat menetas (Card dan Neshiem, 1972). Menurut Srigandono (1996), fertilitas adalah perbandingan antara banyaknya telur yang ditunasi dengan banyaknya semua telur yang dihasilkan. Fertilitas dapat diketahui dengan candling (peneropongan telur). Sampai saat ini belum dapat ditemukan suatu cara yang tepat dan menguntungkan untuk usaha penetasan telur dalam menentukan tingkat daya tunas telur kecuali meneropong. Namun, dengan metode tersebut tidak didapat fertilitas yang akurat karena beberapa telur yang embrionya mati sebelum ditelurkan akan memberikan hasil yang infertil dalam pengujian. Faktor yang memengaruhi fertilitas adalah sperma, ransum, umur pembibit, musim dan suhu, serta waktu perkawinan (Rasyaf,1998). Yuwanta (1983) juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi fertilitas yaitu kualitas pejantan, umur induk, produksi, dan kualitas pakan. Makanan induk yang kekurangan vitamin E akan menyebabkan rendahnya fertilitas (Card dan Neshiem, 1972). Pembentukan embrio sangat ditentukan oleh keadaan nutrisi. Jumlah embrio yang mati dapat meningkat karena defisiensi vitamin dan mineral terutama riboflavin dan mangan sehingga daya tetas menjadi rendah (North dan Bell, 1990).

19 Perbandingan jantan dan betina perlu diperhatikan untuk mendapatkan fertilitas yang tinggi. Untuk mendapatkan fertilitas yang tinggi pada itik, dianjurkan agar 6 ekor itik betina dapat dikawini oleh 1 ekor pejantan (Rasyaf, 1998). Menurut Tai (1985), perbandingan jantan dan betina yang baik adalah 1:7 atau 1:5 (Setioko, et al., 1994). Pada perkawinan untuk menghasilkan itik serati (mule ducks), yaitu perkawinan antara entok jantan dan itik betina, perbandingan jantan dan betinanya adalah 1 : 2,5 karena entok jantan yang besar menyebabkan kesulitan dalam kawin alam, sehingga dibutuhkan pejantan yang lebih banyak (Gvaryahu, et al., 1984). Listiyowati dan Roospitasari (1995) juga menyatakan bahwa jika jumlah betina terlalu banyak, maka banyak telur yang tidak terbuahi atau infertil sehingga tidak bisa digunakan sebagai telur tetas. Semakin tua umur induk, fertilitas semakin menurun. Ayam pada umur 43-- 46 minggu didapatkan fertilitas sebesar 91,23%, umur 47--50 minggu fertilitasnya sebesar 85,99%, dan pada umur 51--54 minggu fertilitasnya sebesar 83,22% (Fasenko, et al., 1992). Brahmantiyo dan Prasetyo (2002) melaporkan bahwa fertilitas telur itik Alabio dan Mojosari masing-masing 79,18% dan 74,97%. D. Susut Tetas (Weight loss) Susut tetas adalah bobot telur yang hilang selama penetasan berlangsung sampai telur menetas (Rusandih, 2001). Kehilangan bobot telur yang terjadi selama penetasan karena adanya penyusutan telur. Penyusutan berat telur diakibatkan oleh pengaruh suhu dan kelembapan selama masa pengeraman yang dapat memengaruhi daya tetas dan kualitas anak ayam yang dihasilkan (Tullet dan Burton, 1982). Selanjutnya Suarez, et al., (1996) menjelaskan bahwa suhu yang

20 tinggi di dalam mesin tetas mengakibatkan perbedaan suhu antara embrio dan mesin tetas. Pengeluaran panas lebih banyak melalui evaporasi dan mengakibatkan kehilangan berat telur yang lebih besar sebelum menetas. Persentase kehilangan berat telur selama penetasan berlangsung mempunyai hubungan yang terbalik dengan kelembapan penetasan. Kelembapan 43% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,60%, kelembapan 55% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,54% dan kelembapan 69% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,40% (Buhr dan Wilson, 1991). Penyusutan berat telur merupakan perubahan yang nyata di dalam telur. Selain itu, air adalah bagian terbesar dan unsur biologis di dalam telur yang sangat menentukan proses perkembangan embrio di dalam telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Buhr dan Wilson (1991) melaporkan penyusutan berat telur tampak diakibatkan oleh berkurangnya persediaan cairan allantois. Menurut Shanawany (1987), selama perkembangan embrio di dalam telur, penyusutan telur sampai menetas menyusut sebesar 22,5--26,5%. Menurut North dan Bell (1990), susut tetas dapat dihitung dengan cara membagi persentase kehilangan berat telur dengan jumlah hari inkubasi dan secara umum susut tetas yang dianjurkan adalah 12--14%. Penyusutan berat telur selama masa pengeraman menunjukkan adanya perkembangan dan metabolisme embrio, yaitu dengan adanya pertukaran gas vital oksigen dan karbon dioksida serta penguapan air melalui kerabang telur (Peebles dan Brake, 1985).

21 Tebal kerabang telur sedikit memengaruhi berkurangnya berat telur selama penetasan. Kerabang telur adalah bagian yang harus dilalui oleh gas dan air selama proses penyusutan terjadi. Kerabang yang terlalu tebal menyebabkan telur kurang terpengaruh oleh suhu penetasan sehingga penguapan air dan gas sangat kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf, 1998). Koswara (1997) menyatakan bahwa kerabang telur dilapisi oleh lapisan tipis kutikula yang terdiri dari 90% protein dan sedikit lemak. Fungsi kutikula ini untuk mencegah penetrasi mikroba dan penguapan air terlalu cepat. Pori-pori kerabang telur unggas merupakan saluran komunikasi yang penting antara perkembangan embrio di dalam telur dengan lingkungan di luar telur (Rahn, et al.,1987). Kerabang telur mengandung rata-rata lebih dari 7.000 poripori dan berukuran sempit 0,01--0,07 mm (Oluyemi dan Robert, 1980), namun jumlah pori-pori tersebut adalah bervaiasi (Romanoff dan Romanoff, 1963). Peebles dan Brake (1985) melaporkan bahwa bagian ujung telur yang tumpul mempunyai konsentrasi pori-pori yang lebih besar daripada di bagian tengah ataupun di bagian ujung yang runcing, sehingga dengan lebih besarnya konsentrasi pori-pori tersebut akan memberikan kesempatan gas dan air menguap lebih banyak daripada bagian ujung yang runcing. Semakin banyak pori-pori kerabang telur laju susut tetas yang terjadi akan semakin lebih cepat. Selama penyimpanan telur sebelum ditetaskan air dari telur hilang melalui evaporasi.

22 E. Daya Tetas Daya tetas dapat diartikan dengan dua cara: (1) Daya tetas adalah banyaknya telur yang menetas berdasarkan jumlah telur yang dieramkan dan dinyatakan dalam persen, dan (2) daya tetas adalah banyaknya telur yang menetas berdasarkan jumlah telur yang fertil (Card dan Neshiem, 1972). Daya tetas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, kondisi penyimpanan telur, kebersihan telur, dan kondisi pada saat penetasan. Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa telur yang disimpan pada suhu 20--35 o C masih dapat berkembang terbatas, tetapi kemampuan selanjutnya untuk tetap hidup sangatlah rendah. Kondisi terbaik embrio dapat bertahan hidup adalah disimpan pada suhu 11--13 o C (Rose, 1997). Sebelum ditetaskan sebaiknya telur disimpan pada suhu 12 o C dengan kelembaban relatif sekitar 70--75% (Lyons, 1998). Menurut Kortlang (1985), suhu penyimpanan yang ideal berkisar antara 10--20 C. Namun, bila tidak memiliki lemari pendingin, telur dapat disimpan di suhu kamar yang sejuk dengan cukup ventilasi. Baglaicca, et al., (1995) melaporkan bahwa pada ayam, selama periode penyimpanan, pertumbuhan embrio telah terjadi walaupun pada kecepatan yang rendah, disproporsional, dan pertumbuhan tersebut dapat berpengaruh terhadap penurunan viabilitas (daya hidup) dengan meningkatnya periode penyimpanan. Hal ini juga berlaku pada telur itik, mengingat telur itik umumnya juga disimpan sebelum ditetaskan. Selain itu, fase pertumbuhan embrio pada saat ditetaskan

23 juga dapat berpengaruh pada viabilitas embrio selama penetasan (Lundy, 1969; Mayes dan Takeballi, 1984; Meijerhof, 1992). Penyimpanan telur hendaknya tidak melebihi 1 minggu setelah telur dikeluarkan dari kloaka (Karnama,1996). Telur disimpan 3 hingga 4 hari untuk mendapatkan hasil penetasan yang baik. Makin lama disimpan, kesempatan pertukaran gas dan udara makin besar dan penguapan makin cepat sehingga terjadi penyusutan berat telur dan kantong udara makin besar. Bila hal ini terjadi daya tetas telur sudah berkurang (Bambang, 1988). Hasil yang paling baik diperoleh pada penyimpanan kurang dari 4 hari, namun untuk alasan komersial, telur itik dapat disimpan selama 7 hari. Penyimpanan hingga 14 hari dapat dilakukan dengan syarat telur disimpan dalam kantong plastik cryovac tertutup dan dijenuhi dengan nitrogen pada suhu 11--12 C (Kortlang, 1985). Studi yang dilakukan oleh Kortlang (1985) menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu tinggi (30 C) cocok untuk jangka pendek 1--3 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu rendah (15 C) dapat digunakan pada penyimpanan 5--7 hari seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Daya tetas telur itik yang disimpan pada suhu dan periode penyimpanan yang berbeda Daya tetas (%) Suhu penyimpanan ( c) Penyimpanan (1--3 hari) Penyimpanan (5--7 hari) 15 73,4 76,2 20 76,3 75,0 25 74,9 72,6 30 77,1 36,3 Sumber : Kortlang (1985)

24 Indarwati (1991) menyatakan bahwa posisi telur dengan ujung tumpul di atas selama penetasan menghasilkan daya tetas yang lebih tinggi daripada dengan posisi horisontal dan ujung runcing di atas. Telur yang kotor dapat menyebabkan rendahnya daya tetas karena mikroorganisme dapat menyebabkan daya tetas jelek dan banyak telur busuk (Lyons, 1998). Menurut Setiadi, et al., (1992), tingginya tingkat kematian embrio salah satunya diduga karena faktor kebersihan telur selama proses penetasan. Selanjutnya menurut Setioko (1992), telur yang akan ditetaskan harus bersih dari berbagai kotoran yang melekat pada kerabang. Telur yang kotor akan mudah terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melalui pori-pori kerabang yang menyebabkan kematian embrio. Penurunan daya tetas dapat disebabkan oleh tingginya kematian embrio dini. Kematian embrio tidak terjadi secara merata selama masa pengeraman telur. Sekitar 65% kematian embrio terjadi pada dua fase masa pengeraman: pada fase awal, puncaknya terjadi pada hari ke-4, fase akhir, puncaknya terjadi pada hari ke-19 (Jassim et al, 1996). Lebih jauh Christensen (2001) melaporkan bahwa kematian embrio dini meningkat antara hari ke-2 dan ke-4 masa pengeraman. Brahmantiyo dan Prasetyo (2002) melaporkan bahwa daya tetas untuk itik alabio dan mojosari masingmasing 48,98 dan 40,87%. E. Bobot Tetas Bobot tetas adalah bobot yang diperoleh dari hasil penimbangan anak itik yang menetas. Penimbangan dilakukan setelah bulu anak itik tersebut kering. Hal ini

25 dimaksudkan untuk mengurangi kesalahan akibat pengaruh anak itik yang masih basah bulunya bila ditimbang akan memengaruhi bobotnya (Jayasamudra dan Cahyono, 2005). Kaharudin (1989) menyatakan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi bobot tetas yaitu bobot telur tetas. Sudaryani dan Santoso (1994) menyatakan bahwa bobot telur tetas merupakan faktor utama yang memengaruhi bobot tetas, selanjutnya dinyatakan bobot tetas yang normal adalah 2/3 dari bobot telur dan apabila bobot tetas kurang dari hasil perhitungan tersebut maka proses penetasan bisa dikatakan belum berhasil. Didukung oleh Rusandih (2001) dari hasil penelitiannya melaporkan bahwa itik mojosari dengan kisaran bobot telur 39,10-- 79,55 g menghasilkan bobot tetas berkisar antara 26,52--44,42 g. Menurut Rasyraf (1998), seleksi telur tetas lebih dulu diutamakan pada bobot telur karena akan memengaruhi bobot awal DOC, semakin berat telur tersebut maka DOC yang dihasilkan juga semakin berat. Gunawan (2001) juga menyatakan bahwa bobot tetas itik memiliki hubungan erat dengan bobot telurnya, semakin besar bobot telur maka anak itik yang menetas semakin besar. Bobot tetas kecil dapat terjadi karena tata laksana pada pemeliharaan induk-induk itik yang dilakukan peternak kurang baik. Kualitas dan kuantitas ransum induk yang rendah dapat menyebabkan telur yang dihasilkan oleh induk itik menjadi kecil. Defisiensi asam linoleat pada pakan dapat mengakibatkan bobot telur yang dihasilkan rendah, sehingga menyebabkan embrio yang dihasilkan juga kecil.

26 Menurut North dan Bell (1990), faktor yang memengaruhi bobot telur adalah strain, umur pertama bertelur, suhu lingkungan, ukuran pullet pada suatu kelompok. Bobot tetas juga dipengaruhi lama penyimpanan telur tetas (Tona, et. al., 2002).